Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH SINGKAT TOKOH-TOKOH NU

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester II Mata Kuliah Ke-NU-an Dosen Pengampu: H. Ahmad Yani, S.Ag., M.Pd.I

Disusun Oleh : Partini NIRM. 12.1532

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA 2013

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur hanya milik Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam makalah ini, penulis menyajikan materi berupa biografi dari tokohtokoh intelektual muslim dari berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama maupun gagasan-gagasan pemikirannya yang beliau tuangkan dalam sebuah buku yang berupa karya sastra atau yang lain yang dapat dimanfaatkan demi kemajuan bangsa ini. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritik demi perbaikan makalah ini selanjutnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, 31 Mei 2013 Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ A. Latar Belakang Masalah .......................................................... B. Identifikasi Masalah ................................................................ C. Rumusan Masalah ................................................................... D. Tujuan Penulisan ..................................................................... E. Manfaat Penulisan ................................................................... BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... A. KH. Bisri Musthofa ................................................................. B. KH. Abdurrahman Wahid ........................................................ C. KH. Abdul Wahid Hasyim ....................................................... D. Nur Kholis Madjid ................................................................... E. KH. Ali Yafie .......................................................................... BAB III PENUTUP ..................................................................................... A. Kesimpulan ............................................................................. B. Saran ....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

i ii iii 1 1 2 2 2 2 3 3 6 8 10 13 16 16 16 17

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Awal abad ke-20 sering dikatakan sebagai masa kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia, ditandai dengan munculnya ide-ide dan usaha pembaruan pendidikan Islam, baik oleh pribadi-pribadi maupun organisasiorganisasi keagamaan yang concern di bidang ini. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi pendidikan kaum muslimin yang semakin terpuruk di wilayah ini, sejak diperkenalkannya sistem kelembagaan pendidikan baru oleh pemerintah kolonial, dalam rangka menghadapi berbagai tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat di masa modern. Ide dasarnya adalah bahwa memperbarui sistem-kelembagaan pendidikan Islam merupakan keniscayaan yang tak bisa ditunda-tunda, jika kaum muslimin tidak ingin mengalami ketertinggalan dengan Barat. Nahdlatul Ulama sebagai sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia banyak melahirkan cendikiawan muslim yang handal. Beberapa diantaranya seperti KH. Bisri Musthofa, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Abdul Wahid Hasyim, dan lain-lain. Banyak karya-karya mereka yang bermanfaat dalam rangka mengatasi problematika umat. Beberapa karya mereka dapat berbentuk karya sastra, bibliografi, biografi maupun gagasan mereka yang dapat dipelajari demi kemajuan bangsa dan negara ini. Dalam penyusunan makalah ini menggunakan metode deskriptif analitis, yakni penulis berusaha melengkapi kajian-kajian yang difokuskan pada pemikiran dan usaha-usaha dari para tokoh yang dibahas dalam pembahasan, yakni KH. Bisri Musthofa, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Abdul Wahid Hasyim, Nur Kholis Majid, maupun Ki Hajar Dewantara. Kedua aspek ini penting diperhatikan secara serempak untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai biografi maupun corak pembaruan seperti diusahakan.

B. Identifikasi Masalah Adapun identifikasi masalah dalam makalah ini, antara lain : 1. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas terbesar yang banyak melahirkan cendikiawan muslim yang handal. 2. Banyak gagasan-gagasan dari para tokoh yang dapat dipelajari guna menambah wawasan, yang dituangkan dalam bentuk karya sastra, bibliografi, maupun yang lainnya.

C. Rumusan Masalah Dari uraian diatas, maka penulis dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah atau biografi dari masing-masing tokoh di atas? 2. Apa yang menjadi gagasan-gagasan dan pemikiran dari para tokoh guna memajukan bangsa ini, terutama dalam bidang pendidikan?

D. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui biografi dari masing-masing tokoh yang dibahas. 2. Mengetahui gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dalam rangka pembaharuan terutama dalam bidang pendidikan.

E. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan keilmuan baik berupa biografi tokoh maupun garis pemikirannya dalam memajukan bangsa ini. 2. Manfaat Praktis Memenuhi tugas semester II mata kuliah Ke-NU-an .

BAB II PEMBAHASAN

A. KH. Bisri Musthofa 1. Profil KH. Bisri Musthofa KH. Bisri Mustofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Beliau adalah pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah. Beliau dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 oleh kedua orang tuanya, yakni H. Zaenal Mustofa dan Chotijah dan diberi nama Mashadi. Beliau memiliki tiga saudara yaitu Salamah (Aminah), Misbach, dan Mashum. Setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923, Ia mengganti nama dengan Bisri. Selanjutnya. Ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa. KH. Bisri Musthofa menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil. Selain di pesantren Kasingan, KH. Bisri Musthofa juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asyari dan kemudian beliau belajar agama suci Makah tahun 1936 kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-Maghribi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin. Kiai Cholil Kasingan, selain sebagai guru, beliau juga sebagai mertua KH. Bisri, ia dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama Marufah. Dalam pernikahannya ini, beliau dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1975) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut, dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.

2. Gagasan dan Pemikiran KH. Bisri Musthofa a. Penulis yang produktif Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. beliau tetap menyempatkan diri untuk menulis, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan di kereta, di bus, di mana saja, ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan lahir sebagai karya tulisnya. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah, tafsir Al-Ibriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : 1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3). Ahmad Shofwan (sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh beliau, tema-tema yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi yusuf lan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dan sebagainya. Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, beliau memiliki falsafah falsafah yang menarik. Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra Mbah Bisri, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini. Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim, kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar, seperti biasanya, tapi mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.. Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, Mbah Bisri menjawab: Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi taala sih! Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. Lho Kiai menulis

kok tidak lillahi taala; lalu dengan niat apa? Mbah Bisri menjawab: Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit , periuknya bisa ngguling,saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..katan Mbah Bisri.. Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu. Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa. b. Agamawan Moderat Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang

mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa adalah seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar maruf nahi munkar yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakkan amar maruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya konsep tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima.

B. KH. Abdurrahman Wahid 1. Profil Abdurrahman Wahid Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia. Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen mancanegara tidak luput dari perhatiannya. Disamping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia

film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. Dan beliau juga pernah menjabat sebagai Presiden RI yang keempat.

2. Gagasan dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Kehadiran Gus Durpanggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI Keempat dan Ketua Umum PBNU 1984-1999 yang wafat pada 30 Desember 2009tidak bisa dipisahkan dari sejarah kontroversi dan kenylenehan di negeri ini, utamanya sepanjang era Orde Baru. Semenjak kepulangan dari studinya di Mesir dan Irak sekitar awal 1970an, ia mulai membuat kejutan-kejutan baru. Baik lewat tulisan-tulisannya di pelbagai media massa terkemuka saat itu, maupun lompatan-lompatan tindakannya dari bandara tradisi habitatnya, pondok pesantren, Gus Dur selalu menggulirkan wacana kritis ke hadapan publikjika ia sendiri tidak menjadi konsumsi untuk wacana publik. Pertanyaannya kemudian: mengapa terjadi kontroversi dan mengapa dianggap nyleneh? Apakah karena faktor Gus Dur yang memicu kontroversi ataukah karena kondisi masyarakat atau negara yang belum siap menerima ajakan Gus Dur, sehingga menimbulkan kontroversi dan menganggapnya nyleneh? Pertanyaan ini penting dimajukan setidaknya karena dua hal. Pertama, untuk menguji sejauhmana kualitas pemikiran Gus Dur di hadapan publik sehingga mampu membuat kontroversi dan dianggap nyleneh. Kedua, sebaliknya, untuk menilai sejauhmana kedewasaan masyarakat atau negara dalam menghadapi dan menerima pemikiranpemikiran cerdas dan tindakan-tindakan kritis yang mengagetkan di luar mainstream. Kedua hal ini memang harus dilihat dan diketahui agar kita bisa membaca secara jernih pemikiran atau tindakan Gus Dur, baik dari aspek substantif maupun dari segi pengaruh sosialnya ketika hal itu dilontarkan.

