Anda di halaman 1dari 13

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Studi Kebantenan

Dosen Pengampu : Arif Permana Putra, M.Pd.

Disusun oleh :

1. Ragil Febrian (2283200055)


2. Yogi Ramadani (2283200036)
3. Lubna Nadra Hasti (2283200045)
4. Fikri Ardiansyah (2283200033)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN VOKASIONAL TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Syekh Nawawi
Al-Bantani”. Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Studi Kebantenan.

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Arif Permana Putra, M.Pd. sebagai dosen
pengampu mata kuliah Studi Kebantenan yang telah memberikan tugas ini kepada penulis,
selain itu penulis berterima kasih kepada orang tua, teman, dan saudara sehingga kami dapat
menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak sekali kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan agar
kedepannya agar dapat membuat makalah yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Serang, 12 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perlu diperhatikan bahwa kemunculan dan karakter seorang tokoh intelek
sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang mengitarinya. Kondisi sosial,
ekonomi, politik dan sebagainya turut membentuk sebuah wacana yang berkembang
dari seorang intelektual.  Salah satu tokoh intelek dalam khazanah keilmuan Islam di
Indonesia adalah Syekh Nawaai Al-Bnatani. Syekh Nawawi merupakan sosok figur
yang penting dalam pembentukan kelembagaan ulama dan peetransformasian
keilmuan Islam ke Indonesia. Ia juga memiliki gelar “Bapak Intelektual Pesantren
Nusantara”.
Di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai
ulama penulis kitab, tapi ia adalah Mahaguru Sejati. Syekh Nawawi telah banyak
berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di
lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-
tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri
organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru
utamanya.  Dengan demikian, penulis ingin memaparkan perannya Syekh Nawawi
sebagai salah seorang intelek dalam petransformasian keilmuan Islam di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi dari Syekh Nawawi?
2. Apa saja karya Syekh Nawawi?
3. Bagaimana pengaruh Syekh Nawawi dalam perkembangan Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui Biografi Syekh Nawawi
2. Mengetahui karya dari Biografi Syekh Nawawi
3. Mengetahui pengaruh Syekh Nawawi dalam perkembangan Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Syekh Nawawi


