Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MASA DISINTEGRASI DAN MUNCULNYA DINASTI-DINASTI KECIL

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Sejaran Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Muhammad Nurkhanif, M.Si

Disusun Oleh :

1. Arie Zayyin Qurrotul Aini (1708036007)


2. Muhammad Akmalul Huda Iskandar (1708066037)
3. Dian Rif’atul A’yun (1708066067)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN WALISONGO SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masa
Disintegrasi Dan Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil” ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Nurkhanif selaku dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan baik dari bahasa yang kami
gunakan maupun dari susunan kalimatnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Gresik, 6 Oktober 2020


Penulis
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………
A. Latar Belakang ................................................................................................ ………4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... ………4
C. Tujuan ............................................................................................................ ………4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………..
A. Pengertian Disintegrasi ................................................................................... ………5
B. Masa Disintegrasi……………………………………………………………………....5
C. Penyebab Disintegrasi ..................................................................................... ………7
D. Munculnya Dinasti-dinasti Kecil...................................................................................12
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………….
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………..15
B. Saran……………………………………………………………………………………15
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam perjalanan sejarah Daulah Abbasiyah yang pernah berkuasa di Baghdad
selama lebih kurang enam abad (750-1258 M) menjalankan politik terbuka, artinya
membuka kerjasama dengan berbagai suku ikut serta dalam pemerintahan, terutama yang
mempunyai andil dalam mendirikan Daulah Abbasiyah seperti orang Persia. Pada periode
pertama; Daulah Abbasiyah menjalin kerjasama dengan orang-orang Persia, di antara
mereka ada yang diangkat menjadi perdana menteri.
Pada saat bekerjasama dengan orang Persia inilah Daulah Abbasiyah mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Akan tetapi juga mereka menjalankan politik tertutup
dengan tidak melakukan kerjasama dengan orang Syi’ah dalam pemerintahan, walaupun
mereka mempunyai andil dalam mendirikan Daulah Abbasiyah sama seperti orang
Persia, karena orang Syi’ah merasa dikhianati oleh Daulah Abbasiyah dengan tidak
memberikan kesempatan kepada mereka berkuasa seperti janji mereka pada waktu
melakukan gerakan menumbangkan Daulah Umaiyah dulu, maka orang Syi’ah
mengambil sikap oposisi terhadap Daulah Abbasiyah. Akibatnya, konflik berkepanjangan
terjadi antara Daulah Abbasiyah dengan orang Syi’ah. Sehingga orang-orang Syi’ah ini
terus menerus dikejar-kejar oleh pihak Daulah Abbasiyah dan tidak boleh hidup di
wilayah kekuasaan mereka, diantara orang Syi’ah ada yang pergi ke Maroko Maghribi
dan ke Mesir.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud disintegrasi ?
2. Apa saja masa disintegrasi ?
3. Apa penyebab disintegrasi ?
4. Apa sebab munculnya dinasti-dinasti kecil?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian disintegrasi
2. Untuk mengetahui masa disintegrasi
3. Untuk mengetahui penyebab disintegrasi
4. Untuk mengetahui munculnya dinasti-dinasti kecil
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Disintegrasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disintegrasi adalah keadaan tidak
bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan.
Jadi, Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan atau
persatuan serta menyebabkan perpecahan.[1]1
Dalam makna ini disintegrasi dapat diartikan sebagai sebuah proses terjadinya
perpecahan suku golongan maupun komunitas yang menjadi bagian-bagian kecil dan
terpisah dari induknya.
B. Masa Disintegrasi
Semenjak pemerintahan Harun ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194H), saat itu
terjadinya masa keemasan bani Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-benih
disintegrasi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-rasyid telah mewariskan tahta
kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H) dan kepada
puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai
gubernur Khurasan. Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati
hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya
pecah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-
Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan
dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan
saudara tertuanya al-Amin dan mengklaim khalifah pada tahun 813 H. Namun
peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah
melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.[1]
Pada masa kekhalifaan al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M) juga terjadi disintegrasi
yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirakan oleh Thahir, dia adalah
mantan guberner Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena
membantu merebut kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada
Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya.
Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud

1
Sejarah peradaban islam .112
dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan
penguasa gubernur besar.[2]2
Menurut Muhaimin (2005:227), “fase disintegrasi adalah fase dimana pertentangan
intern umat Islam di kalangan pemerintahan, baik dimasa Bani Umayyah, maupun
Abbasiyah, muncul dalam bentuk pemisahan diri dari pemerintah pusat dan
memproklamirkan diri sebagai khalifah sendiri, di masa ini keutuhan umat Islam dalam
bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dapat
dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1253. [3]3
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi
dinasti Bani Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan
mengganggu stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani
Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik.
Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini memantapkan
posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan betul-betul
berada di tangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya.
Setelah periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada dibawah
pengaruh kekuasaan yang lain.
Pada masa periode kedua dinasti Abbasiyah, terjadi dominasi orang-orang Turki.
Pilihan Khalifah Al-Mu’tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama
dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-
Ma’mun dan sebelumnya. Bahkan, perebutan kekuasaan antara Al-Amin dan Al-Ma’mun
dilatarbelakangi oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung Al-Amin dan
golongan persia yang mendukung Al-Mu’min.
Sehingga otomatis kekuasaan Bani Abbasiyah hilang karena jatuh di tangan orang
Turki meskipun khalifahnya berasal dari Bani Abbas. Pada awalnya banyak perwira
Abbasiyah memberontak kepada Turki. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini,

2
Tohir Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

3
Muhaimin. 2005. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media.
hanya empat yang wafat secara wajar, selebihnya, kalau bukan dibunuh, mereka
diturunkan dari tahta dengan paksa. Karena wibawa yang merosot tajam, dan lemahnya
tentara Turki dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat, yang
kemudia memerdekaan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan dinasti-dinasti kecil. [4]4
Keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan.
Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-peimpin yang memiliki
kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkejakan orang-orang profesionak di
bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru sesuai yang
diutarakan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan
selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi
periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan
berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak
memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan keagamaan.
Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan
aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua aspek
kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-
sungguh menghapus fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru
melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu. Ketika konflik kebangsaan
dan keagamaan memunculkan negeri-negeri independen berdasarkan bangsa, Bani
Abbasiyah berusaha untuk menumpasnya [5]. 5
C. Penyebab Disintegrasi
1. Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman
bani Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan
pemerinatahan bani Abbas. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal
berdirinya sampai masa keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiah sudah cukup puas dengan pengakuan

4
Sunanto Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Bogor: Kencana
5
Abdurrahman Mas’ud. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
nominal dari provinsi-provinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama
mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan
kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara
diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil
memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan
Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan
Thahiriyah di Khurasan. Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko,
provinsi-provinsi itu pada mulanya patuh membayar upeti selama mereka
menyaksikan Baghdad stabil dan Khalifah mampu mengatasi pergolakan yang
muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari
Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka
ada yang berusaha menguasai Khalifah itu sendiri.
Kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini
mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki kekuasaan
militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
[5]6
2. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Nabi Muhammad memang tidak
menentukan bagaiman acara penggantian pemimpin setelah ditinggalkanya. Beliau
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan
yangberkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam.
Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat diantara kaum muhajirin dan anshar
dibalai kota bani Sa’idah di madinah. Akan tetapi, karena pemahaman keagaamaan

6
Abdurrahman Mas’ud. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat
diselesaikan. dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada
masa kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk
menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini
sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti
pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi,
terutama di awal berdirinya. Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka yang
tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah
sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-
orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M),
Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih. [5]7
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-
cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para
khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq
berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran,
sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.
Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik
ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.

