Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MASUKNYA ISLAM DIINDONESIA (WALISONGO)

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Muhammad Nur Khanif, M.Si

Disusun Oleh :

1. Muhammad Akmalul Huda (1708066037)


2. Dian Rif’atul A’yun (1708066067)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN WALISONGO SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masuknya Islam
Diindonesia (Walisongo)” ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Nur Khanif, M.Si selaku dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan baik dari bahasa yang kami
gunakan maupun dari susunan kalimatnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 24 November 2020


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 2
A. Teori Masuknya Islam DiIndonesia …. ........................................................... 2
B. Peran Walisongo dalam Islamisasi Di Indonesia ............................................. 3
C. Model Islamisasi Walisongo ................................ ............................................ 3
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang
menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para
pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala
dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian
dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa
antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri (Aceh),
Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah.
Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia
ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar
secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Perkembangan Islam di Indonesia terutama di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peranan
para wali yang tergabung dalam organisasi walisongo, dimana pembentukan lembaga
walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh sultan Turki Muhammad I, yang memerintah
pada tahun 1394-1421. Pada waktu sultan Muhamamd I menerima laporan dari para
saudagar Gujarat (India) bahwa di pulau Jawa jumlah pemeluk Agama Islam masih sangat
sedikit.
Sultan muhamamd I kemudian mengirim sebuah tim yang anggotanya dipilih orang-
orang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja.
Untuk membentuk tim, sultan Muhamamd I mengirim surat kepada para pembesar di Afrika
Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai
‘karomah”.
Berdasarkan perintah sultan Muhamad I itu lalu dibentuk sebuah tim yang berintikan 9
orang yang ditugaskan menjadi penyebar Islam di pulau Jawa, kemudian tim diberangkatkan
ke pulau Jawa pada tahun 1404, di mana tim tersebut diketuai oleh maulana Malik Ibrahim
berasal dari Turki, seorang ahli agama dan juga ahli irigasi yang dianggap piawai dalam
mengatur Negara.
Begitu tiba di Jawa, tim sembilan ini langsung melakukan pertemuan untuk menyusun
rencana kerja, oleh karena itu pertemuan tahun 1404 yang dihadiri lengkap anggotanya
dianggap sebagai sidang walisongo pertama kemudian disebut sebagai walisongo angkatan
pertama; istilah walisongo sendiri baru muncul setelah ada beberapa wali pribumi dari
kalangan bangsawan Jawa yang menjadi anggota tim bahkan ada yang menyebutkan bahwa
istilah walisongo muncul pada abad ke-18 atau abad ke-19.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Apa saja teori-teori masuknya islam di Indonesia?
2. Apakah peran Walisongo dalam islamisasi di Indonesia?
3. Bagaimana model islamisasi Walisongo?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuannya dapat dituliskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui teori-teori masuknya islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui peranan Walisongo dalam islamisasi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui model islamisasi Walisongo.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Beberapa Teori Masuknya Islam Ke Indonesia


1. Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah
langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau
abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah
atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka
mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies
natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh
anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab.1
Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan Hamka adalah sumber lokal
Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak
dilandasi oleh nilai-nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran
agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab
telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi
2. Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat,
berdekatan dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan
adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J.
Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab
bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke
7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari
orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan
berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.2
3. Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat,

1
Hasjmy, A. 1990. ”Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia”
2
Murodi. 1994. ”Sejarah Kebudayaan Islam”.
sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih
menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara
masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10
Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu
Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera
Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa
Parsi.
4. Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di
Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat
Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina
atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama melalui kontak
dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana
agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa
menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-
zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman
Islam. Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal
(babad dan hikayat), dapat diterima.3
Bahkan menurut sejumlah sumber lokal tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di
Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Bukti-bukti
lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh
komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting pada abad
ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama
oleh para pelaut dan pedagang Cina.
B. Peranan Walisongo Dalam Islamisasi Di Indonesia
Walisongo atau Sembilan wali memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di
Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Sembilan orang wali yang dimaksud adalah Maulana
Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati.