Nama lengkap Syekh Nawawi Al-Bantani adalah Abu Abdul Mu’ti
Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani, tetapi ia lebih
dikenal dengan sutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Ia lahir pada tahun
1813 M/1230 H, di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi
Banten. Syekh Nawawi adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Pada tanggal 25
Syawal 1314 H/1897 M, ia wafat di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la di dekat
makam Siti Khadijah, Umm Al-Mukminin istri Nabi.
Ayahnya yang bernama Kiyai Umar adalah seorang pejabat penghulu yang
memimpin masjid. Ibunya bernama Zubaidah, ia adalah penduduk asli Tanar. Dari
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana
Hasanuddin (Sultan Bnaten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam
Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah al-
Zahra.
Syekh Nawawi menikahi dua orang perempuan dan mempunyai empat
orang anak. Hasil pernikahannya dengan Nasimah, istri pertama, Ia mendapatkan tiga
orang puteri yaitu Maryam, Nafisah, dan Ruqayyah. Sementara dengan istri yang
kedua, Ia hanya dikaruniai seorang putri yang diberi nama Zuhro. Menurut penelitian
Rafiuddin Ramli, Syaikh Nawawi mempunyai rantai silsilah hinggakepada Rasulullah
SAW. Pernyataan Rafiuddin, silsilah Syaikh Nawawi- Kyai ‘Umar- Kyai ‘Arabi-
Kyai ‘Ali- Ki Jamad- Ki Janta- Ki Masbugil- Ki Masqun- Ki Maswi- Ki Tajul ‘Arushi
Tanara- Maulana Hasanuddin Banten- Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon- dan
berakhir kepada Husayn- Siti Fatimah al-Zahra dan Nabi Muhammad SAW.
Manakala silsilah ibunya tidak diketahui dengan rinci kecuali yang tersebut: Syaikh
Nawawi- Nyi Zubaydah-Maulana Singaraja.
Pada umur lima tahun ia belajar dengan ayahnya sendiri dan ia belajar bahasa
Arab, Ilmu Kalam, fikih, al-Qur’an. Ia juga belajar Ilmu keislaman kepada Haji Sahal,
seorang guru yang dihormati di Banten pada masa itu.  Pada usia delapan tahun ia
memulai penggembaranyya mencari ilmu di Jawa Timur . Setelah tiga tahun ia
mondok di Jawa Timur, kemudian ia pindah ke salah satu pesantren di daerah
Cikampek, Jawa Barat. Di pesantren inilah ia khusu belajar tentang lughat (bahasa).
Pada usia limabelas tahun, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Di sana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari beberapa cabang ilmu
diantaranya adalah ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan ilmu
fikih. Setelah tiga tahun di Makkah, ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dan
membantu ayahnya untuk mengajar para santri. Namun hanya berapa tahun, dan
kemudian ia bermukim di Makkah. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh
Khtib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia) dan
Syekh Abdul Ghani Bima. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad
Khatib Al-Hambali. Pada tahun 1860 M, ia mulai mengajar di sekitar Masjidil Haram.
Pada tahun 1870 M, ia mulai menulis kitab-kitab.
Kemasyhuran Syekh Nawawi meluas di seluruh dunia Arab. Karya-karyanya
banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi;iyyah. Pada
abad ke 14 H/19 M, karena kemasyhurannya ia mendapat gelar Sayyid Ulama Al-
Hijaz, gelar ini diberikan oleh ulama-ulama di Mesir yang berarti “pemimpin ulama
Hijaz” yang tercantum dalam kitab Tafsir Marah Labib terbitan pertama tahun 1305
H/1887 M. Gelar tersebut di berikan karena kitab tafsirnya tersebut yang di dalamnya
memuat persoalan-persoalan penting hasil diskusi debatannya dengan para ulama Al-
Azhar, Kairo. 
Al-Imam Al-Muhaqqin wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, gelar ini yang berarti
“seorang imam yang mengadakan penelitian dan melakukan pembahasan untuk
mengungkapkan segala masalah yang dianggap sulit, serta ilmuan yang mengadakan
penelitian dan menetapkan suatu dalil (bukti) dengan dalil yang lain”. Sebutan ini
tercantum dalam kitab Tijan al-Darary terbitan pertama tahun 1302 H/1883 M. A’yan
Ulam Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, gelar ini artinya “tokoh ulama abad ke 14
hijrah”, gelar ini tercantum dalam kitab Nihayah al-Ziyan fi Irsyad
alMubtadin terbitan pertama tahun 1297 H/1879 M.
Selain penulis yang genius, Syekh Nawawi juga merupakan pendidik yang
cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang
menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya
adalah Syekh Kholil Bangkalan dari Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng,
Jombang, ia adalah pendiri organisasi NU, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari
Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Abdul Karim dari Banten dan ada
beberapa lagi yang belum disebutkan.
Syekh Nawawi juga merupakan ulama anti kolonialisme Belanda yang pernah
membentuk Koloni Jawa, sebuah perhimpunan masyarakat Jawa (Nusantar) yang
bermukim di Mekkah. Dalam mengungkapkan sikapnya memilih jalur pendidikan dan
keagamaan sebagai medium kaderisasi bagi santri-santrinya yang kemudian hari,
ternyata menjadi tokoh-tokoh pelopor bagi pergerakkan kemerdekaan Indonesia.

B. Genealogi atau Silsilah Syeikh Nawawi Al Bantani


Silsilah Al-Syaikh Al-Imam Nawawi Al-Bantani: Al-Syaikh Nawawi Al-
Bantani (Nama asli beliau adalah Abu abdulmu'thi) bin Umar bin 'Arobi bin 'Ali bin
Jamad bin Janta bin Masbugel bin Maskun bin Masnun bin Maswi bin Sulthon
Sunyararas Tajul'arsy bin Sulthon Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif
hidayatullah bin Sulthon Abdullah bin Ali Nuruddin/ 'Ali Nurul 'Alam bin Maulana
Ibrohim Zainal Akbar Assamarqondy Bin Jamaluddin Husain Al-Akbar (Muhammad
Jumadil Kubro) bin Al-mam Al-Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah 'Azhmat
Khon bin Amir Abdul Malik bin Al-Sayyid 'Alawi('Ammil Faqih) bin Al-Sayyid
Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khola' Qosam bin 'Alawi bin Muhammad bin
'Alawi Bin 'Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Al-Rumy Al-Bashry
Bin Muhammad An-naquib Bin Al-Imam 'Ali Al-'Uraidli bin Ja'far Shodiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal 'Abidin Al-Sajjad bin Sayyidina Al-Imam Husain
bin Sayyidina 'Ali Bin Abi Tholib KRW Wa bin Sayyidatina Fathimah Azzahra' Al-
batul binti Sayyidinaa Wa Maulana Muhammad SAW Al-Rosul

