Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi tugas Mata kuliah

“Sejarah Intelektual Islam di Indonesia

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DI INDONESIA DAN


TOKOH-TOKOHNYA ABAD KE 19-21

Disusun Oleh:

NAMA MAHASISWA NIM MAHASISWA


DIKI RAMADHAN 2223430034
INUKI YUDI MARTA 2223430032

Dosen Pengampu Mata Kuliah

EMZINETRI,M.Ag

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN,ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU

2023 M /1445 H

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’laikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Segala Puji bagi Allah SWT tuhan pencipta alam semesta yang telah
memberikan limpahan nikmat dan karunianya kepada kami, sehingga kami dapat
kemudahan, kekuatan, dan semangat untuk menyelesaikan makalah ini yang
berjudul : “Sejarah Perkembangan Fiqih di Indonesia dan Tokoh-Tokohnya
Abad 19-21” dengan tepat waktu meskipun harus menempuh proses yang cukup
panjang. Tak lupa pula sholawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa islam dari zaman
jahiliyah menuju peradaban yang lebih baik yang dapat kita rasakan seperti saat
ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk Memenuhi tugas Mata Kuliah
“Sejarah Intelektual Islam di Indonesia ”. Penulis menyadari bahwa
terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan yang
diberikan berbagai pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1.Ibu Emzinetri,M.Ag Selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Islam di Indonesia
2. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membuat makalah ini menjadi lebih baik.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan penulis sendiri. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Bengkulu, Oktober 2023

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fiqih sebagai hukum yang hidup (living law) di Indonesia
sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar geneologinya
dapat ditarik jauh kebelakang ketika pertama kali Islam masuk ke
Indonesia, dan hukum Islam (fikih) sudah dipraktekkan bersamaan dengan
masuknya Islam di Indonesia.1 Akulturasi dan adaptasi dengan budaya dan
adat setempat tidak dapat dihindari atas perubahan dan pembaruan hukum
Islam yang memiliki karakter keindonesiaan2. Tradisi (adat) budaya
masyarakat Indonesia telah memberikan andil terhadap pembaharuan dan
pemikiran hukum Islam di Indonesia baik pra kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan Indonesia.
Untuk merubah paradigma hukum Islam sebagai salah satu ciri
utama yang memungkinkan terjadinya pembaharuan hukum Islam adalah
wataknya yang non-mazhab yang dipengaruhi oleh kemajuan dan
plularitas sosial-budaya serta politik pada suatu masyarakat atau negara.
Hal ini juga dapat dianalisis keadaan awal perkembangan hukum Islam
dengan mengambil setting keadaan wilayah, sosiokultural masyarakat
sebagaimana yang dikembangkan oleh para pendiri mazhab fikih seperti,
di Hijaz, Irak, dan Mesir. Jelas sekali peran dan pengaruh tempat termasuk
elemen-elemen sosial-budaya, dan politik telah membawa para fuqaha’
dalam merumuskan mazhab fikih. Demikian juga, pembaruan fikih di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari paradigma pemikiran mazhab fikih
klasik di atas, dengan munculnya gagasan fikih mazhab Indonesia, sebagai
interalasi antara fikih, negara, dan perubahan sosial-kultural masyarakat
Indonesia

1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung:
Mizan, 1994), hlm., 24-36, lihat juga M. Atho Mudzhar, Fatwa-FatwaMajelis Ulama Indonesia (Jakarta : INIS,
1993, hlm., 12
2
Hasbi ash-Shiddiqiey, Syariah Islam Menjawab Tantangan Zaman (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm., 8-9.

3
Dalam perspektif historis, dinamika pemikiran hukum Islam di
Indonesia telah menunjukkan satu fenomena transformatif dan remedialis,
walaupun masih tampak kuat nuansa paralisme di dalamnya, sehingga
kesan tautologinya masih ada. Setidaknya pemikiran pembaruan hukum
Islam di Indonesia seperti bola salju yang menggelinding dan melaju
dengan pasti menuju arah konstruksi berbagai tipe karakter hukum Islam
konteks Indonesia3

B. RUMUSAN MASALAH
1. Siapakah Tokoh Intelektual Fiqih Indonesia dan Bagaimana
Biografinya?
2. Apa Pemikiran Tokoh Intelektual Tersebut?
3. Bagaimana Pengaruh Tokoh Intelektual Tersebut Ketika Masa Itu?
4. Apa Saja Karya-karyanya?

3
Fiqh merupakan hasil dialektika rasional antara nilai-nilai syari’ah yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah dengan memperhatikan pada realitas masyarakat dan kondisi objektif ruang waktu yang dihadapi.
Mengenai kajian istilah fikih, lihat buku Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: the Methodology
of Ijtihad (Islamabad: Islamic reseach Institute press, 1994), hlm. 20- 26. Agus Moh. Najib, Evolusi Syari‟ah :
Ikhtiar Mahmoud Mohamed Taha bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2007), hlm. 29.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syekh Muhammad Nawawi Al-Banteni


1. Biografi Syekh Muhammad Nawawi Al-Banteni
Syekh Nawawi al-Bantani,nama lengkapnya adalah Abu Abd al-
Mu‟thi Muhammad Ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Beliau lebih
dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani,
dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815
M/1230 H. Ayahnya bernama KH. Umar, seorang ulama yang
memimpin masjid dan pendidikan Islam di Tanara. Ibunya bernama
Jubaidah, seorang penduduk setempat.4 Syekh Nawawi al-Bantani,
oleh bangsa dan ummat Islam Indonesia dikenal dengan nama KH.
Nawawi, putera Banten. Kemudian, orang-orang menggantinya dengan
nama Syekh Nawawi al-Bantani setelah karirnya meningkat sebagai
seorang pujangga Islam kenamaan di Asia dan Timur Tengah, termasuk
Indonesia.5
Menurut Mamat S. Burhanuddin, di tahun kelahirannya,
Kesultanan Banten berada pada periode terakhir yang pada waktu itu
diperintah oleh Sultan Muhammad Rafi‟uddin (1813-1820 M). Pada
tahun 1813 M, Belanda melalui Gubernur Raffles memaksa Sultan
Muhammad Rafi‟uddin untuk menyerahkan kekuasaannya kepada
Sultan Rafiuddin setelah dianggap tidak dapat mengendalikan Negara.
Dengan memanfaatkan Rafiuddin yang sudah mulai melemah

4
Mamat S. Burhanuddin, Hermenutika al-Qur‟an ala Pesantren Analisis terhadap Tafsir Marah Labid Karya
KH. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Press, 2006), p. 19-20
5
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi al-Bantani Indonesia (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1978), p. 5.