3
Hasjmy, A. 1990. ”Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia”
Sembilan wali ini memiliki keterkaitan erat, baik berdasarkan ikatan darah ataupun
hubungan guru dan murid. Mereka tinggal di pantai utara Pulau Jawa sejak awal abad ke-15
hingga pertengahan abad ke-16 di beberapa wilayah, yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Pemilihan
wilayah-wilayah ini bukan tanpa sebab, tapi sudah diperhitungkan oleh para Wali. Ini juga
menjadi faktor penting penyebaran Islam di Jawa dan wilayah lainnya.
Dalam buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual karya Purwadi, salah satu kemungkinan
alasan para wali memilih Pulau Jawa karena melihat Jawa sebagai pusat kegiatan ekonomi,
politik, dan kebudayaan di Nusantara pada masa itu. Daerah pesisir Jawa yang menjadi kota
pelabuhan merupakan fokus utama karena banyak dikunjungi oleh pedagang dari luar Jawa.
Ini memungkinkan penyebaran Islam bisa lebih masif.4
Berikut penjelasan peran Wali Songo dalam penyebaran Islam :
1. Sunan Maulana Malik Ibrahim/ Sunan Gresik
Nama lain dari Maulana Malik Ibrahim adalah Kakek Bantal, Sunan Tandhes, Sunan
Raja Wali, Wali Quthub, Mursyidul Auliya’ Wali Sanga, Sayyidul Auliya’ Wali Sanga,
Maulana Maghribi, Syekh Maghribi, Sunan Maghribi, atau Sunan Gribig. Maulana Malik
Ibrahim rah.a putra dari Syekh Jumadil Kubra (Maulana Akbar)
Ketika pertama kali beliau datang ke Jawa, pada umumnya masyarakat memeluk
agama Hindu/Budha dan berada di bawah pemerintahan kerajaan Majapahit. Masyarakat
menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria, dan
kasta brahmana. Sebelum menyiarkan agama Islam, beliau mendekati penduduk setempat
untuk mengenal adat istiadatnya terlebih dahulu. Dengan cara itu, Islam mudah diterima
oleh golongan yang menjadi sasaran penyebaran.5
Metode dakwah yang beliau terapkan cukup unik dan tepat, yaitu dengan membuka
warung untuk berjualan kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, juga mengadakan
pengobatan gratis. Beliau juga membangun masjid dan pondok pesantren di dusun
Pesucian, sekitar 9 km utara Kota Gresik pada tahun 801 H/1392 M.
Beliau mencoba merangkul masyarakat bawah, yaitu kasta terendah dalam budaya
Hindu. Metode ini ternyata berhasil, terbukti sedikit demi sedikit masjid yang dibangun

4
Badriyatim. 2003. ”Sejarah Peradaban Islam”
5
Murodi. 1994. ”Sejarah Kebudayaan Islam”.
beliau ramai dikunjungi warga yang sudah memeluk agama Islam. Dan Islam pun
berkembang di pulau Jawa, bahkan di daerah-daerah Nusantara.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel ketika di waktu kecilnya diberi nama Sayyid Muhammad ‘Ali
Rahmatullah, sesudah pindah ke Jawa Timur diberi panggilan oleh masyarakat dengan
panggilan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan
perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan
pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Sehingga beliau dikenal dengan Pembina pondok
pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah beliau mendidik para pemuda
Islam untuk menjadi tenaga da’i yang akan disebarkan ke seluruh Jawa.6
Sebagai seorang ulama yang giat berdakwah, Sunan Ampel mempunyai ajaran yang
terkenal dngan sebutan “molimo” . “Mo” berarti tidak mau, sedangkan limo adalah 5
perkara. Jadi, “molimo” adalah tidak mau melakukan 5 perkara yang terlarang. Kelima
ajaran Sunan Ampel itu adalah:
1) Emoh Main, artinya tidak mau main judi.
2) Emoh Ngombe, artinya tidak mau minum-minuman yang memabukkan.
3) Emoh Madat, artinya tidak mau mengisap candu atau ganja.
4) Emoh Maling, artinya tidak mau mencuri.
5) Emoh Madon, artinya tidak mau main perempuan yang bukan isterinya (zina).
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana
Majapahit. Kedekatan beliau tersebut membuat penyebaran Islam di Daerah kekuasaan
Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan yang berarti,
bahkan mendapat izin dari penguasa kerajaan.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa
dengan ibu Kota Bintoro, Demak. Beliaulah yang mengangkat Raden Fatah sebagai
sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran
politik umat Islam di Nusantara. Disamping itu, beliau juga ikut mendirikan Masjid
Agung Demak pada tahun 1479.
3. Sunan Giri

