Anda di halaman 1dari 18

TOKOH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Dosen pengampu: Hj. Fatma Amilia, S.Ag., M.Si


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih

Disusun oleh:

Kelompok 4

1. Rezki Tri Nurrachmad (13630024)


2. Nur Alfreda Eka Pratiwi (15630001)
3. Dhea Wiegya Ramadhani (15630012)
4. Hidayatullah Putra Hutasoit (15630014)
5. Rahmawati Hasanah (15630037)
6. Syarifatul Muniroh (15630047)
7. Lukman Maarif (15630049)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam adalah salah satu agama yang di terima dengan baik oleh masyarakat
Indonesia pada masa awal agama ini masuk dikarenakan cara penyebarannya yang tidak memakai
metode kekerasan akan tetapi dengan metode pendekatan, sehingga dapat meyakinkan
masyarakat Indonesia bahwa agama Islam lah agama yang benar, karena membawa perdamaian
dan tidak membawa kehancuran atau keterpisahan antar masyarakat.
Dengan sebab ini lah agama Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh sebagian
besar mayarakat Indonesia, dan muncul para ulama-ulama atau ahli agama di dalam Islam itu
sendiri untuk menyerukan atau menyebarkan agama Islam dengan cara Rahmatan Lil Alamin
yaitu dengan kasih sayang bukan dengan permusuhan, sehingga dapat melahirkan cendikiawan-
cendikiawan muslim yang baik dan berbudi luhur, bukan hanya kuantitas yang menjadi tujuan
Islam akan tetapi juga memperhatikan kualitas para penganutnya untuk dapat menyebarkan
agama ini dengan baik tanpa adanya kekeliruan dalam memahaminya.
Maka, muncullah tokoh-tokoh hukum dalam agama Islam untuk menuntun para kaum
muslim yang lain dalam memahami hukum Islam itu sendiri, guna meluruskan kembali tujuan
diturunkan agama ini yaitu rahmatan lil alamin, untuk menuntun para kaum muslim agar tidak
menelan mentah-mentah hukum islam akan tetapi lebih memperdalam pemahamannya karena
bukan hanya secara tekstual saja yang harus kita pelajari akan tetapi juga secara kontekstual agar
kita menjadi muslim yang berpengetahuan dan berbudi luhur.
Dalam makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa tokoh hukum islam yang berada di
Indonesia agar kita dapat meneladani beliau semua untuk memberkan kita motivasi dan wawasan
lebih tentang islam dan hukum yang berlaku dalam agama tersebut. Salah satu contoh atau
teladan yang dapat kita ambil dari mereka adalah kita harus menjaga kemurnian agama Islam
dengan hukum-hukumnya, ajaran-ajarannya, dan juga cara bermasyarakat dengan warga negara
yang berbeda agama, suku, ras, dan keturunan tetapi mereka dapat menjaga perbedaan itu tanpa
adanya perpecahan yang ada hanya rasa saling mengasihi dan menyayangi antar umat manusia
dan kita harus mencontoh mereka semua Sehingga kita dapat meneruskan perjuangan mereka
dalam mempertahankan aqidah dan ajaran-ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hasbi ash-Shiddieqy (1905-1975 M)


