Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH PERKEMBANGAN

PESANTREN BAHRUL ULUM AWIPARI TASIKMALAYA


(Periode 1900-1955)
Kang Mahrus MS1
mahrus.tasik@gmail.com

Abstrak

Tasikmalaya dikenal sebagai “kota santri” atau tepatnya “kota pesantren”. Hal
itu dibuktikan dengan adanya pesantren-pesantren yang secara kuantitatif berada
di kota ini, salah satunya banyak terdapat di Awipari. Awipari merupakan nama
tempat yang kemudian menjadi nama Kelurahan di wilayah Kecamatan
Cibeureum Kota Tasikmalaya. Disini terdapat pesantren-pesantren besar
diantaranya Pondok Pesantren Bahrul Ulum di Kampung Awipari Wetan, Pondok
Pesantren Hidayatul Ulum di Kampung Awipari Kulon, Pondok Pesantren
Hidayatul Mustafidz di Awipari Kulon, Pondok Pesantren Nurul Huda KH.
Mansur di Cikawung, Pesantren Al-Mubarok dan pesantren-pesantren lainnya.
Uniknya pesantren-pesantren yang berada di Awipari merupakan pesantren yang
secara kekeluargaan dan keilmuan masih satu nasab. Ini menjadi pertanyaan
mendasar, mengapa di Awipari terdapat pesantren-pesantren besar yang
eksistensinya sampai saat ini masih terjaga. Perkembangan pesantren di Awipari
tidak terlepas dari peran Eyang Mama Husen, seorang tokoh yang “tak tercatat”
dalam sejarah perkembangan pesantren di Tasikmalaya pada khususnya dan
Jawa Barat pada umumnya. Sejarah tentang Eyang Mama Husen hanya sebatas
lisan, karena tidak banyak catatan-catatan yang ada. Tulisan ini mudah-mudahan
menjadi awal historiografi tentang sejarah pesantren di Tasikmalaya yang
tentunya akan nampak berbeda dengan penulisan-penulisan sejarah yang sudah
ada.

Pendahuluan

Secara umum tentang pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam

dengan sistem asrama, kyai sebagai central figurnya, masjid sebagai titik pusat

yang menjiwainya. Ini sejalan dengan penegasan Mastuhu dalam penelitiannya

1
Penulis adalah Ketua ISNU Kota Tasikmalaya dan Sekretaris PCNU Lesbumi Kota
Tasikmalaya. Tulisan ini merupakan sebuah catatan awal penelitian tentang Sejarah Pesantren
Awipari kaitannya dengan “Satu Abad Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi Awipari
Tasikmalaya” pada Kegiatan Haol dan Alumni Tahun 2020.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 1


tentang dinamika sistem pendidikan pesantren yang menyatakan bahwa pesantren

adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan

mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fî al-dîn) dengan menekankan

pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-

hari.2

Selanjutnya Mastuhu menyatakan bahwa penyelenggaraan lembaga

pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri di

bawah pimpinan kiyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa orang ulama

dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan

masjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung

sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar, serta

pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Senada dengan pendapat

Mastuhu, Zamakhsyari Dhafier dalam penelitiannya tentang tradisi pesantren

menyimpulkan bahwa pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam

tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan

seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiyai. Pakar ini

mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada lima elemen untuk dapat

disebut pesantren, yaitu ada pondok (asrama), masjid, kiyai, santri, dan pengajian

kitab Islam klasik yang sering disebut kitab kuning.3

2
Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren”, Indonesian-Netherland Cooperation in Islamic Studies,
Jakarta,1994.
3
Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai”,
LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 44-60.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 2


Lalu bagaimana sejarah perkembangan pesantren di Jawa Barat atau

khususnya di bumi Parahyangan? Bagaimana ketertarikan sejarawan terhadap

penulisan sejarah lokal?