5
kekuasaannya, Belanda secara bertahap mengurangi peran Sultan
dalam pemerintahan Banten. Akhirnya, pada tahun 1832 dengan resmi
keraton dipindahkan ke Serang dan struktur pemerintahan keresidenan
dijabat oleh seorang Bupati yang diangkat oleh pemerintah Belanda.
Di tengah-tengah suasana politik seperti itu masa kanak-kanak Syekh
Nawawi hidup bersama ayahnya yang menjabat sebagai penghulu
(Agama), suatu jabatan dari pemerintah Belanda untuk mengurus
masalah-masalah Agama.
Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan
yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Cirebon, yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin (Sultan
Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul „Arasy). Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad saw melalui Imam Ja‟far
Shadiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin,
Sayyidina Husen, Siti Fatimah al-Zahra.5 Menurut penuturan Chaidar,
Syekh Nawawi mempunyai dua orang istri yaitu Nasimah yang
merupakan istri tertua dan Hamdanah sebagai istri muda. Dari
Nasimah Syekh Nawawi memiliki tiga keturunan yang semuanya
perempuan yaitu Ruqoyah, Nafisah dan Maryam. Sedangkan dari
Hamdanah beliau memiliki satu keturunan yang bernama Zuhro.
Syekh Nawawi mulai belajar pertama-tama pada ayah kandungnya
sendiri, KH. Umar, sejak usia 5 tahun dan lama belajar selama 3 tahun.
Ketika menjelang usia 8 tahun, beliau pergi ke Jawa Timur untuk
belajar selama 3 tahun juga. Pada masa kanak-kanak inilah, beliau
belajar ilmu pengetahuan Agama Islam bersama saudara-saudaranya,
Tamim dan Ahmad. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan
dasar bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), Fiqih, Tauhid dan Tafsir.
Mereka juga belajar pada Kyai Sahal, seorang ulama terkenal di daerah
Banten. Kemudian mereka dikirim oleh ayahnya ke daerah Purwakarta
(Karawang) untuk melanjutkan studi pada kyai alim yang bernama
Kyai Haji Yusuf.

6
Pada usia 15 tahun beliau berkesempatan untuk pergi ke Makkah
menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk
belajar Ilmu Kalam, bahasa dan sastra Arab, Ilmu Hadits, Tafsir dan
Ilmu Fiqih. Pada tahun 1833 beliau kembali ke daerahnya dengan
khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu
ayahnya mengajar para santri. Kedatangannya saat itu membuat
pesantren ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari
berbagai pelosok. Dan pengaruh kuat dari Syekh Nawawi dan
pesantrennya waktu itu cukup mendapat perhatian pemerintah Belanda
yang terauma terhadap gerakan pemberontakan santri Diponegoro
(1825-1830). Menurut Chaidar, sebagaimana dikutip oleh Mamat,
karena didorong oleh jiwa kepahlawanannya untuk melawan intervensi
kekuatan kafir Belanda dan semangat melestarikan kerajaan Islam
Banten, Syekh Nawawi memutuskan untuk kembali ke Makkah dan
menetap selamanya di sana.6
Ada dua pendapat tentang apa yang menjadi motif beliau kembali
lagi ke Makkah. Sebagaimana dikutip Mamat, „pendapat pertama
menyatakan bahwa motif kembalinya Syekh Nawawi ke Makkah
merupakan bentuk strategi perlawanan beliau melalui jalur pendidikan,
yakni dengan mengkader tokoh-tokoh Agama yang datang dan belajar
ke Makkah. Dan pendapat kedua menyebutkan bahwa motifnya adalah
disebabkan karena beliau belum merasa memenuhi cita-citanya dan
harapan masyarakat Banten secara penuh dan lengkap‟.
Menurut penuturan H. Rofi‟uddin Romly dalam bukunya Sejarah
dan Perjuangan Pujangga Besar Islam Syekh Nawawi alBantani,
alasan Syekh Nawawi kembali lagi ke Makkah dikarenakan beliau
merasa sempit dengan adanya pengawasan dari pemerintah Belanda
ketika menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya.7

6
Mamat, Hermenutika al-Qur‟an ala Pesantren Analisis terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi
Banten, p. 22
7
Rofi‟uddin Romly, Sejarah dan Perjuangan Pujangga Besar Islam Syekh Nawawi al-Bantani (T.p, T.t), p. 2.

7
Setelah kembali ke Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani
melanjutkan belajar kepada guru-gurunya seperti Syekh Khatib
Sambas dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang
bermukim di Makkah. Selanjutnya beliau belajar kepada Sayyid
Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Makkah,
Muhammad Khatib al-Hambali di Madinah, kepada ulama-ulama di
Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi
serta di negara Syam (Syiria)
beliau wafat pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M dalam usia
84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma‟la berdekatan dengan makam Siti
Khadijah istri Rasulullah saw. Setiap setahun sekali, untuk
memperingati jasa dan jejak beliau, maka di Kampung Tanara Serang,
Banten, diadakan acara Khol
2. Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani
Pemikiran fiqih Syekh Nawawi lebih dipengaruhi oleh Imam
Syafii. Sumber hukum Islam, menurut Syekh Nawawi, mencakup
empat hal, yaitu al-Quran, hadits, ijma dan qiyas. Tidak mengherankan
jika kemudian Syekh Nawawi mengharamkan taqlid bagi imam
madzhab yang empat. Namun bagi para mujtahid fil madzhab,
mujtahid mufti dan masyarakat umum, Syekh Nawawi mengharamkan
bagi tiga golongan ini untuk berijtihad, tetapi mewajibkan untuk
taqlid.8
3. Pengaruh Syekh Nawawi Al-Bantani
Syekh Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama Al-
Jawwi. Dia menginspirasi komunitas Al-Jawwi untuk lebih terlibat
dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik
sejumlah ulama pesantren terkemuka.
Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus
dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Dengan mencapai
kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di

8
https://www.nu.or.id/tokoh/syekh-nawawi-banten-dan-beberapa-pemikiran-pentingnya

8
Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu
mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid
yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk
kemajuan masyarakat Indonesia. Selain pelajaran agama, Syekh
Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti kolonialisme dan
imperialism dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di
kemudian hari mampu menegakkan kebenaran, bagi Syekh Nawawi,
harus diwujudkan untuk menumpas kebatilan dan menghancurkan
berbagai kedzaliman dari bangsa kolonialisme. Perjuangan yang
dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik,
namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan
dan jiwa nasionalisme, kiranya juga patut disejajarkan dengan jasa
para pejuang kemerdekaan.
Di samping itu, upaya pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi
terhadap komunitas Al-Jawwi di Mekkah juga menjadi perhatian serius
dari pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas Al-
Jawwi untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas
keilmuan agama dan jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran
tersendiri lagi Belanda. Untuk mengantisipasi ruang gerak komunitas
Al-Jawwi ini, maka Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Belanda
saat itu, berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884-1885. Kedatangan
Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara
langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh ulama Indonesia yang
tergabung dalam komunitas Al-Jawwi.
4. Karya-karyanya
berikut ini adalah karya syekh Nawawi al bantani:
1. As-Simar al-yani‟at
2. Tanqih al-Qaul al-Hatsis
3. At-tausyih
4. Nur azh-Zhalam
5. Tafsir al-Munir