C. Karya Syeikh Nawawi Al-Bantani


Syekh Nawawi telah menulis semua aspek ilmu keislaman. Menurut Martin
Van Bruinessen, kebanyakan karyanya merupakan syarah atas kitab-kitab terkenal,
dengan penjelasa dan pembahasan yang mudah dipahami. Lebih tepatnya ia sebagai
seoran pensyarah (syarih) yang memperkenalkan secara luas kitab-kitab klasik.
Karya-karya Syekh Nawawi diperkirakan lebih dari seratusbuah, informasi yang
berkembang bahwa karyanya berjumlah 115 kitab.
Diantara tulisan tulisannya, ada satu kitab tafsir karangannya yang terkenal
dan sebagai referensi dikalangan pesantren, yaitu; Marah Labid Tafsir al-Nawawi, al-
Tafsir al-Munir Lima’alim al-Tanzil al-Musfir ‘an-Wujuh Mahasnr al-Ta’wil . Kitab
ini menurut catatan Rahman selesai ditulis tahun 1886 M, pada malam Rabu, tanggal
5 Rabi’ul akhir dan dicetak di Cairo tahun 1305 H.
Sedangkan penulisan kitabnya dalam bidang fikih, yaitu; (1) Sullam al-
Munajah, sebagai syarah atas kitab Safinah al-Salah karya Sayyid ‘Abdllah ibn ‘Umar
ibn Yahya al-Hadrami, yang membahas tentang seputar shalat, (2) Bahjah al-Wasa’il,
sebagai syarah atas kitab Masa’il ‘ala al-Risalah al-Jami’ah bain Ushul al-Din wa al-
Fiqh wa Tasawwuf karya Sayyid Ahmad al-Habsyi, yang membahas seputar
pengetahuan ushuluddin, fikih, dan tasawwuf, (3) Nihayah al-Zain, sebagai syarah
kitab Qurrah al-‘Ain karya Syekh Zainuddin al-Malibari yang  membahas seputar
pengetahuan fikih, (4) Al-Simar al-Yani’ah, sebagai syarah atas kitab Riyad al-
Badi’ah karya Muhammad Hasbullah ibn Sulaiman yang membahas seputar ilmu
fikih dan tauhid, (5) Kasyifa al-Saja, sebagai syarah atas kitab Safinah al-Najah karya
Salim ibn Sumair al-Hadrami, yang membahas seputar tauhid dan pengetahuan dasar-
dasar fikih. Kitab ini selesai ditulis pada tanggal 16 Zulhijjah 1277 H.
Dan karya-karyanya dalam bidang tauhid, antara lain yaitu; (1) Tijan al-
Darari, sebagai syarah atas risalah Imam Banjari yang membahas seputar persoalan-
persoalan dasar tauhid, khususnya sifat-sifat mustahl bagi Allah, kitab ini selesai
ditulis pada tanggal 7 Rabi’ul Awwal 1297 H, (2)  Qami’ al-Tugyan, sebagai syarah
atas kitab Manzumah Syu’ab al-Imam karya Syekh Zainuddin al-Malibari, yang
membahas seputar tauhid dan tasawwuf, (3) Qatr al-Gais, sebagai syarah atas
kitab Risalah Masa’il Abi Lais karya Abu Lais Nasr ibn Muhammad al-Samaraqandi
yang memebahas ilmu tauhid.
Karya-karya Syekh Nawawi yang berupa syarah ini memiliki beberapa
keistimewaan, seperti kemampuan menghidupkan isi karangan, sehingga dapat dijiwai
oleh pembacanya. Kemudian, pemakaian bahasa yang mudah dipahami, sehingga
mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya yang
menakjubkan sehingga memiliki keistimewaan tersendiri.
D. Pengajaran oleh Syeikh Nawawi
Berbekal ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama
melakukan rihlah yang cukup panjang (lebih kurang 30 tahun), Syekh Nawawi mulai
memberikan pengajaran (halaqah di Masjid al-Haram). Diriwayatkan bahwa Syekh
Nawawi mengajar di Masjid al-Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika
memberi keterangan terjemahan kitab-kitab berbahasa Arab. Oleh karena dalam
pengajarannya menggunakan bahasa Jawa dan Sunda dan tidak menggunakan bahasa
Melayu, maka muridnya yang berasal dari luar pulau Jawa seperti Sumatera,
Semenanjung Melayu dan Patani tidak banyak.
Riwayat pengajaran Syekh Nawawi juga ketika dia pulang ke Indonesia
pada tahun 1248 H/1831 Masehi. Setelah menetap di Mekah selama tiga tahun. Saat
itu, Syaikh Nawawi mulai mengajar pada usia yang cukup muda, yaitu ketika berusia
21 tahun. Diamengajarkan ilmunya di tanah kelahirannya, Tanara Banten, mendirikan
sebuah masjid dan memimpin pesantren peninggalan ayahnya. Namun, Syaikh
Nawawi tinggal di Indonesia hanya selama lebih kurang tiga tahun saja. Setelah itu Ia
kembali bermukim di Mekah dan mendalami ilmu-ilmu dari guru-gurunya, saat di
Mekah yang kedua kali itulahSyaikh Nawawi mulai mengajar dan menulis. dengan
kecerdasan yang dimilikinya sejak kecil, Syaikh Nawawi cepat mendapat simpati dari
murid-muridnya dan daripembaca hasil karyanya.  Tercatat bahwa jumlah murid yang
mengikuti halaqah Syaikh Nawawi setiap tahun tidak kurang dari 200 orang. Kelas
pengajian atau pengajarannya telah berjalan selama lebih kurang 15 tahun.
Dalam tugasnya mengajar mengenai agama Islam kepada murid-muridnya,
Syekh Nawawi cukup berhasil. Di Mekkah, Syekh Nawawi mengajarkan ilmu yang
dimilikinya kepada para mahasiswa yang berdatangan ke sana dari berbagai negara.
Baik dari Indonesia maupun Arab, atau dari wilayah dunia Islam yang lain, dimana
mereka bermukim di Mekkah dalam rangka menuntut ilmu dari para ulama kenamaan
di pusat pendidikan Islam di Mekkah.

