Anda di halaman 1dari 51

25 Tokoh Islam Damai di Indonesia

Ditulis oleh Ade Armando

Minggu, 01 Juni 2008 00:00

(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Madina No. 6, Tahun I, Juni 2008 di Rubrik Laporan Utama)

Sementara ada gelombang aksi radikal yang dipertontonkan sejumlah kelompok berjubah Islam, di
negara ini ada juga cukup banyak tokoh yang mengumandangkan dan menjalankan pesan-pesan
kedamaian dan keadilan Islam.

Mereka inilah (sebagian dari) kalangan yang menjadikan wajah Islam nampak sejuk dan indah. Mereka
inilah orang-orang yang berusaha menjadikan Islam benar-benar rahmat bagi sekalian alam.

Di Indonesia, memang ada banyak kelompok yang atas nama Islam menyerang, merusak, mengobrak-
abrik kaum yang mereka anggap sesat. Di Indonesia, memang ada banyak pula orang yang berusaha
mengingatkan bahwa Islam sebetulnya adalah ajaran yang membawa nilai-nilai kedamaian,
keharmonisan, keindahan.

Kelompok yang mencintai kedamaian ini ada di banyak wilayah kehidupan. Majalah Madina dengan
sengaja memilih 25 nama yang merupakan tokoh-tokoh utama yang mewakili gelombang Islam damai
itu.

Ada sejumlah kategori yang dilekatkan pada mereka. Mereka harus beragama Islam dan dikenal sebagai
tokoh Islam. Mereka cukup dikenal oleh banyak orang, atau muncul di berbagai media sehingga dikenal
banyak orang. Mereka mengerjakan hal-hal yang mereka orientasikan untuk kepentingan banyak orang.
Mereka berpengaruh.

Dalam hal damai, mereka seharusnya dikenal tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Mereka bukan kalangan yang memberi pembenaran atau mendukung
penindasan terhadap perbedaan. Mereka secara terbuka menyuarakan gagasan-gagasan yang
mendukung kedamaian.
Dengan dasar itulah, daftar 25 nama ini tersusun. Tentu orang bisa tak setuju sepenuhnya. Tentu bisa
ada kesalahan di sana-sini. Tapi, kami percaya, sebagai sebuah potret umum, daftar ini sudah memadai.

Sekadar catatan, sebenarnya agak sungkan juga untuk menempatkan nama-nama anggota Dewan
Redaksi Madina dalam daftar 25 ini. Beberapa anggota Dewan Redaksi sudah menyatakan
keberatannya. Namun, masalahnya, redaksi Madina memiliki independensi untuk memutuskannya.
Kami menganggap, daftar 25 ini absah adanya. Bila pembaca keberatan, silakanlah berkomentar..

1. Abdullah Gymnastiar

Ketika pada November 2002,Time, menurunkan laporan khusus mengenai AA Gym, majalah prestisius
AS itu menggunakan judul yang mencerminkan kekaguman pada pendakwah asal Bandung ini: Holy
Man.

AA Gym tentu saja bukanlah manusia suci. Tapi memang ada banyak pihak yang memandangnya dengan
penuh harap sebagai sosok yang bisa mewakili Islam dalam citra yang penuh damai dan kasih.

Bukan saja Time yang membuat laporan khusus tentang pria yang bernama lengkap Abdullah
Gymnastiar ini. Dalam waktu yang berdekatan ketika itu, jaringan stasiun televisi besar di AS, NBC, serta
surat kabar New York Times juga meliputnya. Kurang lebih semangat mereka sama: kalaulah ada lebih
banyak ulama seperti AA Gym, Islam memang bisa menjadi agama yang dipercaya membawa
perdamaian.

Beragam media internasional itu terutama menekankan keberhasilan AA Gym sebagai pendakwah
kontemporer yang mampu bicara pada puluhan juta umat Islam di Indonesia dengan cara yang khas. Ia
tidak tampil sebagai ulama yang nampak serius dan berjarak, dan juga tidak sebagai cendekiawan yang
melangit. Ia bicara dengan pendekatan yang populer dan renyah; gayanya teatretikal, kerap lucu,
flamboyan dan memukau.

Namun lebih penting dari itu, adalah pesan-pesannya. Ia dianggap konsisten menyebarkan pesan-pesan
tentang arti penting pengendalian diri, moralitas, kepercayaan yang penuh pada Tuhan namun juga
toleransi pada sesama.
Dan semua pesan itu sepenuhnya relevan dengan kondisi Indonesia saat itu – dan sampai saat ini -- yang
dilanda berbagai persoalan mendasar sebagai sebuah negara dan bangsa: konflik etnik, kekerasan atas
nama agama, konflik politik dan penyalahgunaan kekuasaan, keterpurukan ekonomi, sampai aparat
keamanan yang korup. Dalam kesemrawutan itulah, seperti ditulis Time, beragam kelompok militan dan
teror menemukan lahan yang subur untuk berkembang. Tokoh seperti AA Gym adalah contoh tokoh
yang dapat mengerem skenario muram tersebut.

“Kita hanya akan maju kalau kita mau mendengarkan hati nurani kita,” kata AA Gym. ”Tak ada satupun
partai politik atau kelompok yang akan sanggup mempersatukan Indonesia. Itu semua harus datang dari
hati nurani kita.”

Salah satu hadis yang kerap dikutipnya adalah ucapan Nabi soal hati. “Nabi mengatakan dalam tubuh
kita ada sebuah organ yang kalau itu baik, baik jugalah seluruh manusia itu. Tapi, kalau ia busuk, busuk
pulalah seluruh manusia itu,” katanya mengutip. “Organ itu adalah hati.”

AA Gym memang sangat menekankan arti penting hati. Ia misalnya menawarkan konsep Manajemen
Qalbu, yakni sebuah gagasan untuk senantiasa memahami hati atau kalbu diri sendiri agar mampu
mengendalikan diri. Dengan senantiasa melihat kembali ke dalam kalbu, apa yang nampak secara fisik
akan hadir sebagai sesuatu yang sementara.

Karena itulah, perbedaan antar kelompok bukanlah sesuatu yang seharusnya memecah belah bangsa.
Dengan bahasanya yang sederhana, ia berulang-ulang mengingatkan pernyataan Nabi Muhammad
bahwa perdebedaan adalah rahmat. Dalam berbagai ceramahnya,ia senang memberi contoh tentang
bangunan beton. ”Beton campurannya terdiri atas semen, besi, batu krikil, dan air, tapi bisa berdiri
dengan kokoh dan kuat, karena bahan-bahan yang di dalamnya tidak saling menonjolkan diri,” ujarnya.
”Demikian juga bangsa ini bisa kokoh dan kuat serta tidak bisa diadu-domba dan dijajah oleh bangsa
lain, jika kompak dan tidak suka menonjolkan diri.”

Karena pesan-pesan damainya itu, AA Gym diterima oleh beragam kalangan. Saat kerusuhan di Poso
berlangsung, AA Gym terbang ke sana. Di Palu ia melakukan tablig akbar yang dihadiri lebih dari sepuluh
ribu jamaah di Masjid Agung Darussalam. Seusai itu ia berceramah di hadapan komunitas Kristen di
Tentena. Di kedua tempat ia bicara soal ketiadaan mata hati sebagai biang kerusuhan dan konflik di
Indonesia. Di kedua tempat itu, ia dielu-elukan.
AA Gym tidak sekedar berceramah. Ia mengembangkan komunitas Daarut Tauhid (DT) yang
diharapkannya dapat menjadi contoh masyarakat Muslim yang bersatu, saling membantu dan hidup
mandiri secara ekonomi. DT -- yang berarti perkampungan atau rumah bagi orang-orang yang bertekad
mengabdi hanya kepada Allah – mengembangkan berbagai unit usaha bersama dan mengembangkan
kemampuan manajemen dan kewirausahaan dalam masyarakat Islam.

Selain sebagai pondok pesantren, DT juga mengembangkan percetakan, penerbitan, stasiun radio,
tabloid, penyewaan gedung, rekaman VCD dan kaset, supermarket. DT juga mendirikan koperasi dan
panti asuhan.

Ironisnya, pendakwah yang senantiasa menggaungkan pesan-pesan penuh kasih itu justru menjadi
sasaran boikot dan pembunuhan karakter segera setelah ia mengumumkan pernikahan keduanya pada
Desember 2006.

2. Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif (73 tahun) adalah salah satu tokoh yang paling konsisten menyuarakan secara
terbuka pembelaan terhadap keberagaman dan perdamaian di Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya
yang tajam, ia mengecam segenap radikalisme: dari George Bush sampai Front Pembela Islam, dari
kaum radikal Kristen sampai radikal Islam.

Tiga tahun yang lalu, misalnya, ia memperkenalkan istilah “preman berjubah” yang ditujukannya pada
kelompok-kelompok Islam yang senang menggunakan jubah putih saat melakukan penyerangan atas
kalangan yang mereka tidak sukai. Baginya, kelompok-kelompok radikal itu hanyalah kaum yang haus
kekuasaan, tak memiliki masa depan dan tak menawarkan apa-apa bagi umat manusia.

Sebaliknya, ia juga mengecam terbuka pemerintah AS yang menurutnya justru menjadi pelaku dan
penyebab tumbuhnya terorisme di dunia. Ketika George Bush datang, Maarif mempertanyakan secara
terbuka manfaat kunjungan sang Presiden AS ke Indonesia. Tahun lalu, terkait dengan perang Irak, ia
menggambarkan George Bush sebagai “predator” yang “sulit sekali membuka telinga untuk mendengar
seruan kebenaran”.

Banyak pihak mengagumi mantan Ketua Muhammadiyah (1996-2005) ini karena rangkaian kualitas yang
dimilikinya. Hidupnya sederhana, penampilannya bersahaja. Ia tegas, pikirannya tajam dan memberi
contoh terbaik tentang ilmuwan berintegritas. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan,
meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
Maarif konsisten menyuarakan penghargaan atas perbedaan. Tahun lalu, sebuah tulisannya yang
berbicara tentang kesamaan umat Islam dan Nasrani dan Yahudi di mata Allah, memperoleh banyak
kecaman. Maarif menegaskan bahwa, Allah akan memberi ganjaran pada semua orang – terlepas dari
agamanya – yang beriman pada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh. Nyatanya, banyak orang tak
terima. Ia memperoleh sms yang berbunyi: ”Pak Syafii pindah ke Nasrani saja, kan enak ibadahnya cuma
1 X seminggu.”

Di pihak lain, Maarif juga dengan terbuka mengecam gerakan Kristenisasi. Suatu kali ia menulis dengan
judul sangat keras; “Stop Sel Kanker Penginjil Dunia”. Kali lain ia menulis bahwa Bush adalah
fundamentalis Kristen yang ingin mengkristenkan dunia.

Bagi Maarif, baik fundamentalisme Islam ataupun Kristen adalah sama-sama bermasalah. Dalam
tulisannya, ia mengimbau: ”Kepada teman-teman Kristen di Indonesia, mari sama-sama kita kawal
negeri yang sama kita cintai ini, jangan sampai menjadi ajang pertempuran segala macam bentuk
fundamentalisme, Muslim garis keras atau para penginjil yang haus kekuasaan dengan dukungan dolar.”

Bisa dibilang Syafii memiliki latar belakang pendidikan yang lengkap. Lahir di Sumpurkudus, Sumatera
Barat, sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keislaman yang kental. Baik pendidikan dasar dan
menengahnya diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. Setelah menempuh perguruan tinggi
di IKIP Yogyakarta, ia meraih gelar pasca sarjana di Amerika Serikat.

Keyakinannya akan gagasan-gagasan Islam yang terbuka dan kritis menguat terutama ketika ia
mengambil gelar doktor di University of Chicago. Di sini ia terlibat secara intensif melakukan pengkajian
terhadap Al-Quran, dibimbing oleh seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di sana
pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti
pendidikan doktornya.

Meski menulis sejumlah buku dan hadir di berabagi acara diskusi dan seminar, pikiran-pikiran Maarif
terutama dikenal masyarakat luas melalui kolom rutinnya di harian Republika. Bahwa sebenarnya harian
tersebut dikenal cenderung konservatif, tak menghambatnya untuk berbicara dengan nada sangat
terbuka.
Tatkala kontroversi Ahmadiyah merebak, ia mengecam habis mereka yang menyerang kelompok lain
atas nama agama. Orang-orang semacam itu digambarkannya sebagai jenis manusia yang punya hobi
"membuat kebinasaan di muka bumi". Baginya, para kelompok Islam yang menyerang tempat-tempat
ibadah dan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat dengan
menggunakan fatwa MUI, adalah sama buruknya dengan Bush yang menyerang Afghanistan dan Irak.
“Dalam retorika politik, mereka seperti bermusuhan. Tapi, dalam kelakuan, mereka bersahabat.”

Maarif merasa perlu menyatakan menolak 200 persen ajaran Ahmadiyah. Namun tulisnya, pula: ”Saya
akan membela sepenuhnya posisi Ahmadiyah jika mereka dizalimi, hak milik mereka dirampok, dan
keluarga mereka diusir. Ini perbuatan biadab karena pengikut Ahmadiyah itu punya hak yang sama
dengan warga negara Indonesia yang lain menurut konstitusi Indonesia.”

Maarif berulangkali mengingatkan bahwa umat Islam seharusnya ingat bahwa dalam Al-Quran dikatakan
bahwa "Tidak ada paksaan dalam agama." Dengan geram Ma’arif menulis: ”Jika Tuhan tidak mau
memaksa hambanya untuk memeluk atau tidak memeluk agama, mengapa kita manusia mau main
paksa atas nama Tuhan? Sikap semacam inilah yang bikin kacau masyarakat. Oleh karena itu, Al-Quran
jangan dibawa-bawa untuk menindas orang lain. Kekerasan atas nama agama adalah pengkhianatan
yang nyata terhadap hakikat agama itu sendiri. ”

3. Amin Rais

Tokoh damai tak mesti orang yang bersuara halus dan enggan bicara tajam. Amin Rais adalah teladan
untuk soal ini.

Bagi sebagian orang, Amin Rais justru “biang kerok”. Berkali-kali, ia mengganggu ketenangan status quo
Rezim Orde Baru. Misalnya, ia bersuara lantang tentang kasus Exxon, Busang, dan, yang mungkin paling
menohok rezim Soeharto, soal suksesi kepemimpinan nasional.

Pada 1998, nama Amin Rais melesat sebagai salah seorang pemimpin gerakan reformasi. Ketika
Soeharto mengundang para tokoh Islam ke istana, sebagai upaya terakhirnya mencari legitimasi, ia
menolak mengundang Amin Rais. Sesudah reformasi, Amin Rais tetap jadi sosok kontroversial –
dukungan dan serangan datang dari semua jurusan. Bukan hanya rezim atau sisa rezim Orba yang
menganggap si ”kancil” ini tukang bikin goro-goro. Di milis ITB angkatan ’77, misalnya, beredar sebuah
email bertajuk ”Amin Rais politisi Licik” dan mendaftar berbagai ”kelicikan” itu.
Ketika peluncuran bukunya, Agenda Mendesak Bangsa, 13 Mei 2008 lalu di Gedung Serba Guna Gelora
Bung Karno, Amin kembali bersuara lantang menyatakan bahwa pemerintahan SBY saat ini adalah
pelanggar HAM terbesar. Ini komentar Amin atas rencana kenaikan BBM dan sekian berita tentang
himpitan ekonomi pada hidup rakyat kecil, hingga sampai banyak terjadi bunuh diri karena alasan
ekonomi. Keruan saja suara lantang ini ditanggapi negatif oleh beberapa kalangan dalam masyarakat
sendiri.

Tapi, yang mengikuti perjalanan intelektual Amin Rais tak akan heran dengan kelantangan dan
ketajaman kata-katanya. Ia pernah dinasihati secara publik oleh Ahmad Syafii Maarif, penggantinya
sebagai ketua umum Muhammadiyah. Perbandingan anekdotal pun muncul: Maarif yang ”orang
seberang” malah condong bertutur kata halus, sedang Amin yang ”Jawa tulen” kok condong bicara
tanpa tedeng aling-aling.

Amin juga terkenal berani mengambil posisi kontroversial. Pada 1980-an, justru sepulang dari studi Islam
di Amerika, ia membahas wacana Negara Islam dan kemungkinan penerapan syariah dalam masa
modern ini. Yang mengejutkan bukanlah kefasihannya untuk, misalnya, memberi apologi atas hukuman
potong tangan sebagai perwujudan keadilan Islam. Yang mengejutkan adalah sikapnya yang
memperlakukan wacana Negara Islam sebagai wacana politik biasa, di tengah suasana rezim Orba yang
menabukan dan mengharamkan wacana ini.

Orang boleh bilang, adalah ”kelicikan” (atau ”kelicinan”) politik Amin jika ia kemudian menggariskan
Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 sebagai partai nasionalis terbuka. Namun, mestinya, hal ini tak
mengherankan benar. Di dalam dirinya terkandung Islam Nusantara yang membesarkannya, juga
pengalaman belajar ”ilmu sekuler” (ilmu politik) di Universitas Katolik Notre Dame di Amerika dan
Universitas Chicago, di samping pengalaman belajar di pusat studi Islam tradisional Al-Azhar Kairo,
Mesir. Seperti para seniornya, semacam Hamka, ia tak melihat adanya kontradiksi ketika mendaku
keislaman sekaligus keindonesiaan.