Tema-Tema Pokok Pemikiran Gus Dur Dari studi bibliografis yang dilakukan, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Kini hingga akhir hayatnya (2009) bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok. Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah: a. b. c. d. e. f. g. Pandangan-dunia pesantren, Pribumisasi Islam, Keharusan demokrasi, Finalitas negara-bangsa Pancasila, Pluralisme agama, Humanitarianisme universal, dan Antropologi kiai.

C. KH. Abdul Wahid Hasyim 1. Profil KH. Abdul Wahid Hasyim KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asyari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian. Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asyari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan Mataram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.

Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanakkanak ia sudah pandai membaca al-Quran, dan bahkan sudah khatam alQuran ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik. Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Setelah itu, pulang ke rumah kembali. Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman adDakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

2. Gagasan dan Pemikirannya a. Menerapkan Sistem Madrasah ke dalam Sistem Pesantren Pada tahun 1916, KH. Masum, menantu KH. Hasyim Asyari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa

lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asyari. b. Pokok Pemikirannya Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

D. Nur Cholis Madjid 1. Profil Nur Kholis Madjid


Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir di Mojoanyar, Jawa Timur, 17 Maret 1939 meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan,dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan

10

Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005.

Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren diantaranya Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang, termasuk Pesantren Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.

2. Gagasan dan Pemikirannya a. Dalam Dunia Pendidikan Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh pembaharu yang banyak mengemukakan gagasan pembaruan Islam. Beliau beranggapan perlu adanya peningkatan kualitas intelektual di kalangan muslim termasuk kaum remaja, pelajar atau santri. Tidak hanya menguasai ilmu agama saja, melainkan ikut bersaing dalam dunia modern, sebagaimana yang pernah dicapai kaum muslimin abad pertengahan yang menguasai banyak ilmu pengetahuan dan unggul dalam banyak bidang. Gagasan tentang pembaruan pesantren adalah bagian dari citacita modernisasinya. Perspektif historis menempatkan pesantren pada posisi yang cukup istimewa dalam khazanah perkembangan sosialbudaya dan agama masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan apabila pesantren diposisikan sebagai satu elemen determinan dalam struktur piramida sosial masyarakat Indonesia. Adanya posisi penting yang disandang pesantren menuntutnya untuk meaminkan peran penting dalam setiap roses pembangunan sosial baik melalui potensi pendidikan muupun pengembangan masyarakat. Hal ini kiranya yang membuat Nurcholish Madjid begitu

11

bersemangat

mengembangkan

gagasanya

tentang

pembaruan

pesantren. Gagasanya dan pemikiranya tentang pesatren dapat dilihat dari karyanya yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan . Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pesanten berhak, lebih baik dan lebih berguna mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu tinjuan kembali, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi menjadi jawaban yang komprehensif atas persoalan hidup. b. Pluralisme Dilihat dari karya dan pemikiran Nurcholish Madjid

menunjukkan beliau begitu peka terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Melalui pemikiranya beliau berusaha membesarkan Islam agar tidak hanya unggul dalam kuantitas namun juga kualitas, melihat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sudah tentu banyak SDM yang mampu dikembangkan. Beliau memberikan banyak kontribusi dalam Islam, diantaranya budaya, pendidikan dan yang paling menonjol adalah pluralisme. Jika dekade terakhir ini kita mengenal K.H. Abdurrahman Wachid sebagai tokoh pluralisme, maka pada era 80-an Nurcholish Madjid adalah aktornya. Beliau hadir dengan pahampaham barunya tidak terkecuali pluralisme. Dr. lulusan Chicago ini dikenal sebagai tokoh yang concern atau commited terhadap berbagai masalah kebangsaan. Berangkat dari premis bahwa sekalipun semua agama intinya sama, tapi manifestasi sosio-kulturalnya secara historia berbeda-beda. Cak Nur (sapaan Nurcholish Madjid) menghendaki sejalan dengan semangat Al quran agar fenomena lahiriah ini tidak menghalangi usaha untuk menuju titk temu (common platform) antara semuanya. Menurut Cak Nur umat Islam sebagai golongan mayoritas di Indonesia harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil percaya diri dan bersikap sebagai pamong yang bisa ngemong golongan-golongan

12

lainya. Teori inklusif cak nur sangat memberi tempat pada pluralisme dan kebinekaan, dan mengharapkan umat Islam memberi perhatian yang tinggi terhadap maslah tersebut. Cak Nur sering mengingatkan bahwa pluralisme atau kemajemukan adalah kenyataan yang menjadi kehendak Tuhan

E. KH. Ali Yafie 1. Figur KH. Ali Yafie K.H. Ali Yafie lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah 1 September 1924, putra dari KH. Muhammad Yafie dan Hj. Aisyah. Ia lahir dari keluarga terdidik dan sangat beruntung karena merupakan turunan dari seorang ulama besar. Kakeknya Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang pernah menjadi Guru Besar di Masjid al-Haram. Dua ulama lainnya adalah Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga pernah menjadi Imam di Masjid al-Haram. Warisan kitab dari kakeknya sangat besar peranannya dalam membentuk khazanah intelektual Ali Yafie. Ayah Ali juga adalah seorang ulama yang pernah memimpin sebuah sekolah dengan ratusan murid, selain itu juga mendirikan pesantren Nasrul Haq di Amparita sekaligus menjadi pengasuhnya. Ali Yafie terbilang cerdas, sebab dalam usia yang masih sangat muda, 12 tahun ia sudah dapat membaca kitab kuning. Dengan modal ini, maka ia pun dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada beberapa ulama atau kiai terkenal ketika itu di Sulawesi Selatan antara lain, Syaikh Ali Mathar (Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidrap), Syaikh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syaikh As'ad (Sengkang), Syaikh Ahmad Bone

(Ujungpandang), Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampue-Pinrang). Selain itu Ali Yafie juga mendalami ilmu pengetahuan umum dan beberapa bahasa asing, jurnalistik, dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Ali Yafie dalam perjalanan karirnya pun beragam posisi dan jabatan telah dilaluinya. Ia pernah aktif mengajar mulai dari madrasah

13

hingga perguruan tinggi bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar. Menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur, menjadi anggota staf harian merangkap anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin. Ali Yafie juga aktif dalam dunia politik hingga

mengantarkannya menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai Persatuan Pembangunan dan mengantarkannya menjadi anggota

DPR/MPR RI. Ia menjadi wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syari'ah Bank Muamalat, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dan Guru Besar Universitas Islam Asy Syafi'iyah. Pernah menjadi Rais 'Am Nahdlatul Ulama, salah seorang unsur ketua MUI, bahkan pernah pula menjabat sebagai ketua umumnya dan beberapa jabatan lainnya.

2. Gagasan dan Pemikirannya dalam Fiqih Sosial Ali Yafie dalam kata pengantar bukunya Menggagas Fikih Sosial mengakui bahwa uraiannya dalam buku tersebut bukanlah merupakan fatwa, tetapi pemikiran yang berorientasi pada fikih dalam berbagai macam persoalan menurut pandangan seorang santri. Ia menyadari betul bahwa dirinya hanyalah seorang santri, meskipun oleh banyak kalangan pemikirannya dipandang cukup menggambarkan seorang pemikir modern. Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran Ali Yafie dalam bidang fikih terkait dengan kehidupan sosial antara lain: a. Fardhu Kifayah Dalam pembagian hukum taklifi para ulama membuat lima katagori hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (Abdul Wahab Khallaf, 1972: 159). Pembagian tersebut menghendaki adanya perbuatan dari si mukallaf. Dari kelima pembagian tersebut satu di

14

antaranya akan dibahas adalah hukum wajib. Ulama fikih membagi wajib ke dalam dua macam yaitu: wajib 'ain dan wajib kifayah. Ali Yafie dalam memahami term ini mencoba untuk mencari formulasi dengan memahami secara kontekstual. Dalam usaha pembangunan nasional, norma fikih mesti dipahami secara lebih aktual. Menurutnya, fardhu 'ain merupakan kewajiban individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya, dan yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial kemasyarakatan dan

merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan kondisi masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum (Ali Yafie, 2000: 161). Ali Yafie tidak menyalahkan contoh fardhu kifayah yang selama ini hanya ditujukan pada kewajiban shalat jenazah, tetapi ia memahami bahwa makna fardhu kifayah di sini sangat pasif bahkan cenderung negatif. Dengan argumentasi ini, Ali Yafie mencoba memperkenalkan definisi Imam Rafi'i yang memberi makna aktif terhadap fardhu kifayah. Definisi yang dimaksud sebagai yang dikutip Ali Yafie adalah kewajiban yang menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kemaslahatan baik bersifat keagamaan pun keduniaan yang pelaksanaannya menjamin tegaknya kehidupan bersama (Ali Yafie, 2000: 162). Dicontohkan antara lain: upaya mengatasi kemelaratan masyarakat, memenuhi kebutuhan sandang melalui zakat dan bayt almal. Penyediaan lapangan kerja dengan berbagai profesi, pengajaran, pendidikan, penyuluhan dan bimbingan masyarakat, kontrol sosial, dan semua usaha untuk memakmurkan masyarakat. Dengan demikian, untuk meneguhkan makna fardhu kifayah secara aktif, dibutuhkan pemahaman yang lebih kontekstual, tanpa bermaksud menyalahkan definisi dan contoh yang telah dianut umat Islam selama ini. Jadi makna fardhu kifayah yang lebih aktif adalah

15

kewajiban kolektif untuk memajukan umat Islam yang selama ini menderita dalam segala aspek kehidupan. b. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) Hak Asasi Manusia (HAM) adalah persoalan yang juga tidak luput dari perhatian Ali Yafie. HAM pertama kali dideklarasikan di Perancis tahun 1789 yang lebih popular dengan istilah Declaration des Droits de l'Homme at du citoyen dengan slogannya yang terkenal sejak saat itu, liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fratenite (persaudaraan). HAM pada dasarnya lebih bersifat moral ketimbang politik. HAM saat ini bahkan didengung-dengungkan dan hampir menjadi tuntutan setiap orang karena merupakan milik asasi. Hak hidup, mencari kerja, menuntut ilmu, mendapat perlakuan yang baik, dihormati harga dirinya dan lain-lain, merupakan hak yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Ali Yafie dalam memahami HAM mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang muhtaram, yaitu makhluk yang dimuliakan eksistensinya, ia dilarang dibunuh jika ia makhluk hidup dan dilarang merusaknya jika ia makhluk tidak bernyawa. Manusia menurutnya berstatus ma'shum, yaitu manusia yang terlindungi oleh hukum. c. Pengelolaan Zakat Menurut Ali Yafie zakat memiliki dua aspek penting yaitu: pengeluaran atau pembayaran dan penerimaan atau pembagian, dan yang disebutkan pertama merupakan hal mutlak. Dari kalimat di atas dapat dipahami bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membayar zakat sekaligus memiliki harta. Islam tidak menghendaki umatnya sebagai penerima zakat belaka sebab hal tersebut

menunjukkan ketidakberdayaan sosial-ekonomi umat. Yang disoroti oleh Ali Yafie adalah pemanfaatan dana zakat yang selama ini dilaksanakan sesuai petunjuk fikih. Ali Yafie mengatakan bahwa sistem pemerataan perlu ditinjau kembali. Misalnya setiap penerima zakat diberi masing-masing 10 kg atau lebih

16

setiap tahunnya. Sistem ini oleh Ali Yafie dinilai tidak terlalu efektif. Menurutnya, sistem lama ini perlu diubah dengan jalan memberikan modal kepada penerima zakat hingga tidak lagi menjadi penerima zakat tahun berikutnya, melainkan berubah menjadi pembayar zakat. Dengan cara seperti ini diharapkan jumlah penerima zakat setiap tahunnya semakin berkurang, di sisi lain pembayar zakat semakin bertambah. d. Lingkungan Hidup Isu tentang lingkungan hidup juga tak lepas dari perhatian Ali Yafie. Dalam membahas masalah lingkungan hidup, ia mengacu pada QS. Al-A'raf: 156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi segala sesuatu dan QS. Al-Anbiya': 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu: 1. Rub'ul ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya. 2. Rub'ul muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari. 3. Rub'ul munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan 4. Rub'ul jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan (Ibid, h. 132). Menurut Ali Yafie, gambaran di atas adalah wajah

sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari kehidupan umat manusia. Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada sampah, pencemaran, penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam tetapilebih dari semua itumasalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab ia

17

merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi. e. Pakaian Pakaian merupakan salah satu yang membedakan antara manusia dengan binatang, karena manusia mengenakan pakaian sebagai pelindung dan penutup aurat, sedang binatang tidak. Dalam Al-Qur'an, pakaian disebut dalam beberapa terma antara lain: libas, siyab, zinah, dan riyas. Dua yang disebutkan pertama lebih mengacu pada penutup aurat ("aurat" diartikan dengan rus'an sebagai kehormatan, manusia lebih terhormat dari pada binatang karena menutup aurat), sedangkan dua yang terakhir lebih pada perhiasan (estetika). Ali Yafie dalam membahas mengenai aurat sebagai bagian tubuh yang harus tertutupi, membaginya menjadi dua macam. Pertama , aurat mughallazah, yaitu kemaluan depan dan belakang, dimana keduanya diprioritaskan untuk ditutup dan tidak boleh membukanya kecuali darurat. Kedua, aurat biasa, yaitu bagian tubuh antara pusat dan lutut. Bagi laki-laki terhadap sesamanya atau terhadap perempuan mahramnya kecuali istrinya. Ketentuan ini juga berlaku bagi perempuan terhadap laki-laki bukan mahramnya kecuali suaminya. Ali Yafie menambahkan khusus bagi perempuan, seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, adalah aurat terhadap laki-laki bukan mahramnya. Ali Yafie mengakui bahwa budaya berpakaian adalah ciri peradaban manusia sebagai makhluk terhormat. Ia menambahkan bahwa standar berpakaian adalah takwa (pemenuhan ketentuanketentuan agama Islam mengakui adanya kecenderungan manusia untuk memilih makanan dan pakaian yang baik serta indah karena itu adalah fitri bagi manusia.

18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, diantaranya: 1. Masing-masing tokoh notabenenya berasal dari keluarga pesantren. Selain itu mereka berbeda dalam latar belakangnya. Ada yang berasal dari budayawan, tokoh pendidikan, cendikiawan muslim maupun kalangan pesantren. 2. Banyak buku-buku maupun kitab yang telah mereka tulis baik berupa gagasan maupun pemikiran mereka, baik dalam bidang fiqih, pendidikan maupun bidang sosial lainnya dalam rangka memajukan bangsa ini.

B. Saran Makalah ini semoga dapat dilengkapi lagi dan dikaji semakin mendalam mengenai biografi tokoh maupun garis pemikirannya sehingga kelemahan maupun kekurangan dalam penyusunan makalah ini dapat dilengkapi dan disempurnakan.

19

DAFTAR PUSTAKA

Abduddin Nata. (2004). Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada A. Aziz Masyhuri. (tt). 99 Kiai Kharismatik Indonesia. Yogyakarta: Kutub.
A. Qodri A. Azizy. (2003). Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern. Jakarta: Teraju.

Ali Yafie. (2000). Menggagas Fiqih Sosial. Bandung: Mizan http://id.wikipedia.org/wiki/Mustofa_Bisri http://www.sarjanaku.com/2012/12/biografi-gus-dur-profil-abdurrahman.html Jamal D. Rahman. (1997). Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan. Musthofa Bisri. (2005). Gus Mus dalam Taqdim Buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Musthofa. Yogjakarta: LKiS.

20

Anda mungkin juga menyukai