Ketertarikan pada sejarah ternyata bukan hanya terjadi dikalangan

akademisi, tetapi juga berasal dari kalangan profesi lainnya. Jagat Historiografi

Indonesia kemudian diramaikan pula seiring dengan semakin berkembangnya

teori-teori dan metodologi ilmu pengetahuan. Hal lain yang juga ikut meramaikan

penulisan sejarah Indonesia adalah munculnya beberapa kepentingan yang

membutuhkan legitimasi sejarah, yang kemudian melahirkan beberapa penulisan

sejarah berdasarkan persepsinya masing-masing. Perkembangan ini menjadi

menarik karena penulisan sejarah menjadi beragam. Keragaman dalam penulisan

sejarah tidak saja mengenai topiknya tetapi juga tentang wilayah objek kajian

penulisan atau penelitian sejarah. Hal ini kemudian melahirkan gugatan kepada

Sejarah Nasional Indonesia, salah satunya dari kalangan umat Islam yang

mempertanyakan bagaimana posisi Historiografi Masyarakat Islam di Indonesia

dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia.4

Ada banyak penelitian sejarah dan historiografinya tentang sejarah

pesantren di Parahyangan yang dapat kita temukan baik oleh para sejarawan

maupun para akademisi. Semisal sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ading

4
Sulasman, “Kyai dan Pesantren dalam Historiografi Islam Indonesia”, (Bandung:
Jurnal Ilmu Sejarah Historia Madania, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Bandung, Vol. 1 No. 2 Tahun 2011, hlm. 6.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 3


Kusdiana, Nina Herlina Lubis dkk. dalam “The Pesantren Networking in

Priangan (1800-1945)”.5

Dari tulisan-tulisan yang ada, penulis menganggap belum ada yang secara

detail melakukan kajian historis atas sejarah pesantren di Kota Tasikmalaya. Hal

ini dianggap penting mengingat Tasikmalaya dikenal sebagai “Kota Pesantren”,

terlebih di Kota Tasikmalaya terdapat satu kelurahan yang bernama Awipari,

disinilah tempat lahir dan berkembangnya pesantren-pesantren yang eksistensinya

terjaga hingga sekarang.

Inilah yang menjadi perhatian lebih penulis untuk mencoba melakukan

penelitian lebih jauh tentang hal ini. Penulis menduga (seperti yang dijelaskan

pula oleh Azyumardi Azra tentang teori “jaringan ulama”) 6 bahwa tokoh-tokoh

pelaku sejarah pesantren tidak “ujug-ujug” datang ke suatu tempat untuk

bermukim dan seterusnya. Orang tua terdahulu tentu mempunyai alasan dan

melalui proses spiritualitas khusus ketika “melaku-lampahkan” jejaknya.

Teori inilah yang menjadi dasar ketertarikan tersebut untuk dituangkan

dalam bentuk tulisan yang sedarhana ini diawali dengan melakukan pengamatan

keberadaan “maqom” sebagai bentuk peninggalan masa lampau. Harapan penulis

selanjutnya adalah tulisan awal ini akan dilanjutkan dengan penulisan sejarah

pesantren secara komprehensif.

5
Ading dkk, “The Pesantren Networking In Priangan (1800-1945)”, Diterbitkan oleh
International Journal of Nusantara Islam. Lihat juga Kusdiana. 2014. Sejarah Pesantren: Jejak,
Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945). Bandung: Humaniora.
6
Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & VIII”: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia”, Penerbit Mizan,
Jakarta, 1998.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 4


Dalam Historiografi terdapat sebuah tahapan heuristik, dalan tahapan ini

dikenal adanya sebuah teori tentang keberadaan maqom atau makam sebagai

indikasi awal adanya permukiman dengan aspek kehidupan yang cukup kompleks.

Maqom atau makam juga mengandung berbagai data yang penting untuk

menggambarkan masyarakat pendukungnua di masa lalu. Jadi maqom atau

makam bukan hanya dapat dilihat sebagai warisan yang harus dilestarikan tetapi

juga harus dicari maknanya. Banyak aspek yang membawa kita kepada

pemahaman makna yang ada pada wujud maqom atau makam sebagai sebuah

warisan.7

Dalam upayanya untuk melakukan penelitian tentang sejarah lokal yang

mungkin “tak tercatat” dalam historiografi Islam di Tasikmalaya pada khususnya

dan Jawa Barat pada umumnya penulis mendapatkan beberapa kata kunci dari

penelitian ini yaitu:

1. Maqom;

2. Silsilah:

3. Eyang Mama Husen;

4. Pesantren Awipari;

Periode Awal (1900-1920)

Tidak banyak sumber yang dapat menjelaskan aejarah perkembangan

Pesantren Awipari pada kurun waktu ini. Perkembangan Pesantren Awipari

periode awal tidak bisa dilepaskan dari peranan Eyang Mama Husen. Penulisan

7
Effie Latifundia, “Perkembangan Awal Islam di Pamijahan Tasikmalaya: Kajian
Makam-Makam Kuno”, Jurnal Purbawidya Balai Arkeologi Bandung, Vol. 1 No. 2 Tahun 2012,
hlm. 215.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 5


terhadap tokoh ini bisa saja dikatakan “subjektif” karena keterikatan emosional

penulis pada garis nasab/silsiah keluarga. Sejak lama pihak keluarga tidak ada

yang berani untuk mengungkapkan asal muasalnya. Ketika ditanyakan kepada

pihak keluarga tidak ada satupun yang “berani” menjelaskan dengan alasan

tertentu.