Amin selalu tampak siap berdialog. Semasa reformasi, ia banyak mendatangi forum-forum mahasiswa,
di samping menyambangi juga lawan-lawan politiknya seperti Gus Dur dan Megawati. Ketika ia
bergandeng tangan dengan Gus Dur dan tak lama sesudah itu Gus Dur jadi presiden, kita boleh
bertanya: siapa memanfaatkan siapa? Yang jelas, sebagai pejabat negara pun (ketua MPR, yang juga
dijuluki ”king maker”) ia tak pernah kehilangan kelugasannya. Jika sekarang, saat ia tak menjabat apa-
apa, ia masih saja lugas dan lantang, maka Amin Rais sekadar sedang jadi Amin Rais.
Ketika mengomentari kasus Ahmadiyah belakangan ini, ia tetap tegas dan lugas. Ia menilai, kasus
pelarangan Ahmadiyah bisa menodai kebebasan beragama di Indonesia. “Karena nampak ada
kelompok-kelompok masyarakat yang pikirannya cekak, tidak mau berpikir lebih jauh, mengandalkan
otot dan kekerasan untuk melenyapkan orang yang berbeda pendapat,” kata Amien Rais di Padang, 19
April 2008, seperti dilaporkan oleh Tempointeraktif. Menurut Amin, jika Ahmadiyah dilarang, akan
timbul anarki.

4. Anies Baswedan

Nama Anies Baswedan (39 tahun) tiba-tiba saja ramai dibicarakan setelah majalah Amerika Serikat,
Foreign Policy, menempatkannya sebagai salah satu dari 100 intelektual publik dunia teratas.

Ini mengagumkan bukan saja karena FP adalah majalah prestisius, tapi juga karena nama Anies berada
sejajar dengan banyak tokoh terkemuka di dunia, antara lain: Yusuf Al-Qardhawi, Habermas, Thomas
Friedman, Samuel Huntington, Francis Fukuyama, peraih nobel Muhammad Yunus, Salman Rushdie,
Noam Chomsky, Al Gore, dan Paus Paulus (Pope Benedictus XVI).

Anies dihargai secara internasional bukan saja karena buah pikirannya tapi juga karena keterlibatannya
dalam berbagai kegiatan yang mendorong demokratisasi di Indonesia. Dengan kata lain, ia bukan saja
cendekiawan yang menulis dan bersuara tapi juga terlibat aktif dalam wilayah yang dikajinya.

Anies adalah contoh pemikir muda Islam yang lingkup pergaulannya mengglobal dan berusaha
menerapkan apa yang dipelajarinya untuk kesejahteraan masyarakat dari mana ia berasal.

Sejak mahasiswa, Anies terlibat dalam gelombang demokratisasi. Tatkala menjadi Ketua Senat
Mahasiswa di Universitas Gajah Mada, ia menjadi satu dari sedikit aktivis yang berhadapan langsung
dengan barisan serdadu pembela Soeharto, jauh sebelum sang diktator lengser pada 1998. Ia sempat
dipopor oleh tentara yang menyerbu kampus saat itu.

Berkat beasiwa yang diperolehnya, Anies kemudian melanjutkan pendidikannya ke AS dan memperoleh
gelar doktoralnya dari Departemen Ilmu Politik, Northtren Illinois University. Selama di AS, ia tampil
mengesankan. Ia terlibat sebagai peneliti di pusat-pusat kajian universitas, terutama yang terkait dengan
studi kebijakan dan pemerintahan. Ia bahkan juga pernah menjadi manajer riset pada sebuah asosiasi
perusahaan elektronik se-dunia untuk mengembangkan desain riset, instrumen survei, dan analisa data.
Anies menjadi ilmuwan yang produktif, menulis di banyak jurnal internasional dan menjadi pembicara di
berbagai konferensi internasional. Ia dikenal artikulatif dan kritis, dan bicara dengan landasan teori dan
data yang kuat. Sepulang dari AS, ia menjadi penasehat bagi Partnership for Governance Reform,
sebelum kemudian terlibat dalam Lembaga Survei Indonesia.

Hanya dalam waktu singkat, nama Anies melejit sebagai tokoh muda Islam yang berpengaruh di
Indonesia. Tahun lalu ia diundang sebagai pembicara dalam The ASEAN 100 Leadership Forum yang
mempertemukan 100 pemimpin masa depan Asia Tenggara.

Di berbagai forum itu, salah satu wilayah yang paling banyak dibicarakannya adalah soal Islam politik.
Kendati kerap mengingatkan tumbuhnya dukungan atas radikalisme Islam, Anies secara konsisten
menyuarakan gagasan-gagasannya tentang sebuah Islam yang damai dan serasi dengan demokrasi.

Harapan-harapannya untuk membangun kaum terdidik di Indonesia yang berpikiran kritis dan mampu
bersaing di kancah internasional kini ia tumpahkan pada perguruan tinggi yang dipimpinnya, Universitas
Paramadina. Terpilih tahun lalu sehingga dinobatkan sebagai rektor termuda di Indonesia, Anies dengan
segera berusaha membangun cita-citanya menjadikan Paramadina sebagai universitas dengan daya
saing internasional.

Anies senantiasa merujuk pada gagasan ’keislaman, keindonesiaan, kemodernan’ yang dicanangkan
pendiri Paramadina, Nurcholish Madjid (alm). Dengan dasar itu, yang dibayangkan Anies bukanlah
sekadar sebuah universitas yang megah, namun yang mampu melahirkan para pemimpin yang peduli
dengan rakyat kecil dan memiliki integritas tinggi. Menurutnya, industrialisasi pendidikan yang
berlangsung saat ini telah meminggirkan kaum miskin karena hanya mereka yang datang dari keluarga
kaya yang akan memperoleh pendidikan terbaik.

Karena itulah, di Universitas Paramadina, ada sekitar 25 persen kursi diberikan pada mahasiswa yang
cerdas namun tak mampu, yang didukung oleh program beasiswa penuh yang turut didanai perusahaan-
perusahaan dan kaum kaya.

Buat Anies, sebuah Indonesia yang damai hanya akan dicapai tatkala ada upaya bersama untuk
menanggulangi kesenjangan yang kian menganga antara kaya dan miskin. Ia berharap, dengan program
itu, perguruan tinggi dapat membantu mereka yang pintar, yang bersedia bekerja keras, dan sekaligus
memiliki kemampuan membuka lapangan kerja.

Di kampus Paramadina juga, Anies berusaha memerangi korupsi dengan mewajibkan mahasiswa
mengikuti kuliah etika dan anti-korupsi.

Dalam istilah Anies sendiri, Islam yang dikembangkan di Paramadina adalah ”Islam Jalan Tengah”
sebagai gagasan yang mempersatukan umat Islam di seluruh dunia. ”Kita tidak menginginkan
perpecahan. Karena itu terminologi yang dipakai bukan Islam yang moderat, liberal, fundamental, tetapi
Islam jalan tengah," katanya.

5. Arief Rahman

Ia adalah pengajar yang menawan. Mereka yang pernah menyaksikan presentasinya di dalam kelas
maupun di ruang seminar, lazimnya akan memujinya sebagai guru yang pintar menyampaikan materi
dan membangun motivasi. Tapi, lebih dari itu, Arief Rahman Hakim adalah seorang pendidik dalam arti
sesungguhnya: ia bukan hanya senang mentransfer pengetahuan, tapi juga peduli dalam hal
mengembangkan kepintaran dan kepribadian anak didiknya.

Arief dikenal sebagai salah seorang tokoh pendidikan terpenting di Indonesia dalam beberapa dekade
terakhir ini. Namun yang mungkin tak banyak diketahui orang, di masa mudanya ia adalah aktivis politik
yang sempat dipenjara baik di zaman pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Kesalahannya? Terlalu
patuh pada hati nurani untuk mempertanyakan para penguasa itu.

Mantan kepala sekolah Lab School Jakarta ini memang terbiasa bicara apa adanya. Ketika ia ditunjuk
sebagai wakil dunia pendidikan dalam pertemuan dengan Presiden George Bush saat berkunjung ke
Indonesia dua tahun lalu, ia menyatakan harapan yang agak unik. Kepada Bush, ia meminta agar
pemerintah AS dapat mengalihkan anggaran yang disiapkan untuk membeli persenjataan kepada
keperluan peningkatan pendidikan dunia, termasuk di Indonesia.

Pria murah senyum ini sangat peduli pada soal pemerataan pendidikan di negara ini. Ia bersedih melihat
bagaimana apa yang disebut sebagai peningkatan kualitas pendidikan cuma dinikmat oleh segelintir
murid kaya di Indonesia. Karena itulah, bila dulu ia menjadi kepala sekolah Lab School yang dikenal diisi
oleh banyak siswa kaya, ia kini mendedikasikan dirinya antara lain dengan mengembangkan sekolah-
sekolah yang diperuntukkan bagi kaum papa.

Ia mengkritik sekolah-sekolah unggulan yang hanya mau menerima para calon siswa yang memiliki nilai
rata-rata tinggi, yang umumnya datang dari keluarga dengan tingkat pendidikan ekonomi di atas rata-
rata. Baginya, pola semacam itu tentu saja mempermudah kerja para guru, namun itu hanya akan
menajamkan kesenjangan antara mereka yang mampu dan tidak mampu. ”Di mana anak-anak yang
biasa-biasa saja akan mendapat kesempatan pendidikan yang baik?’ tanyanya.

Sampai saat ini pun, Arief tidak berhenti menjadi juru bicara mereka yang terpinggirkan. Arief secara
terbuka mengecam sikap pemerintah yang berkukuh menjalankan Ujian Akhir Nasional. Dalam
pandangannya, UAN bukanlah tawaran yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan di
Indonesia. Alih-alih membantu, ujian nasional itu justru menjadi beban finansial yang berat, baik bagi
para orangtua murid, maupun pada pihak penyelenggara pendidikan itu sendiri.

Ketua Pelaksana Harian UNESCO untuk Indonesia ini juga berharap pemerintah hendaknya tidak hanya
memperhatikan anak-anak pandai dan berprestasi saja. Pendidikan semestinya juga mengakomodir
anak-anak miskin, anak-anak cacat dan lambat berpikir. Perguruan Diponegoro, di mana ia menjadi
pembina, memang membuka peluang bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus terutama anak-anak
cacat, misalnya, cacat secara fisik, tuna rungu dan tuna wicara.

Pendidik yang pernah dicekal pemerintah sehingga selama sekitar 12 tahun tidak bisa naik pangkat ini,
mengkhawatirkan semakin menjauhnya sistem pendidikan Indonesia dari cita-cita meningkatkan
kesejahteraan bangsa. Pendidikan, katanya, semakin hanya mengembangkan pencapaian yang
mengukur potensi intelektual semata. Padahal, pendidikan yang tidak didasari moral dan ahlak yang
baik, justru akan membuat masyarakat semakin terperosok,

Karena itu, menurutnya, para pendidikan harus menumbuhkan kultur sekolah yang didasarkan
pendekatan keagamaan. Sekolah seharusnya menjadikan anak semakin dekat dengan Tuhan. Para murid
harus dididik menjadi para penganut agama yang baik. Sebagai contoh, di Lab School yang pernah
dipimpinnya, terdapat tempat Ibadan bagi murid Islam maupun non-Islam. “Anak Katolik, harus jadi
Katolik yang baik,” ujarnya.
Bagi Arief, pendidikan ahlak dan budi pekerti tidak pernah boleh disepelekan. Menurutnya, di
sekolahnya, tak ada satu pun murid perempuan yang akan mengenak rok di atas lutut atau bersikap
kurang ajar pada guru dan orangtua. “Itu terbangun atas kesadaran si murid karena memperoleh
pelajaran ahlak yang baik.”

Bagaimanapun, untuk itu semua memang dibutuhkan guru-buru yang baik. Sebagai kepala sekolah, Arief
dikenal selalu datang lebih pagi dari mayoritas muridnya, dan di setiap pagi itu pula ia lazim menyapa
murid-muridnya di gerbang sekolah. Para muridnya selalu mengenangnya sebagai bapak yang
memandang murid-muridnya dengan cara bersahabat.

Sayangnya saat ini ada banyak guru yang mengajar tidak dengan hati. ”Ada guru yang malas, datang ke
kelas, terus memerintahkan, ’buka halaman sekian, baca dan kerjakan’”. Ditambah pula dengan jumlah
siswa yang terlalu banyak, hubungan erat antara guru dengan anak didik akhirnya tidak terbangun.

Ia juga menganggap bahwa daya kritis anak Indonesia harus terus diasah. Menurutnya, anak didik di
Indoensia perlu terus diajarkan untuk tidak menerima begitu saja sebuah jawaban tunggal terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang ada. Sebagai contoh, anak didik diajarkan bahwa kalau guru bertanya,
’How are you?” maka jawabannya adalah ”fine, thank you.” Padahal jawabannya bisa juga, ’so so’, atau
’I don’t know’.”

6. Azyumardi Azra

Saat ini, Azyumardi Azra adalah salah satu juru bicara Islam Indonesia yang paling dikenal dan dijadikan
rujukan di dunia internasional. Pria 53 tahun kelahiran Lubuk Alung, Sumatra Barat, ini memang lazim
diundang sebagai pembicara di berbagai forum dan menjadi pengajar tamu di berbagai pusat studi Islam
di banyak negara. Buah pikirannya pun tersaji melalui rangkaian tulisan di banyak jurnal dan media.

Secara konsisten, Azyu – demikian ia lazim dipanggil – menyuarakan arti penting keberagaman dalam
Islam. Baginya, penafsiran atas Islam tidak pernah bersifat tunggal. Karena itu, Azyu senantiasa
mendorong umat Islam untuk berani menafsirkan kembali warisan intelektual dan tradisi Islam selama
ini, dalam bingkai analisis yang kritis dan sistematis.

Azyu berpengaruh karena ia produktif dan menempati posisi strategis. Sebagai ilmuwan, ia telah
menerbitkan sekitar 20 buku yang membuka mata banyak orang tentang tradisi keterbukaan dalam
khasanah pemikiran dan sejarah Islam. Karena begitu banyaknya karya Azyu, ia pernah memperoleh
penghargaan sebagai Penulis Paling Produktif dari Penerbit Mizan (2002).

Sejak muda, ia memang percaya pada kekuatan menulis. Selama hampir enam tahun (1979-1985), ia
menjadi wartawan majalah Islam prestisius, Panji Masyarakat. Belakangan, ketika ia kembali dari AS
setelah menuntaskan pendidikan doktornya di Columbia University, ia mendirikan dan menjadi
pemimpin redaksi Jurnal berbahasa Inggris tentang studi Islam di Indonesia, Studia Islamika.
Sebelumnya, ia juga menjadi anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an dan Islamika.

Di sisi lain, ia menempati posisi strategis di dunia pendidikan. Selama tujuh tahun (1998-2005), ia
menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Nasional (IAIN), persis pada saat perguruan tinggi
prestisius itu mentransformasikan diri menjadi Universitas Islam Nasional. Kini, ia menempati posisi
direktur pasca sarjana di universitas yang sama.

Pada dasarnya Azyu adalah ahli sejarah. Melalui penguasaannya atas disiplin ilmu itu, ia menyebarkan
pandangan bahwa Islam di Asia Tenggara dan Nusantara sebenarnya dikembangkan dengan
penghargaan yang tinggi atas keberagaman. Bagi Azyu, radikalisme dan eksklusivisme Islam tidak pernah
memiliki akar kuat di Indonesia.

Pikiran-pikirannya juga didengar di banyak negara. Ia menjadi pengajar tamu di Pakistan, Filipina,
Malaysia sampai AS dan Eropa Barat. Komunitas akademik di banyak sekolah bergengsi di Barat, seperti
Harvard, Leiden, Columbia, Oxford, juga beruntung berkesempatan mendengarkan Azyu tampil di sana.
Salah satu penghargaan yang diberikan padanya adalah posisi sebagai dewan redaksi jurnal prestisius
Quranic Studies (SOAS London).

Ia selalu percaya pada potensi kaum Muslim di Indonesia untuk berperan besar dalam pembangunan
sosok Islam yang lebih humanis dan sekaligus kritis. Secara konsisten, ia menekankan arti penting
pembaharuan Islam sehingga ia kerap juga dituduh sebagai bagian dari kaum yang menyesatkan umat
Islam dari ajaran dasar mereka. Bagi Azyu, tuduhan itu tak berdasar karena pembaharuan yang
dilakukan justru harus didasari dua syarat utama: komitmen kuat atas tradisi Islam serta keahlian
melakukan penafsiran yang rasional dan peka terhadap kitab suci dalam konteks kultural dan historis
masyarakat modern.
Azyu mencanangkan UIN yang sempat dipimpinnya sebagai pusat pendidikan yang mengintegrasikan
keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. “Kecintaan kita terhadap Islam seharusnya tidak
mengurangi kecintaan kita terhadap Indonesia, dan kecintaan kita kepada keindonesiaan juga tidak
mengurangi kecintaan kita kepada kemanusiaan,” katanya suatu kali. “Dan karena keindonesiaan itu
juga tidak eksklusif milik orang Islam, maka kecintaan kita kepada keindonesiaan sama dengan kecintaan
kita juga kepada kemanusiaan yang universal”.