7
Abdurrahman Mas’ud. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan
penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela
dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.
Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti
Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Konflik yang
dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau
Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salaf. Perselisihan
antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti
Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara
dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu'tazilah
dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak
tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah yang rasional telah
menyempitkan horizon intelektual.[6]8
4. Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat
Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali
keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang
menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak
berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M).
Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini
berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari
tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat
Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah
dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti

8
Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa
peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan
sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke
tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat
Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode. [7]9
a. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa
Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina.
Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini
memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil
menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka
mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama
mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur.
Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-
Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya,
Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan
ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota
Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah
Raymond. [8]
b. Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali
Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M.
Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil
merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh
Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang
Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif
oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin
pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju

9
Sunanto Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Bogor: Jakarta
mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki
Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya.
Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh
Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun
1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali
Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem
yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. [8]10
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan
tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin
oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan
Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun
mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka
yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil
memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara
tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam
perjanjian ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis
tidak akan diganggu. [9]11
c. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan
dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka
berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-
Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina,
Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak
mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya,
Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa

10
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Ilslamiyah II, (Jakarta: LSIK, 2003), hal. 66
117-118

11
Fadil SJ. 2008. Pasang Surut Peradabn Islam Dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN Malang-
Press.
pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir
dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang
Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam terusir dari sana.[9] 12
D. Munculnya Dinasti-dinasti dalam Islam
Munculnya dinasti-dinasti kecil di pusat imperium dan di daerah-daerah sekitarnya
merupakan sebab dari keruntuhan rezim Abbasiyah. Khalifah terpecah belah dalam
bagian-bagian kecil. Kebanyakan wilayah yang mula-mula ditaklukan itu, hanya dalam
namanya saja dan cara menyusun administrasi negaranya tidak menuju kepada stabilitas
dan persatuan Selain itu, bangkitnya identitas parokhial berupa gerakan Syu’ubiyah, juga
merupakan faktor dominan dari proses disintegrasi. [10]13
Beberapa dinasti kecil yang muncul adalah :
1. Dinasti Idrisiyah di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M)
Telah kita ketahui bahwa kesuksesan yang diraih oleh Bani Abbasiyah dalam
menumbangkan kekuasaan Bani Umayyah tidak lepas dari dukungan dan bantuan
beberapa kelompok yang memiliki andil besar seperti keluarga alawiyun dan
kelompok Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa jika Abbasiyah telah berkuasa, mereka
akan mendapatkan haknya yang selama ini hilang dan dirampas Umayyah. Tetapi,
ketika usaha penggulingan itu berhasil apa yang mereka inginkan itu tidak kunjung
tiba, tampaknya mereka merasa dikhianati oleh Bani Abbasiyah.
Hal inilah yang menyebabkan mereka akhirnya menempatkan diri sebagai
kelompok oposan dan membuat kekuasaan tersendiri yang terlepas dari Bani
Abbasiyah
2. Dinasti Aghlabiyah (184 H-296 H / 800 M-908 M)
Dinasti Aghlabiyah merupakan sebuah dinasti yang pusat pemerintahannya
berada di Qairawan, Tunisia. Nama dinasti ini dinisbatkan dari nama Ibrahim ibn al-