Ihwal keberanian penulis untuk mencoba mengungkap siapakah sosok

Mama Husen? berawal ketika penulis bersama Tim PCNU Kota Tasikmalaya

menjadi pendamping Tim Ekspedisi Islam Nusantara yang dilakoni Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama.

Dalam ekspedisinya, PBNU memilih Cirebon dan Tasikmalaya sebagai

objek kajian Ekspedisi Islam Nusantara untuk wilayah Jawa Barat. Inilah

mungkin yang dijelaskan oleh Louis Gottschalk bahwa sejarah sebagai proses

rekreasi yang subjektif.8

Teori “tidak ujug-ujug” inilah yang menjadi dasar awal penelitian ini.

Penulis menganggap Cirebon dan Tasikmalaya mempunyai ikatan emosional

dalam sejarah. Setelah mencari kata kunci awal penelitian ini, penulis mencoba

untuk berziarah ke maqom Eyang Mama Husen yang bertempat di Kampung

Awipari Kulon Kelurahan Awipari Kecamatan Cibeureum Kota Tasikmalaya.

Dari kunjungan spiritual tersebut penulis mendapatkan pertanyaan awal

tentang apakah ada hubungan antara maqom Eyang Mama Husen di Awipari Kota

Tasikmalaya dengan maqom Syekh Abdul Wajah di Banagara Ciamis?

Mengingat ada unsur kesamaan dalam tipologi maqom keduanya serta para

8
Lihat Louis Gottschalk, “Understunding History: A Primer of Historical Method”, UI
Press Jakarta, 1975.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 6


peziarah baik keluarga ataupun orang luar yang sengaja berziarah ke maqom

keduanya.

Gambar 1
Maqom Syekh Abdul Wajah
Banagara Cirahong Ciamis

Gambar 2
Maqom Eyang Mama Husen
Awipari Kulon

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 7


Kemudian penulis terus mencoba membuka tabir atas pertanyaan tersebut

sampai akhirnya mendapatkan keterangan dari KH. Endang Ajidin saat

mendampingi Tim Ekspedisi Islam Nusantara di Pamijahan pada tanggal 26 April

2016.9

KH. Endang Ajidin dalam kesempatan itu menjelaskan hubungan

kekerabatan Eyang Mama Husen Awipari dengan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.

Dalam keterangannya ia menyatakan bahwa Eyang Mama Husen masih kerabat

dekat dengan Kangjeng Syekh Abdul Muhyi, ia merupakan putra Eyang Siti

Ruqiyah yang maqomnya berada di daerah Tonjong Desa Joglo Kecamatan

Cikatomas. Eyang Siti Ruqiyah merupakan cucu dari Kangjeng Syekh Abdul

Muhyi yang bersuamikan Eyang Kahfi yang berasal dari Sukapura (Sukaraja).10

Gambar 3
Maqom Eyang Siti Ruqiyah
Joglo Tonjong Pancatengah

9
KH. Endang Ajidin merupakan alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi
Awipari, sesepuh Pamijahan merupakan keturunan dari Syekh Abdul Muhyi.
10
Dialog dengan KH, Endang Ajidin pada tanggal 27 April 2016 di Pamijahan. Dari
penejelasan sumber lain ada yang menjelaskan bahwa Syekh Kahfi berasal dari Mataram.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 8


Gambar 4
Maqom Eyang Kahfi
Joglo Tonjong Pancatengah

Gambar 5
Maqom Syekh Khoerudin dan Syekh Janaluddin
Joglo Tonjong Pancatengah

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 9


Hal senada dikuatkan oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, salah seorang

tokoh Garut yang juga keturunan dari Sukapura. Ia menjelaskan silislah Syekh

Abdul Muhyi kaitannya dengan Galuh dan Sukapura.11

Dalam risalah “Adab-Adaban Ziarah Qubur”, (Alm.) KH. Najmudin atau

dikenal dengan Apa KH. Ahmaji pendiri Pesantren Hidayatul Ulum Awipari

menjelaskan bahwa Eyang Kahfi merupakan saudaranya Syekh Khoeruddin dan

Syekh Jamaluddin.