Dalam sebuah dunia yang terbelah oleh perbedaan etnik dan agama, Azyu dikenal sebagai duta Islam
Indonesia yang aktif menyuarakan persatuan umat manusia. Saat berposisi sebagai rektor, ia
mengundang banyak mahasiswa, pengajar, maupun diplomat asing untuk datang ke UIN dan
mempelajari Islam di sana. Ia juga mendorong para mahasiswanya untuk mengatasi sekat-sekat antar
agama dan antar budaya.

Dengan transformasi itu, Azyu berusaha menjadikan UIN sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan
lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer,
menjadi Islam yang rasional -- bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja.

Azyu mengaku cara pandangnya sangat dipengaruhi oleh disiplin ilmu sejarah yang ditekuninya. “Dalam
kehidupan sosial, kita tidak bisa melihat dunia dengan hitam putih karena di dalam sejarah perjalanan
kehidupan manusia itu banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk bertindak,” ujarnya.

7. Ary Ginanjar

Saat terpuruk, ia mendapat ilham dan energi luar biasa menyelesaikan buku ESQ. Saat ini, ia percaya
sedang mengubah Indonesia.

Suatu ketika, Ari Gynanjar sedang mengalami himpitan hidup yang menyesakkan. Ia baru bercerai dari
istri pertama, dan mengalami kegelisahan juga di bidang bisnis yang ia geluti selama itu. Dalam himpitan
itu, ia mendapat ilham gagasan menggabungkan pendekatan ilmiah dan ilahiah untuk sebuah teori
manajemen dan kepemimpinan baru. Ia menuliskan draft bukunya hingga tuntas, secara obsesif, dengan
tangan dan pulpen. Jadilah buku ESQ (Emotional & Spiritual Quotient): Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual.
Buku itu, disusul dengan “sekuel”-nya, ESQ Power, kemudian mencatat angka laris 500 ribu eksemplar.
Untuk dunia buku kita yang punya standar 3000 eksemplar saja per judul, tentu saja ini prestasi ”wow”.
Buku yang mencoba menggabungkan teori psikologi dan spiritualitas ini penuh motivasi dan inspirasi
untuk mengubah nasib dan meraih sukses. Tentu saja ini sungguh pas dengan perasaan umum
masyarakat Indonesia yang sedang dirundung krisis multidimensi sejak 1997. Masyarakat kita kini
memang sedang sangat membutuhkan harapan.

Dan harapanlah yang kemudian menjadi bidang bisnis Ary, dengan mendirikan lembaga pelatihan bisnis
dan kepemimpinan ESQ. Menurut catatan mereka sendiri, pelatihan ESQ telah diikuti 250 ribu orang di
Indonesia, termasuk para pejabat tinggi negara dan intelektual terkemuka negeri ini. Pelatihan serta
cabang lembaga ESQ bahkan sudah merambah ke Belanda, Inggris, Brunei Darussalam, dan manca
negara lainnya.

Salah satu ciri kuat pelatihan-pelatihan ESQ adalah kesan penggunaan multimedia yang ciamik dan
tempat di hotel-hotel mewah. Pendekatan yang dilakukan dalam pelatihan-pelatihan itu, untuk tahap
awal, boleh dibilang adalah versi canggih (multimedia) dari kegiatan muhasabah (merenung,
menghitung-hitung dosa). Dalam berbagai pesantren kilat semasa 1990-an, metode ini sering
dilaksanakan secara sederhana (seorang mentor atau ustad memimpin perenungan bersama). Biasanya,
acara muhasabah akan dianggap berhasil jika para peserta sampai menangis terisak-isak. Ada efek
kelegaan seperti nikmatnya terangnya kamar setelah dibersihkan, pada para peserta yang menangis
dalam acara itu.

Kesadaran multimedia dalam pelatihan ESQ memang dahsyat. Apalagi jika peserta ditangani langsung
oleh Ary yang ternyata macan panggung juga. Tentu, tak semua peserta bisa mempertahankan efek itu –
seperti tampak dalam kritik-kritik di milis-milis dari mantan peserta pelatihan ESQ.

Ary dan para pendukungnya tampak menyadari itu, sehingga para alumni ESQ disediakan berbagai
kegiatan komunal, sehingga mereka bergerak sebagai sebuah komunitas khas di masyarakat. Mereka
yang “militan” dalam melanjutkan aktivisme ESQ biasanya punya rasa percaya diri yang besar. Mereka
juga biasanya punya kebanggaan sangat kuat akan metode ESQ.

Rasa percaya diri itu agaknya memang ditularkan, pertama-tama, dari Ary sendiri. Di samping macan
panggung, Ary adalah orang yang sepenuhnya percaya bahwa ESQ adalah sesuatu yang dibutuhkan
Indonesia saat ini. Ia percaya, Indonesia bisa lebih baik jika SDM (Sumber Daya Manusia)-nya meningkat
kualitas mereka menjadi lebih baik. Kerja, misalnya, akan menjadi sesuatu yang sangat konstruktif dan
produktif jika dipandang sebagai ibadah. Itu yang ditunjukkan Ary sendiri, yang bisa bekerja sampai jauh
larut malam dan langsung bekerja sesudah Subuh.

Ia sangat passionate terhadap ESQ. Ia memberi harapan, dengan caranya sendiri. Paling tidak, umat
Islam Indonesia bisa belajar dari passion itu.

8. Deddy Mizwar

Menawarkan alternatif yang membumi, baik bagi film Indonesia mau pun bagi bentuk dakwah melalui
budaya pop.

Ada yang meledek, sejak main Naga Bonar (1986), Deddy memang jadi identik dengan Naga Bonar –lihat
saja, dialeknya jadi kebatak-batakan, padahal Deddy orang Betawi. Walau ini hanya gurau, Deddy
memang kadung lekat dengan sosok Naga Bonar. Yang jelas, Deddy membuat Naga Bonar Jadi 2 yang
sukses besar pada 2007 dan menangguk sukses lagi Mei 2008 ini dengan memproduseri peredaran ulang
Naga Bonar. Tapi, lebih dari itu, Deddy bisa dipandang makin mirip dengan karakter Naga Bonar: logika
sederhana, apa adanya, dan sangat percaya pada cinta.

“Kalau ente mencintai, ente berbuat dong!” katanya dalam sebuah wawancara radio di 68H (sekarang,
Green Radio). Ia mencintai Indonesia, karenanya ia membuat film Indonesia. Ia mencintai agamanya
(sekarang, ia sehari-hari lebih suka dipanggil “Pak Haji”), karenanya pula ia membuat film. Baginya,
seperti ia ungkapkan pada Madina, sama saja ia berdakwah dengan film dengan ustad berdakwah di
mimbar menggunakan mike. "Teknologinya, medianya, boleh beda ...tapi yang disampaikan kan sama
saja: Islam".

Film-film Deddy (Ketika, Kiamat Sudah Dekat, hingga Naga Bonar Jadi 2), juga sinetron-sinetronnya
(Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, dan Para Pencari Tuhan) adalah perpaduan “aneh” dari verbalisme
dan pemahaman yang kaya tentang hidup keseharian masyarakat Muslim Indonesia. Tokoh-tokohnya,
walau tampak sederhana (mudah didefinisikan), tapi mencerminkan kekayaan pemahaman itu.

Ambil contoh Para Pencari Tuhan. Sekilas, jika hanya melihat trailer, Deddy Mizwar berperan sebagai
ustad. Padahal, di situ ia jadi seorang tukang jagal yang nyambi jadi tukang kembang dan marbot masjid.
Lalu ada sosok ustad kampung, yang suatu ketika pernah tergoda untuk jadi ustad TV. Ada hansip yang
pernah bertanya, "Apa Tuhan nggak takut dosa, ya, membiarkan hamba-Nya kesusahan".
Ketika ditanya soal keberanian memunculkan dialog semacam ini, Deddy menjawab, "itulah pertanyaan
orang yang sedang mengalami kesulitan hidup. Apakah orang tak boleh bertanya", kata Deddy.

Pengucapan yang sederhana, dan karenanya verbalistis, dalam film dan sinetron Deddy Mizwar adalah
gaya atau bungkus dari keinginan menatap lekuk-liku masalah bangsa ini. Dalam Ketika, Deddy
membahas soal korupsi (berapa banyak sineas muda kita yang membahas soal gawat ini?). Dalam karya-
karyanya yang lain, tampak dakwah Islamnya yang kental. “Islam adalah way of life,” kata Pak Haji soal
tema film-filmnya. Tapi, keyakinan ini tak digambarkan berada di ruang kosong. Bagi Pak Haji, masalah-
masalah hidup itu sendiri harus dihadapi, termasuk dalam film-filmnya.

Ia amat percaya adanya syariah dalam membuat film. Misalnya, lelaki dan perempuan yang bukan
muhrim tak boleh bersentuhan dalam filmnya. Tapi itu tak menghalangi Deddy untuk mengangkat
kenyataan hidup yang kita lihat dalam kesehariaan kita. Itulah mengapa muatan dakwahnya terasa lain
dibanding, misalnya, Kun Fa Yakun.

Naga Bonar Jadi 2 agaknya jadi puncak obsesinya untuk urun suara terhadap masalah bangsa saat ini.
Ada soal modal asing, soal cinta sesama, soal lalu lintas, soal kepahlawanan, soal warna-warni pengajian
di pojok Jakarta (dari tukang bajaj yang guru mengaji nan ikhlas, sampai tukang karpet masjid yang gigih
berjualan di masjid), bahkan soal copet yang jadi asisten menteri dan soal sepak bola kita yang kalah
melulu. Semua diikat oleh kata “cinta”. Mungkin gombal, tapi alangkah pasnya, ketika film yang laris tapi
tak terlalu disukai sebagian intelektual kita itu ditutup oleh lagu Padi, yang bersyair: Cinta bukan hanya
sekadar kata....

Mei 2008, Deddy menanyangkan ulang Naga Bonar dengan perubahan poster (jadi lebih bergaya
kontemporer), tambahan judul ("Melihat Indonesia dengan Hati"), dan lagu di bagian akhir yang
dinyanyikan Deddy sendiri. Lagu itu bicara tentang cinta Indonesia juga. Film ini cukup laris. Naga Bonar
masih relevan, rupanya.

Deddy sempat mengungkapkan keberatannya masuk daftar “Tokoh Islam Damai” Madina ini. Yah, suka
atau tak suka, Pak Haji telah jadi satu warna dalam pelangi teladan Islam damai di negeri ini, saat ini.

9. Djohan Effendy
Namanya kerap masuk daftar kelompok tertentu tentang pemikir yang dianggap merusak Islam. Ia aktif
membangun dialog antaragama.

Sejak kecil, pria kelahiran Kalimantan pada 1939 ini menampakkan kecenderungan pada keterbukaan. Di
samping selalu membaca Al-Quran, ia gemar membaca biografi para tokoh dunia. Ketika mahasiswa,
Djohan Effendi masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sebetulnya, awalnya Djohan tak terlalu
suka pada HMI, karena organisasi itu berafiliasi dengan Masyumi. Tapi melihat intimidasi oleh PKI
terhadap HMI, ia tersentuh dan mendaftar di kantor cabang HMI Yogyakarta.

Segera ia menerbitkan kontroversi karena gagasan-gagasan progresifnya. Djohan, bersama Dawam


Rahardjo dan Ahmad Wahib, seolah membentuk faksi sendiri dalam tubuh HMI. Mereka dituduh sebagai
partisan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Pada 1969, ia mengudurkan diri, dan berkonsentrasi pada
kuliahnya. Lulus dari IAIN dua tahun kemudian, ia masuk ke Sekretarian Jenderal Departemen Agama.
Tak lama, ia melesat jadi asisten pribadi Menteri Agama waktu itu, H. Mukti Ali.

Pada masa mudanya, saat ia sedang terbenam pada perdebatan filosofis yang telah klasik antara Al-
Ghazali dan Ibnu Rusyd, ia mulai banyak meragukan keyakinannya sendiri pada Islam. Justru saat
dirundung keraguan itu, ia berjumpa dengan pemikiran-pemikiran tokoh Ahmadiyah dalam karya-karya
Muhammad Ali. Ia menemui tokoh-tokoh Ahmadiyah Lahore, Muhammad Irsjad dan Ahmad
Djojosugito. Kedekatannya dengan Ahmadiyah ini membuat Djohan sering dianggap sebagai seorang
Ahmadiyah. Djohan sendiri membantahnya.

Perhatiannya pada “agama-agama pinggiran” menyebabkan ia tergolong unik dibanding pemikir


modernis Islam di Indonesia lainnya (Greg Barton, peneliti Indonesia dari Monash University, memuji
Djohan sebagai sejajar dengan Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib). Saat masih
aktif di Depag, ia memperjuangkan hak hidup agama-agama minoritas yang tak banyak dikenal di
Indonesia, seperti Bahai dan Konghucu.

Saat ini, Djohan menjadi Ketua Dewan Pengurus ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace). Di
dalam Dewan Pembina organisasi ini, tercatat perwakilan dari agama Bahai, Sikh, bahkan Sunda
Wiwitan. Jangankan kebebasan beragama, dalam suatu wawancara dengan Islamlib.com, Djohan
dengan lugas menyatakan, “Harus ada kebebasan untuk tidak beragama.”
Tentu saja, posisi intelektual begini sukar duduk tenang di tengah masyarakat. Lazim bahwa setiap
masyarakat cenderung konservatif, apalagi dalam soal agama. Ide-ide pembaharuan selalu menemui
kesulitan, bahkan jika akhirnya ide-ide itu diterima dan jadi arus utama di kemudian hari. Apalagi jika
ide-ide pembaharuan itu dianggap terlalu radikal.

Dengan mengangkat hak hidup agama kecil ke permukaan, meminta agar dilembagakan oleh Depag,
Djohan dianggap terlalu menyempal, terlalu ekstrem, oleh masyarakat awam. Apalagi ia sangat dekat
Abdurrahman Wahid (Gus Dur, yang selalu amat kontroversial), hingga sempat jadi Menteri Sekretariat
Negara di era Gus Dur, selain pernah mendampingi Gus Dur muhibah ke Israel.

Tapi di tengah fakta terjadinya pembakaran dan pemboman gereja (juga, pembakaran masjid,
sebetulnya –sewaktu konflik di Maluku dan Poso dulu), ancaman bunuh dan perusakan masjid dan desa
Ahmadiyah, mungkin memang perlu juga ada suara menyempal ala Djohan. Agar kita tiba di titik tengah:
moderasi, toleransi, kesadaran bahwa kita hidup tak sendiri di negeri ini.

10. Emha Ainun Najib

Sekarang, Emha jadi kiai betulan, walau tetap freelance (tak punya pesantren) dan tak mau dipanggil
begitu.

Mulanya, Emha adalah aktivis teater lulusan pesantren yang mangkal di Jogjakarta. Di kosnya, di sela-
sela pasar yang ramai, Emha muda sering dianggap semacam dukun atau orang sakti. Ia suka bercerita,
suatu ketika sepedanya hilang. Ia kesal dan teriak ke arah pasar dengan yakin dan mantep, kurang lebih:
siapa yang mencuri sepedaku, akan kena sakit mengerikan, kecuali kalau ia mengembalikan sepedaku
nanti sore. Sorenya, benar, sepedanya balik lagi.

Apa yang dilakukan Emha itu bukan sebuah kesaktian, tapi penerapan praktis ilmu teaternya. Emha
memang jago manggung. Suaranya bulat, kuat, dan punya daya cekam. Singkatnya, suaranya bisa bikin
orang lain keder kalau dia mau. Dengan suaranya itu, juga dengan aktivisme sastranya dan
kecenderungannya untuk nyeleneh, namanya cepat melesat di dunia budaya. Pada 1980-an awal, ia
mencuri perhatian dengan pemihakannya pada sastra kontekstual.

Dalam perdebatan tentang sastra kontekstual itu, ia menggugat posisi sastrawan yang seolah mengatasi
masyarakat mereka. Karya-karya luhung yang lahir dari menara gading ia anggap tak bisa bicara kepada
masyarakatnya, tak mampu merespon kenyataan hidup yang dialami masyarakat tempat hidup para
sastrawan itu. Misalnya, Emha menjagokan puisi-puisi yang bisa dibacakan langsung kepada khalayak,
orang kebanyakan. Puisi-puisi yang membicarakan persoalan hidup keseharian rakyat, spontan.

Wajar belaka jika pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, Emha membuat serangkaian
pementasan puisi Lautan Jilbab, yang akhirnya dibukukan setelah direvisi habis-habisan demi
menyesuaikan diri dengan format buku. Puisi panjang yang selalu berubah-ubah versi di setiap
pemanggungan ini, sesuai suasana dan kebutuhan, adalah sebuah tanggapan kultural terhadap kasus-
kasus pelarangan jilbab. Lewat puisi itu, Emha memberi definisi budaya terhadap gerakan jilbab –jilbab
menjadi gerakan budaya.

Dalam definisi ini, Emha menawarkan jalan tengah bagi kasus jilbab: jilbab bukanlah puritanisme dan
perlawanan politik (semata), tapi sebuah pernyataan idealisme, yakni oposisi terhadap ketakadilan
dalam masyarakat modern.