12
Fadil SJ. 2008. Pasang Surut Peradabn Islam Dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN Malang-
Press.
13
Syamruddin Nasution. 2017. Penyebab Kemunduran Peradaban Islam Pada Abad Klasik”
Pekanbaru. Hal 13
Aghlab, seorang Khurasan yang menjadi perwira dalam barisan tentara Abbasiyah
pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Pada masa pemerintahan khalifah
Harun al-Rasyid tersebut di daerah bagian barat Afrika Utara muncul dua kekuatan
yang mengancam stabilitas kekhalifahan Abbasiyah. Kekuatan tersebut adalah Dinasti
Idrisiyah yang beraliran Syiah dan kelompok Khawarij.
Dalam rangka mempertahankan pemerintahan Abbasiyah itulah kemudian Harun
al-Rasyid mengirimkan bala tentaranya ke Ifriqiyah (sekarang Tunisia) di bawah
pimpinan Ibrahim ibn al-Aghlab dan berhasil menumpas kelompok Khawarij. Dengan
keberhasilan yang dicapai itulah, Ibrahim mengusulkan kepada khalifah agar wilayah
Ifriqiyah tersebut dihadiahkan kepadanya dan keturunannya secara permanen. Usulan
Ibrahim itu kemudian disetujui khalifah dan secara resmi ia diangkat sebagai gubernur
di Tunis pada tahun 800 M serta diberi hak otonomi secara luas, dan sebagai
imbalannya dia harus membayar upeti tahunan sebesar 40.000 dinar kepada khalifah di
Baghdad
3. Dinasti Thuluniyah di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)
Awal berdirinya dinasti ini tidak bisa dilepaskan dari seorang tawanan perang
Turki yang kemudian dijadikan sebagai pengawal istana al-Musta’in, Namanya
Bayakbek. Pada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh al-Mu’tazz,
Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’tazz dan meninggalkan al-
Musta’in.Setelah penggulingan berhasil, ternyata al-Mu’tazz memberikan jabatan
penting bagi mereka yang telah berjasa dalam penggulingan tersebut. Bayakbek adalah
salah satu orang yang berjasa, sehingga ia menerima jabatan penting tersebut yakni
menjadi gubernur Mesir. Oleh Bayakbek jabatan itu tidak dipegangnya tetapi
diberikan kepada anaknya Ibnu Thulun, yang kemudian ia mendirikan Dinasti
Thuluniyah pada abad IX M. Pada tahun 254 H Ibnu Thulun secara resmi diangkat
sebagai gubernur Mesir.Selanjutnya, Ibnu Thulun melepaskan diri dari kekhalifahan
Bani Abbasiyah. Bahkan, ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat, Aleppo,
dan Antiokia. Karena itu ia kemudian tidak hanya menjadikan Mesir sebagai suatu
wilayah yang merdeka, akan tetapi juga berkuasa atas wilayah Syam. Ia lalu
membangun armada laut tangguh yang berpangkalan di Akka (Acre) sebagai upaya
pengontrolan dan pengawasan wilayah-wilayah kekuasaannya. [11]14

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh
menjadi terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa Kekhalifaan Islam
dimasa lampau yaitu diantaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari
Baghdad, perebutan kekuasaan dipusat pemerintahan, perang salib serta faktor-faktor
yang menyebabkan kemunduran bani Abbasiyah.
Masa disintegrasi itu muncul akibat adanya perpecahan dalam pemerintahan bani
Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak lahir pemerintahan Harun ar-Rasyid
tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat putranya yaiti Al-Amin. Selain itu
yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah persaingan antar bangsa,
kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.
Perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan
perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada
bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam
bidang hukum dan politik.
B. SARAN
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca mengenai Masa
Disintegrasi dan Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil bagi pembaca. Kami tentunya masih
menyadari bahwa makalah ini terdapat kesalahan baik dari bahasa yang kami gunakan
maupun dari susunan kalimatnya. Makalah ini perlu untuk kami perbaiki agar lebih
sempurna lagi, tentunya dengan berpedoman pada kritikan yang diberikan kepada kami
melalui para pembaca.

14
Andi Syahraeni. 2016 Dinasti-Dinasti Kecil Bani Abbasiyah” Makassar hal 9-11
DAFTAR PUSTAKA
[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011), hal. 112.
[2] Tohir Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
[3] Muhaimin. 2005. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media.
[4] Sunanto Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Bogor: Kencana
(5] Abdurrahman Mas’ud. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
[6] Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
[7]Sunanto Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Bogor: Jakarta.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Ilslamiyah II, (Jakarta: LSIK, 2003), hal. 66
117-118
[9] Fadil SJ. 2008. Pasang Surut Peradabn Islam Dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN Malang-
Press.
[10] Nasution,Syamruddin.2017.” Penyebab Kemunduran Peradaban Islam Pada Abad Klasik”
Pekanbaru : Jurnal An-nida’ UIN Sultan Syarif Qasim Riau
[11] Syahraeni,Andi . 2016.” Dinasti-Dinasti Kecil Bani Abbasiyah” Makassar: Jurnal Rihlah
UIN Alaudin Makassar

Anda mungkin juga menyukai