Berikut adalah silsilah dari Eyang Mama Husen Awipari:

Kangjeng Syekh Abdul Muhyi Safarwadi


(Menikah dengan Sembah Ayu Bakhta/Bakta binti Dalem Sacaparana
bin Kyai Rangga Gede)

Nyai Madyakusumah
(Menikah dengan Syekh Najmuddin Lengkong Kuningan)

Syekh Sembah Imam Waji

Rd. Muhammad Ayin


(Eyang H. Na’im)

Eyang Siti Ruqiyah


(Menikah dengan Eyang Kahfi Sukapura/Sukaraja)

Eyang Mama Husen


(Menikah dengan Eyang Siti Khodijah binti Eyang Abdul Karim)

Para Masayyikh Pendiri Pesantren Bahrul Ulum

11
Rd. Sulaeman Anggapraja, “Sajarah Babon Luluhur Sukapura” Lembaga Komisi
Sajarah Sukapura (K.S.S) Garut, 1976. Hal. 116-117.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 10


Pernyataan KH. Endang Ajidin ini kemudian melahirkan pertanyaan baru

bagi penulis tentang sosok Eyang Mama Husen yang berasal dari “pakidulan”

Cikatomas (Pancatengah) tetapi keberadaan maqomnya berada di Awipari Kota

Tasikmalaya.

Informasi mengenai keberadaan Eyang Mama Husen di Awipari baru

terungkap oleh penulis setelah mendapatkan keterangan dari salah seorang

peziarah di Maqom Eyang Mama Husen. Ia menjelaskan gurunya yang bernama

KH. Dede pernah menceritakan bahwa Alm. Kyai Faqihudin Pengasuh Pondok

Pesantren Bendakerep Cirebon pernah bercerita tentang santri Mbah Soleh pendiri

Pesantren Bendakerep Cirebon yang bernama Haji Abdul Karim. Mbah Soleh

memberikan wakaf seluas satu hektar untuk pendirian pesantren di Awipari.

Selanjutnya didapatkan keterangan bahwa selagi muda Mama Husen mondok di

Pesantren Bendakerep Cirebon dibawah asuhan Mbah Soleh.12

Mbah Soleh merupakan keturunan ke-9 dari Sunan Gunung Jati yang

mendirikan Pesantren Bendakerep Cirebon yang pada awalnya bernama Kampung

Cimeuweuh. Ia hidup semasa KH. Asy’ari pendiri Pesantren Tebuireng yang juga

merupakan ayah dari Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren

Bendakerep Cirebon merupakan pengamal Toriqoh Syatariah, Mbah Soleh (wafat

tahun 1307 H/1886 M).13

12
Keterangan seorang alumni Pondok Pesantren Bendakerep Cirebon.`
13
Tentang sejarah Pesantren Bendakerep Cirebon bisa dibaca tulisan Ima Mutasim,
“Ahlul Bait KH. Faqihudin Pondok Pesantren Bendakerep Cirebon”, dalam
http.//dalilaahsanah.blogspot.co.id/ 2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html?m=1. Lihat juga
Rina Rindanah, “Genealogi Pesantren Benda Kerep dan Pesantren Buntet: Suatu Perbandingan”,
diterbitkan oleh Jurnal Holistik IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 14 Number 02, 2013.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 11


Di Pesantren Bendakerep Cirebon inilah Mama Husen bertemu dengan

Haji Abdul Karim yang berasal dari Awipari Tasikmalaya. Atas petunjuk Mbah

Soleh, Mama Husen diperintahkan untuk ikut bersama Haji Abdul Karim untuk

bermukim di Kampung Awipari Cibeureum Tasikmalaya. Haji Abdul Karim

adalah alumni Pesantren Bendakerep Cirebon yang diberikan amanat berupa uang

(sekitar 100 gulden) oleh Mbah Soleh untuk membeli tanah seluas kurang lebih

satu hektar di Kampung Awipari.