1. Biografi Hasbi ash-Shiddieqy
Professor Tengku Muhammad Hasbi Ash Siddieqi lahir di Lhok Sumawe, Aceh 10 Maret
1904, wafat 9 Desember 1975(Jakarta)- ia seorang mantan guru besar IAIN Sunan Kali
Jaga(Jogjakarta). Dalam karir akademiknya, menjelang wafat ia memperoleh 2 gelar doctor
honoris: pertama. Dr. HC(Univ. Islam Bandung, Maret 1975. Kedua, Dr. HC(IAIN.
Yogyakarta, oktober 1975. Gelar ini di dapat berkat jasa-jasanya terhadap perkembangan
perguruan tinggi islam di Indonesia.
Ia lahir dari golongan ulama pejabat, dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab.
Dari silsilahnya di ketahui bahwa ia adalah keturunan 37 dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Anak
dari pasangan Teungku Amrah, puteri Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi cilik
maharaja mangku bumi dan al-Hajj. Teungku Muhammad Husein Ibn Muhammad Mas'ud.
Ketika berusia 6 tahun ibunya wafat. Kemudian, ia di asuh oleh Teungku Syamsiah, salah
seorang bibinya. Sejak berusia 8 tahun, Hasbi(Nyantri) dari satu pesantren ke pesantren yang
lain yang berada di Bekasi, pusat kerajaan Pasai tempo lalu.
Ada beberapa sisi menarik pada dirinya antra lain:
Pertama ia adalah seorang otodidak, pendidikan yang di tempuh dari satu pesantren ke
pesantren yang lain, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah al-Irsyad(1926).
Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang
pemikir. Kemampuannya selaku seorang intlektual di akui oleh dinia internasional Islamic
colloquium yang di selenggarakan di Lahore, Pakistan. Selain itu, berbeda dengan tokoh-
tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik
haji/belajar di timur tengah.
Kedua ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang di kenal fanatic,
bahkan ada yang menyangka "Angker", namun, Hasbi pada awal perjuangan kendatipun
karena itu ia di musuhi, di tawan dan di asingkan oleh pihak yang tidak sefaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas; tidak terikat dengan pendapat
kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis padahal ia juga
anggota dari perserikatan itu, ia bahkan berani berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama.
Sesuatu yang langka di Indonesia.
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1960, menghimbau
perlunya di bina fiqih yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian
Ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang Fiqh(hukum in concreto) di Indonesiakan
atau di lokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syari'at(hukum in abstracto) adalah semakna dan
sama-sama universal. Kini setelah berlalu 35 tahun sejak 1960. Suara-suara nya menyatakan
masyarakat muslim Indonesia memerlukan "Fiqh Indonesia" terdengar kembali. Namun
sangat di sanyangkan, mereka enggan menyebut penggagas awalnya . mencatat penggagas
awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban demi tagaknya kebenaran sejarah. Semasa
hidupnya, ia telah memiliki buku 72 buku dan 50 artikel. Di bidang tafsir, hadis, fiqh dan
pedoman ibadah.

2. Karya-karya Hasbi ash-Shiddieqy


a. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/kalam, di terbitkan oleh PT.Pustaka Rizki Putra TH.
1999 tebal halman 218
b. Sejarah peradilan islam, Bulan Bintang, Jakarta tahun 1970 tebal halaman 91
c. Fakta keagungan syari'at islam, Tintamas, Jakarta 1982, tebal hal 52
d. Peradilan dan hokum acara islam, Offset, Yogyakarta 1964, tebal halaman 155
e. Kumpulan soal jawab(dalam post graduate course jurusan ilmu figih dosen-dosen IAIN,
Bulan Bintang, 1973, tabal halaman 105.
f. Pengantar hokum islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, tabal halaman 280
g. Koleksi Hadis-hadis hokum, PT. Al-Ma'arif, Bandung, 1972. Tebal halaman 446
h. Pokok-pokok ilmu diroyah hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, tebal halaman 411.

3. Pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy


a. Fiqh dengan kepribadian Indonesia
Munculnya gagasan Fiqh Indonesia oleh Hasbi ash-Shiddieqy, seorang pakar dalam
berbagai studi keislaman, pada sekitar tahun 1940. Melalui tulisan-tulisannya Hasbi
menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fiqh dari hasil ijtihad yang lebih cocok
dengan kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia. Menurutnya pemikiran Hukum Islam yang
telah ada terasa tidak relevan dan perlu ditinjau ulang yang sesuai dan dapat dipraktikkan di
Indonesia. Hingga tahun 1948 gagasan Fiqh Indonesia belum atau bahkan tidak
mendapatkkan respon yang memadai (positif) dari masyarakat.
Berangkat dari kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fiqh Indonesia hadir,
ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus mampu
menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari bidang muamalah,
yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam
membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid (ulama lokal) dituntut untuk
mempunyai kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi, dan kreativitas
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini,
Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga permanen dengan
jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya, upaya ini
akan menghasilkan produk hukum yang relatif lebih baik dibanding apabila hanya dilakukan
oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.
Puncak dari pemikiran ini terjadi pada 1961, ketika dalam satu acara Dies Natalis IAIN
Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan definisi Fiqh Indonesia secara
cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema Syariat Islam Menjawab Tantangan
Zaman, Hasbi secara tegas mengatakan :
Maksud untuk mempelajari syariat Islam di universitas-universitas Islam sekarang ini,
supaya fiqh atau syariat Islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan
dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum-hukum di tanah air kita yang tercinta
ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri,
sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang berusaha me-Mesir-kan fiqhnya.
Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai
dengan tabiat dan watak Indonesia. Fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang
ini sebagiannya adalah fiqh Hijaz, fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan urf yang
berlaku di Hijaz, atau fiqh Mesir, yaitu fiqh yang telah terbentuk atas dasar adat istiadat dan
kebiasaan Mesir, atau fiqh Hindi, yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar urf dan adat istiadat
yang berlaku di India.
Selama ini kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan hukum
fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh
Hijazi atau fiqh Iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid. Mempertimbangkan kehadiran
tradisi (adat,urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hukum
Islam baru, dalam amatan Hasbi, menjadi satu keniscayaan. Syariat Islam menganut asas
persamaan. Egalitarianisme Islam memandang semua masyarakat adalah sama di hadapan
Allah. Konsekuensinya, semua urf dari setiap masyarakattidak hanya urf dari masyarakat
Arab sajadapat menjadi sumber hukum. Sejalan dengan itu, Islam datang tidak dimaksudkan
untuk menghapus kebudayaan dan juga syariat agama yang telah ada, selama ia tidak
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu tauhid. Dengan demikian, urf dalam batas-
batas tertentu akan selalu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam. Dari titik ini,
pembentukan Fiqh Indonesia harus mempertimbangkan urf yang berkembang di Indonesia.
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ide Fiqh Indonesia atau fiqh yang
berkepribadian Indonesia, yang berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang
diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi
kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat Indonesia,
yang tidak bertentangan dengan syara.
b. Metode dan aplikasi pemikiran
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah
mursalah, keadilan, dan kemanfaatan. Prinsip mashlahah mursalah mengandaikan bahwa
eksistensi sebuah hukum pada dasarnya dimaksudkan untuk melahirkan kemaslahatan bagi
manusia baik level dharurat, hajiyat, maupun tahsiniyyat.
Beberapa aplikasi pemikiran Hasbi meliputi aspek permasalahan fiqh, baik ibadah,
muamalah, munakahat, maupun qada, mengekspresikan pemikiran fiqh dengan cita rasa
budaya Indonesia. Dari hasil ijtihad Hasbi yang mencerminkan fiqh Indonesia terlihat dalam
fatwa hukum jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Di sini ia berbeda pendapat dengan
Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Ahmad Hassan dari Persis yang mengharamkan
praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan karena beberapa alasan, diantaranya
adalah karena hukum haram tersebut dilandaskan pada qiyas. Dalam pandangan Hasbi,
mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qathi, baik dalam al-Quran
maupun as-Sunnah yang mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Hasbi menyadari bahwa praktik berjabat tangan sudah sekian lama hidup dan
menjadi tradisi (urf) di masyarakat Indonesia. Dan karena Hasbi tidak melihat tradisi ini
sebagai hal yang berbahaya maka tidak ada alasan untuk melarangnya.
Kemudian pemikiran Hasbi yaitu mengenai zakat. Hasbi berpendapat bahwa mesin-mesin
produksi yang memang digunakan sebagai alat memprodusir barang-barang dengan tujuan
untuk memperoleh hasil dan keuntungan, sudah barang tentu dikenakan pungutan zakat juga.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan pengumpulan zakat, hendaklah para pengusaha
mengadakan badan amaliah atau pegawai-pegawai zakat.
Kata asy-Syirazy : wajib atas kepala negeri mengadakan badan amaliah (pengumpul zakat)
dan mengutus mereka pergi memungut zakat dan mengumpulkannya dari yang
bersangkutan.

B. Hazairin ( 1906-1975 M)
1. Biografi Hazairin
Prof. Dr. Hazairin, SH lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 28 November 1906 di
tengah-tengah keluarga taat beragama. Ayahnya, Zakaria Bahri (Bengkulu) adalah seorang
guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Sedangkan ibunya, Aminah
berdarah Minang. Dari kedua orang tuanya, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama
dan bahasa Arab.
Pada tahun 1935, ia menyelesaikan kuliah di Rerchtkundige Hoogeschool (RHS; Sekolah
Tinggi Hukum) di Jakarta. Setahun kemudian, ia berhasil mempertahankan desertasinya
berjudul "De Redjang" yang menghantarkannya sebagai Pakar Hukum Adat dan satu-satunya
doktor pribumi lulusan Sekolah Tinggi Hukum Batavia.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, antara tahun 1938 hingga 1945, Hazairin bekerja
sebagai Kepala Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan. Sesudah Indonesia merdeka, ia
memegang jabatan sebagai Asisten Residen Tapanuli dan setahun kemudian tepatnya pada
April 1946 sebagai Residen Bengkulu.
Sebagai seorang Residen Bengkulu pada masa Perang Kemerdekaan, Hazairin
menghadapi tugas yang cukup berat, terutama di bidang ekonomi. Untuk mengatasi kesulitan
ekonomi rakyatnya sekaligus membiayai Angkatan Perang, Hazairin mengeluarkan uang
kertas yang dikenal sebagai "Uang Kertas Hazairin". Ketika Belanda melancarkan Agresi
Militer II, Hazairin bersama rakyatnya dan Angkatan Perang bergerilya untuk
mempertahankan kemerdekaan.
Hazairin juga ikut berkontribusi dalam perjuangan pembentukan Provinsi Bengkulu
dengan menjadi Ketua Panitia Perjuangan Pembentukan Provinsi Bengkulu di Jakarta.
Popularitas Hazairin di kalangan elit politik/pemerintah saat itu turut membantu memuluskan
perjuangan menjadikan Bengkulu sebagai provinsi.
Sesudah Perang Kemerdekaan berakhir dengan pengakuan kedaulatan, Hazairin diangkat
sebagai Kepala Bagian Hukum Sipil Ke
Menterian Kehakiman. Hazairin terjun di kancah perpolitikan Indonesia, dengan ikut
mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bersama Wongsonegoro dan Rooseno,
dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebagai wakil Partai PIR. Dalam
kapasitasnya sebagai wakil partai pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri
pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955).
Setelah tak lagi aktif di pemerintahan, Hazairin menyumbangkan tenaga serta
pemikirannya dalam dunia pendidikan sebagai Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di
Universitas Indonesia, Guru Besar di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum
Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Di Universitas Indonesia, ia
pernah menduduki jabatan Dekan Fakultas Hukum. Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai
pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(1953-1955). Sebagai dosen dan guru besar, Hazairin sudah banyak menelurkan mahasiswa-
mahasiswa yang sukses dan menjadi pejabat tinggi. Dari kalangan kepolisian ada Kapolri
Jenderal Hoegeng dan Jenderal Pol. M. Hasan. Dari kalangan TNI, ada mantan Wakil
Presiden Sudarmono, SH dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Jenderal Ali Said.
Sebagai seorang akademisi, Hazairin dikenal sebagai sosok yang unik ketika menguji,
karena ia tak memberikan sejumlah pertanyaan pada para mahasiswanya melainkan mereka
diminta untuk bercerita. Dalam kuliah hukum adat, mahasiswa harus siap dengan cerita
tentang masyarakat adat itu seperti apa, dan apa saja yang diatur. Ia akan mendengarkan dan
bila dianggap perlu ia akan memotong dan melontarkan sejumlah pertanyaan untuk
pendalaman.
Bila mahasiswa pertama yang diujinya itu lulus dengan hasil baik maka akan
mempermudah mahasiswa berikutnya. Namun sebaliknya, bila mahasiswa pertama gagal
maka akan makin sulit bagi mahasiswa berikutnya. Sebagaimana lazimnya seorang guru
besar yang menghasilkan sejumlah karya ilmiah, demikian halnya dengan Hazairin. Ia turut
serta melakukan pembinaan hukum nasional. Hukum yang sering dipandang sebagai
peraturan yang mengganjar kesalahan dengan hukuman, tetapi tidak dilihat sebagai cita-cita
masyarakat akan keadilan dan kebaikan yang sering disebut kesusilaan.
Hal tersebut ada kaitannya dengan hukum adat yang dikatakannya berakar pada
kesusilaan. Suatu bangsa akan rusak apabila para pemimpinnya tidak menghargai nilai-nilai
susila. Karena itu, hukum harus selalu berdasar pada kesusilaan. Kesusilaan itu bukan hanya
tujuan, tetapi juga menjadi pedoman dalam proses penerapannya. Proses peradilan yang
sesuai dengan kesusilaan sangat bergantung pada para hakim dan penegak hukumnya (polisi,
jaksa, pengacara) yang jujur, adil dan kompeten.
Prof. Hazairin juga berhasil memperjuangkan diberlakukannya hukum parental yang
berlaku di seluruh Indonesia. Hukum tersebut mengatur bahwa seorang istri yang dinikahi
secara tidak resmi dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu berhak mendapat warisan
dari suami dan ayah mereka. Terwujudnya hukum baru di Indonesia seperti kesatuan hukum
yang meliputi bidang kemasyarakatan, ekonomi, kebudayaan lahir dan batin, dan kecerdasan
rakyat, juga tak lepas dari andilnya.
Hingga akhir hayatnya, Hazairin tetap produktif berkarya. Setahun sebalum ia meninggal,
Hazairin masih mampu menghasilkan karya yang terakhir berjudul Tinjauan Mengenai
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Prof. Dr. Hazairin, SH meninggal dunia di Jakarta pada 11 Desember 1975. Jenazahnya
dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya pada negara,
para tokoh Bengkulu bersama Pemda Provinsi Bengkulu mengusulkan Hazairin agar
dianugerah gelar pahlawan Nasional pada tahun 1999. Prof. Dr. Hazairin, SH kemudian
dianugerahi pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 074/TK/Tahun 1999,
tanggal 13 Agustus 1999. Pada tahun yang sama, Hazairin juga dianugerahi Tanda Bintang
Kehormatan Maha Putera.