E. Pengaruh Syeikh Nawawi dalam Perkembangan Islam


Di Indonesia, Syekh Nawawi cukup memiliki arti tersendiri dan memiliki
posisi penting di antara para tokoh ulama lainnya. Perlu diperhatikan bahwa sejumlah
jamaah haji yang mukim dan belajar pada Syekh Nawawi di Makkah, dengan bangga
mengajarkan kembali karya-karya dan pemikran-pemikiran Syekh Nawawi di tanah
airnya. Dengan demikian, masuknya karyakarya Syekh Nawawi di kalangan Muslim
Indonesia telah dilanda kontroversi pemikiran kaum tua dan kaum muda atau dalam
istilah Deliar Noor antara kaum Modernis dan Tradisionalis. Di sinilah karya Syekh
Nawawi menjadi jembatan diantara keduanya. Apabila terhadap kitab Tafsir Munir-
nya, bagi kalangan Modernis tafsir ini menjadi inspirator untuk berani menggunakan
al-Qur’an secara langsung sesuai dengan kapasitas keilmuannya sebagai sumber
ajaran Islam. Nah, bagi kaum Tradisionalis, kitab tersebut memberikan cakrawala
baru dalam menggunakan sumber referensi di bidang tafsir.
Setelah karyanya masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan
di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan Van Brunessen dikatakan
bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum  pesantren mulai ada peruhbahan
mencolok. Seperti dalam bidang keilmuan tafsir, ushul fikih, dan hadits mulai
dikaji. Martin Van Bruinessen menyebut bahwa beberapa karyanya adalah berupa
syarah kitab yang telah dipergunakan di pesantren. Syarah-syarah ini benar-benar
menjadi pengganti kitab aslinya. Selain itu Martin juga menyebut tidak kurang dari 22
kali dua karyanya masih beredar dan 11 dari kitab Nawawi termasuk dari 100 kitab
yang paling banyak digunakan di pesantren. Namun sayang sekali Martin tidak
mengidentifikasi kitab-kitab apa saja hasil syarah hasil karyanya tersebut, sehingga
dapat dilihat dengan mudah oleh para pembaca bahwa karangannya benar-benar
bercorak syarah.
Pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang
sama. Polarisasi pemikiran Modernis dan Tradisionalis yang berkembang di Haramain
sering dengan munculnya geraan pembaharuan Afgani dan Abduh, turut memepererat
solidaritas ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar adalah sarjana tamatan
Makkah dan Madinah.  KH. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang murid Syekh
Nawawi yang terkenal asal Jombang dan ia berperan besar dalam konstribusi
memeperkenalkan kitab-kitab Syekh Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dengan
demikian, dapatlah dilihat pengaruh besar Syekh Nawawi dalam dunia kepesantrenan.
Karya-karya Nawawi, yang menjadi referensi utama, bahkan untuk kitab tafsir
yang telah dijadikan sebagai kitab tafsir ke dua atau ditempatkan sebagai
tingkat mutawassith di dunia pesantren setelah al-Jalalain. Peranan Kiyai para
pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar
sekali. Mereka diberbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para kiyai didikan KH. Hasyim Asy’ari memiliki
semangat tersendiri dalam mengajarka karya-karya Nawawi sehingga memperkuaat
pengaruh pemikiran Nawawi.
Pada akhir abad ke 20-an