Pada 1980-an itu pula, Emha tumbuh jadi seorang budayawan muda yang menyegarkan.
Petualangannya di Eropa ia catat dalam esai-esai di Tempo. Ia juga menulis esai-esai budaya dalam
bentuk surat, yang kemudian terkumpul dalam Dari Pojok Sejarah (1985). Sudah tampak bakatnya
mengutak-atik kata dalam esai-esai dan puisi itu. Ia menjadi salah seorang kolumnis paling produktif di
negeri ini, dan unik: ia tak pernah kehilangan akar budaya pesantrennya dalam memandang berbagai
soal keindonesiaan dan kemodernan.

Pada 1998, di tengah gempita reformasi yang membuat banyak orang menganggap medan politik
praktis sebagai pilihan untuk bergerak, Emha malah mendirikan kelompok musik Kiai Kanjeng.
Menggabungkan musik etnik Jawa dan musik modern, plus pertunjukan teater dan sastra, kesemuanya
dalam rangka dakwah, kelompok Kiai Kanjeng aktif manggung di mana-mana. Salah satu panggung tetap
mereka adalah pengajian keliling Padang Bulan. Dengan Kiai Kanjeng, sampai 2005, Emha keliling 21
propinsi, di lebih dari 1200 desa di Indonesia.

Tak hanya keliling Indonesia, Kiai Kanjeng juga kerap diundang ke Italia, Jerman, Inggris, Skotlandia,
Mesir, dan Malaysia. Malah pada 2006, Kiai Kanjeng diundang manggung keliling Finlandia oleh Union
for Christian Culture. Kok bisa, kelompok dakwah ini ikut acara budaya kaum Kristiani?
Semangat dasar Kiai Kanjeng (dan Pengajian Padang Bulan) memang pluralisme. Itu yang dengan tegas
diungkap Emha, dalam sebuah pertunjukan Kiai Kanjeng di Masjid Cut Meutiah, Jakarta, 14 Oktober
2006. Dalam pertunjukan itu, Kiai Kanjeng mengambil intro lagu pujian Kristiani, Malam Kudus, dan
langsung ditimpa dengan salawat. “Tak ada lagu Kristen, tak ada lagu Islam,” kata Emha. “Saya di sini
tidak menyanyi, tapi bersalawat.” Dan dalam berbagai kesempatan, Emha menegaskan posisinya
tentang pluralisme. “Ada apa dengan pluralisme?” Emha bertanya. Menurutnya, sejak zaman Majapahit,
negeri ini tak pernah punya masalah dengan pluralisme.

Dengan ketegasan posisinya itu, agak mengherankan jika Emha tak masuk “daftar hitam” 50 Tokoh Islam
Liberal Indonesia karangan Budi Handrianto, yang cenderung menempatkan para penghasung
sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme agama sebagai “perusak Islam.” Yang jelas, pluralisme
beragama menurut Emha (dan banyak tokoh cendekiawan maupun budayawan di Indonesia) tidak
berangkat dari paham bahwa semua agama sama saja, tapi justru dari paham bahwa semua agama
berbeda dan biarkan saja keberbedaan itu.

11. Haidar Bagir

Pernah ada yang terkejut berjumpa Haidar Bagir, pimpinan kelompok penerbit Mizan, sewaktu ia masih
menjabat pimpinan usaha harian Republika. Pangkal soal, sebelumnya ia mendengar isu bahwa Haidar
adalah seorang berambut gondrong, berbaju hitam-hitam, dan gemar bergelang bahar besar.

“Fitnah” lucu soal penampilan ini adalah sketsa tempat Haidar di kancah pemikiran Islam Indonesia.
Diam-diam, pebisnis lulusan ITB yang terdidik dalam ilmu filsafat ini cukup kontroversial. Ada yang
menyoroti kedekatannya dengan pemikiran-pemikiran Syiah –dengan konotasi mendukung ideologi
revolusioner negeri Khomeini itu. Semasa di Republika, ada pula yang memandangnya sebagai aktor di
balik “fundamentalisme” harian yang lahir dari rahim ICMI itu. Biasanya anggapan-anggapan itu akan
luluh saat mengenalnya langsung.

Jauh dari imaji gelang bahar atau orang yang senang mengepalkan tangan ke udara berteriak-teriak,
Haidar enak diajak bicara tentang apa saja di sekeliling kita: tentang bisnis, film, musik pop Amerika,
puisi, sastra, pendidikan anak, juga celetukan Tukul Arwana. Man of this world, itulah gambaran Haidar
kalau meminjam sebuah ungkapan bahasa Inggris. Tapi, ia juga adalah orang yang fasih bicara tentang
“dunia sana”. Paling tidak, bukunya yang sedang laris adalah tentang faedah salat –dari segi akal, ruhani,
dan kesehatan jiwa.
Tapi, satu hal yang jadi benang merah dalam seluruh minat luas Haidar: buku. Pada 1983, bermula dari
sebuah rumah kos di Bandung, tiga aktivis masjid Salman ITB yang belum lulus menerbitkan buku yang
kemudian cukup kontroversial pada masanya: Dialog Sunni-Syiah, karya Muhammad Haidar. Ketiga anak
muda itu adalah Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin. Mereka dibantu dana oleh Abdillah Toha
dan Anis Hadi. Sedang buku pertama mereka itu adalah karya ayah Haidar, yang didaku Haidar sebagai
“kecelakaan saja, karena waktu mau menerbitkan, itu satu-satunya naskah yang tersedia.”

Pada tahun-tahun awal itu, Mizan banyak menerbitkan khazanah pemikiran Harakah Islam (Gerakan
Islam) dari Abul A’la Maududi, Muhammad Qutb, Yusuf Qardhawi, di samping karya-karya cendekiawan
Iran Ali Syariati dan Murtadha Muthahari. Mizan pula yang mengenalkan pemikir Islam yang lebih
mutakhir, seperti Ziauddin Sardar, yang seolah menyaingi Alvin Toffler dalam futurologi. Pada 1983-
1993, Mizan memberi sumbangan lain dalam pelangi pemikiran kebangsaan dan keislaman di Indonesia:
Seri Cendekiawan Muslim.

Dalam seri ini, nama-nama macam Jalaluddin Rakhmat, Nurcholis Madjid, Amin Rais, Ihsan Ali-Fauzi,
Fachry Ali, M. Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Ahmad Syafii Maarif, dan banyak lagi cendekiawan
muslim, terangkat ke aras permukaan. Keberhasilan seri ini, menurut Hernowo (salah seorang pimpinan
kelompok Mizan kini, dalam buku 20 Tahun “Mazhab” Mizan), tak lepas dari kiprah Haidar. Dengan
keaktifan Haidar mengunjungi banyak tokoh Islam, kata Hernowo, Haidar mampu memetakan pemikiran
Islam di Indonesia saat itu. Pengaruh pemetaan itu masih menjejak hingga kini.

Dengan pemahaman dan pengalaman langsung seputar pemikiran Islam itu, tak heran jika Haidar Bagir
sering mengkritik keras gerakan Islam Liberal. Ia kini lebih tertarik menawarkan tasawuf psoitif.

Di luar buku –atau, tepatnya, di luar kegiatan yang jelas-jelas buku– Haidar juga aktif mendirikan atau
terlibat berbagai yayasan sosial. Dan kini, ia asyik menggeluti dunia pendidikan, dengan mendirikan
sekolah Lazuardi, di Cinere, Jakarta. Sekolah ini bergaya internasional, mendorong pada sikap kritis,
percaya diri, di samping pendidikan akhlak yang baik.

12. Helvy Tiana Rosa

Dengan penuh semangat, ia memercayai cinta adalah jalan bagi bangsa ini.
Dalam percakapan dengan Madina, Helvy sempat bingung saat ditanya soal kekerasan bahasa seperti
pelabelan “Sipilis” (atau “Sepilis”) untuk para penganut atau penganjur “Sekularisme, Pluralisme,
Liberalisme”. Singkatan “Sipilis” mirip dengan nama sejenis penyakit kelamin. Praktik kekerasan bahasa
begini mirip dengan yang dilakukan oleh PKI-Lekra, ketika menghujat penandatangan Manifesto
Kebudayaan dengan sebutan “Manikebu” yang berkonotasi “air mani kerbau”.

Helvy bingung, lho, memangnya ada, ya, sebutan Sipilis itu? Ketaktahuan Helvy soal ini bukan
menunjukkan bahwa Helvy seorang yang “kurang gaul”. Sebaliknya, Helvy adalah seorang aktivis-penulis
tak kenal lelah yang telah keliling Indonesia dan mancanegara. Ia keliling dalam kapasitasnya sebagai
penulis buku laris, dan pendiri serta ketua Forum Lingkar Pena (FLP –kini, Helvy sudah lengser dari
jabatan ketuanya). FLP dipuji oleh penyair senior Taufik Ismail sebagai organisasi penulis paling berhasil
sepanjang sejarah sastra Indonesia.

Salah satu kegiatan utama FLP, di samping pelatihan dan penerbitan buku yang gencar, adalah
membangun Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya). Kini, Rumah Cahaya FLP sudah ada di 125
kota di seluruh Indonesia dan ada juga di negara manca. Pendirian Rumah Cahaya biasanya merupakan
inisiatif lokal. Itulah mengapa, ada keragaman yang kuat dalam pengelolaan kegiatan di setiap Rumah
Cahaya. Setiap Rumah Cahaya mencerminkan kebutuhan-kebutuhan lokal yang kadang tak terlalu
berhubungan dengan buku. Misalnya, menyelenggarakan pernikahan anggotanya yang miskin.

Dengan segala aktivisme itu, memang agak mengherankan jika Helvy tak pernah mendengar ungkapan
Sipilis yang rajin digaungkan oleh sekelompok aktivis Islam dan penulis seperti Adian Husaini, Hartono
Ahmad Jaiz, Majalah Sabili, Suara Hidayatullah, dan lain-lain. Mungkin ini menunjukkan bahwa Helvy
memang lebih disibukkan oleh hal-hal yang lebih kongkret, menjumpai masyarakat dengan segala duka-
gembira mereka. Ketika Madina menanyakan pendapatnya, apalagi ia dosen sastra, tentang praktik
penistaan lewat singkatan mencemooh itu, Helvy bilang ia tak setuju dengan praktik semacam itu.

Dari situ, Helvy lanjut bicara tentang pengalamannya menghadapi keragaman atau perbedaan
pendapat. Menurut Helvy, ia sangat terbantu oleh pengalamannya di keluarganya yang memang punya
latar keagamaan bermacam-macam. Jika ada perbedaan, kebiasaan di keluarganya tak langsung
menghujat, tapi mengajak berdialog. Helvy punya kepercayaan besar pada dialog. Dan itu menjelaskan
“keberaniannya” untuk masuk ke berbagai lingkungan yang berbeda dari latar aktivisme utamanya.

Sebagai penulis yang lahir dari rahim majalah cerpen Islami Annida dan tumbuh menjadi lokomotif
sastra dakwah di Indonesia sejak akhir 1990-an, Helvy tak canggung masuk arena sastra umum. Ia
sempat jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, periode kepemimpinan Ratna Sarumpaet. Di situ, ia
semakin mengasah kemampuannya membuat jaringan dan berdialog dengan berbagai pandangan
berbeda. Ia tak pernah terjebak hanya mencaci aliran sastra yang banyak mengumbar seksualitas,
misalnya. Ia percaya, buku ya mesti dilawan dengan buku.

Dan, seperti Deddy Mizwar, dengan gamblang ia selalu menyatakan kepercayaannya pada cinta. Ia
percaya bahwa semua jawaban untuk masalah bangsa ini pastilah mengandung cinta. (Lihat wawancara
dengan Helvy di Madina no. 3). Dikaruniai dua anak dalam perkawinannya dengan Tomi Satryatomo,
Helvy mengaku banyak belajar cinta dari keluarganya itu. Putra sulungnya, Abdurahman Faiz, terkenal
sebagai penyair cilik. Mereka berdua sering bercakap-cakap tentang hal-hal besar, seperti kapan kita tak
menangisi Indonesia.

Maka, dengan caranya sendiri, Helvy telah melakukan sesuatu untuk bangsa ini. Kalaulah ada
perdebatan tentang nilai sastrawi dari karya-karyanya, atau dari karya-karya para anggota FLP di seluruh
Indonesia, tapi satu hal jelas: ia telah menebarkan kecintaannya pada buku dan kegiatan menulis ke
seluruh Indonesia.

Ia bertemu banyak jenis manusia dalam ziarahnya keliling Indonesia dan ke manca negara juga. Ia
terharu ketika berjumpa FLP Hong Kong dan ternyata mereka adalah para pembantu yang bersemangat
sekali menulis. Ia tercerahkan ketika ia berjumpa profesor di Amerika yang sama membenci kebijakan
Bush seperti dirinya. Perjumpaan itu membuatnya merasa kita tak bisa gebyah uyah dalam membenci.
Ia adalah penulis, macan panggung, dosen sastra, penggiat teater, pembangun komunitas, istri yang
selalu menemukan momen romantis bak novel cinta dengan suaminya (seperti bisa dibaca di blog
multiply-nya), dan seorang ibu yang mampu mewariskan kepekaannya terhadap seluk-beluk hidup
bermasyarakat kepada anaknya.

Dengan kata lain, Helvy –di tengah langkanya sosok tokoh perempuan Islam damai di Indonesia– adalah
seorang yang telah melakukan sesuatu untuk bangsa ini.

13. Imam Prasodjo

Tatkala Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) beberapa tahun lalu melarang pemberian parsel pada para
pejabat pemerintah hanya beberapa hari menjelang Idul Fitri, Imam Prasodjo memobiliasi para
koleganya untuk memborong sebagian dari timbunan parsel yang tak terjual itu. Tujuannya sederhana:
menyelamatkan rezeki para pejual sekaligus bisa membahagiakan para pekerja yang tak bisa berlebaran
– para perawat di rumah sakit, penjaga kamar mayat, penjaga pintu kereta api -- yang kepada mereka
parsel-parsel itu kemudian dibagikan.

Itu memang ciri khas Imam (48 tahun). Pengajar di Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia ini
dikenal sebagai tokoh penyelamat rakyat kecil yang menderita dalam arti sesungguhnya. Di satu sisi, ia
adalah pemikir yang tajam yang lazim menyuarakan kritik pedasnya secara terbuka pada siapapun; dan,
di sisi lain, ia adalah aktivis yang turun langsung membantu kaum membutuhkan dengan memanfaatkan
jaringan-jaringan sosial yang dimilikinya.

Imam dibesarkan dalam suasana keislaman yang kental dalam sebuah keluarga santri yang sederhana
namun sangat menghargai kecendekiaan. Karena ayahnya adalah seorang tokoh pendidikan dengan
lingkup pergaulan luas, sejak remaja, Imam terbiasa menyaksikan diskusi hangat antara tokoh-tokoh
seperti Nurcholish Madid, Dawam Rahardjo dan Gus Dur di rumahnya. Itu semua berbekas mendalam
pada Imam.

Ia dikenal memiliki integritas tinggi. Imam sempat terpilih menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum
menjelang Pemilu 2004. Tapi belum lama ia menempati posisi itu, bersama dengan Mudji Sutrisno,
Imam memilih mengundurkan diri. Secara resmi, alasan yang dikemukakan adalah karena undang-
undang memaksa mereka untuk memilih antara menjadi anggota KPU atau tetap menjadi dosen.
Namun, banyak pihak tahu bahwa alasan mereka terutama terkait dengan kekecewaan mereka atas
persoalan mismanajemen dan ketidakjelasan pertanggungjawaban dana dalam KPU. Belakangan,
setelah Pemilu selesai, sejumlah petinggi KPU memang terbukti bersalah menurut pengadilan.

Seraya dikenal sebagai ilmuwan yang kerap berbicara lugas dan kritis, ia juga menjadi contoh
cendekiawan yang tak mendekam hanya di menara gading. Karena keprihatinannya atas berbagai konflik
atas nama agama dan etnik yang pecah di Indonesia sejak reformasi, Imam mendirikan dan menjadi
ketua Center for Research on Integroup Relations and Conflict Resolutions (CERIC). Organisasi riset dan
ini memusatkan perhatian pada pencegahan dan mediasi konflik yang didasarkan atas pemahaman
hubungan antar kelompok. Ia terlibat dalam berbagai upaya rekonsiliasi, seperti di Ambon dan Poso.

Menjadi aktivis sejak masa mahasiswa, kepeduliannya pada kaum yang menderita juga diwujudkan
dalam Yayasan Nurani Dunia. Sejak pendiriannya, Nurani tumbuh menjadi LSM Indonesia yang sangat
dihargai di dunia internasional, yang mengkhususkan diri untuk membantu korban bencana alam dan
konflik sosial, serta membantu kesejahteraan masyarakat terbelakang melalui pembangunan
partisipatoris. Mereka yang terlibat di dalamnya berasal dari beragam latar belakang etnik dan agama.

Melalui Nurani, Imam bukan hanya menyalurkan bantuan langsung tunai, melainkan bantuan modal
yang diharapkan akan dapat mengembangkan kemampuan masyarakat membangun secara mandiri.
Imam tak percaya dengan sekadar menyuapi rakyat kecil. “Mereka harus dilibatkan agar mereka sendiri
yakin akan kemampuan diri mereka untuk melanjutkan perbaikan.”

