Disusun oleh:
Kelompok 4
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah salah satu agama yang di terima dengan baik oleh masyarakat
Indonesia pada masa awal agama ini masuk dikarenakan cara penyebarannya yang tidak memakai
metode kekerasan akan tetapi dengan metode pendekatan, sehingga dapat meyakinkan
masyarakat Indonesia bahwa agama Islam lah agama yang benar, karena membawa perdamaian
dan tidak membawa kehancuran atau keterpisahan antar masyarakat.
Dengan sebab ini lah agama Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh sebagian
besar mayarakat Indonesia, dan muncul para ulama-ulama atau ahli agama di dalam Islam itu
sendiri untuk menyerukan atau menyebarkan agama Islam dengan cara Rahmatan Lil Alamin
yaitu dengan kasih sayang bukan dengan permusuhan, sehingga dapat melahirkan cendikiawan-
cendikiawan muslim yang baik dan berbudi luhur, bukan hanya kuantitas yang menjadi tujuan
Islam akan tetapi juga memperhatikan kualitas para penganutnya untuk dapat menyebarkan
agama ini dengan baik tanpa adanya kekeliruan dalam memahaminya.
Maka, muncullah tokoh-tokoh hukum dalam agama Islam untuk menuntun para kaum
muslim yang lain dalam memahami hukum Islam itu sendiri, guna meluruskan kembali tujuan
diturunkan agama ini yaitu rahmatan lil alamin, untuk menuntun para kaum muslim agar tidak
menelan mentah-mentah hukum islam akan tetapi lebih memperdalam pemahamannya karena
bukan hanya secara tekstual saja yang harus kita pelajari akan tetapi juga secara kontekstual agar
kita menjadi muslim yang berpengetahuan dan berbudi luhur.
Dalam makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa tokoh hukum islam yang berada di
Indonesia agar kita dapat meneladani beliau semua untuk memberkan kita motivasi dan wawasan
lebih tentang islam dan hukum yang berlaku dalam agama tersebut. Salah satu contoh atau
teladan yang dapat kita ambil dari mereka adalah kita harus menjaga kemurnian agama Islam
dengan hukum-hukumnya, ajaran-ajarannya, dan juga cara bermasyarakat dengan warga negara
yang berbeda agama, suku, ras, dan keturunan tetapi mereka dapat menjaga perbedaan itu tanpa
adanya perpecahan yang ada hanya rasa saling mengasihi dan menyayangi antar umat manusia
dan kita harus mencontoh mereka semua Sehingga kita dapat meneruskan perjuangan mereka
dalam mempertahankan aqidah dan ajaran-ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Hazairin ( 1906-1975 M)
1. Biografi Hazairin
Prof. Dr. Hazairin, SH lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 28 November 1906 di
tengah-tengah keluarga taat beragama. Ayahnya, Zakaria Bahri (Bengkulu) adalah seorang
guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Sedangkan ibunya, Aminah
berdarah Minang. Dari kedua orang tuanya, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama
dan bahasa Arab.
Pada tahun 1935, ia menyelesaikan kuliah di Rerchtkundige Hoogeschool (RHS; Sekolah
Tinggi Hukum) di Jakarta. Setahun kemudian, ia berhasil mempertahankan desertasinya
berjudul "De Redjang" yang menghantarkannya sebagai Pakar Hukum Adat dan satu-satunya
doktor pribumi lulusan Sekolah Tinggi Hukum Batavia.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, antara tahun 1938 hingga 1945, Hazairin bekerja
sebagai Kepala Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan. Sesudah Indonesia merdeka, ia
memegang jabatan sebagai Asisten Residen Tapanuli dan setahun kemudian tepatnya pada
April 1946 sebagai Residen Bengkulu.
Sebagai seorang Residen Bengkulu pada masa Perang Kemerdekaan, Hazairin
menghadapi tugas yang cukup berat, terutama di bidang ekonomi. Untuk mengatasi kesulitan
ekonomi rakyatnya sekaligus membiayai Angkatan Perang, Hazairin mengeluarkan uang
kertas yang dikenal sebagai "Uang Kertas Hazairin". Ketika Belanda melancarkan Agresi
Militer II, Hazairin bersama rakyatnya dan Angkatan Perang bergerilya untuk
mempertahankan kemerdekaan.
Hazairin juga ikut berkontribusi dalam perjuangan pembentukan Provinsi Bengkulu
dengan menjadi Ketua Panitia Perjuangan Pembentukan Provinsi Bengkulu di Jakarta.
Popularitas Hazairin di kalangan elit politik/pemerintah saat itu turut membantu memuluskan
perjuangan menjadikan Bengkulu sebagai provinsi.
Sesudah Perang Kemerdekaan berakhir dengan pengakuan kedaulatan, Hazairin diangkat
sebagai Kepala Bagian Hukum Sipil Ke
Menterian Kehakiman. Hazairin terjun di kancah perpolitikan Indonesia, dengan ikut
mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bersama Wongsonegoro dan Rooseno,
dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebagai wakil Partai PIR. Dalam
kapasitasnya sebagai wakil partai pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri
pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955).
Setelah tak lagi aktif di pemerintahan, Hazairin menyumbangkan tenaga serta
pemikirannya dalam dunia pendidikan sebagai Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di
Universitas Indonesia, Guru Besar di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum
Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Di Universitas Indonesia, ia
pernah menduduki jabatan Dekan Fakultas Hukum. Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai
pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(1953-1955). Sebagai dosen dan guru besar, Hazairin sudah banyak menelurkan mahasiswa-
mahasiswa yang sukses dan menjadi pejabat tinggi. Dari kalangan kepolisian ada Kapolri
Jenderal Hoegeng dan Jenderal Pol. M. Hasan. Dari kalangan TNI, ada mantan Wakil
Presiden Sudarmono, SH dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Jenderal Ali Said.