Entah motif apa yang membuat Mbah Soleh memerintahkan Mama Husen

untuk mukim di Kampung Awipari tersebut. Namun dari keterangan tersebut

menggambarkan kedekatan keduanya sebagai kyai dan santri. Selain itu Mbah

Soleh mungkin mengetahui bahwa di Awipari terdapat keturunan-keturunan dari

Pamijahan sebagai pengamal Toriqoh Syatariyah sehingga ia memerintahkan

Mama Husen untuk bermukim di Awipari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya

bahwa Mama Husen merupakan putra dari Eyang Siti Ruqiyah cucunya Syekh

Abdul Muhyi Safarwadi yang berasal Tonjong Joglo Cikatomas.14

Dari hasil penelusuran penulis melalui beberapa literatur silsilah dan

sejumlah tradisi lisan, ditemukan jejak-jejak keturunan Pamijahan di Awipari,

yaitu keturunan dari Syekh Abdul Wajah (dimakamkan di Banagara Ciamis) yang

merupakan suami dari Rd. Ajeng putri Syekh Abdul Muhyi dari istri yang

bernama Sembah Ayu Salamah binti Wiradadaha III/Dalem Sawidak.15

14
Keterangan mengenai Eyang Siti Ruqiah cucu dari Syekh Abdul Muhyi dapat dilihat
dari Risalah/Catatan (Alm.) KH. Najmudin atau dikenal dengan Apa KH. Ahmaji pendiri
Pesantren Hidayatul Ulum Awipari tentang Adab-Adaban Ziarah Qubur.
15
Rd. Sulaeman Anggapraja, “Sajarah Babon Luluhur Sukapura” Lembaga Komisi
Sajarah Sukapura (K.S.S) Garut, 1976. Hal. 119.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 12


Setelah bermukim di Awipari, Mama Husen dijadikan menantu oleh

Eyang Abdul Karim dengan menikahkan putrinya yang bernama Siti Khodijah

(lahir tahun 1284 H). 16 Sesuai petunjuk dari Mbah Soleh Bendakerep Cirebon,

Eyang Abdul Karim kemudian memerintahkan Mama Husen menjadi guru ngaji

di Masjid yang didirikannya dan kemudian mendirikan pesantren di Kampung

Awipari dengan modal tanah hasil pemberian Mbah Soleh.

Hasil pernikahannya dengan Siti Khodijah binti Eyang Abdul Karim,

Mama Husen mempunyai tiga orang anak:

1. H. Mahmudin (Pereng Ciakar);

2. KH. Masduki/Mama Masduki (Awipari Wetan); dan

3. H. Sulaeman (Awipari Kulon).

Periode Tahun 1920-1944

Setelah wafatnya Mama Husen (tahun wafat tidak diketahui), Pesantren

Awipari dilanjutkan oleh putra "pangais bungsu" yang bernama KH. Masduki

(Mama Masduki) sekitar tahun 1920an. Kyai Masduki juga dikenal sebagai

pejuang yang ikut melawan penjajahan Belanda. Dialah yang kemudian

mengembangkan pesantren yang sangat sederhana. Pada tahap awal berdirinya,

pesantren ini hanya berupa sebuah masjid dan pondok yang terbuat dari bambu.

Pendirian Awipari segera mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat

karena keadaan masyarakat sekitar, baik di bidang sosial, politik, ekonomi,

16
Keterangan dari catatan Eyang Abdul Karim, beliau menulis bahwa putrinya yang
bernama Siti Khodijah lahir tepat saat pendirian tajug/masjid di Awipari Kulon pada tahun 1284 H
atau bila dihitung berdasarkan tahun masehi adalah 1863 M.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 13


budaya, agama, masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini terjadi karena praktek

penjajahan Belanda dulu.17

KH. Masduki menikah dengan Hj. Juhronah asal Pangadegan. Dari

pernikahannya ia mempunyai empat orang anak:

1. KH. Busthomi/Abah KH. Busthomi (Awipari Wetan);

2. KH. Tijani (Awipari Kulon);

3. KH. Olon Sahil Mawardi (Awipari Wetan); dan

4. Nyai Ai (Awipari Kulon).

Mengenai kapan berdirinya pesantren ini penulis dapat memberikan

analisis dengan beberapa hal fakta sejarah sebagai berikut:

Pertama, Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Mbah Soleh

Bendakerep Cirebon memberikan uang kepada Eyang Abdul Karim Awipari

untuk membeli tanah seluas satu hektar dan mengamanatkan santrinya yang

bernama Eyang Abdul Karim dan Eyang Mama Husen untuk mendirikan

pesantren di Awipari. Eyang Abdul Karim kemudian menikahkan putrinya yang

bernama Siti Khodijah (lahir tahun 1284 H/1863 M) dengan Mama Husen dan

bermukim di Awipari. Dalam sejarah Pesantren Bendakerep Cirebon disbeutkan

bahwa Mbah Soleh wafat sekitar tahun 1886 M. dengan demikian sebelum tahun

1886 M dapat dipastikan Eyang Mama Husen telah bermukim dan mendirikan

pesantren di Awipari.