6
Fatkhan, Muh. 2003. Dakwah Budaya Walisongo
Nama aslinya Raden Paku, dikenal juga dengan sebutan Prabu Satmata, kadang-
kadang disebut juga dengan Sultan Abdul Fakih. Dikenal sebagai Sunan Giri, karena
beliau, mendirikan pesantren di dekat sebuah gunung yaitu gunung giri dan berdakwah di
sana sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di sana pula. Beliau adalah putra dari
Maulana Ishak (adik dari Maulana Ibrahim). Ibunya bernama Dewi Sekardadu dari
Blambangan.
Dalam perjalanan beliau ke haji bersama Sunan Bonang, mereka terlebih dahulu
memperdalam ilmu pengetahuan di Pasai yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya
ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf. Di sinilah Raden Paku sampai pada tingkat ilmu
laduni, sehingga gurunya menganugrahkan gelar ‘Ain al-Yaqin.
Sebagai seorang ulama yang wara’,Sunan Giri sangat-sangat berhati-hati dalam
memutuskan masalah ubudiyah. Dalam masalah ini beliau berpegang teguh pada ajaran
al-Qur’an dan Hadis. Bahkan beliau berpendapat “bahwa ibadah mau tidak mau harus
sesuai dengan ajaran Nabi saw, tidak boleh di campur adukan dengan adat istiadat yang
bertolakk belakang dengan ajaran tauhid”. Pendapatnya itu dilandasi oleh firman Allah:
“Dan sembahlah Allah dan janganlah Kamu mempersekutukan-Nya…”(QS. An Nisa :
36)
Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokrasi, beliau mendidik anak-
anak melalui berbagai permainan yang berjiwa agama, misalya jelungan, jamuran, gendi
ferit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-iilir, dan sebagainya. Beliau juga
dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda Kesultanan
Demak Bintiro (kesultanan demak)., sebab setiap kali muncul masalah penting yang
harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan kepuutusan dan pertimbangannya.
4. Sunan Bonang
Nama Sunan Bonang berasal dari Bong Ang yakni sesuai dengan marga Bong seperti
nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Literatur lain menyebutkan jika nama
Bonang diambil dari salah satu alat musik tradisional yang biasa digunakan oleh Raden
Maulana Makdum Ibrahim dalam berdakwah kepada masyarakat. Sunan Bonang
memiliki nama lain yakni Raden Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim. Sunan
Bonang merupakan putera keempat dari Sunan Ampel dengan Candrawati alias Nyai
Gede Manila Putri dari Arya Teja seorang Bupati Tuban.
Sunan Bonang menyebarkan Islam mulai dari Kediri, Jawa Tengah, hingga ke
berbagai pelosok Pulau Jawa. Beliau memiliki kebiasaan berkelana ke daerah terpencil
seperti Tuban, Pati, Madura dan Pulau Bawean.
Sunan Bonang dikenal sebagai salah satu Wali Songo yang ulung dalam berdakwah
dan menguasai ilmu fiqh, ushuludin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan berbagai ilmu
kesaktian serta kedigdayaan. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang sudah diberi pelajaran
agama Islam secara tekun dan disiplin oleh ayahnya. Ajaran Sunan Bonang berfokus
pada filsafat cinta ('isyq), yang terlihat mirip dengan gaya Jalalludin Rumi. Kesenian
menjadi media dakwahnya. Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu menjadi gamelan khas Jawa yang menggunakan instrumen
bonang.
Sunan Bonang dalam menyebarkan Islam banyak menggunakan karya sastra berupa
carangan pewayangan dan suluk atau tembang tamsil. Beliau merupakan sosok di balik
tembang "Tombo Ati” yaitu Tamba ati iku limo sakwarnane, Maca Qur’an angen-angen
sak maknane, Kaping pindho salat wengi lakonana, Kaping telu wong kang sholeh
kancanana Kaping papat kudhu etheng ingkang luwe, Kaping lima zikir wengi ingkang
suwe. Selain itu, Sunan Bonang juga seorang dalang yang menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
5. Sunan Drajat
Nama asli Sunan Drajat yaitu Raden Qosim. Beliau lahir sekitar tahun 1470 M.
Beliau adalah putra Sunan Ampel yang kedua. Setelah menguasai pelajaran agama dari
sang ayah, beliau hijrah ke desa Drajat di Lamongan, dan mendirikan padepokan santri
Dalem Duwur, yang sekarang bernama desa Drajat. Di daerah inilah Sunan Drajat
memusatkan dakwahnya, beliau juga memegang kendali kerajaan di wilayah perdikan
Drajat.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada
para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: "jangan
mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan
perbuatan itu”. Sunan Drajat memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah,
dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan Drajat
menempuh lima cara :
1. Lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar.
2. Melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
3. Memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
4. Melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur
dengan iringan gending.
5. Menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah:
Wenehono teken marang wongkang wuta;
Wenehono mangan marang wongkang luwe
Wenehono busono marang wongkang wudo
Wenehono yupan marang wongkang kudanan.
Karena keberhasilannya menyebarkan Islam dan menanggulangi kemiskinan, Sunan
Drajat memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, Sultan Demak 1 tahun
saka 1442 atau 1520 M.
6. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah merupakan sultan pertama di
Kasultanan Cirebon yang dulu bernama Keraton Pakungwati. Tokoh ini adalah ulama
utama yang menyebarkan agama Islam di bagian barat pulau Jawa. Sunan Gunung Jati
adalah cucu raja Pajajaran.
Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke tanah Jawa daripada menetap di tanah
Arab. Beliau kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran
Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, beliau menggantikan kedudukannya dan
kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan. Beliau
kemudian terkenal dengan dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Banyak metode yang digunakan Sunan Gunung Jati untuk menarik minat masyarakat
agar memeluk Islam mulai dari perdagangan, perkawinan, jalur politik, dakwah, hingga
penaklukan. Metode berdakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati sangat unik. Dengan
mengadaptasi tradisi Cirebon, dakwah yang dilakukan beliau dilakukan dengan cara-cara
yang menarik perhatian, di antaranya dengan menggunakan pepatah-pepitih yang sampai
saat ini masih sering didengar masyarakat Cirebon.
Pepatah Pepitih yang digunakan Sunan Gunung Jati saat berdakwah :
1) Wedia Ning Allah atau Takutlah Kepada Allah.
2) Gegunem Sifat Kang Pinuji atau Hendaklah Menyayangi Sesama Manusia.
3) Den Welas Asih Ing Sapapada atau Hendaklah Menyayangi Sesama Manusia
4) Angadahna Ing Pepadu atau Jauhi Pertengkaran.
5) Amapesa Ing Bina Batan yang berarti Jangan Serakah atau Berangasan dalam
Hidup.
7. Sunan Kudus
Nama aslinya Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung,. Kadang
beliau dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah haji beliau
bertindak sebagai pemimpi rombongan (amir). Sunan Kudus adalah putra Raden Usman
Haji, yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panoalan, Blora.
Sunan Kudus sendiri menyiarakan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, dan
beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fiqih,
ushul fiqh, tauhid, tafsir, serta logika. Oleh sebab itu, diantara wali songo yang lain,
hanya beliaulah yang dijuluki al-‘alim (orang yang luas ilmunya). Disamping menjadi
juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro
yang tangguh, dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus,
sehigga beliau menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah
tersebut.7
Pada tahun 986 H atau 1549 M, Sunan Kudus Menunaikan Haji. Saat itu pula beliau
singgah ke Bait al-Maqdis (al-Quds) untuk memperdalam ilmu agama. Disana, beliau
mendapat semacam amanat berbahasa Arab yang tertulis di atas batu. Inti pesan itu
adalah menyuruh Sunan Kudus mendirikan masjid dan menanamkan syiar Islamnya
dengan nama Kudus, bila beliau kembali ke pulau Jawa. Dan akhirnya terciptalah Masjid
Manara dan daerah bernama Kudus. Hingga kini pesan yang dituliskan Arab di atas batu
tersebut masih tersimpan di mihrab. Seperti sunan yang lainnya, dalam menyiarkan Islam