Dengan jaringan yang dibangunnya, Imam dapat menggalang dana internasional miliaran rupiah untuk
membangun masyarakat Aceh pasca Tsunami serta Yogya pasca gempa. Di luar itu, mereka juga
menyelamatkan puluhan sekolah yang nyaris ambruk di berbagai wilayah. Banyak pihak percaya kepada
Imam karena bukan saja karena kemampuannya untuk membangun kesadaran untuk berbagi, namun
juga karena ia terbukti senantiasa memegang amanah.

Pria yang memperoleh gelar doktor dari salah satu sekolah terbaik di AS, Brown University, ini percaya
bahwa upaya kemanusiaan tak boleh mengenal sekat-sekat keagamaan dan kelompok. ”Kita tidak bisa
berpikir bahwa anak yang sedang luar biasa menderita ini Islam atau Kristen; kita tolong atau tidak?”

Salah satu pengalaman hidup yang menginspirasikannya menjadi seorang yang percaya pada
keberagaman adalah masa satu tahun menjadi peserta American Field Service di AS, ketika ia masih
duduk di SMA. Di sana ia tinggal dalam sebuah keluarga yang meski menerapkan tradisi Katolik, namun
mengaku tidak beragama.

Imam sangat terkesan dengan kenyataan bahwa keluarga angkatnya itu adalah para aktivis kemanusiaan
tanpa pandang bulu. Mereka pun sangat menghargai mereka yang berbeda keyakinan. ”Saya ingat,
suatu kali mereka mengatakan, ’This is Idul Fitri’, dan kemudian mengantar saya ke masjid,” kenang
Imam.” Dari sini saya merasakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang melampaui perbedaan-perbedaan
antara kelompok.”

Dalam perjalanan hidupnya, Imam mengaku kerap bekerjasama dengan begitu banyak orang yang
dengan sukarela dan menunjukkan keikhlasan luar biasa dalam aktivitas-aktivitas kemanusiaan.
”Seringkali orang-orang itu adalah orang yang tidak beragama.”
Karena itu, bagi Imam, bila masyarakat Indonesia ingin benar-benar membangun diri mencapai
kesejahteraan dan perdamaian, kesediaaan untuk bekerjasama seraya mengabaikan sekat keagamaan
dan kelompok menjadi syarat mutlak. Buat Imam, perisai kemanusiaan itu begitu universal untuk
dikorbankan oleh sekat-sekat agama. ”Inilah barangkali apa yang dimaksud dengan Islam-rahmatan lil
‘âlamîn,” ujarnya.

14. Jalaluddin Rakhmat

Mereka yang mengenal Jalaluddin Rakhmat (59 tahun) saat ini mungkin tak akan mengira bahwa di masa
mudanya dulu, tokoh pembela kaum tertindas dan pembela keberagaman ini pernah sangat ‘anti-
pluralisme’. Dia pernah membuang beduk dari masjid di kampungnya, pernah mengecam tetanggga
yang tahlilan, pernah menyalahkan para warga kampungnya dalam hal cara bershalat – dan itu semua
karena, menurut Jalal, mereka melakukan bid’ah dan menyalahi fikih yang benar.

Jalal kerap mengenang kembali masa “jahiliyah” itu tatkala berbicara tentang betapa pentingnya umat
Islam menghargai keberagaman dan meninggalkan sikap saling memutlakkan kebenaran. Ia percaya
segenap tindakan agresif tersebut dulu sebenarnya didasarkan atas niat baik. Dengan semangat
melawan kesesatan, Jalal bercita-cita memberantas bid’ah, khurafat dan takhayul di kampungnya. Tapi
alih-alih menciptakan kesejahteraan, tindakan Jalal justru melahirkan konflik.

Jalal mengaku sangat terpengaruh oleh kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, karya besar Imam al-Ghazali. Setelah
membaca buku itu ia percaya karena dunia ini telah begitu dilumuri dosa, ia harus menjalankan misi
menyelamatkan masyarakat dengan meninggalkan semua kenikmatan duniawi.

Kini, semangat menyelamatkan dunia itu nampaknya tetap ada dalam hati Jalal. Namun baik substansi
dan pendekatan dakwahnya sudah sama sekali berubah. Bisa jadi karena ia mengalami sendiri begitu
banyak konflik yang melelahkan, namun juga karena pengalaman hidupnya memberi Jalal kesempatan
untuk memperluas cakrawala pandangnya.

Sejak kecil Jalal memang dididik secara Islam. Bahkan, ”sangat Islam”. Ia datang dari keluarga NU,
kakeknya memiliki pesantren, ia membaca kitab kuning sejak kecil, dan ayahnya meninggalkan keluarga
pada saat Jalal masih berusia 2 tahun untuk menegakkan syariat Islam. Di masa mudanya, ia belajar ke
beberapa pesantren. Masa-masa ‘Jalal radikal’ itu berlangsung di tahun 1970-an, di masa ia menempuh
pendidikan di Universitas Padjajaran (Unpad).
Suratan takdir menentukan Jalal harus keluar dari sarangnya. Setelah selesai dari Universitas
Padjadjaran, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan memperoleh gelar Master di Iowa University, dan
belakangan memperoleh gelar doktornya di Australia National University. Di antara periode itu, ia juga
pernah melakukan pengembaraan intelektual ke kota Qum, Iran, untuk belajar filsafat Islam dari para
mullah tradisional. Itu semua memperkaya jiwa dan alam pikirnya.

Kini, Jalal dikenal sebagai tokoh pembela pluralisme dengan kualitas lengkap: sebagai ilmuwan yang
banyak diudang menyampaikan gagasan-gagasannya di berbagai konferensi dan seminar dalam dan luar
negeri, penceramah yang memikat dan tajam, penulis yang produktif, aktivis pendidikan yang
mengembangkan sekolah yang membuka mata murid pada keberagaman, serta seorang ulama yang
sangat peduli dan memiliki komitmen tinggi pada nasib kaum papa.

Sebagai dosen, ia mengajar ilmu-ilmu modern di Fakultas Komunikasi Unpad, serta mengajar tasawuf di
Islamic College for Advanced Studies (ICAS)- Universitas Paramadina. Sebagai aktifis ia membidani dan
menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), mendirikan Islamic Cultural
Center (ICC) Jakarta serta membina Jalal Center for Enlightenment. Jalal juga dikenal sebagai salah
seorang penulis paling produktif di Indonesia. Hampir 50 buku karyanya sudah diterbitkan.

Sebagai pendidik, ia mendirikan dan sekaligus menjadi Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung, yang kini
dinyatakan pemerintah sebagai sekolah model untuk pembinaan akhlak. Jalal tidak hanya bicara pada
kaum elit, tapi juga pada kaum papa. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh
gelandangan. Ia bahkan mendirikan sekolah gratis, SMP Plus Muthahhari di Cicalengka, Bandung, yang
dikhususkan untuk siswa miskin.

Pengalaman hidup plus perjalanan ruhani dan pengembaraan intelektualitasnya menyebabkan Jalal
percaya bahwa salah satu masalah terbesar dalam umat Islam dunia saat ini adalah perhatian yang
terlalu besar soal-soal fikih. Baginya, itu menyebabkan umat Islam terus didera konflik yang menjauhkan
mereka dari soal-soal yang lebih substantif. Pembicaraan fikih, menurut Jalal, hanya bisa dilakukan
dengan pemahaman dan kesediaan untuk mengakui adanya keberagaman penafsiran.

Dalam konteks itulah, Jalal mengembangkan kampanye ‘dahulukan ahlak di atas fikih’. Sebagai contoh,
bila gara-gara perbedaan tafsiran fikih terjadi perselisihan, yang harus diutamakan adalah kewajiban
menjaga silaturahmi (ahlak) dengan meminggirkan perbedaan.
Karena itulah, Jalal senantiasa mengingatkan masyarakat untuk tidak terpecah hanya karena perbedaan
mazhab, perbedaan penafsiran atau bahkan perbedaan agama. Ia selalu mengutamakan persatuan,
bukan saja di dalam Islam tapi juga dengan umat agama lain. Ilmuwan yang kerap dipanggil kiai ini sering
juga diminta berbicara di gereja dan forum-forum umat Kristiani. ‘’Banyak berinteraksi dengan umat
agama lain justru membuat keimanan saya menjadi lebih kuat," katanya.

Mungkin karena keengganannya memasuki wilayah fikih itu, Jalal kini dikenal sebagai tokoh
pengembang tasawuf kota. Ia menampik bila dikatakan tasawuf akan menjauhkan umat Islam dari
masalah-masalah keduniaan. Justru baginya, jiwa yang bersih dibutuhkan untuk melakukan perubahan-
perubahan yang lebih bersifat struktural, seperti korupsi dan ketidakadilan sosial. Baginya, Khomeini
adalah contoh terbaik – ia adalah sufi besar yang aktivitas politiknya bisa menggulingkan penguasa
sebesar Shah Iran yang didukung kekuatan adikuasa seperti AS.

Dalam pandangan Jalal, beragama dengan terlalu berpegang pada fikih akan terasa kaku, sempit dan
terkesan formalistik. ”Dalam tasawuf, para sufi dalam melihat berbagai persoalan tidak hitam putih,
benar salah, halal haram, surga neraka,” ujar Jalal. ” Mereka yang beragama dengan bertasawuf akan
merasakan kehangatan, kelonggaran dalam beragama.”

15. Jimly Asshiddiqie

Para wartawan dan aktivis demokrasi di Indonesia agaknya perlu berterimakasih pada Jimly Asshiddiqie
(52 tahun). Di bawah pimpinannya, Mahkamah Konstitusi membatalkan sejumlah pasal dalam KUHP
yang menghambat ruang gerak masyarakat untuk mengkritik pemerintah.

MK memang sebuah lembaga yang berwenang kesahan perundang-undangan yang ada di Indonesia. MK
dapat membatalkan isi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan
kewenangan itulah, Jimly membawa MK menjadi salah satu kekuatan utama untuk membersihkan
Indonesia dari berbagai rujukan hukum yang bertentangan dengan demokrasi.

Dua tahun yang lalu, MK membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang mengancam pidana mereka yang
dianggap melakukan penghinaan atas presiden dan wakil presiden. Lantas tahun lalu, MK juga
menganulir pasal-pasal dalam KUHP yang melarang warga Indonesia untuk menyatakan ”perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia.’’
Keputusan ini menjadi penting mengingat di masa lalu, pemerintah yang berkuasa kerap memanfaatkan
pasal-pasal tersebut untuk memberangus mereka yang berani mengeritik atau mengungkapkan
keboborokan kepala negara dan pemerintah. Dengan alasan menghina kepala negara atau pemerintah,
seorang warga dapat dipenjara, padahal yang sebenarnya ia lakukan adalah sekadar melakukan kontrol
sosial terhadap mereka yang berkuasa.

Ancaman pidana yang melekat pada pasal-pasal anti-demokrasi itu juga berat. Ancaman pidana atas
penghinaan kepala negara dalam KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda itu misalnya mencapai
enam tahun penjara.

Karena itulah banyak pihak menyambut gembira keputusan MK itu. Jimly menyatakan bahwa tidak
relevan lagi saat ini untuk tetap mempertahankan pasal-pasal yang menghilangkan prinsip persamaan di
depan hukum serta mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat.

Pria kelahiran Palembang ini sangat peduli dengan kepastian hukum dalam sebuah negara demokratis.
Ia sendiri memang dikenal sebagai ahli hukum tata negara, dan memperoleh gelar doktor dalam bidang
ilmu itu dari Universitas Indonesia pada 1997. Selain sebagai ilmuwan dan mengajar, Jimly adalah juga
aktivis yang banyak terlibat dalam demokratisasi di Indonesia. Banyak berperan di YISC Al-Azhar di masa
muda, belakangan ia terlibat dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dan kemudian aktif di The
Habibie Center.

Komitennya pada prinsip kepastian hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tersebut konsisten
ditunjukkannya dalam berbagai isu kontroversial. Dalam kasus Ahmadiyah, Jimly secara tegas
mengecam pihak-pihak yang menggunakan tindak kekerasan untuk mengancam Ahmdiyah.

”Saya pribadi menganggap ajaran Ahmadiyah itu sesat,” kata Jimly. ”Namun walaupun mereka sesat,
saya tetap tidak setuju dengan adanya tindak kekerasan terhadap mereka. Umat Islam seharusnya
menunjukkan bahwa Islam memang pembawa rahmat bagi semua umat.”

Jimly juga mengingatkan bahwa pemerintah sebaiknya tidak campur tangan dalam soal keyakinan. "Ini
masalah internal umat Islam. Negara tidak bisa campur tangan, apalagi sampai menyatakan sebagai
ajaran sesat," katanya.
Menurutnya, dalam sebuah negara demokratis, memang keputusan diambil oleh suara terbanyak. ”Tapi
sesuai asas demokrasi pula, hak minoritas pun harus dijamin. Kalau sampai ada kekerasan terhadap
kaum minoritas, itu memprihatinkan."

Karena itu, tambah Jimly yang juga pernah menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat MUI, pemerintah
harus berhati-hati mengeluarkan apa yang disebut sebagai Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
Ahmadiyah, mengingat SKB sebenarnya sudah tidak dikenal dalam struktur hukum Indonesia. ” SKB
memang ada dalam UU lama. Tapi dalam UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, istilah itu tidak dikenal lagi.”

Bila pemerintah sampai mengeluarkan SKB soal Ahmadiyah, menurut Jimly, keputusan pemerintah itu
bisa digugat secara hukum. “Negara kita adalah negara hukum. Kalau publik merasa dirugikan, bisa di-
judicial review di MK, Pengadilan Negeri atau Pengadilan tata usaha negara," jelasnya.

Perannya dihargai banyak pihak. Majalah GlobeAsia tahun lalu menobatkan Jimly sebagai ”Man of the
Year”. Ada lima alasan yang dikemukakan majalah tersebut untuk menjelaskan mengapa Jimly dianggap
lebih penting daripada kandidat-kandidat lain yang terdiri dari para pejabat eksekutif, yudikatif, aktivis
hak asasi manusia, pendidik, hingga kewirausahaan.

Pertama, Jimly dan para koleganya dianggap terbukti menjadi kontributor bagi terwujudnya reformasi
hukum di Indonesia yang memperkuat berlangsungnya proses demokrasi di Indonesia. Kedua, Jimly
berhasil membuktikan diri mampu membangun institusi yang membawa kebaikan bagi pembaruan
birokrasi. Ketiga, dalam kultur hukum yang selama ini dikenal lamban, Jimly dinilai berhasil
membuktikan berjalannya prinsip peradilan yang cepat. Keempat, Jimly terbukti berhasil mewujudkan
pelayanan publik yang prima. Kelima, dari putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK, Jimly dan para
Hakim Konstitusi dinilai berhasil menjalankan peradilan yang imparsial. Hal-hal inilah yang dinilai
majalah tersebut menjadikan Jimly Asshiddiqie pantas dilihat sebagai sosok penting penjaga konstitusi
Indonesia (The Guardian of The Constitution).

16. Komaruddin Hidayat

Saat ini Komaruddin Hidayat terutama dikenal sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun
orang perlu juga ingat bahwa pada 2004 ia adalah Ketua Panitia Pengawas Pemilu.
Komar (55 tahun) memang adalah sekaligus intelektual, pendakwah sufistik dan aktivis Islam yang
terlibat dalam proses demokratisasi. Ia sangat percaya pada penyucian jiwa, pada pengembangan
intelektualisme dan juga keterlibatan kaum Muslim yang tercerahkan dalam proses politik.

Latar belakang pendidikan keislaman Komar sangat kaya. Ia lulus pesantren Pabelan, Magelang pada
1969; sebelum melanjutkan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus
sarjana S1 pada 1981. Gelar doktornya diperoleh dari Universitas Ankara, Turki, untuk bidang filsafat
pada 1990.

Komar adalah tokoh yang secara konsisten percaya pada upaya membangun peningkatan pemahaman
dan rasa keagamaan sebagai dasar bagi transformasi sosial. Di kalangan masyarakat elit perkotaan
seperti Jakarta, Komar dikenal sebagai penceramah yang menggunakan pendekatan sufistik. Namun
pada saat yang sama, Komar selalu mengingatkan bahwa pembersihan jiwa itu tak akan banyak berarti
bila tak berimbas pada perubahan ke arah kesejahteraan masyarakat bersama.

Pria bersuara empuk ini sangat peraya pada arti peran Islam dalam membangun dunia yang damai.
Dalam kaitan itu, ia lazim mengeritik kecenderungan kelompok-kelompok Islam untuk bersengketa, baik
antara sesama Muslim maupun dengan kelompok-kelompok lain. Menurutnya, keterjebakan umat
dalam konflik ini menjadikan Islam yang pada awal pertumbuhannya menunjukkan visi, potensi, dan
prestasi yang sangat menakjubkan dalam membangun peradaban unggul dengan cara damai,
intelektual, dan beradab, kini tersudut dan terpinggirkan.

Ia senang merujuk pada sindiran seorang ilmuwan Barat, Toby Huff, bahwa segenap temuan yang dulu
lahir dari peradaban Islam justru sekarang dimanfaatkan secara benar oleh Barat untuk membangun
kemajuan peradaban, sementara kaum Muslim menggunakanya sekadar untuk kebutuhan ritual atau
untuk saling menghancurkan.