Kedua, pada tahun 1926 M KH. Masduki bin Eyang Mama Husen adalah

salah satu ulama yang cukup disegani di Tasikmalaya. Dalam risalahnya KH.

17
Risalah Sejarah Berdirinya Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi Awipari. Lihat juga
Kusdiana. 2014. Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan
(1800-1945). Bandung: Humaniora, Hal. 144.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 14


Ahmad Qolyubi (Mama Unung) asal Madewangi Tasikmalaya bersilaturrahmi

kepada tokoh-tokoh ulama di Tasikmalaya seperti KH. Ruhiyat Pesantren

Cipasung, KH. Sobandi Pesantren Cilenga dan KH. Zabidi asal Nagarakasih

termasuk KH. Masduki Pesantren Awipari untuk mendukung terbentuknya NU di

Tasikmalaya yang saat itu disebut Nahdoh.18

Kedua fakta tersebut dapat dijadikan analisis historis bahwa keberadaan

Pesantren Awipari diyakini telah ada sebelum tahun 1900an dibuktikan dengan

keberadaan maqom Eyang Mama Husen. Pesantren ini juga merupakan pesantren

yang cukup berkembang sebelum tahun 1926 dibuktikan dengan keberadaan KH.

Masduki (Mama Masduki) yang saat itu diminta untuk mendukung berdirinya

organisasi Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya.

Karena aktivitasnya yang sering bermukim di Mekah, maka Pesantren

Awipari diasuh oleh putra tertua Mama Masduki yang bernama KH. Busthomi, ia

merupakan santri KH. Ruhiyat Cipasung Singaparna. Hubungan antara KH.

Busthomi dengan Ajenga Ruhiat tidak hanya sebatas hubungan santri dan guru,

mereka berdua juga dianggap sebagai sosok yang sangat dekat dalam kegiatan

menuntut ilmu. Dapat dikatakan mereka berdua adalah sosok santri senior dan

junior saat mondok di Pesantren Cilenga.19

18
Risalah KH. Ahmad Qolyubi Madewangi disempurnakan oleh Putranya KH.
Muhammad Tobibuddin Qolyubi. Lihat juga http://ansor-tsm.or.id/2016/10/17/kh-ahmad-qolyubi-
rois-syuriah-pertama-nu-cabang-kota-tasikmalaya/
19
Risalah Sejarah Berdirinya Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi Awipari.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 15


Gambar 6
Kebersamaan KH. Busthomi Bersama KH. Ruhiat Cipasung

Keberlangsungan Pondok Pesantren Awipari pun mengalami beberapa

pasang surut seiring dengan pergolakan akibat serangan Kolonial Belanda.

Keberadaan Pesantren sebagai tempat perlawanan kyai dan santri terhadap

penjajah mengakibatkan pesantren-pesantren terus diawasi oleh pemerintah

kolonial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa KH. Masduki dan KH.

Busthomi merupakan salah satu kyai yang berjuang melawan penjajahan.

Dalam tekanan itulah KH. Busthomi beserta para santri dan keluarga

besarnya pernah mengungsi ke Kampung Nyongkod Desa Nagaratengah

Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya.

Pada tahun 1944 Pesantren Awipari berubah nama menjadi Pesantren

Bahrul Ulum atas pertimbangan beberapa hal:

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 16


1. Di Awipari kemudian muncul dan berkembang beberapa pesantren yang

secara silsilah garis keturunan dan keilmuan masih berhubungan satu dengan

yang lainnya seperti Pesantren Hidayatul Ulum, Pesantren Hidayatul Mustafid,

Pesantren Nurul Huda Cikawung dan sebagainya.

2. Pesantren Awipari menjadi target penyerangan pemerintah kolonial Belanda

sehingga KH. Busthomi pernah mengungsi ke wilayah Cineam.20

Perkembangan selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1955 atas gagasan KH.

Busthomi beserta adiknya yang bernama KH. Olon Sahil Mawardi mendirikan

lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Tsanawiyah (MTs.) Bahrul Ulum

dengan Abdul Halim dan Abdul Ghani sebagai pengajarnya. Setelah sebelumnya

dirikan pula lembaga formal lainnya yaitu SMP Islam (SMPI) Tahun 1954,

Madrasah Aliyah (MA) Tahun 1970 dan Taman Kanak-Kanak (TK).21

Saat itu Pondok Pesantren Bahrul Ulum tergolong besar dengan 6 Asrama

untuk para santrinya. Asrama-asrama tersebut diurut berdasarkan abjad A sampai

dengan F. Sayangnya seiring dengan jaman asrama-asrama tersebut kontruksinya

tidak bertahan karena saat itu bangunan asrama yang terdiri dari dua lantai

semuanya terbuat dari kayu dan akhirnya bangunan-bangunan bersejarah tersebut

direnovasi secara total.

Pada Tahun 1968 KH. Busthomi wafat dengan meninggalkan anak-

anaknya yang masih kecil dan belum dewasa, yaitu:

1. Hj. Ojoh Mus’idah/Hj. Idah (Awipari)

20
Ibid.
21
Lihat juga https://mtsbahrululumawipari.wordpress.com

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 17


2. KH. Abdullah Muhaemin (Awipari)

3. Kyai Unu Mujahid (Awipari)

4. Euis Adawiyah (Awipari)

5. Hj. Enung Ruhyati (Awipari)

6. Hj. Eneng Mahmudah (Pesantren Sukahideng)

7. Hj. Dede Noneng (Bandung)

8. Hj. Cucu Nining (Bekasi)

9. KH. Cecep Ridwan (Awipari)

Gambar 7
KH. Busthomi Sesepuh Pesantren Bahrul Ulum Awipari
Generasi ke-3

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 18


Setelah KH. Busthomi wafat, kedudukannya digantikan oleh menantu

beliau yang bernama KH. Ma’sum Suhaemi (suami dari Hj. Ojoh Mus’idah/Hj.

Idah putri Sulung KH. Busthomi). Setelah KH. Ma’sum Suhaemi wafat pada

tahun 2005 digantikan oleh KH. Abdullah Muhaemin (putra kedua KH.

Busthomi). Ia wafat pada tahun 2010 dan sekarang Pondok Pesantren Bahrul

Ulum dipimpin oleh KH. Cecep Ridwan Busthomi (putra bungsu KH. Busthomi).

Gambar 8
Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid
Saat bersilaturrahmi dengan Keluarga Besar
Pondok Pesantren Bahrul Ulum

Tidak salah apabila Zamakhsari Dhofier berpendapat bahwa kyai

merupakan elemen penting dari pesantren. Perkembangan sebuah pesantren

tergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Kelangsungan hidup pesantren

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 19


sangat tergantung pada kemampuan pesantren itu untuk memperoleh seorang kyai

pengganti yang berkemampuan tinggi pada waktu ditinggal wafat oleh kyai

terdahulu.

Ada dua kemungkinan kelangsungan hidup sebuah pesantren setelah

ditinggal oleh kyai pendiri. Pertama, pesantren yang semula besar dan termashur

kemudian memudar dan bahkan hilang. Kedua, pesantren akan semakin besar dan

termashur, karena telah dipersiapkan calon penggantinya untuk meneruskan jejak

perjuangan yang telah dirintis oleh kyai terdahulu.22

Sistem kepesantrenan di Pesantren Bahrul Ulum sejak didirikan sampai

sekarang masih menggunakan sistem sorogan, bandongan, dan wetonan. Kegiatan

belajar dimulai dari tingkat dasar dan menengah yang dilakukan pada pagi, sore,

dan malam hari. Kegiatan belajar dan mengajar dipimpin langsung oleh seorang

kyai dan beberapa kyai lainnya. Adapun materi pengajarannya, antara lain, Al-

Qur’an, Hadits, Akhlak, Fiqih, Ushul Fiqih, Tauhid, Tajwid, Nahwu, Sharaf,

Balaghah, Tarikh, dan Ilmu Tafsir. Kitab-kitab yang menjadi rujukan

pembelajaran sebagia besar masih berbahasa Arab yang ditentukan oleh kyai.

Untuk mengembangkan dirinya sesuai amanat pada pendiri dan

sesepuhnya. Saat ini sistem kependidikan pada Pondok Pesantren Bahrul Ulum

KH. Busthomi menganut dual system:

1. Sistem Umum, dimana para santrinya merupakan anak didik yang mengikuti

program pendidikan formal (SMPI, MTs dan MAN). Untuk menampung para

22
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,
Jakarta, 1982, hal. 61.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 20


santri ini terdapat 6 Asrama (An-Nahdliyyah, As-Su’udi, Az-Zakiyah, An-Nisa,

Darul Amanah dan D Pusaka (Rusunawa).

2. Sistem Takhossus, dimana para santrinya merupakan santri yang khusus untuk

memperdalam kitab-kitab kuning tanpa mengikuti program pendidikan formal.

Terdapat 2 Asrama (Al-Mursyidi dan Al-Fauziyah).

Untuk masyarakat umum, pesantren juga mengadakan pengajian

mingguan, yaitu pengajian setiap malam Rabu dengan materi Akhlak Tasawuf,

pengajian setiap malam Kamis dengan materi Qiraat Al-Qur’an, dan pengajian

setiap malam Jum’at dengan materi Yasinan dan Barjanzi.

Sebagai pesantren tradisional, Pesantren Bahrul Ulum Awipari tidak bisa

dilepaskan dari akar Nahdlatul Ulama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa KH. Masduki pada tahun 1926 ikut mendukung KH. Ahmad Qolyubi dan

Rd. Sutisna Senjaya untuk mendirikan Perkumpulan Nahdoh (NU). Demikian

pula KH. Busthomi sebagai penerusnya aktif dalam organisasi NU, apalagi KH.

Busthomi merupakan santri KH. Ruhiyat Cipasung.

Untuk mengabadikan perjuangan para pendiri dan sesepuh Pondok

Pesantren Bahrul Ulum terhadap NU, maka nama Nahdlatul Ulama dapat dilihat

dalam beberapa bangunan di pesantren ini, seperti Aula Madrasah Pesantren dan

Asrama Putra yang bernama “Asrama An-Nahdliyyah”.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 21


Penutup

Demikian penulisan tentang Sejarah Pondok Pesantren Bahrul Ulum

Awipari (Tahun 1900-1955) kaitannya dengan Satu Abad Pesantren Bahrul Ulum

Awipari Tahun 2020. Tulisan ini merupakan tulisan awal (draft) dan selanjutnya

merupakan pekerjaan rumah bagi keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul Ulum

beserta para alumni untuk menggali kembali sejarah ini dengan ilmiah dan sesuai

dengan metode penelitian/penulisan sejarah (historiografi) yang mudah-mudahan

di kemudian hari terdapat data-data serta fakta-fakta baru agar sejarah pesantren

ini menjadi lebih komprehensif.

Dari catatan penelitian yang sederhana ini dapat diasumsikan bahwa

Pesantren Awipari telah ada jauh sebelum tahun 1920 dengan pertimbangan hal-

hal sebagai berirkut:

1. Peranan Eyang Mama Husen dalam pendirian pesantren di Awipari sebagai

bentuk amanat dari gurunya yang bernama Mbah Soleh dari Pesantren

Bendakerep Cirebon yang wafat sekitar tahun 1307 H/1886 M;

2. Eyang Siti Khodijah binti Eyang Abdul Karim yang menjadi istri Eyang Mama

Husen lahir tahun 1284 H/1863 M. Tradisi saat itu seorang perempuan

dinikahkan pada usia 10-15 tahun. Dengan demikian bila melihat tradisi

pernikahan saat itu, asumsinya adalah Eyang Mama Husen mulai bermukim di

Awipari sekitar tahun 1294-1298 H atau 1873-1878 M. Bahkan mungkin saja

Eyang Mama Husen telah bermukim (menjadi guru ngaji di tajug/masjid yang

didirikan oleh Eyang Abdul Karim) di Awipari sebelum ia menikah dengan

Eyang Siti Khodijah;

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 22


3. Dalam beberapa literatur tentang sejarah kepesantrenan, sebuah pesantren

biasanya dimulai dengan didirikannya sebuah tajug (masjid). Berawal dari

tajug/masjid itulah kemudian menjadi cikal bakal Pesantren Bahrul Ulum yang

sebelumnya dikenal dengan Pesantren Awipari.

Namun tentu saja penulisan ini belum bisa dianggap komprehensif dari

keautentikan sumber datanya. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut

diharapkan dapat dilakukan bersama para alumni untuk untuk melacaknya dan

membuat sebuah buku yang tema besarnya adalah “SATU ABAD PONDOK

PESANTREN BAHRUL ULUM KH. BUSTHOMI AWIPARI

TASIKMALAYA”.

Demikian tulisan singkat dan sederhana ini semoga dapat bermanfaat bagi

kita semua.

Wallohua’lam.

Sejarah Perkembangan Pesantren Bahrul Ulum Awipari Tasikmalaya| 23

Anda mungkin juga menyukai