pesantren memang memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya


penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Pesantren berfungsi sebagai agen perubahan
dan pembaharuan di saat  masyarakat Islam Indonesia tengah membutuhkan
penjelasan doktrin-doktrin Islam tradisoanal yang sederhana dan praktis. Pesantren
dalam hal ini banyak menyuplai tokohtokoh agama yang cukup menopang kebutuhan
pemahaman keagamaan masyarakat. Selain itu pengaruh kuat Syekh Nawawi dalam
dunia pesantren tersebut telah memperkuat fungsi pesantren sebagai agen intelektual
di Indonesia.
Dalam konteks tradisi keilmuan pesantren ini dapat dikatakan bahwa Syekh
Nawawi memang pantas disebut sebagai encyclopedia of Islamic Sciences karena
hampir di semua bidang kurikulum pesantren mengacu pada hasil karya-karyanya.
Dengan model penulisan komentar terhadap kitab-kitab standar tulisan ulama salaf,
karya Syekh Nawawi mampu menempatkan dirinya sebagai buku pengantar bagi
pemula dalam memahami Islamic Studies. Dengan kata lain Syekh Nawawi telah
berhasil memperkokoh fondasi kurikulum pesantren tradisional. Kita juga harus
berterima kasih kepada muridnya seperti K.H. Asy’ari dan K.H. Khalil Bangkalan
serta ulama sezaman lainnya yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar
keintelektualan dan memperkokoh pesantren sebagai pusat perkembangan keilmuan.
Dengan demikian, Syekh Nawawi merupakan sosok figur ulama yang sangat
berpengaruh dalam dunia kepesantrenan di Indonesia. Banyak karyakaryanya yang
menjadi referensi pesantren dan pemikiran dari tulisan-tulisannya yang menjadikan
pembaharuan di kalangan pesantren. Karakteristik pola pemikirannya merupakan
representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat, ditengah-tengah
gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Bahkan, berdirinya NU merupakan
tindak lanjut dari pemikiran Syekh Nawawi melalui perantara KH. Hasyim Asy’ari.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani adalah
seorang ulama Melayu-Nusantara yang telah berhasil melanjutkan tradisi para ulama
Melayu sebelumnya untuk mentransformasikan gagasan keilmuan melalui murid dan
karyanya dari Haramain ke wilayah Nusantara, khusunya Indonesia. Aktivitas dan
perannya dalam menyebarkan Islam di Nusantara khususnya Indonesia sangat
berguna bagi generasi sesudahnya. Dengan melihat aktifitas-aktifitas dakwah dan
peranan yang dilakukan oleh Syaikh Nawawi, antara lain dengan menyebarkan ajaran
Islam melalui pendidikan di Mekah al-Mukarramah, dengan keberhasilan para anak
didik yang kemudian menjadi tokoh dakwah dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Dampak aktifitas dakwah yang dilakukan oleh Syekh Nawawi sampai
sekarang masih terasa dengan maraknya kajian terhadap kitab-kitab karya Syekh
Nawawi di berbagai Pesantren. Dan karya-karyanya yang menjadi kajian utama
referensi oleh kalangan pesantren-pesantren merupakan bukti, bahawasannya Syekh
Nawawi berperan amat sangat penting.  Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh
Zamakhsyarie Dhofier, bahwa hampir seluruh kiyai Pesantren di Jawa menelusuri
geanologi keilmuannya melalui transmisi dari Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Hal
ini menunjukkan bahwa pengaruh Syaikh Nawawi amat besar terhadap perkembangan
agama Islam di Nusantara, terutama di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya, Kendal: Pustaka

Amanah, 2007, hal. 4.

Mamat Slamet Burhanuddin, “KH. Nawawi Banten (w. 1314/1897) Akar Tradisi

Keintelektualan NU”, Jurnal Miqat, Vol. XXXIV, No. 1, 2010, hal. 123.

Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya, hal. 4.

Faisal Ahmad Shah, Peran Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Penyebaran Islam”, Jurnal

Kontekstualita, Vol. 30, No. 1, 2015, hal. 71.

Nur Rokhim, Kiai-kiai Kharismatik dan Fenomenal: Biografi dan Inspirasi Hidup Mereka

Sehari-hari, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015, hal. 89.

Anda mungkin juga menyukai