”Di dunia Islam saat ini, kompas hanya digunakan untuk menunjukkan kiblat salat, sementara oleh orang
Eropa dipakai untuk bisa berkeliling dunia,” ungkap Komar mengutip Huff. ”Kita menggunakan ilmu
astronomi hanya untuk menentukan kapan datangnya bulan Ramadhan, sementara di Eropa dijadikan
modal petualangan angkasa. Dunia Islam menggunakan dinamit untuk berperang menghancurkan
musuh, sementara di Eropa dijadikan tenaga untuk menggerakkan industri berat dan kapal besar.”
Dengan posisinya sebagai rektor UIN, Komar berusaha menujudkan harapannya agar Al-Quran kembali
menjadi sumber pencerahan yang tak pernah kering bagi umat Islam. Hanya saja, untuk itu, upaya
penggalian kembali itu harus didukung iklim kebebasan intelektual dengan dukungan institusi yang
profesional dan dana yang cukup.

Mantan wartawan Panji Masyarakat ini sangat percaya bahwa Indonesia bisa menjadi model sebuah
negara demokrasi yang dimotivasi oleh komitmen keislaman. ”Umat Islam yang merupakan mayoritas di
negeri ini harus terlibat dalam upaya memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi.”

Di sisi lain, Komar juga tergolong orang yang percaya bahwa segenap cita-cita luhur itu hanya bisa
dilakukan apabila masyarakat dihuni oleh mereka yang melakukan penyucian secara terus menerus.
Dalam konteks itulah, Komar dikenal sebagai pendakwah yang sangat menekankan aspek sufistik.

Mantan Ketua Yayasan Paramadina ini senantiasa mengingatkan arti penting membangun pola hidup
zuhud – yakni pola hidup yang mengorientasikan diri pasa aspek ruhani atau spiritual, dan melepaskan
pandangan keduniaan yang serba benda ini.

Ia merasa bahwa salah satu masalah dalam kehidupan masyarakat modern saat ini adalah konnsentrasi
yang terlalu besar mengejar hidup yang sementara ini. Sikap semacam ini menjadikan orang tidak
percaya bahwa segala sesuatu berjalan dalam proses dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah.
”Bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah,” kata Komar, ”menjadikan hidup ini lebih rileks dan
nyaman. Jauh dari stress, cemas, dan penyakit-penyakit hati lainnya.”

Pria kelahiran Pabelan ini tidak melihat gejala sufisme kota ini sebagai bentuk pelarian masyarakat yang
sedang berada di dalam situasi krisis. ”Kita harus sadar bahwa gerakan yang mengajak orang untuk
kembali ke agama bukan hanya oleh tasawuf, tapi juga oleh gerakan semacam fundamentalisme,
gerakan kultus, gerakan tabligh, atau gerakan salafi,” ujarnya. ”Justru bila yang dipilih adalah gerakan
tasawuf, itu akan mendorong sikap yang lebih bersahabat dan damai dalam Islam dibandingkan
gerakan-gerakan lain.”

Komar menegaskan bahwa jalan sufistik ini juga jangan sampai membuat orang mengira bahwa itu
hanyaklah ”jalan berbalik untuk membangun mahligai di langit”, melainkan ”jalan turun dari kesadaran
langit untuk memenangkan perjuangan di bumi”. Dengan kata lain, jalan sufistik itu bukan sekadar
mengingat-ingat Tuhan, melainkan juga mengingat-ingat nasib manusia di sekitarnya. Contoh terbaik
bagi Komar adalah Nabi Muhammad, yang adalah seorang spiritualis tapi sekaligus juga seorang pekerja
keras di muka bumi.

17. M. Dawam Rahardjo

Ia seorang living legend dalam dunia intelektual Indonesia. Masih aktif, bahkan saat selang-selang infus
bersilang di tubuhnya.

Sebuah cerita perkenalan Utomo Dananjaya, salah seorang pendiri Paramadina, menggambarkan
dengan baik sisi ganda Dawam Rahardjo. Ketika ditemui di Bank of America tempat Dawam bekerja
waktu itu, Dawam berujar, “Saya pakai dasi naik bis kota.”

Sejak kecil, Dawam memang selalu hidup di dua atau lebih dunia. Dalam dunia pemikiran Islam, boleh
dibilang Dawam punya darah biru, sekaligus warisan kemajemukan dunianya. Ayahnya, Mohammad
Zuhdi Rahardjo, lulusan sekolah Islam terkemuka pada masanya, Mamba’ul Ulum. Tapi ayahnya juga
adalah seorang pengusaha dan pelopor sentra industri pengikal benang di Tempur Sari. Ayahnya jadi
pengusaha setelah suatu ketika mendapat ilham membuat mesin pengikal benang, dan langsung
berhenti dari pekerjaan sebagai seorang guru Muhammadiyah.

Ayahnya berharap Dawam jadi pewaris bisnisnya, dan mendidik Dawam kecil untuk jadi pengusaha. Tapi
Dawam kecil lebih suka membaca, dan ayahnya tak keberatan memberinya uang berapa pun untuk
membeli buku atau bacaan. Dawam membaca Al-Qur’an, tertarik pada dongeng Hikayat Amir Hamzah
dari tantenya, juga banyak membeli komik seperti Tarzan, Mandrake, dan Flash Gordon. Saat remaja, ia
juga banyak bergaul dengan dunia sastra, membaca dan menulis cerpen dan puisi, sambil diam-diam
memupuk minat keilmuannya pada ilmu ekonomi.

Di samping dunia baca, Dawam juga aktif dalam dunia pergaulan sejak kanak. Ketika ia bersekolah dasar
di Al Robithoh al-Allawiyah, di samping bersekolah agama di Muhammadiyah di masjid besar Solo. Di
sekolah Al Robithoh itulah ia menjalin pertemanan dengan “anak-anak kampung Arab” dan sering
bermain dengan mereka di Pasar Kliwon. Terbukti, inilah salah satu awal perluasan jaringan aktivisme
Dawam di kemudian hari: di antara teman-temannya itu, ada Abdillah Thoha (kini jadi salah satu ketua
PAN), Anis Mustofa, Nabil Makarim, dan yang muda, Haidar Bagir. Bekal pergaulan masa kecil ini akan
meluas terus, dan saling berjalin.
Maka lengkaplah dasar bagi dunia majemuk Dawam nanti: dunia akademis sekaligus dunia aktivisme;
studi agama, sekaligus studi ekonomi perbankan maupun ekonomi kerakyatan; dunia ilmiah, juga dunia
sastra dan jurnalistik; dunia tradisional, dan dunia sangat modern. Bahkan dalam hal studi agama pun, ia
mewujudkan kemajemukan itu: sewaktu aktif di HMI Yogya, ia membentuk “Studi Club Marxime”.
Dawam adalah satu dari sedikit orang (selain Arief Budiman, Sritua Arief, dan Farchan Bulkin) semasa
awal Orba yang mendalami Marxisme, Neo-Marxisme, dan teori-teori radikal; teori-teori yang semasa
rezim Soeharto dibumihanguskan dari pelataran wacana publik.

Dengan segala kemajemukan itu, tak heran jika Dawam (1) selalu gelisah, (2) penuh ide, (3) selalu
menulis, menulis, menulis, dan menulis. Sungguh tepat ketika Imam Ahmad, salah seorang editor di
LP3ES (Dawam jadi direktur LSM terpenting di Indonesia ini pada usia 38), mengutip sebuah ungkapan
Pramodya Ananta Toer untuk menggambarkan kepenulisan Dawam:

"Semua itu harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting
tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna." (Pramodya Ananta Toer, dikutip oleh Imam Ahmad
dalam Demi Toleransi, Demi Pluralisme.)

Begitulah Pram, begitulah pula Dawam. Ia prolifik, banyak sekali menghasilkan tulisan sejak mudanya. Ia
seorang generalis, tapi juga memiliki (beberapa) spesialisasi atau bidang khusus yang didalami. Ia
menghasilkan buku-buku rintisan tentang studi pesantren dan ekonomi Islam di Indonesia, baik sebagai
editor maupun sebagai penulis. Buku tafsirnya, Ensiklopedi al-Qur’an, boleh dibilang karya seminal
dalam bidang metode tafsir tematik al-Qur’an. Buku ini adalah kumpulan tulisannya di jurnal Ulumul
Qur’an, dan menampakkan kepeloporannya di bidang tafsir tematik ini. Bahkan ketika belakangan ini ia
sakit, ia tak berhenti berpikir dan menulis. Suatu ketika, saat sebulan di rumah sakit, ia berhasil menulis
sekitar delapan cerpen dan beberapa esai. Ia dibantu dibacakan dan dituliskan oleh keluarganya.

Bersamaan dengan “bukuisme”-nya, aktivisme Dawam tak kurang berjalan. Puncak aktivismenya adalah
ikut mendirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990. Namun, belakangan ini, didera
penurunan kesehatan cukup akut, ia hadir di garda depan pembelaan nasib agama minoritas di
Indonesia. Ia lantang menyatakan dukungan moralnya pada jemaah Lia Eden dan Ahmadiyah, bahkan
saat pertama kali fatwa MUI tentang Ahmadiyah keluar –sehingga Nono Anwar Makarim menyebutnya
“berhak diberi tempat VIP dalam sejarah pergerakan”.

Menurut kesaksian para rekan dan kerabatnya, ia masih gelisah melihat Indonesia semakin jauh dari
keadaan ideal. Di kepalanya berkerumuk banyak ide bagi masa depan Indonesia. Ia masih menolak
berhenti membaca, bahkan walau kini ia harus menggunakan kaca pembesar untuk membaca. Ia juga
menolak berhenti membela yang tertindas.

18. Muhamad Syafii Anwar

Muhammad Syafii Anwar sudah biasa dicaci dan dihina. Ia lazim dituduh agen CIA, boneka Barat,
menyebarkan aliran sesat dan tidak menghormati ulama. Darahnya pernah dinyatakan halal oleh kaum
yang membencinya. Sejumlah masjid besar melarangnya untuk berceramah.

Maklumlah, ia adalah satu dari sedikit tokoh yang secara terbuka mengecam fatwa Majelis Ulama
Indonesia yang menyatakan pluralisme, sekulerisme dan liberalisme sebagai menyesatkan. Ia secara
terbuka mengecam mereka yang menyerang Ahmadiyah. Ia secara terbuka mempertanyakan mengapa
pemerintah diam saja menghadapi gerakan radikal Islam yang mengancam mereka yang berbeda
keyakinan.

Maklumlah juga, ia adalah Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Lembaga yang ia
turut dirikan pada 1999 ini memang sengaja dibentuk untuk mendorong dan mempromosikan gagasan
pluralisme, toleransi, hak aasi manusia dan demokrasi.

Pria kelahiran Kudus ini berpenampilan bersahaja. Namun di balik sosok sederhana tersebut, termuat
komitmen penuh untuk memperjuangkan pluralisme karena satu keyakinan sederhana: Islam sangat
menghargai keberagaman, dan penolakan atas keberagaman justru menyesatkan umat dari ajaran Islam
sesungguhnya.

Syafii (55 tahun) menganggap banyak pengkritik pluralisme sebenarnya tak mengerti makna pluralisme.
Dalam soal agama, misalnya, Syafii mengaku sering mendengar orang menuduh bahwa pluralisme
berarti percaya bahwa semua ajaran agama sama. ”Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui
keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju,” kata Syafii. ”Dan yang terpenting, bukan sekadar menjadi
toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain serta sepenuhnya menyadari bahwa
keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia.”

Buat Syafii, masalah utama keterbelakangan umat Islam adalah masih dominannya penafsiran literal
terhadap kitab suci, yang mencirikan semangat kembali ke Al-Quran yang dijalankan kaum
fundamentalis. Sebagai contoh, karena yang tertera dalam Al-Quran adalah peringatan tentang bahaya
yang datang dari kaum Nasrani dan Yahudi, kalangan fundamentalis dengan segera menyimpulkan
adanya kewajiban permusuhan permanen dengan kaum non-Islam seraya mengabaikan sama sekali
penafsiran kontekstualnya.

Celakanya, menurut Syafii, kalangan garis keras ini merasa mendapat justifikasi karena pada saat yang
sama memang di indonesia berlangsung krisis ekonomi, krisis politik, krisi hukum, budaya yang
berkepanjangan. Apalagi pada saat yang sama, di tingkat global, juga berlangsung berbagai ketidakadilan
politik global, terutama di Timur Tengah, yang sangat dipengaruhi standar ganda AS. ”Sehingga mereka
melihat syariah sebagai obat mujarab yang bisa dipakai untuk menyelesaikan semua masalah.” ujarnya.

Pria yang di masa muda sangat aktif di masjid Al-Azhar Jakarta ini juga dengan sengaja membedakan
posisinya dari kelompok seperti Jaringan Islam Liberal (JIL). Masalah dengan JIL, menurut Syafii, adalah
mereka hendak mendekonstruksikan (memberaikan) semua hal dalam Islam yang menimbulkan
keterkejutan luar biasa dalam masyarakat Muslim. Bagi lulusan Universita Melbourne (2005) ini, yang
diperlukan juga adaah upaya merekonstruksi penafsiran tentang Islam itu dengan metodologi yang
tepat. Daam kaitan itu, Syafii lebih senang menggunakan gagasan pluralisme, karena dalam sejarah
panjangnya Islam selalu percaya pada keberagaman. ”Ada Sunni, ada Syiah. Semua ada tempat.”

Pria kelahiran Kudus ini merasa penerimaan atas keberagaman ini harus ditumbuhkan sejak usia anak-
anak dan remaja. Saat ini ICIP berusaha mengembangkan kurikulum pendidikan pluralisme dan
multikulturalisme di sekolah-sekolah lanjutan seperti misalnya pendidikan sejarah agama-agama yang
diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman dan rasa saling menghormati antar pemeluk agama yang
berbeda-beda. ”Bila masuk ke level teologi mungkin masih sulit, terutama di bawah SMA dan perguruan
tinggi,” katanya. ”Jadi untuk sekolah-sekolah, idealnya yang diberikan sejarah agama saja dulu."

Mantan wartawan Panji Masyarakat ini percaya bahwa ancaman utama terhadap Islam datang dari
kaum radikal dalam tubuh masyarakat Islam sendiri. Ia prihatin bahwa dalam beragam konferensi dan
seminar internasional yang dihadirinya, Islam lazim ditempatkan sebagai ancaman bagi demokrasi.
”Citra Indonesia sebagai kapal tumpangan kaum Islam radikal itu sudah menyebar ke mana-mana,”
ujarnya. ”Kalau kita tidak bisa mengubah itu yang rugi kita sendiri.”

Dia juga percaya bahwa bila radikalisme Islam itu terus tumbuh, Indonesia akan runtuh akibat
disintegrasi. ”Saya kira kalau para pendiri bangsa masih hidup akan menangis melihat situasi seperti ini.
Sebab, rumah Indonesia yang kita perjuangkan bersama dengan darah dan air mata akan runtuh. Kita
harus sadar bahwa Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat plural."
Karena itu, Syafii berharap kaum muslim moderat di Indonesia secara terbuka bersikap menghadapi
gelombang radikalisme ini. Menurutnya, organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU
tidak tergolong berhaluan keras. ”Mereka yang merasa paling benar sendiri dan memaksakan
kehendaknya sendiri itu terbatas,” ujarnya. ”Mereka itu tidak bisa dibiarkan.”

Peran Syafii diakui secara internasional. Ia ditunjuk oleh Komisi Tinggi HAM PBB menjadi wakil negara-
negara Asia untuk pengembangan standar internasional dalam isu-isu toleransi agama, penghinaan atas
simbol-simbol keagamaan, serta penyebaran kebencian rasial. Diharapkan, kelompok ini dapat
melahirkan instrumen internasional yang akan mengikat negara-negara anggota PBB untuk, antara lain,
mencegah penindasan terhadap kelompok-klompok beragama dan berbeda keyakinan.

Ia memang tidak jarang diundang oleh lembaga-lembaga internasional untuk membicarakan situasi
Indonesia. Toh, Syafii tidak bisa dipandang sebagai agen Barat yang suka menjelek-jelekkan Indonesia.
Ketika diundang ke AS, ia justru memanfaatkan kesempatan untuk mengecam perilaku pemerintah AS
yang terlalu arogan sehingga justru mempersulit upaya membangun kepercayaan di dunia Islam akan
demokrasi.

19. Masdar F. Mas'udi

Suaranya lembut, tutur katanya tertata, wajahnya selalu tenang, tapi ide-ide fikihnya radikal.

Kehadiran sosok Masdar Farid Mas’udi sebagai pemikir Islam, dari segi tertentu, seolah menegaskan
bahwa dunia pesantren tak banyak dipahami kaum Muslim kota. Nama Masdar mulai mencuat ke
permukaan, dibicarakan banyak orang, ketika pada 1980-an ia mengajukan ide bahwa zakat = pajak.
Segera saja timbul reaksi yang terekam di berbagai media massa mau pun mimbar-mimbar
masjid/musala atau kantong-kantong studi agama di kota seperti Rohis SMA dan kampus universitas
umum.