7
Badriyatim. 2003. ”Sejarah Peradaban Islam”
Sunan Kudus tidak menghilangkan ciri atau budaya Hindu. Bahkan sampai sekarang di
daerah Kudus ada pelarangan untuk menyembelih sapi. Hal itu merupakan sebuah
penghormatan Sunan Kudus terhadap masyarakat yang mayoritas memeluk agama
Hindu.
Selain sebagai mubaligh, beliau juga dikenal sebagai pujanga mengarang cerita-cerita
bernafaskan Islam, sebagai pendukungan dalam melaksanakan dakwahnya. Karangan
cerita beliau yang palig terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil.
8. Sunan Kalijaga
Nama kecilnya adalah Raden Mas Syaid atau sa’id putra adipati Tuban, dan kadang-
kadang dijuluki Syekh Malaya. Salah satu sifat yang menonjol dari Raden Mas Syahid
kecil adalah sifat welas asih (kasih sayang). Sikap kasih sayang tersebut terutama
ditunjukan kepada rakyat kecil yang banyak menderita. Bahkan pada masa remajanya
perasaan kasih sayang tersebut diwujudkan secara berlebihan.
Daerah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh beliau
berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena system dakwahnya yang intelek dan
aktual, maka para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati terhadapnya, demikian
juga lapisan masyarakat awam, bahkan penguasa. Sunan Kalijaga dalam menyebarkan
Islam dengan memanfaatkan sarana wayang yang digemari masyarakat pedalaman Jawa.
Salah satu contohnya adalah Wayang Purwa. Pengetahuan dibidang seni melatar
belakangi pendekatan kebudayaan yang digunakannya dalam menyebarkan agama Islam.
Dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak membangun pesantren sepert
yang dilakukan oleh para wali lainnya. Beliau lebih cenderung dengan berkelana dari
tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Dalam metode dakwahnya, kepercayaan dan
adat istiadat setempat tidak ditentang begitu saja, bahkan beliau jadikan sebagai sarana
dakwah.
9. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said, sedangkan nama kecilnya adalah
Raden Prawoto. Namun beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat
kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di gunung Muria (18 km di sebelah utara
kota Kudus sekarang). Ciri khas Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam
adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat dakwahnya. Beliau lebih suka
menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat iasa.
Beliau mendidik rakyat di sekitar gunung Muria.8
Cara yang ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan
kursus-kursus bagi bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa. Beliau juga
banyak menggunakan metode pendekatan kebudayaan yang bertujuan untuk menarik
rakyat golongan bawah masuk Islam. Misalnya, dengan menggunakan pertunjukan
kesenian yang digemari masyarakat setempat.
Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia Kesultanan Demak Bintoro dan
berperan serta dalam mendirikan masjid Demak. Dalam rangka dakwah melalui budaya,
beliau menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti. Sinom adalah sejenis tembang
Jawa yang pada umumnya menampilkan suasana yang dapat menyentuh hati. Sedangkan
kinanti pada umumnya berisi tentang syair-syair yang bersuasana senang, gembira, penuh
kasih sayang dan rasa cinta.
C. Model Islamisasi Walisongo
Model islamisasi walisongo adalah dengan menerapkan siasat yang bijaksana yaitu melalui
beberapa jalur yang ditempuh. Antara lain:
1. Mendirikan Masjid
Para Wali Songo dalam memulai tugas da’wah (islamisasi) selalu diawali dengan
mendirikan masjid sebagai tempat pemusatan ibadah dan sebagai tempat berpijak dari
segala bentuk kegiatan da’wah yang dilakukannya. Dengan demikian sangat
memungkinkan untuk mengundang dan mengumpulkan masyarakat banyak untuk dididik
dengan ajaran Islam.
Dalam rangka untuk tidak mengundang rasa asing bagi masyarakat yang telah
terpengaruh dengan ajaran Hindu-Budha. Maka para wali dalam membuat masjid agak
disesuaikan dengan bentuk-bentuk bangunan candi-candi Budha. Selain itu di setiap
bangunan masjid yang didirikannya disediakan sebuah alun-alun yang terletak di depan
masjid, hal ini meneyerupai sebuah keraton. Kesemuannya itu dapat kita saksikan pada
bangunan masjid Wali di Demak, Kudus, Tuban, Gresik, Cirebon, dan lain-lainnya.
Sebagai salah satu bukti bahwa masjid merupakan bagian dari model islamisasi wali
songo, dapatlah dilihat dari bentuk bangunannya yang mengandung perlambang (simbul)

