Anda di halaman 1dari 5

SOSOK GUS DUR DIBALIK NAHDLATUL ULAMA

IMAM FATONI/S/A

1. NU DAN POLITIK

NU didirikan sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial keagamaan (Jam'iyah


Diniyah) dan sekaligus berjuang untuk mengusir penjajah bersama dengan organisasi yang
lainnya. Pada perkembangan berikutnya, NU aktif di gelanggang politik praktis dan pada
tahun 1937 sebagai tulang punggung Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI), dan tokoh pendiri
NU K.H. Hasyim Asy'ari sebagai ketua tertinggi dan merupakan kakek Gus Dur. Arena
perjuangan politik NU makin melebar ketika jepang menguasai Indonesia. NU termasuk
organisasi yang dilarang oleh jepang, tetapi sepak terjang politik NU sudah tidak mungkin
dibendung. Pada 4-7 November 1945, NU bersama dengan Muhammadiyah, Perserikatan
Ulama Indonesia dan Persatuan Umat Islam di Yogyakarta. Ini merupakan puncak
pengabdian dan peran pilitik MIAI sehingga kongres memutuskan membentuk satu-satunya
partai politik Islam, yang diberi nama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Lagi-
lagi, K.H. HasyimAsya'ri terpilih sebagai ketuanya dengan dibantu beberapa tokoh NU dan
organisasi Islam lainnya.[2] Masyumi dalam perkembangannyaternyata tidak bisa dilepas
dari konflik internal. Konflik internal ini dinilai oleh NU sudah terlalu memuncak dan tak
bisa ditolerir lagi sehingga tokoh-tokoh NU membuat sebuah keputusan yang sangat
mendasar, yakni keluar dari Masyumi. Keterlibatan NU di Masyumi hanya berlangsung
sekitar tujuh tahun. Dengan keluarnya NU, pamor dan kekuatan Masyumi senakin memudar.
Pemisahan diri yang dilakukan NU dan Masyumi hanya sekedar "akibat" dari ulah kurang
adil tokoh-tokoh Masyumi non-NU yang berpendidikan Barat dan sering melecehkan
kemampuan tokoh NU.[2] Dalam pemilu yang pertama kali diadakan pada masa orde baru,
NU berhasil menduduki kursi di DPR sebanyak 58 kursi. Seandainya pemilu tersebut
berjalan jujur, adil, terbuka, bebas dan demokratis pasti NU bisa mendapatkan lebih dari 58
kursi.[2] Kepemimpinan dalam tubuh NU adalah faktor penting yang dapat menentukan
hitam putihnya organisasi yang didirikan pada 1926 ini. Reputasi NU ditingkat nasional dan
internasional sangat bergantung kepada siapa yang menakodai organisasi ini. Pada zaman
soekarno dulu, NU dikenal sangat dekat dengan kekuasaan karena para tokohnya. Begitu
juga pada masa soeharto, NU mengambil langkah berseberangan dengan rezim orde baru itu,
karena para pemimpinnya memilih sikap yang demikian. Sikap antagonis terhadap
pemerintahan ini baru berubah ketika kepemimpinan NU mengalami perubahan. Salah
satunya setelah pergantian kepengurusan ke tangan Abdurrahman Wahid. Berikut masa-
masa NU dibawah kepemimpinan Gus Dur. a. masa keemasan Pada pertengahan era
1980.an, Gus Dur adalah ikon intelektualisme Indonesia. Dia tak hanya dikenal sebagai
tokoh NU, tapi juga sebagai aktivis HAM, pembela demokrasi, dan pejuang kebebasan.
Selama kepemimpinannya, Gus Dur mengubah citra dan perjalanan NU dari sebuah
organisasi islam yang "kolot" dan terbelakang menjadi sebuah organisasi islam yang
dinamis. Gus Dur lah yang memperkenalkan NU ke dunia Internasional. Selama rentang
kepemimpinannya, sudah ratusan artikel dan lusinan buku yang ditulis para sarjana Barat
tentang NU. Imbasnya, NU menjadi organisasi yang dikenal di dunia internasional. Gus Dur
melakukan banyak sekali perubahan didalam tubuh NU. Dalam salah satu tulisannya di
majalah Prisma, Gus Dur mengatakan bahwa pesantren adalah subkultur dari Islam
Indonesia. Gus Dur memperkenalkan pesantren dan dunia tradisional ke masyarakat kota
dengan gaya ilmiah dan meyakinkan. Namun, sumbangan terbesar yang dilakukan Gus Dur
adalah kegigihannya dalam membangun ruang-ruang kebebasan dalam tubuh NU. Gus Dur
lah yang menjadi pelindung anak-anak muda NU yang berpikiran bebas dan berusaha
melakukan pembaruan pemahaman keagamaan dalam islam. Pada era Gus Dur lah generasi
muda NU leluasa belajar tentang Demokrasi, HAM, dan arti toleransi. b. masa kemunduran
Di era kepemimpinan Hasyim Munadi yang menggantikan kepemimpinan Gus Dur, lebih
senang bermain politik ketimbang memikirkan pengembangan pemikiran dan pemberdayaan
intelektualitas di dalam NU. Lewat politik, para pemimpin NU bisa dengan mudah
mengumpulkan kekayaan pribadi. Dua kali hasyim gagal dalam dunia politik pada pemilu
2004 dan 2009. Namun yang paling deskruptif yang dilakukan Hasyim adalah kampanye
negatifnya terhadap kebebasan berfikir yang tumbuh dikalangan muda NU. Hasyim
mengecam anak-anak muda didikan Gus Dur yang mengembangkan pemikiran secara bebas.
Perseteruannya dengan Gus Dur tampaknya menjadi alasan mengap dia begitu memusuhi
anak-anak muda NU pengusung Islam Liberal, islam yang diperkenalkan Gus Dur sejak
tahun 1980an. c. masa mengulang kejayaan NU kini berada pada suatu zaman yang
memerlukan penyikapan matang dan bijaksana seperti sosok Gus Dur yang visioner,
berkarakter dan mencintai kebebasan. Warga NU kini hidup pada zaman yang berubah
dengan cepat. Mereka berada pada era internet, TV kabel, ponsel dan batas-batas Negara