9
6. Maddariju ash-Shu‟ud
7. Fathu al-Majid

B. Syekh Katib Alminang Kabawi


1. Biografi
Ulama besar ini nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul
Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khathib Al
Jawi Al Makki Asy Syafi’i al- Minangkabawi. Lahir pada hari Senin
tanggal 6 Dzulhijjah 1276 H/1860M. di Koto Tuo Balai Gurah
Kecamatan IV Angkek Candung Bukittinggi pada tahun 1276H /
1860M. Beliau wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334
H/1916 M) setelah berkiprah selama kurang lebih 56 tahun. Ayahnya
adalah Buya Abdul Latif yang merupakan seorang ulama mumpuni di
zamannya. Sementara ibunya bernama Limbak Urai asal Koto Tuo
Balai Gurah. Ahmad Khatib Memiliki 5 saudara yaitu H. Mahmud, H.
Aisyah, H. Hafsah, H. Safiah. Dari pihak bapak, beliau memiliki
hubungan dengan H. Agus Salim, sedangkan dari pihak ibu beliau
bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang ulama falak yang
menentap dan meninggal di Malaysia. Melihat silsilahnya, Sheikh
Ahmad Khatib memiliki hubungan dengan Tuanku Nan Tuo seorang
guru dari para pejuang dan ulama-ulama Paderi. (ICSB: 15).
Beliau menikah dengan Khadijah putri dari Muhammad Saleh
Kurdi seorang pemilik toko buku di Makkah. Shaleh al-Kurdi sangat
tertarik dengan Ahmad Khatib sehingga mengangkatnya sebagai
menantu. Tidak beberapa lama Khadijah meninggal dunia dengan
meninggalkan seorang anak bernama Abdul Karim. Shaleh al-Kurdi
begitu simpati dengan Ahmad Khatib ter- utama karena kerajinan,
ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta
keshalihannya. Maka Shaleh al-Kurdipun menikahkan Ahmad Khatib
dengan anak keduanya Fatimah dan memberinya tiga orang anak yaitu
Abdul Malik, Abdul Hamid dan Khadijah.

10
Ahmad Khatib mengenyam pendidikan formal dari pendidikan
dasar sampai ke Sekolah Raja atau Kweekschool tahun 1871 M.
Pengetahuan agama termasuk menghafal al- Quran diperoleh melalui
ayahnya Syeikh Abdul Lathif. Pada tahun 1287 H Abdul Latif
berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Selain orang
tuanya, ikut dalam rombongan itu kakeknya Syeikh Abdullah dan
pamannya Abdul Ghani yang merupakan orang terkaya di kampung
halamannya. bersama Setelah melaksanakan ibadah haji Ahmad Khatib
tidak ikut serta dengan orang tuanya kembali ke Sumatera Barat dan
tetap tinggal di Makkah dengan maksud menuntut ilmu agama dan
hafalan Al Quran dari para ulama- ulama di Masjid Al Haram.
Sebagian penulis menyebut-kan bahwa Syeikh Ahmad Khatib tidak
pernah lagi menginjakkan kaki di kampung halamannya setelah
perjalanan haji yang pertama tersebut. Namun catatan pribadi Syeikh
Ahmad Khatib menyebutkan bahwa atas permintaan dari ibunya yang
rindu kepadanya, maka Ahmad Khatib kembali ke kampung
halamannya pada tahun 1292 H. Kepulangan Ahmad Khatib dari
Makkah setelah bermukim 5 tahun di sana sebe-narnya adalah
kepulangan layaknya orang yang telah selesai dalam melaksanakan
tugasnya alias pulang habis. Meskipun begitu kerinduan Ahmad
Khatib tetap terpendam untuk suatu ketika kembali ke Makkah
melanjutkan fase kedua dari pengembaraannya menuntut ilmu di
Makkah. (Khatib: 8)
Setelah lebih dari satu tahun di Indonesia Ahmad Khatib men-
dapat kesempatan untuk berangkat ke Makkah untuk kedua kalinya.
Syekh Ahmad Khatȋb pernah berkata kepada murid kesayangannya
yaitu Syekh Abdul Karȋm Amrullâh “Biarlah aku meninggal di tanah
suci ini”44kata-kata ini tidaklah mengisyaratkan bahwa beliau tidak
mencintai tanah airnya, Syekh Ahmad Khatȋb adalah ulama yang
sangat mencintai tanah kelahirannya, bentuk cintanya itu telah
dibuktikan dengan banyaknya karya tulis yang ditulis sebagai solusi

11
atas problem yang dihadapi masyarakat di tanah airnya dan juga
dibuktikan dengan murid-murid hasil didikannya yang banyak
berkiprah dan berjasa dalam perubahan dan perkembangan intelektual
di Indonesia sehingga beliau mendapat julukan sebagai “Bapak
Reformis Islam Indonesia”.45 Dalam otobiografinya Syekh Ahmad
Khatȋb “ketika aku sudah mulai menua, umurku telah mencapai 58
tahun, dan tubuhku pun mulai melemah serta penyakit-penyakit telah
menggerogoti tubuhku” kata-kata ini mengisyaratkan akan kedekatan
ajalnya. Syekh Ahmad Khatȋb menulis sebuah pesan kepada anak-
anaknya “wahai anak-anakku renungilah perjalanan hidupku yang
telah aku tuliskan untuk kalian, siapakah aku? di manakah aku
sekarang? aku adalah keturunan Indonesia, datang dari negara Islam
yang jauh, tapi kemudian Allah menanamkan rasa cinta kepada
kakekmu untuk mencintaiku. Kakekmu memberikan semuanya
untukku, jiwa dan hartanya, semua itu adalah berkah dari ilmu dan
kemuliaannya, bukan karena dunia dan kenikmatannya. Kita berbeda
kewarganegaraan, kemiskinan dan kekayaan, tapi karena keberkahan
ilmu yang dititipkan kepadaku Allah menundukkan dunia untukku”9
Setelah lama menahan rasa sakit yang tak kunjung sembuh
akhirnya pada hari Senin 9 Jumadil Awal 1334 H/13 Maret 1916 M
seusai shalat Isya` Syekh Ahmad Khatȋb kembali ke rahmatullah.10
2. Pemikiran
Syekh Aḥmad Khatȋb dalam kitabnya menganggap bahwa pembagian
harta warisan di Minangkabau ini tidak sesuai dengan hukum Islam
dan status harta yang dihasilkan dari sistem waris adat ini adalah harta
syubhat, bahkan beliau mengecam keras orang yang mempraktekkan
waris adat tersebut sebagai orang yang sesat dan kafir. Fatwa Syekh
Aḥmad Khatȋb dapat dirangkum dalam beberapa beberapa poin:

9
Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi Hayâti alSyekh Ahmad al-
Khatib bin Abdul Latȋf, h. 93.
10
Amirul Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara di Haramain, h. 95.

12
a. Pelaksanaan waris adat telah menyalahi perintah Allah dan
Rasulnya dalam Al-Qur‟an dan hadits.
b. Ahli waris adat termasuk dalam kategori asabah bi al-nafs dan
dzawil arhâm yang tidak berhak menerima harta warisan
selama masih ada ashâb al-furȗd.
c. Harta yang diwariskan dengan cara adat merupakan harta yang
syubhat dan haram dimakan.
d. Pelaksanaan waris adat banyak menimbulkan dampak dan
mafsadah yang besar bahkan dapat menjerumuskan pelakunya
ke dalam kekufuran.11
3. Pengaruh
Kebesaran Ahmad Khatib juga dapat dilihat dari pengaruhnya pada
skala Nasional. Sebagian besar ulama pembaharu di berbagai wilayah
Indonesia pada awal abad 20 adalah murid Ahmad Khatib. Martin Van
Bruinessen (1995: 38) menye-butnya sebagai “bapak reformis Islam
Indonesia”. Martin juga menjelaskan bahwa Ahmad Khatib adalah
salah seorang ulama Nusan-tara di Makkah yang mengilhami gerakan
agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian
berperan penting di Indonesia (1995: 52).
Snouck Hurgronje mencatat, semua orang Indonesia yang naik haji
ketika Ahmad Khatib hidup, pasti mengunjungi beliau. Karena itu
menurut Burhanuddin Daya, dapat diterima bahwa pengaruh putera
Minangkabau ini sangat besar dan penting bagi kebangkitan umat
Islam Indonesia pada abad ke-20
Hal yang menarik dari pengaruh Ahmad Khatib di Nusantara
adalah, bahwa meski ia sendiri secara pribadi memegang teguh dan
kokoh pada pendiriannya, bahkan keras atas beberapa persoalan
keagamaan – seperti soal tarekat – tetapi murid- muridnya ternyata
memiliki pendapat yang berbeda dengan Ahmad Khatib sendiri.