8
Fatkhan, Muh. 2003. Dakwah Budaya Walisongo
yang berarti bagi masyarakat Jawa dalam kehidupannya, lambang-lambang dari bagian
masjid itu antara lain: setiap masjid yang dibangun itu selalu dilengkapi dengan gapuro
yang mirip dengan dengan pintu gerbang dari keraton. Nama dari gapuro itu berasal dari
bahasa Arab “Ghafura” yang diucapkan dengan lidah jawa gapuro yang mempunyai arti
“ampunan”, melambangkan bahwa siapa yang mau melewati gapuro itu akan diampuni
segala dosanya. Dengan ini dimaksudkan dapat menarik orang-orang untuk masuk ke
dalam agama Islam.9
Bukti peninggalan dari para wali songo yang masih dapat kita saksikan hingga saat
sekarang ini ialah bangunan masjidnya, sebab para wali itu hampir seluruhnya
mempunyai masjid sebagai tempat titik tolak dari kegiatan da’wahnya. Masjid-masjid itu
antara lain: Masjid Maulana Malik Ibrahim di Leran, Masjid Sunan Ampel di Ampel
Denta, Masjid Sunan Bonang di Tuban, Masjid Sunan Giri di Kabupaten Gresik, Masjid
Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak, Masjid Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Masjid
Agung Demak yang didirikan oleh para wali songo, Masjid Sunan Muria di atas bukit
gunung Muria kabupaten Kudus, Masjid Sunan Kudus (Jafar Shodiq) di Kudus kulon.
Selain itu model islamisasi Wali Songo dilakukan dengan mengadakan komunikasi
anatara sesamanya, bermusyawarah, terutama dalam menghadapi berbagai macam
persoalan yang muncul. Sebagaimana mereka menghadapi ajaran dari Syeh Siri Jenar
yang mengajarkan tentang faham Wahdatul Wujud atau dengan istilah jawa
“Manunggaling kawula gusti”, bersatunya diri dengan Tuhan. Faham ini dianggap sangat
membahayakan dan bahkan dapat merusak aqidah Islam. Akhirnya para wali itu
memutuskan untuk menghukum mati bagi Syeh Siti Jenar.10
2. Jalur Pendidikan
Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana
Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh
Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya. Di pesantren, para wali menggembleng
dai-dai yang siap dikirimkan untuk berdakwah ke berbagai daerah. Lewat pesantren pula,
para wali mengajarkan secara mendalam dan tuntas pengetahuan-pengetahuan agama
islam.