yang semakin kabur. Yang diperlukan warga NU adalah pemimpin yang mengerti bahasa
mereka dan menguasai bahasa zaman yang berubah dengan cepat itu. Pemimpin yang
diperlukan NU adalah seorang yang bisa menguasai ilmu-ilmu agama, sosial, bahasa asing,
berwawasan luas, dan mampu bergaul dengan berbagai kalangan di tingkat Nasional dan
Internasional. Jika warga NU merindukan Gus Dur dan ingin mengembalikan masa kejayaan
NU, mereka harus mampu mencari tokoh yang dekat dengan pemikiran Gus Dur, mampu
mengikuti perkembangan zaman, dapat bergaul dengan berbagai kalangan, dan tulus
membawa gerbong NU ke kancah peradaban.[1] 2. Misi NU Generasi Ketiga dan Kemelut
Awal Kepemimpinan Gus Dur Pemisahan NU sebagai organisasi yang tak diperkenankan
lagi berpolitik praktis dengan kalangan nahdliyin sebagai warga negara yang di berikan
kebebasan menentukan kiprah politiknya sendiri-sendiri, menjadi ciri utama NU kembali ke
khittah 1926. Tetapi persoalannya ialah bahwa sebagian dari elite NU masih ada yang secara
formal terikat sebagai pengurus bahkan ada yang menjadi pengurus inti dari salah satu
Orsospol khususnya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) baik ditingkat pusat maupun
ditingkat daerah, sehingga muncul tanda tanya tentang kemurnian khittah 1926.[3]
Sementara itu Gus Dur sendiri sebagai ketua tanfidziah, selalu menyatakan sikap bahkan
jauh-jauh hari sebelum dia terpilih bahwa keterikatan NU dikancah politik praktis sangat
merugikan NU. Gus Dur berpendapat bahwa bila NU menyebar keberbagai kekuatan orpol
yang ada, itu lebih baik. Sikap politik NU versi Gus Dur itu telah ditanggapi serius oleh
beberapa politisi NU termasuk tokoh-tokoh PPP yang bukan dari unsur NU. Sikap
menyerang beberapa tokoh politisi NU secara lebih tajam di arahkan pada Gus Dur, terlebih
lagi ketika Gus Dur mengeluarkan pernyataan di media massa bahwa deklarasi 4 parpol
islam untuk berfusi kedalam PPP tahun 1973 lalu tidak mempunyai kekuatan lagi sejak
Muktamar PPP bulan agustus 1984. Serangan lain menyangkut isu "modernisasi" di NU
yang di kuatirkan akan mengubah sikap yang selama ini dipertahankan oleh NU. Isu terakhir
ini diragukan karena sikap tradisionalisme ahlussunnah wal jamaah yang dianut oleh NU
hingga saat itu dipandang sudah merupakan final dari sikap muslim yang kaffah, sementara
ada signal bahwa Gus Dur di anggap agak berhaluan reformis dan cukup progresif.[3] 3.
Perjuangan Gus Dur Mengendalikan NU Gus dur berprinsip bahwa perjuangannya di luar
NU tak perlu di pisahkan dengan upaya membesarkan NU, namun banyak tokoh-tokoh NU
menunututnya untuk memisahkan hal itu secara tegas, karena peran-peran yang dimainkan
ada yang dianggap tak pantas di emban oleh seorang pemimpin NU. Ini mengandung paling
tidak dua arti penting, pertama bahwa status-status yang diemban Gus Dur diabaikan
keberadaannya, dan segala pemikiran serta tindakan Gus Dur harus tetap disesuaikan dengan
kehendak tokoh-tokoh dan massa NU. Kedua, kalangan tokoh-tokoh NU yang menyorot
tindakan dan pemikiran Gus Dur agaknya menempatkan Gus Dur hanya sebagai "Ketua
Tanfidziah PBNU" yang menjadi reference groupnya, pada saat yang sama berarti menolak
status-status yang lain.[3] Persoalannya adalah bahwa kenyataan sosial di NU, apalagi pada
tingkat massa awam, belum mampu memahami status-status yang dimilikinya. Walaupun
mungkin saja ia benar tapi kalau tak bisa dipahami oleh ummat, tak akan berarti apa-apa.
Dari sisi ini nampaknya ada dua kelemahan Gus Dur, yakni pertama, Ia lebih berorientasi
pada dirinya sendiri untuk memenuhi tuntuntan dari status-status yang diembannya, dan pada
saat yang sama mengabaikan unsur pemahaman dari umat yang dipimpinnya. Kedua,
kelebihan itu sekaligus merupakan kelemahan, sebab pada saat yang sama biasanya lengah
mengontrol diri sendiri, mengandalkan kemampuan yang dimiliki sehingga kurang
menghargai orang lain termasuk tokoh-tokoh NU yang lebih senior.[3] Pada saat munculnya
Gus Dur sebagai generasi ketiga dengan berbagai kelebihannya menjadi ketua Tanfidziah
PBNU, tampaknya tak dibarengi tatanan normatif NU yang secara tegas bisa membatasi
ruang gerak mereka. Yang ada secara tegas hanya pelarangan terhadap perangkapan tugas di
partai politik. Lepas dari sifat kontroversi atau berbagai pikiran dan tindakan Gus Dur
termasuk keberadaannya di Fordem, hal itu menunjukkan bahwa Ia di terima dan sekaligus
di akomodasi tindakannya oleh kalangan yang beragama islam. Di samping itu, paham
keagamaan yang dianut NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat, yang menurut syamsuddin haris hal itu berarti bahwa paham yang di anut NU
tidak menciptakan ketegangan dengan realitas lokal, justru terjalin dialog, dimana yang satu
menjadi inspirasi yang lain dan sebaliknya.[3] Ini berarti bahwa sebenarnya paham NU
mengakomodasi pemikiran-pemikiran yang bukan saja yang 1 agama tapi dari agama yang
lain, yang bila dikaitkan dengan sikap Gus Dur dalam kelompok demokrasinya saat ini,
mungkin hendak mengkondisikan paham ini. Hanya saja para pemimpin NU tidak saling
memahami sehingga yang muncul adalah sikap suudzon di antara mereka.[3]

Kutipan : [2]Asmawi, 1999. PKB jendela politik Gus Dur. Yogyakarta: Titian ilahi press.
Hal :13 [2]Asmawi, 1999. PKB jendela politik Gus Dur. Yogyakarta: Titian ilahi press. Hal :
15 [1]http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1352&cat=content&cid=9&title=nu-pasca-gus-
dur [3]Jauhari, Thantowi.A , dkk. 1999. Gus Dur diantara keberhasilan dan kenestapaan.
Jakarta: PT raja grafindo persada. Hal :118 [3]Jauhari, Thantowi.A , dkk. 1999. Gus Dur
diantara keberhasilan dan kenestapaan. Jakarta: PT raja grafindo persada. Hal :120
[3]Jauhari, Thantowi.A , dkk. 1999. Gus Dur diantara keberhasilan dan kenestapaan. Jakarta:
PT raja grafindo persada. Hal :123 [3]Jauhari, Thantowi.A , dkk. 1999. Gus Dur diantara
keberhasilan dan kenestapaan. Jakarta: PT raja grafindo persada. Hal :124
DAFTAR PUSTAKA http://www.islamlib.com/?
site=1&aid=1352&cat=content&cid=9&title=nu-pasca-gus-dur Asmawi, 1999. PKB jendela
politik Gus Dur. Yogyakarta: Titian ilahi press Jauhari, Thantowi.A , dkk. 1999. Gus Dur
diantara keberhasilan dan kenestapaan. Jakarta: PT raja grafindo persada

Anda mungkin juga menyukai