11
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52964/1/MOHAMMAD%20AHSIN-
FSH.pdf

13
Menurut Burhanuddin Daya, ia telah melahirkan ulama-ulama
penggerak kegiatan berijtihad, baik yang mengobarkan gerakan
pembaharuan pemikiran Islam, maupun ulama-ulama yang menentang
pembaharuan. Menurutnya, Ahmad Khatib tidak menanamkan taklid
kepada para muridnya. Mereka diberi kebebasan dan bahkan
dianjurkan mempelajari karya-karya Abduh dan al-Afghani –icon
reformer dunia Islam- agar bisa membantah pendapat beliau12
4. Karya-karya
Karya-karya Syeikh Ahmad Khatib ditulis dalam bahasa Arab dan
bahasa Melayu. Berbagai sumber menyebutkan karya beliau sebagai
berikut:
Karya berbahasa Arab:
- Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
- Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
- Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan
Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
- Raudhatul Hussab
- Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
- As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
- Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id

C. K.H Hasyim Ashari


1. Biografi K.H Hasyim Ashari
Pertama. KH. Hasyim Asy’ari (Lahir di Jombang Jawa Tmur
14 Rebruari 1871) adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, dari
keluarga kiai. Ayahnya, K.H. Asy ‘ari adalah pendiri Pesantren Keras
dan ibunya Halimah, sedangkan kakeknya, K.H. Usman pengasuh
Pesantren Nggedang, masih di wilayah Jombang Pesantren Tambak
Beras, vang terletak di Barat kota Jombang, didirikan oleh ayah

12
https://www.researchgate.net/publication/335075365_SYEKH_AHMAD_KHATIB_AL-
MINANGKABAWI_ICON_THOLABUL_ILMI_MINANGKABAU_MASA_LALU_UNTUK_REFLEKSI_S
UMATERA_BARAT_HARI_INI_DAN_MASA_DEPAN

14
kakeknya, K.H. Sihah. Latar belakang dari keluarga santri dan hidup
dipesantren sejak lahir memberikan sentuhan sendiri bagi hasyim.
Di usianya yang masih belia, Hasyim menimba ilmu, antara
lain, ke Pondok Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Bangkak an, dan
Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Kecerdasan dan ketekunan- nya
dalam menimba ilmu, rupanya, membuat pengasuh pondok, K.H. Ya’
kub amat menyukainya. Itu sebabnya, Hasyim lalu dijodohkan dengan
anaknya, Nafsiah. Hasyim-Nafsiah menikah pada tahun 1892.
Beberapa bulan setelah menikah, bersama istri dan mertuanya, Hasyim
berangkat ke Mekah, untuk menunaikan ibadah haji seka- ligus
menimba ilmu. Setelah tujuh bulan di Mekah, istrinya melahir kan
seorang putra, Abdullah. Rupanya Allah punya rencana lain. Beberapa
hari setelah melahırkan, Nafsiah neninggal dunia, yang di- Susul oleh
Abdulah ketika berusia 40 hari. Ada duka, dan ada rindu pada tanah
air. Itu sebabnya Kiai Ya’kub mengajak menantunya itu pulang ke
Indonesia.
Setelah setahun di Indonesia, dengan ditemani adiknya Anis,
Hasyim kembali melanjutkan menuntut ilmu ke Mekah. Tapi, lagi-lagi
Allah punya rencana lain. Tak lama tinggal di Mekah, Anis dipanggil
llahi. Hasyim sendirian. Itu sebabnya, ia memanfaatkan wak tunya
dengan belajar bersungguh-sungguh. Ia berguru kepada Syekh Syuaib
bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfudhz at-Termasi, dan
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Belakangan, ketika di Timur
Tengah dilanda demam reformasi alias pembaharuan yang dipelopori
oleh Mohammad Abduh, Hasyim pun mengikutinya secara aktif.
Hasyim juga berguru kepada banyak syekh, termasuk kepada para
sayyid. K.H. Hasyim Asy’ari meninggal dunia pada 7 Ramadhan
1366/25 Juli 1947 karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah
ia mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo, bahwa
pasukan Belanda di bawah Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia

15
dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang dengan meminta
korban yang banyak dari rakyat biasa.13
2. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
Pemikiran fikih dan hadis Pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari
tentang fikih dan hadis sejalan dengan pemikiran kaum tradisionalis
yang berpendapat bahwa mengikuti salah satu dari empat madzhab
(Syafi‟i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) merupakan hal yang sangat
penting. Pemikiran beliau mengenai fikih dan hadis dapat ditemukan
dalam karya beliau, yaitu Muqaddimat al-Qanun al-Asasi an-Nahdhat
al-Ulama (pengantar terhadap aturan-aturan dasar Nahdhatul Ulama).
Menurut Martin van Bruinessen, kitab tersebut merupakan hasil ijtihad
K.H. Hasyim Asy‟ari berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.14
3. Pengaruh K.H Hasyim Asy’ari
Pada tahun 1926 Kiai Hasyim Asy’ari bersama K.H Abdul
Wahab Rasyid Anwar dan beberapa ulama lain di jawa timur
mendirikan Jamiah Nahdatul Ulama (NU). Di masa penjajahan, Kiai
Hasyim punya sikap tegas terhadap kaum imperialisme, baik terhadap
Belanda maupun Jepang. Pada tahun 1937 misalnya, seorang utusan
Pemerintah Belanda datang ke Kiai Hasyim untuk memberi tanda
kehormatan pemerintah kepadanya, berupa bintang emas. Tapi, Kiai
Hasyim menolaknya, dengan alasan, kalau penghargaan itu diterima,
keikhlasannya dalam beramal saleh akan terganggu.
Ketika Indonesia merdeka, rupanya Belanda tidak rela. Dan,
dengan bantuan sekutu, Inggris, Belanda hendak kembali menceng
keram kakinya di bumi pertiwi ini. Maka, pada 22 Oktober 1945, pe
rang dengan sekutu mulai terjadi di Surabaya. Kiai Hasyim melihat
bahwa mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkkan
pada 17 Agustus 1945, adalah wajib hukumnya. Maka, Kiai Hasyim

13
Al-Fikru: Jurnal Ilmiah, Hal. 155-156
14
Muhamad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari..., hal.87

16
mengeluarkan fatwa guna mempertahankan keutuhan Republik
Indonesia.
4. Karya K.H Hasyim Asy’ari
Beberapa karya-karya KH. Hasyim Asy’ari yang berhasil
didokumentasikan, terutama oleh cucu beliau, yaitu KH. Ishamuddin
Hadziq sebagai berikut:
a. Adabul ‘Alim wal Muta’alim. Menjelaskan tentang etika seorang
murid yang menuntut ilmu dan etika guru dalam menyampaikan ilmu.
Kitab ini diadaptasi dari kitab Tadzkiratu al-Sami’ wa alMutakallim
karya Ibnu Jamaah al-Kinani.
b. Risalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (kitab lengkap). Membahas
tentang beragam topik seperti kematian dan hari pembalasan, arti
sunnah dan bid’ah, dan sebagainya.
c. Al-Tibyan Fi Nahyi ‘An Muqatha’ati’ Al-Arkam wa Al-‘Aqarib Wa Al-
Ikhwan. Berisi tentang pentingnya menjaga silaturrahmi dan larangan
memutuskannya. Dalam wilayah sosial politik, kitab ini merupakan
salah satu bentuk kepedulian Kiai Hasyim dalam masalah Ukhuwah
Islamiyah.
d. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li jam’iyyat Nahdhatul Ulama’.
Karangan ini berisi pemikiran dasar NU, terdiri dari ayat-ayat
AlQur’an, Hadits, dan pesan-pesan penting yang melandasi berdirinya
organisasi NU.
e. Risalah Fi Ta’kid al-Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah.
Karangan ini berisi tentang pentingnya berpedoman kepada empat
mazhab, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali.
f. Mawai’idz. Karangan berisi tentang nasihat bagaimana menyelesaikan
masalah yang muncul di tengah umat akibat hilangnya kebersamaan
dalam membangun pemberdayaan.
g. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’i Jamiyyah Nahdlatul
Ulama’. Karya ini berisi 40 Hadits tentang pesan ketakwaan dan

17
kebersamaan dalam hidup yang harus menjadi fondasi kuat bagi umat
dalam mengarungi kehidupan.
h. An-Nur Al-Mubin Fi Mahabbati Sayyid Al-Mursalin. Menjelaskan
tentang arti cinta kepada Rasul dengan mengikuti dan menghidupkan
sunnahnya. Kitab ini diterjemahkan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan
judul Cinta Rasul Utama.
i. Ziyadah Ta’liqat. Berisi tentang penjelasan atau jawaban terhadap
kritikan KH. Abdullah bin Yasin Al-Fasuruwani yang mempertanyakan
pendapat Kiai Hasyim memperbolehkan, bahkan menganjurkan
perempuan mengenyam pendidikan. Pendapat Kiai Hasyim tersebut
banyak disetujui oleh ulama-ulama saat ini, kecuali 59 KH. Abdullah
bin Yasin Al-Fasuruwani yang mengkritik pendapat tersebut.
j. Al-Tanbihat Al-Wajibah Liman Yashna’ Al-Maulid bi Al-Munkarat.
Berisi tentang nasehat-nasehat penting bagi orang-orang yang
merayakan hari kelahiran Nabi dengan cara-cara yang dilarang agama.
k. Dhau’ul Misbah fi Bayani Ahkam al-Nikah. Kitab ini berisi tentang
hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, mulai dari aspek hukum,
syarat rukun, hingga hak-hak dalam pernikahan.
l. Risalah bi al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus. Menerangkan tentang
permasalahan hukum memukul kentongan pada waktu masuk waktu
sholat.
m. Risalah Jami’atul Maqashid. Menjelaskan tentang dasar-dasar aqidah
Islamiyyah dan Ushul ahkam bagi orang mukallaf untuk mencapai
jalan tasawuf dan derajat wusul ila Allah.
n. Al-Manasik al-shughra li qashid Ummu al-Qura. Menerangkan tentang
permasalahan Haji dan Umrah.15
D. Hasbi Ash-Shiddieqy
1. Biografi Hasbi Ash-Shiddieqy
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy adalah Muhammad
Hasbi, ia dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh utara 10 maret 1904 dan

15
https://idr.uin-antasari.ac.id/14804/6/6.%20BAB%20III.pdf diakses pada 20 Oktober 2023

18
wafat di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1975. Ayahnya bernama
Teuku Kadi Sri Maharja Mangkubumi Husein bin Muhammad Su’ud,
adalah seorang anggota rumpun Teungku Chik di Simeuluk
Samalanga.
Hasbi adalah keturunan Faqir Muhammad (Muhammad al-
Ma’sum). Faqir Muhammad sebelum berangkat ke Aceh adalah Raja di
negeri Mangiri di Malabar, India. Ibunya bernama Teuku Amrahbinti
Teuku Sri Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, Iaseorang putri kadi
kesultanan Aceh ketika itu. Kata “ash-Shiddieqy” dinisbahkan kepada
Abu bakar ash-Shiddiq. Menurut riwayat Hasbigenerasi ke 36 dari
khalifah tersebut, sehingga ia melekatkan gelar ash-Shiddiqy di
belakang namanya.Hasbi lahir di tengah-tengah keluarga yang
dihormati, hal ini tidak bisa dipungkiri. Selain keturunan yang
dihormati, sejarah juga telah mencatat bahwa keturunan Teungku Chik
di Semeuluk dan di Simalanga adalah pendidik dan juga pejuang.
Pada tahun 1880 meletusnya perang di Aceh, kakek Hasbi
(Muhammad Su’ud) yang saat itu telah paruh baya. Ia mengerahkan
semua harta, daya dan pikirannya terpusatkan pada perang sampai
dayahnya (pesantren) nya sendiri hancur diterjang peluru. Dan
menfatwakan bahwa membela negara adalah kewajiban utama dan
mempersiapkan generasi untuk menjadi pemimpin umat juga suatu
kewajiban. Oleh karena itu, ia mengirim Muhammad Husain Pergi
untuk memperdalam ilmu pengetahuan.setelah itu husein pun
melanjutkanjihad belajarnya di Makkah.Husein yang pernah belajar di
Makkah tentu saja telah bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran
kaum pembaharu di Timur Tengah. Sikapnya dalam menjaga
kemurnian syariat dan anti penjajahan teleha melekat dalam dirinya.
Husein dikenal berwatak keras dan memegang tegus disiplin. Apalagi
menyangkut masalah syariat yang tidak bisa ditawar untuk
kepentingan apapun.

19
Beberapa hal yang tidak bisa dihindari dari diri seseorang
dalam menetapkan pemikirannya. Yaitu, pendidikan dan latar belakang
keluarga serta keadaan yang dialami semasa hidupnya. Begitupun
halnya dengan Hasbi, Hasbi sebagai keturunan ulama, pendidik dan
pejuang, dalam dirinya mengalir darah Aceh-Arab. Sejak kecinya,
Hasbi telah dibentuk menjadi orang yang disiplin, pekerja keras,
cendrung membebaskan dirinya dari tradisi-tradisi disekitarnya dan
memilih untuk bersikap mandiri.
Sejak kecil, Hasbi telah mengalami banyak penderitaan, pada
tahun 1910, saat Hasbi berumur 6 tahun Ibunya telah meninggal dunia.
Kemudian, Hasbi diasuh oleh Teungku Syamsiah selama 2 tahun. Pada
tahun 1912, Teungku Syam juga menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah Teungku Syam meninggal, Hasbi tinggal bersama kakanya
yaitu Tengku Maneh hingga Hasbi memutuskan untuk nyantri dari satu
pesantren (dayah) ke pesantren yang lain.
Pada saat itu, masyarakat Aceh khususnya Aceh Utara, masih
dalam penderitaan karena penjajahan Belanda. Mulai sejak tahun 1904,
Belanda telah meningkatkan aktifitas perangnya disebabkan
kekhawatiran mereka terhadap kebangkitan dunia Timur, semangat
jihad fi sabilillah di bawah pimpinan Ulama, kebangkitan pembaharu
pemikiran Islam yang memabawa angin Pan-Islamisme tertiup di Jawa
serta adanya is-isu tentang kemerdekaan bagi Aceh pada tahun
1908.Semenjak Van Daalen menjadi gubernur Aceh.
Pemburuan dan pembantaian menggempur Muslimin Aceh
utara dan Aceh Tengah. Antara tahun 1899-1909 terjadi banjir darah
sampai angka 21. 852 jiwa. Tindakan ini merupakan kekejian
penjajahan yang tiada bandingnya, hilanganya rasa kemanusiaan yang
merenggut banyak jiwa. Sebagian ulama pada saat itu ada yang
melakukan perlawanan sampai akhir hayatnya ada juga yang
menyerah.Hasbi juga menyaksikan bagaimana kekejian yang
dilakukan oleh Letnan H. christhoffel di Keureuto yang berjarak lebih

20
kurang 30 km dari Lhokseumawe yang bebas menembak siapa saja
yang dicurgai. Nasib rakyat yang dipenuhi dengan penederitaan akibat
peperangan sehingga sebagianmasyarakat lari ke mistik yang
menjerumuskan mereka kepada perbuatan syirik.
Sejak kecil ayahnya telah melarang Hasbi untuk bergaul
dengan teman sebayanya.Justru larangan itu membuat Hasbi penasaran
dan tidur bersama mereka.ayahnya juga selalu menyuruh muridnya
untuk menggendong Hasbi jika bepergian terapi justru sebaliknya.
Sikap Hasbi yang ingin memebaskan diri dari ikatan radisi ini telah
diperlihatkannya sebelum Hasbi merantau Meudagang.
Sejak remaja, Hasbi telah populer dikalangan masyarakatnya.
Bagaimana tidak, selain Hasbi adalah keturunan terhormat, Hasbi juga
telah ikut berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Aceh
memiliki tradisi yang disebut dengan meuploh-ploh masalah atau
berdiskusi masalah-masalah agama yang dilombakan. Dalam hal ini,
Hasbi selalu mengambil peran, baik sebagai penanya atau penjawab
atau setidaknya menjadi konsultan dalam diskusi
tersebut.Pendidikannya diawali di pesantren milik ayahnya. Hasbi
telah khatam mengaji al-Qur’an pada Usia 8 tahun. Satu tahun
berikutnya Hasbi belajar qira’ah dan tajwid serta dasar-dasar tafsir dan
fiqh pada ayahnya. Selama 8 tahun, Hasbi nyantri dari satu pesantren
ke pesantren.Ini menunjukkan ketidak puasan atau kegigihan Hasbi
dalam menuntut ilmu, menurutnya kitab-kitab yang diajarkan hanyalah
sebatas sebuah kitab yang diajarkan. Oleh karena itu, Hasbi juga
membaca buku-buku yang ditulis dengan aksara Latin khususnya
Belanda.
Kemudian Hasbi belajar di beberapa pesantren lain di Aceh
sampai Hasbi bertemu dengan seorang ulama, Muhammad bin Salim
al-Kalali. Seorang ulama yang berkebangsaan Arab. Dari ulama inilah,
Hasbi banyak mendapat bimbingan dalam mempelajari kitab-kitab
kuning seperti nahwu, sharaf, mantik, tafsir, hadis, fiqh dan ilmu

21
kalam. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan
pendidika di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang
didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang
berasal dari Sudan dan memiki pemikiran modern saat itu.
Menurut Syekh al-Kalali,Hasbi punya potensi menggerakkan
pembaruan pemikiran Islam di Aceh. Ia menganjurkan Hasbi pergi ke
Surabaya belajar pada perguruan al-Irsyad. Perguruan ini diasuh oleh
pergerakan al-Irsyad wa Islah yang didirikan oleh Syekh Ahmad as-
Surkati.Pada tahun 1928,37 Hasbi mulai mendirikan pesantren
bersama dengan Syekh al-Kalali di Lhokseumawe yang diberi Nama
dengan al-Irsyad seperti Nama pesantren tempat belajar Hasbi selama
di Surabaya. Meskipun Secara administratife organisator, sekolah ini
berbeda dengan al-Irsyad yang di Surabaya. Tetapi, secara idealis,
sekolah ini mengikuti kurikulum dan proses belajar mengajar yang
dipakai di perguruan al-Irsyad di Jawa.
Pada saat itu, mulailah terdengar suara-suara yang mengatakan
bahwa “Siapa pun yang memasuki perguruan al-Irsyad maka akan dia
akan menjadi sesat seperti Hasbi. Hal ini disebabkan model sekolah
tersebut memakai bangku dan papan tulis. Model ini kemudian yang di
katakan sebagai model belajar mengajar kafir. Kampanye yang
dilakukan oleh kaum tradisionalis ini membuta al-Irsyad kehabisan
murid. Hingga pada akhirnya Hasbi menutup sekolah ini karena
menghindari terjadinya konflik fisik.
Selanjutnya Hasbi mulai diterima mengajar di sekolah-sekolah
diluar Muhammadiyah. Tahun 1937 ia diminta ia diminta mengajar di
jadam Montasik, dan tahun 1941 ia mengajar di Ma’had Imanul
Mukhlis atau Ma’had Iskandar Muda (MIM) di Lampaku. Hasbi juga
mendirikan sekolah yang bernama Darul Irfan. Karir dalam dunia
pendidikan berlanjut hingga tingkat perguruan tinggi. Hasbi mulai
menjabat sebagai

22
Menteri Agama (K.H. Wahid Hasyim) untuk mengajar di Perguruan
Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.Hubungan Hasbi dengan IAIN
membawanya ke peningkatan arus intelektual di dunia. Melalui saluran
ini, hubungan kelmbagaan yang dikembangkan antara IAIN dan al-
Azhar kemudian di reformasi di Kairo. Salah satu manifestasi
public yang paling hangat yaitu pertukaran gelar Doktor dengan
kehormatan yang menonjol. Dan yang paling menonjol dalam tulisan
Hasbi adalah tentang penalaran tekstual Islam yang ditulis oleh
Muhammad Syaltut. Hasbi banyak berpegang kepada Syaltut untuk
mengungkapkan disiplin Islam Fiqh dan tafsir untuk membuatnya
lebih mudah di akses dan di pahami oleh umat Islam.
Keilmuan dan keulamaan hasby ash-Shiddiqy sudah tidak
diragukan lagi. Beliau sebagai ulama pembaharu yang berfikir kritis
dan hal itu bisa dilihat pada karya-karya ilmiahnya. Aktivitas Hasbi
menulis dimulai sejak awal tahun 1930-an. karya-karya beliau tidak
hanya fokus pada satu ilmu saja melainkan mencakup banyak bidang
ilmu.
2. Pemikiran
Sebagai seorang ulama, intelektual dan pembaharu, tentunya
Hasbi memiliki karya-karya dalam berbagai bidang. Khusunya
kekhasannya dengan Fiqh Indonesia. Oleh karena itu, gagasan-gagasan
Fiqh Indonesia tersebut bisa dijumpai dalam penafsiran-penafsiran
Hasbi terntang ayat-ayat hukum Islam. Seperti dua contoh yang
penulis angkat yaitu tentang jilbab.
1. Jilbab
Diskursus tentang jilbab terus menjadi perbincangan hangat
mulai dari masa dahulu hingga sekarang. Dalam menanggapi hal ini,
para Ulama juga berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat tentang
jilbab. Ada yang memahami bahwa jilbab yang dimaksud adalah
menutupi seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan, ada

23
pula yang memahaminya dengan menutup seluruh anggota tubuh
kecuali mata dan lain sebagainya. Adapun teks yang menjadi landasan
tentang perintah memakai jilbab terdapat pada surah al-Ahzab: 59 dan
an-Nur: 31. Pertama, yaitu surah al-Ahzab: 59
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-8steri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka". Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kareitumer mereka tidak di
ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Asbab Nuzul:
“Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah diturunkan
ayat hijab, Siti Saudah (istri Rasulullah) keluar rumah untuk sesuatu
keperluan. Ia adalah seorang wanita yang badannya tinggi besar
sehingga mudah dikenali orang.
Pada waktu itu Umar melihatnya seraya berkata: “Hai Saudah!
Demi Allah, bagaimana pun kami akan dapat mengenalimu. Karenanya
cobalah berpikir, mengapa engkau keluar?” dengan tergesa-gesa
Saudah pun pulang, sementara itu Rasulullah berada di rumah ‘Aisyah
sedang memegang tulang (saat beliau makan). Ketika masuk, Saudah
berkata: “Ya Rasulullah, aku keluar untuk sesuatu keperluan, dan umar
menegurku (karena ia masih mengenaliku).” Karena peristiwa itulah
turun ayat ini kepada Rasulullah Saw. Pada saat tulang itu masih di
tangan beliau. Maka bersabdalah Rasulullah.” Sesungguhnya Allah
telah mengizinkan engkau keluar rumah untuk sesuatu keperluan.”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Aisyah).
Dalam riwayat lain juga dikemukakan bahwa istri-istri
Rasulullah pernah keluar malam untuk buang hajat buang air). Pada
saat itu kaum munafikin mengganggu dan menyakiti mereka.
Kemudian, hal ini sampai kepada Rasulullah, sehingga beliau pun
menegur kaum munafikin. Mereka menjawab. “Kami hanya
mengganggu hamba sahaya.” Turunnya ayat ini sebagai perintah untuk

24
berpakaian tertutup agar berbeda dari hamba sahaya. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Sa’d di dalam kitab ath-Thabaqat, yang bersumber dari Abu
Malik. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari al-hasan
dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi.
Dalam memahami ayat ini, Hasbi terlebih dahulu menyajikan
berbagai riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat ini (asbab
an-Nuzul). Salah satu penyebab turunnya adalah bahwa pada masa
awal Islam wanita merdeka dan wanita budak keluar di malam hari
untuk buang air di kebun. Dan tidak ada perbedaan antara wanita-
wanita merdeka dengan wanita-wanita budak. Pada masa itu, orang-
orang yang suka mengganggu wanita budak dan terkadang mereka
juga mengganggu wanita merdeka dengan alasan mereka mengira
bahwa wanita-wanita merdeka tersebut adalah wanita-wanita budak.
Oleh karena itu, agama kemudian memerintahkan wanita-wanita
merdeka membedakan diri dengan wanita-wanita budak dalam soal
berpakaian, yaitu dengan menutup badannya dengan baik.
Melalui riwayat ini bisa disimpulkan bahwa pakaian wanita
merdeka dan budak pada awalnya adalah sama. Oleh karena itu,
banyak orang-orang yang tidak memiliki budi pekerti dan selalu
menganggu para wanita secara keseluruhan. Untuk mencegah hal-hal
tersebut, maka turunlah ayat ini untuk membedakan wanita budak
dengan wanita merdeka. Menurut Hasbi, hukum yang umum ditujukan
oleh ayat ini sebagai perintah kewajiban para wanita menjauhkan diri
dari segala sikap-sikap yang bias menimbulkan fitnah dan tuduhan.
Dan hendaknya perempuan memakai pakaian yang sopan dan layak
sehingga menghindari dirinya dari bahaya.
Dalam menjelaskan perintah berjilbab ini, Hasbi tidak serta
merta memahami jilbab dengan menutup seluruh anggota badannya
kecuali muka dan telapak tangan sebagaimana pendapat ulama
terdahulu. Berbeda dengan Hasbi, Hasbi menjelaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan berjilbab adalah berpakaian secara layak dan

25
sopan yang dapat menjauhkan diri dari bahaya meskipun di tempat
yang lain Hasbi mengatakan bahwa yang dimaksud berjilbab adalah
menutupi kepala sampai dada.Pemahaman yang disampaikan oleh
Hasbi tentu tidak lepas dari masyarakat Indonesia yang beranekaragam
terlebih pada era 50-an. Pada masa itu masyarakat Indonesia mayoritas
berprofesi sebagai petani sawah, kebuh, lading dan sebagainya. Maka,
apabila pemaknaan jilbab dipahami dengan menutupi kepala dan
seluruh anggota tubuh lainnya kecuali muka dan telapak tangan, maka
hal tersebut akan menjadi sulit bagi para perempuan yang berprofesi
sebagai petani di sawah. Secara khusus Hasbi mengatakan bahwa ayat
ini tertuju khusus bagi rumah tangga Nabi dan istri-istrinya, dan tidak
mengenai para perempuan yang lain (umum), karena menurut Hasbi
tunjukan surah an-Nur: 31 yang ditekankan untuk perempuan-
perempuan selain istri-istri Nabi.
3. Pengaruh
Hasbi mengamati bahwa hingga tahun 1961, ulama di negeri
ini belum mampu melahirkan fiqh yang berkepribadian lndonesia.
Menurutnya, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah
adanya ikatan emosional yang begitu kuat (fanatik, ta’ashub) terhadap
madzhab yang dianut umat Islam. Menyadari ketidakmungkinan akan
munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, maka
Hasbi mengajak kalangan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia untuk
mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang dapat
muneruskan proyek Fiqh Indonesia. Menurut Hasbi, persoalan ini
cukup mendesak,sebab apabila pengembangan proyek fiqh Indonesia
tidak berangkat dari kalangan Perguruan Tinggi, maka harapan untuk
memperkenalkan hukum Islam secara kohesif kepada masyarakat akan
gagal. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, hukum Islam barangkali
hanya akan dikenal dalam dimensi ibadah saja, dan itu urf tidak
lengkap. Sementara dimensi-dimensi lainnya akan hilang, tenggelam
ditelan masa. Untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia, diperlukan