9
Fatkhan, Muh. 2003. Dakwah Budaya Walisongo
10
Amin Fattah, Nur. 1997. “Metode Da’wah Walisongo”
Kehadiran pesantren sebagai upaya untuk mendakwahkan agama bagi orang-orang
Jawa ternyata lambat laun mengalami perluasan peran. Ia kemudian menjelma menjadi
lembaga pendidikan yang bermanfaat untuk mendidik orang Islam menjadi alim dan
cerdas dalam dan pengetahuan agamanya, peran pendidikan tidak sekedar mengalihkan
ilmu-ilmu keagamaan yang berkenaan dengan penanaman aspek penghayatan agama
yang bersifat kesalehan personal (etika) melalui pengenalan dan praktek tasawuf,
melainkan juga melebar kepengajaran ilmu-ilmu syariat yang bekaitan dengan aturan atau
tata pergaulan kemasyarakatan,.11
Meskipun pada mulanya pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang
bercorak keagamaan, dan menjadi pusat pertumbuhan dari system zawiyah (qilda) yang
dikembangkan oleh kaum sufi dengan berbagai aliran tarekatnya, justru dalam
pertumbuhannya yang tidak disadari, pesantren malah berubah menjadi markas gerakan
yang bernuansa politik. Dengan demikian, kedua orientasi tersebut terdapat di pesantren
tersebut ternyata membawa dampak bagi santri untuk mengartikulasikan ajaran
agamanya di tengah-tengah masyarakat Jawa.
3. Jalur Kesenian
a. Wayang Kulit
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah
lama menggemari akan kesenian, baik seni pertunjukkan wayang dengan gamelannya
maupun seni tarik menarik suara. Maka oleh karena itu wali songo mengambil siasat
menjadikan kesenian itu sebagai alat da’wahnya, guna memasukkan ajaran Islam
kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi kegemarannya.12
Cara ini adalah merupakan sebagain cara yang bijaksana dalam pendekatan dan
menarik simpati rakyat serta memperkenalkan ajaran Islam kepadanya. Pertunjukan
wayang telah ada semenjak zaman Prabu Jayaboyo raja dari kerajaan Kediri yang
memerintah pada tahun 1135-1157, bahkan dialah yang pertama kali menciptakannya.
Namun wayang yang ada pada masa itu adalah wayang purwo yang terbuat dari
lembaran kertas lembar, yang kemudian terkenal dengan wayang beber.
Sebelum para wali mengambil wayang sebagai alat da’wahnya terlebih dahulu
mereka bermusyawarah tentang hukum dari gambar wayang yang mirip dengan