Makin heboh lagi ketika ia melontar ide tentang “fikih kontekstual” pada 1989. Bukunya tentang hak-
hak reproduksi perempuan juga kontroversial, tapi agaknya masyarakat sudah cukup terbiasa dengan
lontaran radikalnya. Terbiasa dalam arti, yang memang antipati pada ide-ide Masdar tak akan lagi
menyimaknya; yang simpati, akan membahasnya dengan penuh semangat. Sesudah itu, idenya kembali
membuat geger ketika ia menyatakan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji perlu ditinjau-ulang.
Ide-ide Masdar lahir dari rahim dunia pesantren yang berbasis di kampung. Walau ide-idenya –
khususnya, ide tentang fikih kontekstual– sempat menggegerkan dunia pesantren, tapi terbukti ia kini
kukuh sebagai seorang tokoh dunia pesantren NU. Ini karena memang Masdar tak muncul tiba-tiba di
dunia ini. Ia keturunan kyai, dan seperti biasa, tumbuh dalam pendidikan pesantren yang khas. Kakek
Masdar, Kyai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren salafnya.

Banyak lompat kelas sewaktu di madrasah, Masdar yang lulus aliyah (setingkat SMA) pada 1970
disarankan Kyai Ali Maksoem (Rois ‘am PBNU 1988-1999) untuk jadi asisten pribadi sang kyai sebagai
dosen luar biasa IAIN Sunan Kalijaga. Masdar yang masih sangat muda saat itu sering membantu sang
kyai membacai skripsi-skripsi para calon sarjana IAIN, bahkan menyusunkan pula pertanyaan-pertanyaan
relevan untuk skripsi-skripsi itu. Tentu saja pengalaman ini turut membentuk alam pikir Masdar. Apalagi
saat itu ia dapat memanfaatkan perpustakaan pribadi sang kyai yang berisi berbagai kitab pilihan dari
aliran salaf (klasik) mau pun khalaf (modern).

Pengalaman lain yang membentuk watak Masdar adalah pengalaman organisasinya yang telah ia mulai
sejak dini juga. Pada 1972, ia terpilih sebagai ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Komisariat Krapyak, Yogyakarta. Untuk aktivismenya, Masdar pernah ditahan lima bulan lebih pada
1978, karena memimpin demonstrasi antikorupsi menjelang Sidang Umum MPR waktu itu. Di LSM, ia
menjadi koordinator program P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dan
sempat menerbitkan jurnal Pesantren pada 1984-1990, satu-satunya jurnal Islam di Indonesia saat itu
(sebelum kehadiran jurnal Ulumul Qur’an pada 1989). Kini, ia menjabat direktur lembaga tersebut.

Dunia pesantren yang terjebak dalam imaji kumuh dan ndeso di benak orang kota sesungguhnya adalah
dunia pemikiran yang dinamis. Dunia pesantren adalah dunia kaji kitab dan bahasa Arab, dunia komunal,
dunia yang mengandung ketaatan kuat sekaligus, seperti ditulis oleh Tim Pappa dalam Madina no. 3,
kenakalan dan keriangan. Toh dunia ini praktis terasa asing bagi kebanyakan orang di kota. Lebih-lebih,
di dunia gerakan Islam yang tumbuh di kalangan kelas menengah kota dan berbasis di lembaga-lembaga
“sekuler” seperti SMA maupun kampus-kampus umum. Bagi mereka, ide-ide seperti yang dilontarkan
oleh Masdar sungguh ganjil dan seperti tiba-tiba “menonjok” dari arah tak terduga.

Memang, masih perlu dibangun terus komunikasi antara kedua kelompok ini. Jika tidak, corak pemikiran
gaya Masdar (yang kini berkembang lebih lanjut di kalangan muda NU) malah bisa menimbulkan
eksklusivisme baru, bahkan elitisme baru, merajai dunia pesantren tanpa ingin mengajak serta kelompok
pemikiran Islam di luar itu –mereka yang tak mengakrabi a-b-c-nya penalaran Islam di pesantren.
Untungnya, orang Masdar tetap santun dalam berkarya dan berkiprah.
Dan saat ini, Masdar mengembangkan konsep KAR (Kelompok Anak Ranting), yakni kepengurusuan
ranting NU berbasis masjid dan musala. Konsep ini pisau bermata dua: mendorong untuk memakmurkan
masjid dan mushala, sehingga mengembalikan fungsi sosial masjid; dan menjagai masjid serta musala
NU di seluruh Indonesia dari masuknya fundamentalisme dan paham garis keras Islam. Dan memang,
Masdar mensinyalir, banyak masjid bercorak NU diambil alih, karena pengelolaan masjid oleh orang NU
dianggap melakukan bid’ah dan tak murni Islam.

Masdar juga kini sehari-hari disibukkan oleh posisinya sebagai Ketua PBNU, anggota Dewan Etik ICW
(Indonesian Corruption Watch), Komisi Ombudsman Nasional (KON), sambil membina pesantren al-
Bayan.

20. Mochtar Pabottingi

Mochtar Pabottingi terlalu cinta pada Indonesia. Karena itulah tak ada penguasa yang akan luput dari
kritiknya.

Bagi mereka yang tidak mengenal Mochtar, guru besar riset Ilmu Politik LIPI ini memang akan terkesan
nyinyir. Ketika menjelang meninggalnya Soeharto banyak pihak bicara tentang perlunya memaafkan
mantan presiden tersebut, Mochtar secara terbuka menulis bahwa sikap semacam itu adalah sikap
kerdil yang mengabaikan kepentingan bangsa dan negara.

Dengan keras Mochtar menyatakan, isunya bukanlah kebesaran hati untuk memaafkan, melainkan nilai,
prinsip dan cita-cita tentang supremasi hukum dan kesetaraan manusia di depan hukum. Bagi Mochtar,
kalau kejahatan Soeharto dilupakan begitu saja, itu akan berefek negatif terhadap upaya mengadili
seluruh praktek pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, jabatan dan dana publik yang begitu
menggila selama Orde Baru.

Namun sikap keras Mochtar tidak hanya terlihat setelah sang penguasa tak bisa melawan. Di masa
Soeharto masih memimpin, Mochtar adalah satu dari sedikit ilmuwan yang berani bicara secara terbuka
tentang kelemahan sang penguasa. Di empat presiden berikutnya pun, kebiasaan Mochtar untuk
mempersoalkan kepemimpinan – baik Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY -- tak kunjung surut.
Pria yang lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, hanya satu bulan sebelum proklamasi Indonesia
dikumandangkan ini memang tidak loyal pada siapapun. Sejak awal 1990-an, ia dikenal mendukung
Megawati. Namun segera setelah Mega naik ke tampuk kekuasaan dan terlihat menjauh dari cita-cita
demokrasi, Mochtar secara terbuka memperingatkan tentang kebangkitan ’Orde Baru jilid dua’. Dia ikut
mendirikan PAN, namun kemudian menjadi salah seorang pengkritiknya begitu partai tersebut dianggap
semakin condong ke kubu Islam.

Zat-zat pemberontakan rupanya memang mengalir dalam dirinya sejak awal. Ayah Mochtar adalah
seorang gerilyawan yang berperang melawan pemerintah kolonial Belanda. Tatkala menjadi mahasiswa
di tahun 1960-an, Mochtar sudah menjadi kritikus penguasa. Dengan gaya Bugisnya, Mochtar dengan
mudah mengecam langsung mereka yang dianggapnya telah menyalahgunakan kekuasaan.

Namun pria yang memperoleh gelar doktor dari University of Hawaii ini selalu menekankan bahwa
kritiknya tidak pernah bersifat personal. Termasuk kritiknya terhadap Wapres Jusuf Kalla yang
menempatkan orang-orang Bugis sebagai stafnya. “Kalau kita hendak membangun demokrasi, kita harus
memberi kesempatan yang sama bagi semua orang,” ujar pria berdarah Bugis ini.

Baginya, itu semua dilakukannya karena kecintaannya pada Indonesia. Mochtar tidak sungkan menyebut
dirinya sebagai dirinya sebagai pembela republik. Ia melihat itu sebagai kewajiban yang tak dapat
ditawar. Menurutnya, patriotismenya ini dibentuk oleh tiga unsur utama: nilai-nilai keislaman, prinsip-
prinsip kebugisan dan ajaran Aristoteles (tentang berpolitik dengan etika).

Ia menganggap kelompok-kelompok Islam harus menjadi kekuatan utama yang menjaga agar
tumbangnya Soeharto sepuluh tahun lalu kini memang dapat diikuti dengan terbangunnya sistem
demokratis yang akan membawa kesejehtaraan masyarakat banyak.

Mochtar mengecam mereka yang kerap menggambarkan suasana saat ini sebagai demokrasi yang
kebablasan. ”Mereka yang dulu merampok dan menjarah negeri ini mungkin mau menyelamatkan diri I
dengan menipu rakyat dengan ungkapan reformasi dan kebablasan,” ujarnya. ”Yang kebablasan itu Orde
Baru!”

Menurut Mochtar, sepanjang pemerintahan Orde baru, sebenarnya tidak pernah ada Indonesia sebagai
nation. ”Persatuan dan kesatuan itu cuma retorika Soeharto,” ujarnya. ”Kalau Orde Baru mencintai
bangsa ini, tidak akan ada pembantaian Tanjung Priok, tidak ada itu pembantaian rakyat.”
Bagi Mochtar, rakyat tidak pernah boleh kehilangan kepercayaan akan demokrasi yang sedang
dibangun. Hanya saja, untuk itu rakyat harus bersedia memperjuangkan kedaulatan yang menjadi
prinsip demokrasi. ” Demokrasi tidak jatuh dari langit. Rakyat harus berjuang untuk itu. Rakyat jangan
bermimpi mendapat hadiah demokrasi atau Ratu Adil.”

Namun pada saat yang sama, Mochtar selalu percaya perjuangan melalui jalur-jalur yang diakui dalam
demokrasi. ”Perlawanan harus dilakukan dengan bijak, dengan anti-kekerasan. Tujuan bijak diupayakan
dengan cara bijak pula.”

Mochtar selalu percaya bahwa rakyat Indonesia siap dengan proses demokrasi damai itu. ”Saya selalu
mengatakan yang busuk bukan rakyat,” ujarnya. ”Rakyat kita bijak, kecuali kalau diprovokasi keras,
seperti terjadi di Ambon, orang dibunuh ketika mau salat Idul Fitri. Organisasi kemasyarakatan Islam dan
non-Islam harus menjaga jangan sampai terjadi provokasi lagi.”

Untuk membangun, Mochtar sangat mendorong agar rakyat lebih banyak membaca. Karena itu, dia
mengkritik keras ketika sejumlah kelompok Islam membakar buku-buku yang dianggap membawa ajaran
komunis dan kiri. ”Dalam sejarahnya yang panjang, masa-masa keruntuhan umat Islam selalu ditandai
dengan pembakaran buku-buku. Begitu juga dengan keruntuhan peradaban-peradaban lain. Islam
secara tandas menolak segenap tindakan yang zalim, seperti membakar karya-karya yang ditulis dengan
perjuangan akal-budi yang berat dan penuh kesungguhan.”

21. Mustofa A. Bisri

Kyai penyair yang humoris dan mahir membedah Indonesia dalam bahasa sederhana. Selalu mencari
jalan tengah.

Inilah zaman kemajuan

ada syrup rasa jeruk dan durian

ada kripik rasa keju dan ikan

ada republik rasa kerajaan

(Mustofa Bisri, Zaman Kemajuan, 1997)


Dan sekarang, rasanya banyak “raja kecil” di sekeliling kita. Para pemimpin partai politik dan pejabat,
imam-imam dalam berbagai ormas keagamaan atau etnik, para pemilik sumberdaya ekonomi (baik
didapat secara sah atau “maksa”), atau para ahli yang lebih banyak bicara ketimbang berkarya. Para kiai
pesantren juga bisa jadi raja-raja kecil. Untung masih ada tokoh seperti Mustofa Bisri, yang biasa
dipanggil Gus Mus.

Kiai dari Rembang ini banyak dikenal sebagai penyair-seniman. Sebagai kiai yang sudah tokoh di NU,
Mustofa Bisri menonjol humornya, dan sikapnya yang rileks dalam beragama. Ia sering jadi tempat
curhat anak muda. Bukan berarti ia tak bisa tegas dalam sikap rileksnya. Pernah, ia menegur
menantunya, Ulil Abshar-Abdilla, lewat sebuah tulisan di rubrik opini Kompas. Pangkal soal, ia
menganggap cara Ulil menggulirkan ide-ide pembaruannya kurang arif. Polemik itu juga mencerminkan
bahwa di samping hubungan menantu-mertua, ada juga hubungan intelektual antara keduanya.

Seperti terasa dalam tegurannya untuk Ulil, dalam kepolitikan internal NU yang ricuh pasca-reformasi ini
pun, Mustofa Bisri menampakkan kecenderungan pada jalan tengah. Bolak-balik ia selalu berusaha
untuk menjadi jembatan bagi Gus Dur dan lawan-lawan politiknya di NU. Tak selamanya upaya itu
berhasil. Toh, ia menunjukkan bahwa jalan tengah itu ada.

Yang orang sering lupa adalah, untuk memilih jalan tengah seringkali membutuhkan nyali dan
keberanian besar. Mustofa Bisri tak memilih jalan tengah karena ingin aman, karena toh sudah sejak
lama ia menghasilkan puisi-puisi dan kolom-kolom ”subversif” bagi rezim Soeharto. Sewaktu Soeharto di
rumah sakit menjelang wafatnya, dan marak wacana apakah Soeharto harus diadili atau dimaafkan,
Mustofa Bisri (dalam sebuah kolom di Tempo) mendesak agar urusan-urusan Soeharto ”dibereskan”
dengan caranya yang khas.

Ia menulis, bagi orang-orang yang mengaku mencintai Soeharto, harus diupayakan bagaimana supaya
dosa-dosa Soeharto diampuni. Dan agar bisa begitu, memohon ampun pada Allah saja tidak cukup.
Dosa-dosa yang berkenaan dengan manusia lain, kata Mustofa Bisri, harus diselesaikan juga dengan
manusia. Begitulah Mustofa Bisri: sebuah suara nurani yang tak bisa ditawar, tapi juga cermin harapan
yang bening dan jelas.

Barangkali kebeningan itu diasah oleh jiwa estetisnya. Saat ini, ia dikenal juga sebagai seorang pelukis
yang menggunakan klelet rokok. Klelet rokok adalah endapan nikotin yang ada di pipa. Mustofa Bisri
memang seorang perokok berat (jika diperhatikan, nyaris semua pemimpin spiritual di dunia adalah
perokok berat). Ia kepikiran untuk sekalian memanfaatkan klelet untuk menghasilkan sesuatu yang
indah –ia melukis dengan klelet di atas amplop. Ketika ada ramai-ramai soal goyang ngebor Inul
Daratista, Mustofa Bisri justru memamerkan lukisannya berjudul Berdzikir Bersama Inul.

Keruan saja judul dan pernyataan kesenian Mustofa Bisri itu membuat marah beberapa penulis yang
merasa sedang menjaga ”kemurnian Islam”, bahkan hingga kini. Hartono Ahmad Jaiz menyebutnya
”ngawur”, ketika mengomentari tulisan Mustofa Bisri di Indo Pos, 23 April 2008, berjudul Yang Sesat dan
Yang Ngamuk. Hartono sempat menulis, lukisan Mustofa tentang goyang Inul adalah melecehkan zikir.
Dengan spektakuler Hartono menutup mata membenamkan kepala dari fakta bahwa Mustofa Bisri
adalah seorang ulama-cendekia yang telah banyak bekerja untuk merintis jalan tengah di mana pun
Mustofa Bisri berada.

Barangkali memang jalan tengah adalah jalan yang tak sepi dari caci dan prasangka.

22. M. Quraish Shihab

Bulan lalu sebuah buku yang membantah rangkaian tuduhan yang dilontarkan Geert Wilders melalui
film kontroversial, Fitna, diluncurkan di Jakarta. Tebal bukunya 98 halaman. Sekitar 40 ribu buku itu
diluncurkan. Yang menarik, buku berjudul “Ayat-ayat Fitna” itu disebarkan secara gratis.

Muhammad Quraish Shihab, penulisnya, menyatakan buku itu perlu disebarkan secara luas untuk
meluruskan kesalahpahaman yang mungkin ditimbulkan Wilders. “Dalam film itu ada lima ayat Al-Quran
yang digunakan untuk menjelekkan Islam, padahal isinya sangat bertolak belakang,” ujar Quraish.
“Ajaran Islam itu sangat damai dan mengajak umatnya untuk menjalin hubungan harmonis dengan
pemeluk agama manapun.”

Quraish mempersilakan pihak manapun untuk menggandakan bukunya. Namun ia mengingatkan agar
buku tersebut tidak diperjualbelikan. "Untuk apa diperjualbelikan? Kalau diberikan gratis untungnya
lebih banyak daripada diperjualbelikan. Memang tertunda keuntungan itu tapi akan berlipat ganda di
hari kemudian," kata Quraish.

Itu semua memang khas Quraish. Pada usianya yang ke-64 tahun ini, ulama besar ini tetap produktif
dengan cara yang menenteramkan. Alih-alih mengutarakan kemarahan emosional, Quraish menjawab
Wilders dengan buku. Alih-alih mencari untung finansial, ia memilih memperoleh ganjaran di hari akhir.
Yang menyejukkan bukan saja cara bicaranya, namun juga perilakunya.

Indonesia memang beruntung memiliki ulama senior seperti Quraish. Penguasaan ilmunya tak
diragukan. Seluruh proses pendidikan tingginya dijalani di Al Azhar, Mesir. Dari program S-1 sampai
mencapai gelar Doktor, Quraish mempelajari secara mendalam ilmu-ilmu Hadis dan Tafsir Al-Quran di
universitas prestisius tersebut.

Quraish sangat dihormati di Indonesia. Ia bukan saja mengajar di IAIN Jakarta, namun juga sempat
menjadi Ketua MUI (1984), Menteri Agama (1998), serta Duta Besar di Mesir. Di luar itu, ia dikenal
sebagai ulama yang produktif menulis. Salah satu karya terpentingnya adalah Tafsir Al-Mishbah, yakni
tafsir Al-Quran lengkap 30 juz. Bukunya yang lain, Membumikan Al Qur'an, yang terjual lebih dari 75 ribu
kopi.

Dengan pemahamannya yang sangat luas, Qurasih dikenal sebagai tokoh yang dapat menjawab dengan
sangat kaya berbagai pertanyaan tentang Islam. Dengan fasih, ia bisa menjelaskan perbedaan antar
mazhab dalam beragam isu. Mereka yang mengharapkan jawaban tunggal akan kecewa dengan Quraish.

Ia sangat menghargai keberagaman penafsiran. Dalam berbagai kesempatan Quraish menegaskan


bahwa di antara madzhab yang berbeda pendapat, tidak ada satupun yang berhak menjadi juru bicara
resmi yang memonopoli kebenaran atas nama Islam seraya memvonis yang lain bathil dan sesat.

Quraish mengecam bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama kepada Ahmadiyah
maupun kepada kelompok-kelompok yang dinyatakan sesat, termasuk al-Qiyadah al-Islamiyah. “Mereka
yang melakukan kekerasan harus diperkarakan secara hukum,” katanya.

Kendati merupakan mantan Ketua MUI, Quraish menegaskan bahwa ulama MUI tidaklah mengikat
secara hukum. Di berbagai kesempatan ia mengimbau agar tak mudah ulama menghakimi berbagai
kelompok keagamaan yang berbeda. “Kita harus berhati-hati mengingat senantiasa terdapat unsur-
unsur kebenaran dalam ajaran-ajaran tersebut,” ujarnya. “Dan senantiasa pula harus dipertimbangkan
latar belakang dan konteks yang melahirkan kelompok-kelompok semacam itu.”
Quraish juga sangat terbuka terhadap umat beragama lain. Ia misalnya menolak sikap sebagian umat
Islam yang mengharamkan pengucapan Selamat Natal kepada umat Kristen. Ia bahkan membenarkan
kaum umat Islam untuk bersalat di gereja.

Sikap moderatnya juga nampak dalam kasus jilbab. “Memang ada perbedaan pandangan tentang
kewajiban bagi wanita untuk menutup seluruh tubuhnya. Bagi saya adalah baik kalau kaum wanita
mengenakan kerudung untuk menutup kepalanya, namun kaum wanita yang memilih tidak mengenakan
kerudung juga tidak melanggar aturan manapun,” katanya.

Putri Quraish sendiri, pembawa berita televisi Najwa Shihab, tidak berjilbab.

Tahun lalu, Quraish menerbitkan karyanya yang membahas kontroversi pertentangan dua aliran utama
Islam: “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Menurutnya, di antara Sunnah-Syiah
sesungguhnya tidak banyak ditemukan perbedaan yang prinsipil kecuali menyangkut masalah imamah.
Kelompok Ahlussunnah menganggap bahwa masalah kepemimpinan diserahkan kepada umat melalui
apa yang dinamakan syura (demokrasi), sementara kelompok Syi’ah meyakini bahwa kepemimpinan
adalah jabatan ilahiah.

Karena kedua cara pandang itu tak pernah dapat dipertemukan, menurut Quraish, masing-masing pihak
dituntut untuk saling memahami dan menghargai pendapat yang lainnya. Pada intinya, ia menulis
biarlah Syi’ah tetap Syi’ah dan Sunni tetap Sunni.

23. Siti Musdah Mulia

Siti Musdah Mulia (50 tahun) adalah juru bicara paling keras dari kaum perempuan yang tertindas di
Indonesia, saat ini.

Namanya terutama mulai ramai dikenal umum pada akhir 2004, ketika ia bersama timnya di
Departemen Agama melahirkan Counter Legal Draft (CLD, atau naskah hukum tandingan), terhadap
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Draft itu menjadi sangat kontroversial karena ia menggugat KHI yang sejak
1991 merupakan referensi para hakim agama di Peradilan Agama, terutama dalam memutuskan perkara
yang berhubungan dengan perkawainan.
Banyak isi CLD yang tegas-tegas menggugat berbagai ketentuan dalam KHI yang selama ini seolah-olah
sudah diterima sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Sejumlah muatan terpenting CLD adalah
pelarangan poligami, penaikan usia layak nikah bagi wanita dari 16 tahun menjadi 19 tahun, serta hak
yang sama bagi pria dan wanita untuk menyatakan talak. Di bagian lain, CLD juga secara tegas
mengharamkan perkawinan paksa, nikah siri dan nikah kontrak.

Musdah percaya bahwa segenap perubahan itu dibutuhkan untuk memerangi kekerasan dalam rumah
tangga, melindungi kaum perempuan yang selama ini berada pada posisi lemah dan untuk melindungi
anak. Toh, banyak yang tak setuju. MUI segera menuduh apa yang ditawarkan Musdah dan kawan-
kawan adalah bid’ah dan bertentangan dengan hukum Islam. Hanya dalam beberapa bulan,
Departemen agama sendiri menarik kembali draft tersebut.

Musdah sendiri mengaku bahwa publikasi itu tidaklah sia-sia. Baginya, paling tidak itu telah
membangkitkan kesadaran bahwa ada begitu banyak persoalan dalam penerapan hukum Islam di
Indonesia yang sebenarnya justru menjauhkan umat dari ajaran-ajaran Islam sesungguhnya.

Musdah saja tidak asal bicara. Wanita kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, ini datang dari keluarga yang
taat beragama. Ayahnya seorang ulama, dan selama puluhan tahun perempuan aktivis ini bergelut
dengan teks-teks keagamaan Islam, sejak masih di pesantren sampai menempuh pendidikan keislaman
di IAIN – mula-mula di Makasar, sebelum kemudian melanjutkan jenjang S2 dan S3 di IAIN (UIN) Jakarta.

Prestasi keilmuannya mengagumkan. Musdah adalah perempuan pertama yang meraih doktor di bidang
pemikiran politik Islam di UIN, dan juga perempuan pertama yang dikukuhkan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai ahli peneliti utama (APU). Dalam perjalanan kariernya yang masih
relatif singkat, ia sudah menulis setidaknya enam buku, yang hampir semua terfokus pada isu
perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam Islam.

Di organisasi asalnya, ia adalah Ketua Muslimat NU. Bahkan ia pernah menjabat Ketua Bidang Penelitian
MUI, dan karena keanggotaannya di MUI ini Musdah kemudian menjadi anggota yang aktif dalam
Indoensian Conference of Religious and Peace.

Peran Musdah juga menjangkau wilayah politik. Ia aktif terlibat dalam menyusun berbagai rancangan
undang-undang, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, UU Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, revisi UU Kesehatan, serta revisi UU Tenaga Kerja. Salah satu perhatian
utamanya adalah menjaga agar segenap peraturan tersebut tidak mengandung pasal-pasal yang
semakin menindas perempuan.

Musdah percaya bahwa Islam seringkali disalahartikan sebagai agama yang menyumbang penindasan
perempuan karena kesalahan sebagian umat sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang luhur.
Karena itu ia meminta masyarakat untuk tidak membaca kitab suci secara harfiah. Dalam Al-Quran,
misalnya, memang ada ayat tentang poligami, namun ayat tersebut tidak bisa dibaca sebagai sebuah
ajaran yang membenarkan apalagi menganjurkan poligami, melainkan harus ditafsirkan beradasarkan
semangat dan konteks turunnya ayat. Musdah mengingatkan bahwa nabi Muhammad memerintahkan
pengikutnya untuk menggunakan nalar dalam memahami pesan-pesan luhur Al-Quran.

Ia menganggap ketidakadilan gender itu dapat ditemukan di tiga aspek hukum: isi hukum, budaya
hukum dan struktur hukum itu sendiri. “Budaya patriarki di Indonesia masih sangat kuat, yang didukung
oleh penafsiran keagamaan yang kaku, sementara di tingkat struktur, kita masih menemukan para
penegak hukum dan hakim yang tidak sensitif,” ujarnya.

Bagi Musdah, Islam diturunkan untuk memerdekakan manusia dan bukan untuk menindas. Ia
mengecam keras beragam peraturan bernuansa syariah yang diterapkan di berbagai daerah yang
memang mengatur aspek peribadatan personal. Soal jilbab, misalnya, adalah sesuatu yang harus datang
dari hati, dan bukan sesuatu yang harus dipaksa oleh hukum. Meski ia sendiri mengenakan jilbab di
ruang publik, Musdah percaya itu bukanlah kewajiban yang harus dipatuhi setiap wanita Muslim. ”Saya
mengenakannya karena saya merasa nyaman,” ujarnya, ”dan bukan karena merasa diwajibkan oleh
agama, apalagi karena dipaksa oleh hukum.”

Awal tahun ini, kembali nama Musdah ramai dibicarakan setelah dalam sebuah seminar, ia menyatakan
bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang alamiah dan diciptakan Allah. Ia berharap masyarakat
dapat lebih terbuka menerima kaum homo atau lesbian di lingkungannya, dan tidak memberi mereka
sanksi sosial karena homoseksualitas mereka. Musdah mengingatkan bahwa pengharaman seksualitas
adalah sesuatu yang lahir dari penafsiran sempit atas ajaran Islam.

Komitmen dalam membela kaum tertinas ini dihargai banyak pihak. Tahun lalu, Departemen Luar Negeri
AS memberinya penghargaan ”Women of Courage” atas jasa-jasa Musdah memperjuangkan hak wanita.
Semula ia ragu datang ke AS, mengingat itu mungkin menambah mesiu bagi para pengeritiknya yang
menuduh Musdah adalah “agen zionis” dan semacamnya. Namun akhirnya ia terbang ke sana dengan
harapan itu akan membantu upayanya memberdayakan kaum perempuan di Indonesia.
Di AS, Menlu Condoleeza Rice menemuinya. Ketika Rice bertanya apa yang bisa dilakukan AS untuk
membantu perjuangannya di Indonesia, Musdah menjawab: “Saya berharap, AS mau mengubah
kebijakan luar negerinya yang berbasis-kekerasan.”

24. Ulil Abshar Abdhalla

Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada
pertanyaan dan keragu-raguan.”

Kalimat-kalimat di atas dengan segera terbaca begitu blog Ulil Abshar Abdhalla dibuka. Bisa dibilang,
gagasan itulah yang sebenarnya selama ini diperjuangkan dan menjadi ciri dari keyakinan sosok
kontroversial ini. Ulil pada dasarnya adalah orang yang tak lelah mendorong kelahiran umat Islam yang
beriman kokoh. Ironisnya, karena upaya itu ia sempat dihalalkan darahnya oleh sekelompk ulama di
Bandung.

Ulil lahir 41 tahun yang lalu dari keluarga santri Nahdlatul Ulama yang sangat tradisional. Pendidikan di
masa kanak-kanak dan remajanya dijalani di madrasah dan pesantren di Jawa Tengah. Kakeknya bahkan
adalah seorang kyai yang melarang anak perempuan bersekolah. Ulil pun sempat bersekolah di
perguruan tinggi konservatif, Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA).

Namun kemudian jalan hidupnya berbelok. Ia mula-mula masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta – sebuah tempat yang sangat pas untuk belajar mempertanyakan segala hal yang baku.
Namanya kemudian mulai dikenal publik setelah ia menjadi ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU, dan kemudian terlibat di ISAI (Institut Arus Informasi
Indonesia), serta menjadi Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Namun tentu saja, kontroversi Ulil terpenting adalah ketika ia membentuk dan kemudian memimpin
Jaringan Islam Liberal (JIL). Terutama sejak JIL mulai mengeluarkan pernyataan dan melaksanakan
program-programnya, Ulil dengan segera sering dituduh sebagai agen kekuatan imperialis untuk
menghancurkan Islam. Pikiran-pikirannya dianggap sesat. Aktivitasnya dipercaya merupakan bagian dari
skenario besar negara adikuasa untuk menjajah Indonesia. Pada 2003 misalnya, Forum Ulama Umat
Islam mengeluarkan fatwa mati atas Ulil.
Ulil tentu saja tidak ingin membuat umat Islam menjauh dari ajaran-ajaran luhur yang diyakininya.
Sebagaimana kerap dijelaskannya, kata liberal di sana merujuk bukan pada kebebasan bagi manusia
untuk bertindak apapun dengan mengabaikan Tuhan. Kata ’liberal’ merujuk pada kemerdekaan manusia
di hadapan kitab suci dan ajaran-ajaran Islam yang selama ini dipercaya sebagai kebenaran dan
diturunkan generasi demi generasi oleh para ulama.

Dalam hal ini, yang diperjuangkan JIL bukanlah kemerdekaan untuk melepaskan diri dari agama,
melainkan kemerdekaan untuk senanitasa mempertanyakan serta merumuskan kembali apa yang
dipercaya sebagai ajaran agama sebagaimana tertuang dalam Al-Quran dan hadis dan kesepakatan
ulama. Dengan demikian, Ulil hendak melanjutkan upaya membuka pintu ijtihad seluas-luasnya dalam
memahami Islam.

Bagi Ulil, cara beragama yang paling benar justru adalah beragama dengan menggunakan otak yang
dianugerahkan Allah. Penutupan pintu ijtihad, baginya, justru adalah ancaman bagi Islam, sebab dengan
demikian Islam akan mengalami pembusukan. Apa yang disebut sebagai ajaran Islam tidak bisa dibiarkan
statis dan tunggal, melainkan harus mengalami pembacaan dan penafsiran ulang secara terus menerus.
Hanya Allah yang tahu kebenaran absolut, sedangkan manusia hanya tahu kebenaran sementara.

Di pihak lain, Ulil melihat bahwa kebekuan berpikir yang terjadi dalam dunia Islam telah menyebabkan
ajaran-ajaran luhur Islam itu dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk menindas. Karena itu, dengan
sengaja, Ulil menegaskan bahwa gerakan JIL yang dibangunnya akan senantiasa berpihak pada kaum
minoritas yang tertindas. Ia percaya setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan ketidakadilan pada
minoritas – baik di dalam maupun di luar Islam – adalah berlawanan dengan semangat islam.

Salah satu wilayah sensitif yang menyebabkan kaum konservatif marah pada Ulil adalah keyakinannya
akan kebebasan beragama. Bagi Ulil, keyakinan keagamaan seseorang adalah sesuatu yang harus
dihormati sepenuhnya oleh umat Islam dan tidak boleh diancam dan ditindas. Karena itu setiap warga
negara harus bebas memilih agama, bebas memilih pindah agama, bebas memilih tafsiran keagamaan
yang dipercayanya, serta bebas menjalankan keyakinan dan peribadatan keagamaannya – tanpa campur
tangan siapapun. Suatu kali Ulil pernah ditantang dengan pertanyaan, apa yang ia lakukan bila anaknya
sendiri memilih pindah agama? Ulil menjawab, dengan berat hati, ia akan mengizinkannya.

Gagasan-gagasan itulah yang dituangkan dalam JIL. Jaringan itu bukanlah sebuah gerakan politik
melainkan gerakan kecendekiaan dengan memanfaatkan berbagai media modern, seperti buku, artikel
di koran, talk-show di radio, seminar dan diskusi terbuka, iklan layanan masyarakat serta website.
Ulil sendiri sebenarnya lebih bersosok intelektual ketimbang seorang orator yang memesona. Gaya
bicaranya tenang, kalimat-kalimat dan argumennya sangat tertata, tidak dengan semangat yang
meledak-ledak. Namun, bagaimanapun, Ulil memang sering juga menggunakan istilah atau cara
pengungkapan yang terkesan provokatif dan kadang menyakitkan hati mereka yang dikritiknya.

Ia misalnya menyebut gagasan untuk mengajukan syariat Islam sebagai bentuk kemalasan berpikir, atau
sebagai bentuk melarikan diri dari masalah, dengan memakai alasan hukum Tuhan. Tatkala bicara
tentang Muhammad, ia menyebut bahwa bagaimanapun, sang Nabi adalah manusia biasa yang tak
luput dari kekurangan. Ia juga menyatakan, ”Tidak ada itu yang disebut Hukum Tuhan.” Bahkan: "Agama
hendaknya tahu batas-batasnya.”

Saat ini keriuhan soal Ulil memang agak mereda. Tapi itu terjadi bukan karena ia berhenti berbicara. Ulil
sekarang sedang tdiak di Indonesia. Setelah tahun lalu memperoleh gelar Master di Boston University,
AS, ia kini sedang menjalani program doktoralnya di Harvard University.***

Anda mungkin juga menyukai