2. Pemikiran Hazairin
a. Sebuah upaya penyatuan nilai-nilai adat dengan hukum Islam
Masalah besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah bagaimana
membentuk satu pemikiran hukum Islam yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada di
wilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita
untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional.
Kenyataan bahwa selama ini umat Islam hanya mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab
syafii, ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaruan dan nasib pemikiran
hukum Islam di Indonesia.
Dalam amatan Hazairin bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang
mewartakan bahwa pintu Ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa
dijadikan sebab dan konsiderasi akan perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang
lebih relevan dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya madzhab hukum Syafii harus
dikembangkan sehingga mampu menjadi bagi resolusi permasalahan spesifik masyarakat
Indonesia.
Berbeda dengan pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menginginkan
membentuk fiqih Indonesia dengan cara menggunakan semua hukum madzhab yang telah
ada (Muqaranah Al-Madzahib) sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya,
Hazairin justru menginginkan pembentukan fiqih madzhab nasionalnya ini dengan titik
berangkat dari pengembangan fiqih Madzhab Syafii.
Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 maka
sebenarnya tidak perlu lagi terjadi kontradiksi antara sistem hukum adat, hukum positif
dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan hukum baru yang
berkontradiksi dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan hukum agama yang lain, begitu
pula sebaliknya.
Bisa dikatakan ide Hazairin merupakan prolifelari (pengembangan) dari gagasan
fiqih madzhab Indonesia oleh Hasbi Ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya
terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan
sebagai bahan konsiderasi utama dalam proses pembentukan hukum Islam di Indonesia.
Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya
kurang diperhatikan, yaitu upaya mempersatupadukan nilai-nilai yang berasal dari adat
maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum.

b. Metode dan penerapan pemikiran


Dalam amatan Hazairin, fiqh ahl as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab
yang bersendikan sistem kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu
pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang. Hal ini
menyebabkan para mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya perbandingan-
perbandingan mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama dalam masalah
kewarisan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam pengimplementasiannya terjadi
konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl as-sunnah dengan sistem kewarisan
adat dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia.
Hazairin memahami dan mengakui keberadaan fiqh dan juga ushul fiqh sebagai
produk dan metode pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan makhluk hidup selainnya,
dan antara manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil pemikiran, fiqh bisa
melahirkan norma (hukum). Sedangkan ushul fiqh sebagai pokok dari fiqh adalah spare
part yang mampu menggerakkan pemikiran ijtihd dengan landasan al-Quran, sunnah,
ijm, dan qiyas. Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqh,
dengan demikian, senantiasa akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi
maupun metode pengembangannya.
Usaha untuk merekonstruksi format fiqh baru, menurut pandangan Hazairin,
dapat dimulai dengan tafsir otentik atas al-Quran. Dalam analisis dan hasil temuan dari
studi tentang pemikiran waris Hazairin yang dilakukan oleh Al-Yasa Abu Bakar, dapat
ditarik kesimpulan bahwa karakter sumber-sumber hukum Islam, yakni sunnah, ijma,
dan qiyas memungkinkan untuk digugat hasil ketetapan ijtihadnya.
Diantara pemikiran Hazairin yaitu mengenai konsep warisan dan perkawinan.
Menurut Hazairin, konsep hukum Islam yang selama ini berjalan dengan menganut
sistem patrilineal (menarik garis keturunan hanya dari arah laki-laki saja) sangat
dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah (Arab). Hukum kewarisan dalam al-
Quran bagi Hazairin, esensinya menganut sistem bilateral, yakni menarik harta dari
pihak ayah dan ibu.
Menurut Hazairin, agama dan adat bersetolongan, umpamanya dalam hal
menolak perzinahan dan pelacuran, yaitu sama-sama menentang kepada hukum pidana
gubernemen, yang dianggap kurang sempurna dalam hal itu baikpun bagi rakyat adat
maupun bagi rakyat Islam.