11
Edyar, Busman, dkk. 2009. “Sejarah Peradaban Islam”
12
Amin Fattah, Nur. 1997. “Metode Da’wah Walisongo”
gambar manusia itu, aliran Giri yang dipelopori oleh Sunan Giri berpendapat bahwa
wayang itu hukumnya haram sebab menyerupai bentuk manusia, sedangkan
menggambar manusia menurutnya adalah haram. Sunan Kalijaga mengusulkan agar
tidak menjadi haram, gambar wayang yang ada itu diubah bentuknya, umpamanya
tangannya lebih panjang dari kakinya, hidungnya panjang-panjang, kepalanya agak
menyerupai kepala binatang dan lain-lain agar tidak serupa persis dengan manusia,
kalau sudah tidak serupa tentu saja hukumnya tidak haram lagi. Akhirnya usul itu
disetujui oleh para wali. Setelah itu dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori
oleh Sunan Kalijaga sendiri, peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 1443 M, dan
sekaligus para wali itu menciptakan gamelannya.
Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walipun mengarang cerita
yang bernafaskan nilai keislaman. Adapun pelaku cerita dalam pewayangan yang
terkenal hingga saat ini adalah cerita tentang punokawan Pandowo, yang terdiri dari
semar, petruk, gareng dan bagong. Ke empat pelaku itu mengandung falsafah yang
amat dalam, di antaranya ialah sebagai berikut:
1) Semar, dari bahasa Arab ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dikatakan bahwa kebenaran
agama Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya paku yang sudah tertancap
yakni Simaaruddunya (pakunya dunia/paku bumi).
2) Petruk, dari bahasa Arab ‘Fatruk’ yang artinya tinggalkan, sama dengan kalimat
fatruk kulluman siwallahi yaitu tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.
3) Gareng, dari bahasa Arab ‘naala qoriin’(nala gareng), yang artinya memperoleh
banyak kawan, yaitu sebagai tujuan para wali adalah berda’wah untuk memperoleh
banyak kawan.
4) Bagong, dari bahasa Arab ‘bagha’ yang artinya lacut atau berontak, yaitu
memberontak terhadap segala sesuatu yang zalim.
Adapula yang mengatakan bahwa:
1) Semar pada hakekatnya adalah lambang nafsu mutmainah.
2) Gareng lambang dari nafsu amarah.
3) Petruk lambang dari nafsu lauwamah.
4) Bagong lambang dari nafsu sufiyah.
5) Togok asal kata Thogut, artinya Iblis.
Pertunjukkan wayang itu dimainkan oleh seorang dalang, nama dalang ini juga
diambil dari bahasa Arab “Dalla” yang artinya petunjuk maksudnya orang yang
menunjukkan ke jalan yang benar.
Selain cerita pelaku pewayangan tersebut di atas masih banyak lagicerita wayang
yang diciptakan oleh para wali songo sendiri artinya cerita itu tidak diambil dari kitab
Mahabarata dan kitab Ramayana versi India. Yaitu antara lain cerita dewa ruci, jimat
Kalimasada (kalimat Syahadat), Petruk jadi raja, Pandu Pragolo, Mustaka weni dll.
Awal mula langkah da’wah menggunakan kesenian wayang dilakukan di serambil
mesjid Agung Demak dalam rangka memperingati maulud nabi Muhammad SAW.
Pertama-tama ditabuhlah gamelan gong bertalu-talu yang suaranya kedengaran di
mana-mana. Sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat Jawa pada masa itu apabila
mereka mendengar sesuatu bunyi-bunyian mereka saling berdatangan, lebih-lebih
suara itu enak kedengarannya. Maka tidak heranlah banyak orang yang berkumpul.
Di situlah mereka asyik mendengarkan cerita-cerita gubahan para wali yang
bernafaskan nilai-nilai keislaman. Setelah waktu dhuhur tiba, mereka semua diajak
berdo’a agar supaya sang dewa tidak murka, cara berdo’anyapun diajarkan oleh wali
dengan gerakkan-gerakkan yang berarti. Kesemuanya itu secara tidak sadar mereka
telah diajarkan cara berwudhu dan bersembahyang, namun mereka tidak diberitahu
bahwa yang diperbuat itu cara-cara Islam dan mereka telah masuk Islam.13
b. Seni Suara
Kegemaran masyarakat Jawa akan seni suara atau seni tarik menarik suara,
nampaknya mendapatkan perhatian yang serius dari para wali. Oleh karena itu