Sebagai seorang akademisi, Hazairin dikenal sebagai sosok yang unik ketika menguji,
karena ia tak memberikan sejumlah pertanyaan pada para mahasiswanya melainkan mereka
diminta untuk bercerita. Dalam kuliah hukum adat, mahasiswa harus siap dengan cerita
tentang masyarakat adat itu seperti apa, dan apa saja yang diatur. Ia akan mendengarkan dan
bila dianggap perlu ia akan memotong dan melontarkan sejumlah pertanyaan untuk
pendalaman.
Bila mahasiswa pertama yang diujinya itu lulus dengan hasil baik maka akan
mempermudah mahasiswa berikutnya. Namun sebaliknya, bila mahasiswa pertama gagal
maka akan makin sulit bagi mahasiswa berikutnya. Sebagaimana lazimnya seorang guru
besar yang menghasilkan sejumlah karya ilmiah, demikian halnya dengan Hazairin. Ia turut
serta melakukan pembinaan hukum nasional. Hukum yang sering dipandang sebagai
peraturan yang mengganjar kesalahan dengan hukuman, tetapi tidak dilihat sebagai cita-cita
masyarakat akan keadilan dan kebaikan yang sering disebut kesusilaan.
Hal tersebut ada kaitannya dengan hukum adat yang dikatakannya berakar pada
kesusilaan. Suatu bangsa akan rusak apabila para pemimpinnya tidak menghargai nilai-nilai
susila. Karena itu, hukum harus selalu berdasar pada kesusilaan. Kesusilaan itu bukan hanya
tujuan, tetapi juga menjadi pedoman dalam proses penerapannya. Proses peradilan yang
sesuai dengan kesusilaan sangat bergantung pada para hakim dan penegak hukumnya (polisi,
jaksa, pengacara) yang jujur, adil dan kompeten.
Prof. Hazairin juga berhasil memperjuangkan diberlakukannya hukum parental yang
berlaku di seluruh Indonesia. Hukum tersebut mengatur bahwa seorang istri yang dinikahi
secara tidak resmi dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu berhak mendapat warisan
dari suami dan ayah mereka. Terwujudnya hukum baru di Indonesia seperti kesatuan hukum
yang meliputi bidang kemasyarakatan, ekonomi, kebudayaan lahir dan batin, dan kecerdasan
rakyat, juga tak lepas dari andilnya.
Hingga akhir hayatnya, Hazairin tetap produktif berkarya. Setahun sebalum ia meninggal,
Hazairin masih mampu menghasilkan karya yang terakhir berjudul Tinjauan Mengenai
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Prof. Dr. Hazairin, SH meninggal dunia di Jakarta pada 11 Desember 1975. Jenazahnya
dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya pada negara,
para tokoh Bengkulu bersama Pemda Provinsi Bengkulu mengusulkan Hazairin agar
dianugerah gelar pahlawan Nasional pada tahun 1999. Prof. Dr. Hazairin, SH kemudian
dianugerahi pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 074/TK/Tahun 1999,
tanggal 13 Agustus 1999. Pada tahun yang sama, Hazairin juga dianugerahi Tanda Bintang
Kehormatan Maha Putera.
2. Pemikiran Hazairin
a. Sebuah upaya penyatuan nilai-nilai adat dengan hukum Islam
Masalah besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah bagaimana
membentuk satu pemikiran hukum Islam yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada di
wilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita
untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional.
Kenyataan bahwa selama ini umat Islam hanya mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab
syafii, ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaruan dan nasib pemikiran
hukum Islam di Indonesia.
Dalam amatan Hazairin bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang
mewartakan bahwa pintu Ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa
dijadikan sebab dan konsiderasi akan perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang
lebih relevan dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya madzhab hukum Syafii harus
dikembangkan sehingga mampu menjadi bagi resolusi permasalahan spesifik masyarakat
Indonesia.
Berbeda dengan pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menginginkan
membentuk fiqih Indonesia dengan cara menggunakan semua hukum madzhab yang telah
ada (Muqaranah Al-Madzahib) sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya,
Hazairin justru menginginkan pembentukan fiqih madzhab nasionalnya ini dengan titik
berangkat dari pengembangan fiqih Madzhab Syafii.
Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 maka
sebenarnya tidak perlu lagi terjadi kontradiksi antara sistem hukum adat, hukum positif
dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan hukum baru yang
berkontradiksi dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan hukum agama yang lain, begitu
pula sebaliknya.
Bisa dikatakan ide Hazairin merupakan prolifelari (pengembangan) dari gagasan
fiqih madzhab Indonesia oleh Hasbi Ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya
terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan
sebagai bahan konsiderasi utama dalam proses pembentukan hukum Islam di Indonesia.
Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya
kurang diperhatikan, yaitu upaya mempersatupadukan nilai-nilai yang berasal dari adat
maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Hasbi
ash-Shiddieqy hukum Islam di Indonesia haruslah sesuai dengan adat atau kepribadian di
Indonesia, kemudian Hazairin berpandangan bahwa hukum Islam Indonesia yang sudah
menganut Mazhab Syafii seharusnya mengalami perkembangan. Sedangkan, Sahal
Mahfudh yang berpandangan Fiqh Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1969. Zakat: Sebagai Salah Satu Unsur Pembina Masyarakat
Sejahtera. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga