Anda di halaman 1dari 5

Efektifitas Kegiatan Sorogan dalam Meningkatkan Kualitas Baca Kitab Kuning

Santri; Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Anwar 3

LATAR BELAKANG

Kemajuan dan perkembangan suatu negara dapat ditentukan oleh beberapa


faktor, di antara nya adalah pendidikan. Dengan pendidikan eksistensi negara menjadi
sorotan negara-negara yang ada di dunia. Kemajuan dunia barat contoh nya, seperti
Amerika dan Eropa. Banyak sumber menyebutkan perihal keunggulan dalam bidang
pendidikan nya, seperti model pembelajaran, hasil-hasil penelitian, produk-produk
lulusan, dan masih banyak lagi.1 Ini membuktikan bahwa pendidikan merupakan
salah satu penyuplai keberhasilan suatu negara dengan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas.
Sejarah mencatat, lembaga pendidikan yang paling tua di Indonesia adalah
pesantren. Fakta menarik mengenai lembaga pendidikan yang satu ini adalah tidak
diketahui nya secara pasti kapan mulai populer di kalangan bumi pertiwi ini bahkan
oleh peneliti dalam maupun luar negeri sekalipun. Hal ini diperkuat adanya keraguan
yang dilontarkan oleh peneliti Tarekat dan Tradisi Islam di Indonesia asal Belanda,
yaitu Martin Van Bruinessen, Zamachsyari Dhofier selaku mantan rektor IAIN
Walisongo Semarang yang juga melakukan penelitian terhadap pesantren dengan
judul “Tradisi Pesantren” pada tahun 1985. Peneliti lain seperti, Mahmud Yunus
dengan judul “Sejarah pendidikan Islam di Indonesia” pada tahun 1979, Soegarda
Purbakawatja dengan judul “Pendidikan dalam Alam Indonesia” di tahun 1970,
Murni Jamal dengan judul penelitian nya “Sejarah Pendidikan Islam” berlangsung
dari tahun 1984 sampai tahun 1985, hanya dua tahun saja. Bahkan Nurcholis Madjid
(Alm) dalam karya tulis nya yang berjudul “Bilik-Bilik Pesantren” di tahun 1997,
tidak menuai kepastian kapan kali pertama lembaga pendidikan ini mulai terekspos.
Pastinya sewaktu masa penjajahan Belanda, lembaga pendidikan pesantren sudah
mulai bertebaran di pulau Jawa. Keterpesonaan Nurcholis Madjid (Alm) terhadap
1
Munirah, “Sistem Pendidikan di Indonesia”, Auladuna, 2 (Desember, 2015), 233-234.
lembaga pendidikan ini, ia tuangkan dalam sebuah karya tulis nya yang berjudul
“Bilik-Bilik Pesantren”, berupa:

“Seandai nya negeri kita ini tidak mengalami masa penjajahan, mungkin
sistem pendidikan nya akan mengikuti jalur-jalur pendidikan yang ditempuh
pesantren. Sehingga, perguruan-perguruan yang ada sekarng ini tidak akan
berupa UI, ITB, IPM, UGM, Unair atau yang lain, tetapi mungkin namanya
Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan
seterusnya.”2
Pondok pesantren sendiri tidak asal muncul menjadi suatu istilah namun ia
memiliki asal usul kata dahulu sebelum akhirnya menjadi sebuah istilah. Istilah
“pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat imbuhan “pe” di awal dan
imbuhan “an” di akhir katanya, yang mana kata tersebut dalam bahasa Jawa
mempunyai arti murid. Sedangkan istilah “pondok” berasal dari bahasa Arab ‫""فندوق‬
(“fundūq”) yang mempunyai arti penginapan, wisma, ruang tidur. “dayah” menjadi
nama kusus untuk pondok di daerah Aceh.3 Jadi secara terminologi Pondok Pesantren
banyak para ahli yang mendefinisikan, seperti Zamachsyari Dhofier yang
mengartikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam guna
mengkaji, memahami, menghayati, dan mengimplementasikan ajaran Islam dengan
menekankan urgennya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari, Team
Penulis Departemen Agama dalam buku Pola Pembelajaran Pesantren
mendefinisikan nya sebagai edukasi dan pengajaran Islam di mana di dalam nya
terjadi interaksi antar guru dan murid dengan berlatarkan masjid atau halaman-
halaman pondok untuk menelaah serta mengkaji buku-buku keagamaan karya ulama
era lalu.
Pembelajaran kitab kuning menjadi ciri khas dari tradisi kepesantrenan. Ada
dua metode yang digunakan dalam mengkaji kitab kuning, yaitu metode sorogan dan
bandungan. Ilustrasi metode sorogan adalah satu per satu santri maju menghadap kiai
dengan membawa kitab nya, kiai membacakan dan santri tersebut mengulangi
bacaannya hingga pada target santrri tersebut mampu dapat membaca serta meresapi
2
Republika.co.id, “Menguak pendidikan Tertua”, dalam https://republika.co.id/berita/archive/no-
channel/27945/menguak-lembaga-pendidikan-tertua (diakses pada 7 Maret 2021).
3
Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren”, Al-Tadzkiyyah, 8 (Mei, 2017), 87.
maknanya. Sedangkan metode bandungan gambaran nya, para santri sama
menghadap kiai, hanya saja kiai membaca kitab dengan makna dan keterangan,
sedangkan para santri mencatat semua yang dibacakan kiai nya.4
Seiring dengan kemajuan modernisasi dan globalisasi mendorong santri
supaya mampu mengaktualisasikan problematika-problematika kekinian. Probelm
nya banyak santri yang masih banyak terkendala dalam hal ini, karena jawaban atas
tuntutan tersebut banyak nya bersumber dari kitab-kitab klasik yang memang ditulis
menggunakan bahasa Arab. Sedangkan mereka masih terkendala dengan hal ini.
Bagaimana bisa mengaktulisasikan persoalan jika memahami sumber keilmuan saja
masih kesulitan?.
Maka dari itu perlu adanya observasi lebih lanjut terkait metode sorogan pada
pembelajaran kitab kuning dalam memajukan santri yang berintegriitas tinggi.
Semoga kajian ini memberi sumbangsih penuh terhadap metode sorogan pada kitab
kuning yang diwariskan turun-temurun hingga masa dewasa saat ini kususnya santri
di Pondok Pesantren al-Anwar 3.
Nama: Achmad Luthfi
Kelas/Semester:IQT B/4

4
Mochammad Mu’izzuddin, Juhji, Hasbullah, “Implementasi Metode Sorogan dan Bandungan dalam
Meningkatkan Kemampuan Membaca Kitab Kuning”, 6 (Januari-Juni) 2019, 44.
Maka dari itu muncul Rumor tentang kesulitan seorang santri dalam membahterai
intelektualitas keilmuan agamis nya. Hal ini kebanyakan menjangkiti para santri yang
tengah baru menempuh babak baru nya.

Anda mungkin juga menyukai