C. M.A. Sahal Mahfudh (1937)


1. Biografi M.A. Sahal Mahfudh
Nama lengkap KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah
Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen,
Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937. Beliau adalah anak ketiga dari enam
bersaudara yang merupakan ulama kontemporer Indonesia yang disegani karena kehati-
hatiannya dalam bersikap dan kedalaman ilmunya dalam memberikan fatwa terhadap
masyarakat baik dalam ruang lingkup lokal (masyarakat dan pesantren yang dipimpinnya)
dan ruang lingkup nasional.
Sebelum orang mengenal Kyai Sahal, orang akan mengenalnya sebagai sosok yang biasa-
biasa saja. Dengan penampilan yang sederhana orang mengira, beliau sebagai orang biasa
yang tidak punya pengetahuan apapun. Namun ternyata pengetahuan dan kepakaran Kyai
Sahal sudah diakui. Salah satu contoh, sosok yang menjadi pengasuh pesantren2 ini pernah
bergabung dengan institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi anggota
BPPN3 selama 2 periode yaitu dari tahun 1993-2003.
Kyai Sahal lahir dari pasangan Kyai Mahfudz bin Abd. Salam al- Hafidz (w 1944 M) dan
Hj. Badiah (w. 1945 M) yang sedari lahir hidup di pesantren, dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, belajar hingga ladang pengabdiannya pun ada di pesantren. Saudara Kyai Sahal
yang berjumlah lima orang yaitu, M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansyur Pengasuh
PP An-Nur Lasem), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH.
Abdullah Salam ), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Sholeh Jakarta), Hj. Khodijah (istri KH.
Maddah, pengasuh PP Assuniyah Jember yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH.
Abdussalam, kakek KH. Sahal.).
Pada tahun 1968/69 Kyai Sahal menikah dengan Dra Hj Nafisah binti KH. Abdul Fatah
Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang dan berputra Abdul Ghofar
Rozin yang sejak sekarang sudah dipersiapkan untuk menggantikan kepemimpinan Kyai
Sahal.
KH. Sahal Mahfudz dididik oleh ayahnya yaitu KH. Mahfudz dan memiliki jalur nasab
dengan Syekh Ahmad Mutamakkin, namun KH. Sahal Mahfudz sangat dipengaruhi oleh
kekyainan pamannya sendiri, K.H. Abdullah Salam. Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri
termasuk salah seorang pejuang Islam yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang
disegani, seorang guru besar agama dan lebih dari itu oleh pengikutnya dianggap sebagai
salah seorang waliyullah.
Sedari kecil Kyai Sahal dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara derajat
penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi Kiai Mahfudh Salam (yang juga
bapaknya sendiri) seorang kiai ampuh, dan adik sepupu almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri
Syamsuri. Selain itu juga terkenal sebagai hafidzul quran yang wirai dan zuhud dengan
pengetahuan agama yang mendalam terutama ilmu ushul.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdian Kyai Sahal.
Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fiqh
tidak pernah diragukan Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan
hukum dalam kitab-kitab fiqih dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari
ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam
pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru (bermoral luhur).
Ada dua faktor yang mempengaruhi pemikiran Kyai Sahal yaitu, pertama adalah
lingkungan keluarganya. Bapak beliau yaitu Kyai Mahfudz adalah orang yang sangat peduli
pada masyarakat. Setelah Kyai Mahfudz meninggal, Kyai Sahal kemudian diasuh oleh KH.
Abdullah Salam, orang yang sangat concern pada kepentingan masyarakat juga. Beliau
adalah orang yang mendalami tasawuf juga orang yang berjiwa sosial tinggi. Dalam
melakukan sesuatu ada nilai transendental yang diajarkan tidak hanya dilihat dari segi materi.
Kyai Mahfudz orang yang cerdas, tegas dan peka terhadap persoalan sosial dan KH. Abdullah
Salam juga orang yang tegas, cerdas, wiraI, muruah, dan murah hati. Di bawah asuhan dua
orang yang luar biasa dan mempunyai karakter kuat inilah Kyai Sahal dibesarkan.
Yang kedua dari segi intelektual, Kyai Sahal sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam
Ghazali. Dalam berbagai teori Kyai Sahal banyak mengutip pemikiran Imam Ghazali.13
Selama belajar di pesantren inilah Kyai Sahal berinteraksi dengan berbagai orang dari segala
lapisan masyarakat baik kalangan jelata maupun kalangan elit masyarakat yang pada akhirnya
mempengaruhi pemikiran beliau. Selepas dari pesantren beliau aktif di berbagai organisasi
kemasyarakatan. Perpaduan antara pengalaman di dunia pesantren dan organisasi inilah yang
diimplementasikan oleh Kyai Sahal dalam berbagai pemikiran beliau.
Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak terbukti beliau punya
koleksi 1.800-an buku di rumahnya. Meskipun Kyai Sahal orang pesantren bacaannya cukup
beragam, diantaranya tentang psikologi, bahkan novel detektif walaupun bacaan yang
menjadi favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian konteks
kejadian. Tidak heran kalau Kiai Sahalmeminjam istilah Gus Durlalu menjadi jago
sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kemampuan
ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga
bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya.
Kyai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren
di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam,
tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren, Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran
tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap
demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan
masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan
kesehatan.
Untuk urusan pendidikan, yang paling berperan dalam kehidupan Kyai Sahal adalah KH.
Abdullah Salam yang mendidiknya akan pentingnya ilmu dan tingginya cita-cita. KH.
Abdullah Salam tidak pernah mendikte seseorang. Kyai Sahal diberi kebebasan dalam
menuntut ilmu dimanapun. Tujuannya agar Kyai Sahal bertanggung jawab pada pilihannya.
Apalagi dalam menuntut ilmu Kyai Sahal menentukan adanya target, hal inilah yang menjadi
kunci kesuksesan beliau dalam belajar. Ketika belajar di Mathaliul Falah Kyai Sahal
berkesempatan mendalami nahwu sharaf, di Pesantren Bendo memperdalam fiqh dan
tasawuf, sedangkan sewaktu di Pesantren Sarang mendalami balaghah dan ushul fiqh.
Memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah
(1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di
lingkungannya sendiri, Kyai Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa
Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun 1957-1960 dia belajar di pesantren
Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kyai
Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu,
pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Di Bendo Kyai Sahal mendalami keilmuan tasawuf dan fiqih termasuk kitab yang
dikajinya adalah Ihya Ulumuddin, Mahalli, Fathul Wahab, Fathul Muin, Bajuri, Taqrib,
Sulamut Taufiq, Sullam Safinah, Sullamul Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. Di samping
itu juga aktif mengadakan halaqah- halaqah kecil-kecilan dengan teman-teman senior.
Sedangkan di Pesantren Sarang Kyai Sahal mengaji pada Kyai Zubair19 tentang ushul fiqih,
qawaid fiqh dan balaghah. Dan kepada Kyai Ahmad beliau mengaji tentang Hikam. Kitab
yang dipelajari waktu di Sarang antara lain, Jamul Jawami dan Uqudul Juman, Tafsir
Baidlowi tidak sampai khatam, Lubbabun Nuqul sampai khatam, Manhaju Dzawin Nazhar
karangan Syekh Mahfudz At-Tarmasi dan lain-lain.
Kyai Sahal bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, atau seorang
kiai yang dikelilingi ribuan santri, melainkan juga seorang pemikir yang menulis ratusan
risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, dan juga aktivis LSM yang mempunyai
kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Penghargaan yang
diterima beliau terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugerahan gelar Doktor
Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta
pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peran dalam organisasipun sangat signifikan, terbukti beliau dua periode menjabat Rais
Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI
VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih
kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa
bakti 2005-2010.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-
2/12/2004), beliau pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia
dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan
kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu. KH
Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi
Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000
sampai tahun 2005.
Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban oleh beliau
adalah sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh
Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (1963 - Sekarang). Sedangkan pekerjaan yang
pernah beliau lakukan, adalah guru di Pesantren Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen kuliah
takhassus fiqh di Kajen (1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976),
Dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), Rektor Institut Islam
Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (1989-sekarang), Kolumnis tetap di Majalah AULA
(1988-1990), Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka, Semarang (1991-sekarang), Rais 'Am
Syuriyah PBNU (1999-2004), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005),
Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN, 2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas
Syari'ah pada Asuransi Jiwa Bersama Putra (2002-sekarang).
Sosok seperti Kyai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan bagi semua orang. Sebagai
pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak mendapatkan penghargaan, diantaranya
Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha
Putra Utarna (2000) dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002). Sepak terjang KH. Sahal tidak
hanya lingkup dalam negeri saja. Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri adalah,
dalam rangka studi komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas
sponsor USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea Selatan tahun 1983
atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun 1983, studi komparatif
pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi komparatif pengembangan
masyarakat ke Malaysia tahun 1984, delegasi NU berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar
al-Ifta Riyadh tahun 1987, dialog ke Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun 1992,
berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (BPPN) tahun 1997.