merekapun tidak ketinggalan pula untuk menciptakan lagu-lagu yang indah, yang penuh
dengan arti dan falsafah kehidupan. Di antara lagu atau tembang ciptaan para wali itu
ialah Lagu Lir Ilir ciptaan Sunan Kalijaga, lagu Asmaradana dan pucung ciptaan Sunan
Giri, lagu Durma ciptaan Sunan Bonang, lagu Maskumambang dan Mijil ciptaan Sunan
Kudus, lagu Sinom dan Kinanti ciptaan Sunan Muria, lagu Pangkur ciptaan Sunan
Drajat. Lagu-lagu yang diciptakan para wali mengandung arti ataupun makna mengajak,
menyeru kepada kebaikan serta teguran atau peringatan.14
c. Seni Ukir
13
Soekmono, R. 1973. ”Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
14
Supriyadi, Dedi. 2008. “Sejarah Peradaban Islam”
Dalam rangka menarik simpati masyarakat, para wali juga turut serta mewarnai
seni ukir yang selama ini telah ada dan berkembang di masyarakat. Seni ukir yang ada
pada saat itu bercorak atau berbentuk gambar-gambar manusia dan binatang. Oleh
para wali seni ukir itu dikembangkan menjadi seni ukir yang berbentuk dedaunan,
peti-peti klasik, alat-alat menggantungkan gamelan dll. Bentuk-bentuk ukiran rumah
adat di Kudus, Demak dam Gresik yang hingga sampai saat ini satu dua masih dapat
kita temui dan saksikan adalah peninggalan-peninggalan dari zaman wali.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada empat teori masuknya islam ke Indonesia. Yakni teori Mekah, teori Gujarat, teori
Persia dan teori Cina. Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia
adalah langsung dari Mekah atau Arab. Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan
Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Teori Persia
mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau
Parsi (kini Iran). Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia
(khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina.
Peranan Walisongo dalam Islamisasi di Indonesia antara lain :
1) Sunan Gresik berdakwah dengan cara berdagang.
2) Sunan Ampel dakwahnya berawal dengan membangun pesantren.
3) Sunan Kalijogo berdakwah melalui kesenian dan berkelana.
4) Sunan Giri dakwahnya bersifat permainan yang berjiwa agama.
5) Sunan Bonang, dakwahnya dengan jalan seni.
6) Sunan Drajat, dakwahnya bersifat sosial.
7) Sunan Gunung Jati, dakwahnya dengan politik dan sosial.
8) Sunan Muria, berdakwahnya dengan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang,
para nelayan, dan rakyat biasa.
9) Sunan Kudus, berdakwahnya dengan pendekatan kultural, yaitu menciptakan berbagai
cerita keagamaan.
Model islamisasi walisongo adalah dengan menerapkan siasat yang bijaksana yaitu melalui
beberapa jalur yang ditempuh. Antara lain :
1) Mendirikan masjid sebagai basis dakwahnya
2) Jalur pendidikan dengan mendirikan pondok pesantren
3) Jalur kesenian dengan wayang kulit, seni suara dan seni ukir
B. Saran
Kami sebagai pembuat makalah bukanlah makhluk yang sempurna. Apabila ada kalimat
yang tidak berkenan pada tempatnya. Kami berharap kritik dan saran dari Bapak
pembimbing dan rekan mahasiswa/i sekalian yang bersifat membangun agar kami bisa
membuat makalah yang lebih baik pada waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.).1991.Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.

Amin Fattah, Nur. 1997. “Metode Da’wah Walisongo”. Pekalongan: C.V Bahagia

Badriyatim. 2003. ”Sejarah Peradaban Islam”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Edyar, Busman, dkk. 2009. “Sejarah Peradaban Islam”. Jakarta: Pustaka Asatruss

Fatkhan, Muh. 2003. Dakwah Budaya Walisongo. Jurnal Aplikasia Vol. IV No.2 Desember.

Hasjmy, A. 1990. ”Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia”. cetakan1.Jakarta: PT.Bulan Bintang

Murodi. 1994. ”Sejarah Kebudayaan Islam”. Semarang: PT. Karya Toha Putra

Soekmono, R. 1973. ”Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2 dan 3. Yogyakarta:


Kanisius.

Supriyadi, Dedi. 2008. “Sejarah Peradaban Islam”. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai