Anda di halaman 1dari 9

Makalah ilmu kalam

Pemikiran tokoh ulama di Indonesia

: Di susun oleh -
Hadi Alaudin M -
M yasin Abdul Majid -
Kata Pengantar

Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga
saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulis diberi
untuk menyelesaikan makalah tentang “pemikiran tokoh ulama di indonesia”. Makalah
ini ditulis untuk memenuhi syarat nilai mata kuliah ilmu kalam

Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada


setiap pihak yang telah mendukung serta membantu penulisi selama proses
penyelesaian tugas akhir ini hingga selesainya makalah ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan pada :

1. Ibu Dyah Fadhillah S.E., M.M. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan tugas
yang diberikan.

2. Bapak Eko Purnomo selaku narasumber dari penulisan tugas akhir penulis.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai pentingnya pendidikan kewarganegaraan


bagi masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran yang signifikan dalam
membangun masyarakat yang cinta tanah air. Makalah iniberisi paparan peran secara
keseluruhan pendidikan kewarganegaraan bagi masyarakat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih jauh dari sempurna
serta kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan penulis. Maka dari itu
penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 15 Februari 2021

Penulis
Daftar isi
cover .1
kata pengantar .2
isi / materi .3
materi .4
Pemikiran k.h hasyim asyari

Di antara ayat Alquran dalam surah al-Anfal ayat 46 yang dikutip Kiai
Hasyim yang maknanya adalah: “Dan janganlah kamu saling bertengkar,
nanti kamu jadi gentar dan hilang kekuatanmu dan tabahlah kamu,
sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang tabah.” (Ibid, hlm 138).
Perintah Allah ini sangat jelas dan konkret, tetapi umat ini terus saja
bertualang dalam pertengkaran dan perpecahan.

Kiai Hasyim telah mengingatkan semuanya ini jauh sebelum sebagian


besar dunia Muslim melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-
PD (Perang Dunia) II.

Kita ikuti selanjutnya fatwa Kiai Hasjim tentang bahaya fitnah:

Sementara itu, ada segolongan orang yang telah terjun ke dalam lautan
fitnah; memilih bid’ah-bid’ah dan bukan sunah-sunah Rasul dan
kebanyakan orang mukmin yang benar hanya terpaku. Maka, para ahli
bid’ah seenaknya memutarbalikkan kebenaran, memungkarkan makruf dan
memakrufkan kemungkaran. Mereka mengajak kepada kitab Allah,
padahal sedikit pun mereka tidak bertolak dari sana. (Ibid, hlm 143).

Tidak lupa sebelumnya Kiai Hasyim mengutip bait seorang penyair:

Berhimpunlah anak-anakku bila kegentingan melanda

Jangan bercerai-berai sendiri-sendiri

Cawan-cawan pun enggan pecah bila bersama

Ketika bercerai

Satu-satu pecah berderai. (Ibid, hlm 141).

Betapa tingginya semangat Kiai Hasyim untuk mengukuhkan konsep


perpaduan dan keutuhan umat, tetapi alangkah sukarnya. Selama puluhan
abad umat ini tidak pernah jera dalam bersengketa dan bermusuhan, tidak
terkecuali di Indonesia.

Perpecahan ini pada umumnya dipicu oleh perebutan kekuasaan politik


yang ironisnya dimulai oleh elite-elite Quraisy kader-kader inti Nabi.
Perpecahan ini kemudian menjalar ke seluruh bangsa-bangsa Muslim non-
Arab sampai hari ini. Diktum Alquran tentang persatuan umat dan bahaya
perpecahan tidak lagi dijadikan acuan dalam kehidupan kolektif mereka.

Kiai Hasyim tidak hanya memberikan fatwa teologis, tetapi juga terjun ke
gelanggang. Demikianlah, pada 1937, dua tahun sebelum meledaknya PD
II, telah dibentuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dalam upaya merajut
persatuan umat, dan Kiai Hasyim adalah rais majelis yang baru dibentuk
itu.

Pada 7-8 November 1945 atas prakarsa NU, Muhammadiyah, PSII, dan
lain-lain, di kampus Madrasah Mu’allimin Yogyakarta (didirikan Ahmad
Dahlan tahun 1918) dibentuk Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin
Indonesia) dengan Kiai Hasjim sebagai rais akbarnya. Posisi ini
dipegangnya sampai wafat pada 1947. Bagi Kiai Hasyim, Masyumi adalah
satu-satunya partai umat Islam di Indonesia pascaproklamasi
kemerdekaan.

Gagasan besar Kiai Hasyim tentang persatuan umat tidak bertahan lama
karena virus kekuasaan politik telah membelah lagi umat ini untuk kesekian
kalinya. Pada saat wafatnya Kiai Hasyim bulan Juli 1947, PSII melepaskan
diri dari Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik
independen.

Partai Masyumi mulai goyang, sekalipun belum seberapa. Tetapi,


saat NU mengikuti jejak PSII pada 1952 dengan mengubah dirinya dari
jam’iyah (gerakan sosial keagamaan) menjadi partai politik, tubuh Masyumi
sudah keropos.

Dengan tidak perlu mengungkit siapa yang salah sebagai penyebab


perpecahan ini, yang pasti pesan-pesan Kiai Hasyim tentang persatuan
umat tidak lagi dipegang, setelah Hadratus Syekh ini wafat meninggalkan
umat dan bangsa yang dicintainya. Selama 32 tahun NU berperan sebagai
partai politik, sampai pada Desember 1984 saat kembali lagi ke khitah
1926.

Dan, Masyumi telah diperintahkan bubar di akhir 1960 oleh rezim yang
berkuasa atas desakan PKI (Partai Komunis Indonesia). (Lih Ahmad Syafii
Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstituante. Bandung-Jakarta: Mizan-Maarif Institute,
2017, hlm 155-165).

Akibat perpecahan politik ini, Kiai Hasyim seakan-akan kemudian hanya


milik NU, padahal sejatinya dia adalah tenda besar umat Islam Indonesia.
Sejarah hidupnya adalah saksi hidup tentang kesimpulan kita ini. Setelah
Masyumi bubar, kekuatan politik umat Islam Indonesia semakin rapuh dari
waktu ke waktu.

NU sendiri juga tidak mampu menjadikan dirinya sebagai imam politik umat
Islam Indonesia. PSII pun kemudian berkeping-keping karena perpecahan
internal yang tidak dapat disembuhkan.

Pemikiran k.h ahmad dahlan

MADRASAHDIGITAL.CO – Berbagai literatur menggambarkan bahwa islam yang


datang ke indonesia secara massif dan berkesinambungan adalah corak pemikiran
islam abad pertengahan yang dominan corak sufistik dan teologi tradisional versi
asya’riyah dan maturidiyah. Pandangan ini berdasarkan atas penelitian terhadap buku-
buku yang digunakan pada lembaga pendidikan pesantren abad ke 19 menunjukkan
bahwa buku-buku aqidah (teologi) yang digunakan semua berasal dari kitab-kitab
teologi tradisional.

Hal itu dapat dibaca dari kitab-kitab sebagai berikut: Bahjat Al-‘Ulum (As-


samarqani), Umm Al-Barahin (As-Sanusi al-husaini), Al-Mufid (Sulaiman al-
jazuli), Fath Al-Mubin (Muhammad al-bajuri), Kifayatul Al-Awam dan Al Miftah Fi
Syarh Ma’rifat Al-Islam (Muhammad bin Asy-Syafi’i), Jauharat At-Taubah dan Iftah
Al-Murid (Ibrahim al-Laqani) (Karel A Sreenbrink: 1984 h. 157-158). Teologi
tradisional, menurut Harun, Nasution memiliki ciri-ciri, yakni kedudukan akal yang
rendah, ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya, kebebasan
berpikir yang diikat oleh banyak dogma, ketidakpercayaan kepada sunatullah dan
kasualitas; terikat kepada arti tekstual dari Al-Qur’an dan hadis; statis dalam sikap dan
berpikir.

Aliran kalam ini diwakili oleh Asy’ariyah dan Muturidiyah Buhkara. Teologi rasional
atau teologi sunnatullah memiliki ciri-ciri, yakni kedudukan akal yang tinggi,
kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya, kebebasan berpikir hanya
diikat oleh ajaran dasar dalam Al-Qur’an dan Hadits yang sedikit sekali jumlahnya,
percaya adanya sunnatullah dan kausalitas, mengambil arti metafor dari teks wahyu,
dinamis dalam sikap berpikir. Aliran kalam ini diwakili oleh Mu’tazilah dan
Maturidiyah samarkan.

Selama beberapa abad pandangan teologi tradisional ini menjadi pandangan islam di
indonesia. Tetapi ketika terjadi gerakan pembaharuan di dunia Islam yang dipelopori
oleh jamaluddin al-afghani, muhammad abduh dan Rasyid Ridha, mulai kembali di
perkenalkan pandangan teologi rasional. KH Ahmad Dahlan yang pendiri
Muhammadiyah dan memimpinnya tahun 1912-1923 adalah tokoh yang banyak
berkenalan cengan pembaharuan dan teologi rasional Muhammad Abduh.

Dahlan sejak masa muda dikenal sebagai anak yang sangat pintar bahkan ia dikenal
sebagai tokoh yang tekun membaca dan menelaah pemikiran keislaman reformis. Ia
menekuni pemikiran yang bernapaskan tajdid (pembaharuan) dan dakwah, dari sinilah
kemudian ia tergugah untuk berbuat sesuatu agar umat Muslim di Indonesia
menyadari tentang cita-cita yang terkandung dalam ajaran Islam.

Berangkat dari kesadaran bahwa Islam agama yang membebaskan, beliau tergugah
melihat dan memahami bahwa umat Islam yang berada disekitar tempat tinggalnya
sangat terbelenggu dan prihatin. Banyak di antara mereka yang terbelenggu
kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan kejumudan yang disebabkan oleh adat
istiadat dan keyakinan keagamaan yang tidak masuk akal bahkan telah
menjerumuskan pada perihal syirik. Sedangkan, mereka belum memahami betul
tentang ajaran agama dengan baik dan benar, ibadah hanya dilaksanakan secara
formalitasdan terbatas hanya pada shalat, zakat, puasa, dan haji. Persoalan
kemasyarakatan seperti kemiskinan dan perkembangan zama tidak banyak diajarkan
pada mereka.
Seiring dengan berkobarnya api pembaharuan dalam islam di Timur Tengah yang
diploklamirkan oleh Jamaluddin al-afghani dan Muhammad Abduh segera mengalir
ke nusantara memberikan janji-janji dan harapan baru bagi tokoh-tokoh islam untuk
mengadakan gerakan pemurnian dan pembaharuan. Kiyai Ahmad Dahlan merupakan
salah satu tokoh gerakan yang menyalakan api pembaharuan di Nusantara, dengan
mendirikan Muhammadiyah. Ide-ide pembaharuan beliau dipengaruhi oleh pendidikan
agama dan realitas sosial-keagamaan selama di nusantara dan di Saudi Arabia.

Tambah lagi oleh bahan bacaan yang sering beliau gali dari Majalah Al-Manar dan
bahkan beliau pernah berjumpa langsung dengan Muhammad Rasyid. Sebagai
gerakan social-keagamaan, Muhammadiyah merumuskan identitas dan aspek
gerakannya. Idetitas Muhammadiyah adalah sebagai gerakan islam, dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar dan tajdid. Bergerak dalam tiga hal atau bidang yaitu, bidang
sosial, bidang keagamaan, dan bidang sosial pendidikan atau sosial kemasyarakatan.
Melalui identitas dan bidang gerakan inilah, Muhammadiyah dikenal sebagai
organisasi modern yang terbesar di Nusantara bahkan dunia.
Gagasan pembaharuan ini kemudian melahirkan sebuah pandangan teologi social
yang berbasis pada prinsip tauhid dan amal. Karena itu Muhammadiyah dikenal
sebagai gerakan pembaharuan social-religius, reformis-religius dan agent of social
change. Beliau menanamkan ideologi yang berupaya menerapkan norma-norma
agama atas realitas sosial untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan zaman yang
berpegang teguh pada dasar-dasar yang sudah diletakkan oleh agama, yaitu Al-Qur’an
dan sunah. Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan tentang pemikiran Ahmad Dahlan
yang berkaitan dengan teologi sosial.
Term teologi pada dasarnya bukan khazanah baru dalam pemikiran islam. Faktor awal
yang melatar belakangi lahirnya pembahasan tentang teologi ini adalah persoalan
politik yang berujung pada masalah teologi. Perkembangan selanjutnya, ketika
meluasnya wilayah dakwah islam yang ditandai adanya transformasi intelektual
muslim melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Penggunaan term ini sebagai substitusi atau pengganti terhadap term kalam. Mengutip
dari Wolfson, proses sejarah yang berulang re historica progcce. Pada dasarnya,
kedua term tersebut meskipun berkembang dalam tradisi agama kristen akan tetapi
substansinya sama yaitu ilmu yang berkaitan dengan tuhan dan berbagai devirasinya,
.baik dalam relasi-Nya dengan alam semesta maupun manusia
penutup

Anda mungkin juga menyukai