26
kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika
harus melewati langkah pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas
pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif
ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik
apabila sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum
yang dibentuk oleh keadaan lingkungan, atau dengan kebudayaan dan
tradisi setempat, bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang
terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu
baru, yang jauh berbeda Aneksasi demikian tentu akan sia-sia, bukan
karena kurang komplitnya pemikiran lama, melainkan lebih karena
sifatnya yang sudah anakronistik.
Mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat ‘urf) setempat
sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hukum Islam
baru, dalam amatan Hasbi, menjadi satu keniscayaan
Syari’at Islam menganut asas persamaan. Egalitarianisme Islam
memandang semua masyatakat adalah sama dihadapan Allah.
Konsekuensinya, semua ‘urf dari setiap masyarakat tidak hanya ‘urf
dari masyarakat Arab saja, dapat menjadi sumber hukum. Sejalan
dengan itu, Islam datang tidak dimaksudkan untuk menghapus
kebudayaan dan juga syari’at agama yang telah ada, selama ia tidak
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu tauhid. Dengan
demikian, semua ‘urf dalam batas-batas tertentu akan selalu dapat
diterima sebagai sumber hukum Islam. Dari titik ini, pembentukan
Fiqh Indonesia harus mempertimbangkan‘urf yang berkembang di
Indonesia.Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ide
Fiqh Indonesia atau “fiqh yang berkepribadian Indonesia”,
yang telah dirintis oleh Hasbi mulai tahun 1940, berlandaskan pada
konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat
Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat
Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’. Usaha ini harus

27
didukung secara penuh dengan proses internalisasi dan inkorporisasi
fatwâ-fatwâ hukum ulama dahulu yang relevan.
Untuk membantu dan memudahkan penerapan metode-metode
di atas, Hasbi menyarankan perlunya penggunaam pendekatan sosial-
kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan penemuan hukum
lslam. Signifikansi dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan diri
bahwa munculnya pemikiran-pemikiran hukum Islam yang tetap eksis
hingga sekarang ini, tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio kultural
tertentu. Dengan demikian, sebuah produk pemikiran hukum
senantiasa akan terasa kurang lengkap, bahkan bisa jadi anakronistik.
Sifat lokalitas dan setting sosio-kultural yang membentuknya telah
menjadikan produk hukum Islam tidak bisa lepas dari sifat atau
keadaan kenisbian (qâbil li an-niqâsy). Melalui refleksi kritis seperti
itu, proyeksi pemikiran hukum Islam di Indonesia akan mendapatkan
momentum pengembangan yang tepat.
Hukum Islam dengan karakter Indonesia dapat dibentuk justru
tidak berangkat dari titik nol atau ruang hampa, akan tetapidengan
mempertimbangkan aspek lokalitas yang ada, yakni ‘urf.
Mempertimbangkan keberadaan sosio-kultural di dalam upaya
merumuskan satu ketetapan hukum Islam yang sesuai dengan
kepribadian Indonesia, berarti menakar keberadaan ‘urfyang ada.
Pandangan ini bukan saja wajar melainkan niscaya, mengingat dalam
catatan sejarah, pengambilan ‘urf sebagai bagian dari sumber hukum
Islam telah sering dilakukan. Upaya yang harus ditempuh adalah
melakukan pemilahan terhadap ‘urf yang ada, membandingkan serta
men-tarjîh-nya dengan dasar hukum yang lebih otoritatif, yakni Al-
Quran dan hadits. Langkah ini penting untuk dilakukan bagi
kemungkinan lahirnya fiqh baru yang berlaku untuk muslim Indonesia.
4. Karya-Karya
 Al-Ahkaam:Hukum-hukum fiqih Islam, Volumes 1-2, Islamyah,
1951.

28
 al-Islam, Bulan Bintang,", 1964.
 Al Islam: kepertjaan, kesusilaan, amal kebadjikan, Islamyah, 1969
- 636 halaman.
 al-Islâm: penuntun bathin & pembimbing masjarakat, Bulan
Bintang, 1956 - 934 halaman.
 Dasar-dasar Fiqih Islam, Tokobuku Islamyah, 1953 - 122 halaman.
 Dasar-dasar ideologi Islam, Saiful, 1953 - 181 halaman.Dasar-
dasar kehakiman dalam pemerintahan Islam, C.V. Bulan-Bintang,
1955 - 94 halaman.
 Fakta2 keagungan sjari'at Islam, Pudjangga Islam - 40 halaman.
 Falsafah hukum Islam, Bulan Bintang, 1975 - 488 halaman.
 Fighul mawaris: hukum-hukum warisan dalam syaria̓ t Islam, Bulan
Bintang, 1973 - 324 halaman.
 Fiqh Islam, Attahirijah - 476 halaman.
 Fiqih Islam mempunyai daya elastis, lengkap, bulat dan tuntas,
Bulan Bintang, 1975 - 168 halaman.
 Hakikat Islam dan unsur-unsur agama, Menara Kudus, 1982 - 117
halaman.

29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Banyaknya tokoh intelektual yang berkiprah di Ilmu fiqih di
Inonesia menjadikan kejmajuan pesat di bidang keilmuan. Selain karna
karya-karanya juga pengaruh para tokoh pada masa itu sangatlah penting.
Seperti Kiai Hasyim Asy’ari bersama K.H Abdul Wahab Rasyid Anwar
dan beberapa ulama lain di jawa timur mendirikan Jamiah Nahdatul Ulama
(NU). Di masa penjajahan, Kiai Hasyim punya sikap tegas terhadap kaum
imperialisme, baik terhadap Belanda maupun Jepang. Pada tahun 1937
misalnya, seorang utusan Pemerintah Belanda datang ke Kiai Hasyim
untuk memberi tanda kehormatan pemerintah kepadanya, berupa bintang
emas. Tapi, Kiai Hasyim menolaknya, dengan alasan, kalau penghargaan
itu diterima, keikhlasannya dalam beramal saleh akan terganggu.

B. Saran
Semoga kehadiran makalah ini, dapat memberikan khasanah ilmu
bagi para pembaca, khususnya kepada diri penyusun sendiri. Sekelumit
Cerita Tokoh-Tokoh Fiqih di Indonesia, lainnya dapat memberikan
pencerahan sebagai modal hidup bagi kita semua.

30
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad al-Khatȋb bin Abdul Latȋf, al-Qaulu al-Nahȋf Fȋ Tarjamati Târȋkhi


Hayâtial Syekh Ahmad al-Khatib bin Abdul Latȋf
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), hlm., 24-36, lihat juga M. Atho
Mudzhar, Fatwa FatwaMajelis Ulama Indonesia (Jakarta : INIS, 1993 Amirul
Ulum, Syekh Ahmad Khatȋb al-Minangkabawi Cahaya Nusantara
diHaramain
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi al-Bantani Indonesia
(Jakarta:CV. Sarana Utama, 1978)
Agus Moh. Najib, Evolusi Syari‟ah : Ikhtiar Mahmoud Mohamed Taha bagi
Pembentukan Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2007),
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52964/1/
MOHAMMAD%20AHSIN
https://penelitian.uisu.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/HEMAWATI.
Muhamad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari
Mamat, Hermenutika al-Qur‟an ala Pesantren Analisis terhadap Tafsir Marah
Labid Karya KH. Nawawi Banten

31
https://www.nu.or.id/tokoh/syekh-nawawi-banten-dan-beberapa
pemikiranpentingnya
Rofi‟uddin Romly, Sejarah dan Perjuangan Pujangga Besar Islam Syekh Nawawi
Al Bantani (T.p, T.t), p. 2

32

Anda mungkin juga menyukai