2. Karya-karya M.A. Sahal Mahfudh


a. Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
b. Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
c. Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
d. Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara
Merdeka, 1997)
e. Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
f. Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma').
(Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
g. Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
h. Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
i. Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
3. Pemikiran M. A Sahal Mahfudh
a. Sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh madzhab (klasik)
Sahal Mahfudh yang mengatakan bahwa sebagai penjabaran syariah Islam, Fiqh
Sosial berusaha melakukan penataan terhadap hal ihwal manusia dalam kehidupan dunia
dan akhirat, kehidupan individu dalam bermasyarakat dan bernegara. Pemikiran yang
mengindikasikan adanya optimisme dan pesimisme ketika hendak mengimplementasikan
fiqh tradisional secara. Rasa optimisme muncul karena secara teoretis dimensi ajaran
yang ditawarkan oleh khasanah literatur klasik cukup komprehensif, sedangkan rasa
pesimisme itu ada karena ajarannya dinilai banyak yang anakronistik (ketinggalan
zaman). Sehingga wajar jika wacana Fiqh Sosial dipahami sebagai upaya hukum fiqh
tradisional dalam konteks transformasi sosial, sebuah ikhtiar tentang bagaimana
mengaplikasikan dan mengharmonikan ajaran-ajaran fiqh dengan persoalan-persoalan
yang muncul dan berkembang.
Wacana Fiqh Sosial telah dimulai sejak timbulnya pertentangan seputar nasib
fiqh klasik (fiqh mazhab). Fiqh difitnah sebagai sumber segala kemujudan yang terjadi
di dunia Islam, karenanya perlu diubah atau dekonstruksi. Kritik tajam ini bahkan
merambah pada wilayah ushul al-fiqh dan qawaid ql-fiqhiyyah-nya, yang dianggap kaku,
sempit, dan tidak adaptable. Berangkat dari sini, Sahal Mahfudh sebagai representasi dari
masyarakat tradisionalis mencoba merespon kritik tajam tersebut dengan melakukan
advokasi terhadap fiqh klasik. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan memparalelkan
munculnya wacana Fiqh Sosial secara formal dengan diiringi terbitnya dua buku yang
berjudul Wacana Fiqh Sosial karya Ali Yafie dan Nuansa Fiqh Sosial karya M. A. Sahal
Mahfudh pada tahun 1994.

b. Dari tekstualis terbatas ke kontekstualis


Metode penetapan hukum atau istinbath al-hukm merupakan spare part yang
paling penting dan berpengaruh pada produk hukum yang dihasilkan. Dalam Bahts al-
Masail NU, istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal, sebab ia cenderung berkonotasi
istihkraj al-hukm min an-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-
Quran dan hadits), yang hanya bisa dilakukan oleh mujtahid mutlak. Di dalam perspektif
Bahts al-Masail, penggunaan istilah istinbath al-hukm menjadi dipertanyakan tingkat
akurasinya. Oleh karena itu, dalam banyak keputusan hukum, yang dicantumkan sebagai
dasar adalah pendapat (qaul) ulama mujtahid yang dipandang credible dari ranah kitab
yang mutabar (diakui kesahihannya).
c. Fiqh dan etika sosial
Salah satu pemikiran Sahal Mahfudh adalah tentang pajak. Sahal Mahfudh
menyatakan bahwa dalam prosesnya masyarakat sering tidak tahu ke mana larinya uang
pajak itu. Dengan pernyataan ini, sebenarnya ia sedang mengutarakan soal pentingnya
kontrol dan partisipasi masyarakat secara penuh dalam proses bernegara. Kemudian
pemikiran Sahal Mahfudh adalah konsep maslahah. Konsep ini mengenai proses
pelaksanaan pemerintah apakah betentangan dengan fiqh atau tidak, digunakan sejumlah
kaidah fiqh sebagai tolak ukurnya, seperti kebijakan pemerintah harus berorientasi pada
kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Namun bagaimana cara mengukur dan
merumuskan makna maslahah yang tepat ? Di sinilah konsep mashalah Sahal Mahfudh
timbul.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Hasbi
ash-Shiddieqy hukum Islam di Indonesia haruslah sesuai dengan adat atau kepribadian di
Indonesia, kemudian Hazairin berpandangan bahwa hukum Islam Indonesia yang sudah
menganut Mazhab Syafii seharusnya mengalami perkembangan. Sedangkan, Sahal
Mahfudh yang berpandangan Fiqh Sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1987. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1969. Zakat: Sebagai Salah Satu Unsur Pembina Masyarakat
Sejahtera. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Hazairin. 1976. Hendak Kemana Hukum Islam. Jakarta: Tintamas Indonesia

Hazairin. 1950. Hukum Baru Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai