Anda di halaman 1dari 15

2.8.

1 Sejarah Daulah Fatimiyah di Mesir

Islam masuk Mesir pada masa pemerintahan Ummar bin Khatab, pada saat
itukhalifah memerintahkan tentara untuk membawa tentara islam
menduduki Mesir, karena Palestina yang saat itu sudah ditaklukkan oleh
tentara islam tidak aman tanpa menduduki Mesir yang berbatasan langsung.

Setelah berhasil menaklukkan Mesir Amr ibn Ash diangkat menjadi


gubernurnya dan menjadikan Futsah (dekat Cairo) menjadi ibu kotanya.
Selanjutnya Daulah islamiyah silih berganti menduduki Mesir antara lain,
Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah dan Daulah Fatimiyah (909 – 1171),
yang ditandai dengan berhasilnya didirikan salah satu universitas tertua di
dunia Al-Azhar pada tahun 972 M, lalu ada Daulah Ayubiyah (1174 – 1250)
yang ditandai dengan serangan tentara Perang Salib ke Mesir, Daulah
Mamluk (1250-1517) yang dibawah pimpinan Khalifah Baybas (1260)
dapat membendung serangan mongol yang hendak menguasai Mesir.
Selanjutnya Mesir menjadi bagian dari Kerajaan Turki Utsmani. 1

Di abad modern, Mesir berada di bawah penjajahan Barat, pada tahun 1798
tentara Napoleon mendarat di Mesir, tanpa mendapat perlawanan berarti
dari umat islam. Inggris mulai campur tangan di pemerintahan Mesir tahun
1882 dan Mesir merdeka dari Inggris tahun 1992.2

2.8.2Awal Pembentukkan Pemerintahan

Menjelang akhir abad ke-10 kondisi Daulah Abbasiyah sudah mulai


memasuki proses disintegrasi karena daerahnya yang cukup luas sudah tidak
terkonsolidasikan. Kondisi inilah yang membuat peluang munculnya
Daulah-Daulah kecil di daerah yang membebaskan diri dari pemerintahan
pusat, terutama bagi gubernur dan Khalifahnya yang sudah memiliki
pasukan sendiri. Salah satunya adalah Daulah Fatimiyah.

1
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2001, j.227.
2
Ibid., h.228.
Kemunculan Daulah ini seperti yang dikatakan JJ. Sounders yang dikutip
oleh Catur Prasetyo adalah diakibatkan oleh tuntutan Imamah sebagai
Khalifah atau pengganti Rasulullah setelah wafat. Lebih jauh ia mengatakan
gerakan Syi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa
dan sebagai tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat
di Baghdad. Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi,
sehingga para penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu
membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya.3

Hubungan antara daulah Abbasiyah dan sekte syi’ah selalu dalam kondisi
konflik, karena Daulah Abbasiyah pernah mengkhianati Syia’ah, maka
sekte Syi’ah bersikap oposisi terhadap pemerintahan Abbasiyah. Akibatnya,
orang-orang Syi’ah selalu berada dalam kejaran Daulah Abbasiyah, dan
akhirnya pada masa Khalifah al-Hadi, Imam Idris Ibn Abdullah beserta
pengikutnya melarikan diri ke Maroko dan mendirikan Daulah Idrisiyah
tahun 172H.

Imam Abdullah As-Syi’i (Imam Syi’ah) termasuk orang yang akan


ditangkap oleh Daulah Abbasiyah sehingga dia melarikan diri dari Baghdad
dan berhasil sampai ke desa Salmajah dekat Syiria dan menetap disana.
Kemudian dia menjadikannya sebagai markas dakwah orang-orang Syi;ah.
Tidak lama menetap di Salmajah dia melanjutkan perjalanannya le Maroko.4

Setibanya di Maroko dia menyerukan kepada penduduk Maroko agar


melantik Ubaidillah Al-Mahdi menjadi pemimpin mereka yang saat itu
masih berada di desa Salmajah. Tawaran tersebut diterima dan Ubaidillah
Al-Mahdi diminta datang ke Maroko, namun kedatangannya diketahui
Daulah Abbasiyah dan dia ditangkap tahun 296 H.

Abdullah As-Syi’i berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membebaskan


Ubaidillah Al-Mahdi dari penjara. Mendengar adanaya pasukan besar
gubernur Daulah Abbasiyah untuk Afrika melarikan diri, dan hal itu

3
JJ. Sounders, A History of Medival Islam (London: Redwood Book, 1981),.125. lihat juga, Philip
K. Hitti, Hirtory of The Arabs, terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006)
4
Ali Husin Al-Karbutali, Al-Islam wa Al-Khilafah, Bairut : Daul Bairut, 1969, h.171
memberikan kesempatan pada Ubaidillah Al-Mahdi untuk bebas dari
penjara dan dilantik pendukungnya menjadi pemimpin mereka dan akhirnya
berdirilah Daulah Fatimiyah pada tahun 297 H / 909 M.5

Mulanya pusat ibu kota Daulah Fatimiyah berada di Maroko untuk


menghindari pengejaran Daulah Abbasiyah, karena letak Maroko yang jauh
dari jangkauan Baghdad sehingga khalifah Daulah Abbasiyah tidak bisa
berbuat apa-apa. Tetapi setelah kekuatan mereka semakin besar mereka
pindah ke Mesir untuk mempermudah pengaruh ke timur dan barat karena
letak Mesir berada di anatar keduanya, terlebih dari itu mereka ingin
membebaskan kawasan ini dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.

Daulah ini diberi nama “Fatimiyah” karena dibangsakan kepada Fatimah


putri Rasulullah SAW, sebab mereka mengaku masih keturunan Nabi
Muhammad SAW melalui Ali dan Fatimah. Mereka adalah sekte Syi’ah
Isma’iliyah. 6

Daulah ini berkuasa selama kurang lebih 262 tahun, diperintah oleh 12
orang khalifah. Dengan pembagiaan tiga periode yaitu pertumbuhan,
kejayaan dan kemajuan kemudian masa kemunduran.

2.8.3 Masa Pertumbuhan Pemerintahan

Masa pertumbuhan terjadi pada masa pemerintahan Ubaidillah Al-Mahdi


(909-934), Al-Qaim (934-946) dan Al-Mansur (946-953) pada masa ini ibu
kota masih berada di Maroko.

Tidak lama setelah berdirinya Daulah Fatimiyah, Abdurrahman III yang


memerintah Daulah Ummyah di Spanyol tidak mau lagi memakai gelar
Sultan dan memproklamirkan diri dengan gelar Khalifah di Cordova setelah
memahami kelemahan Khalifah Abbasiyah di Bhagdad.7

5
Ibid., h.173
6
Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang,1975, h.185.
7
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Rosda Bandung, 1988, h.302
Saat itu terdapat tiga Khalifah dalam dunia islam yang satu sama lainnya
tidak saling berhubungan di bidang politik tetapi berhubungan di bidang
ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangannya Daulah Fatimiyah ingin memindahkan ibu kota


ke Mesir , sementara Daulah Abbasiyah ingin mempertahankan Mesir.
Maka selama dua puluh tahun pertama berdirinya Daulah Fatimiyah terjadi
pergolakkan antara mereka dan Daulah Abbasiyah untuk memerebutkan
Mesir.8

Pada 301 H, setelah empat tahun Ubaidillah Al-Mahdi memimpin, dia


mengirimkan pasukan dalam usaha hendak merebut Mesir. Pasukkan
mereka berhasil menanklukkan kota Iskandariyah. Namun Khalifah Daulah
Abbasiyah mengirim pasukkan dalam jumalh besar yang berhasil
mengalahkan pasukan Daulah Fatimiyah sehingga mereka terpaksa harus
mundur. Dengan membawa bibit permusuhan yag semaikn membara.9

Enam tahun kemudian Ubaidillah Al-Mahdi kembali mengirim pasukkan


yang kali ini berhasil menaklukkan Iskandariyah dan Al-Jarirah, tetapi
Daulah Abbasiyah kembali mengrimkan pasukkan yang lebih besar lagi,
kali ini Daulah Abbasiyah kembali mengalahkan pasukan Daulah Fatimiyah
dan membakar kapal-kapal meereka. Pasukan Daulah Fatmiyah kembali
harus mundur ke Maroko.

Usaha ketiga dilakukan pada tahun 321 H. Pertempuran sengit kembali


terjadi selama 3 tahun diantara kedua pasukan tersebut, saat peperangan
tersebut Ubaidillah Al-Mahdi wafat dan digantikkan oleh anaknya al-
Qasim. Percobaan ketiga ini kembali gagal karena Daulah Abbasiyah
mendapat bantuan dari Daulah Ikhsyad yang dulu pernah berkuasa di Mesir.

Gagalnya ketiga usaha ekspansi tersebut dikarenakan Daulah Fatimiyah


kurang memperhatikkan situasi keamanan dalam negeri terlebih dahulu

8
Ali Husin Al-Karbutali, op.cit., h.175.
9
Ibid., h.176
sebab keberhasilan ekspansi ditetukan oleh stabilitas kaeamanan dalam
negeri atau rapuhnya kondisi sosial ekonomi negara sasaran.

2.8.4 Masa Kejayaan


Setelah al-Mansur meninggal dunia pada hari Jum’at akhir Shawal
341H/952 M., ia digantikan putranya, Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-
Mu’izz li Din Allah. Penobatan al-Mu’izz sebagai khalifah keempat
menandai era baru Dinasti Fatimiyyah, karena di samping pusat
pemerintahan sudah berpindah dari al-Mahdiyah ke al-Qahirah (Kairo) yang
dibangun oleh panglima perangnya, Jauhar al-Siqilli (al-Saqali)10 setelah
menguasai ibu kota Fustat sebagai lambang kemenangan dan dilanjutkan
membangun Masjid al-Azhar setelah Mesir dapat ditaklukannya pada bulan
Pebruari 969 M./Rabi’ al-Akhir 358 H., juga keberhasilan dalam ekspansi
kekuasaan yaitu ke Maroko, Sycilia, Palestina dan Suriah Damaskus serta
mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.11

Dari sumber lain disebutkan bahwa Al-Mu’izz li Din Allah merupakan


khalifah Fathimiyah yang paling besar. Ia berhasil membawa rakyat damai
dan makmur, di samping wilayahnya yang semakin dapat diperluas. Setelah
melakukan konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan pengakuan sukses
dari rakyat, ia baru melakukan perluasan wilayah. Tidak lama ia dapat
menguasai Maroko dari Bani Umayyah di Spanyol dengan pimpinan
panglima Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali merebut
wilayah pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol
menyerbu wilayah Susa’.

Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967


M. yang semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun,

10
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan, 117

11
Philip K.Hitti,Hirtory,790. lihat,Hasan Ibrahim ,Ta>rikh al-Dawlah,92,dan140. lihat juga,
Hasan Ibrahim Hasan, Ta>rikh al-Isla>mi,136. lihat juga, Ajid Thohir, Perkembangan,114
Fathimiyyah berhasil mengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine,
kemudian membangun Universitas kedokteran yang sama besarnya dengan
universitas-universitas di Cardova.

Prestasi politik Muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir.


Penaklukkan kota Fustat (Kairo Lama) tanpa perlawanan berarti pada 969
M. oleh panglima Jauhar al-Shaqili. Pada saat itu di Mesir sedang terjadi
bencana kelaparan hebat sehingga tanpa kesulitan, Mesir jatuh ke tangan
Jauhar. Meski pada saat itu seorang pangeran Ikhsidi secara resmi masih
berkuasa tapi rezim Ikhsidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak
memberikan perlawanan pada Jauhar.12 Nama khalifah Abbasiyah serta
merta dihilangkan dari doa ibadah Jum`at, walau cara-cara ibadah
Isma`iliyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera membangun
kota ini menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo) yang artinya kota
kemenangan. Sejak 973 kota ini dijadikan sebagai kediaman imam atau
khalifah Fatimiyyah dan pusat pemerintahan (ibukota Fathimiyyah).13
Selanjutnya, Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar yang kemudian beralih
menjadi Universitas Al-Azhar yang berkembang hingga sekarang.14 Selain
memindahkan ibu kota ke Kairo dan membina Universitas Al-Azhar, Muiz
juga menyebarluaskan ideologi Fatimiyyah yaitu Syi’ah, ke Palestina,
Syiria dan Hijaz.15

12
Montgomery Watt, W. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. 1990. Cetakan
pertama. Yogyakarta: Tiara Wacana. h. 216.
13
Ibid.
14
Seperti nama kedinastiannya, nama Jami’ Al-Azhar dinisbahkan kepada nama julukan dari
Fatimah, putri Rasulullah saw, yaitu “Az-Zahra”. Ada juga yang berpendapat bahwa nama Al-
Azhar mempunyai makna “cemerlang” yang diambil dari kata “zuhra” atau “zahrah” (planet
Venus). Selanjutnya, dengan nama tersebut diharapkan Jami’ Al-Azhar dapat bersinar cemerlang
dan menyinari kehidupan umat Islam. Paling tidak ada empat fungsi yang diharapkan dari
pembangunan Jami’ Al-Azhar saat itu. Antara lain: pertama, sebagai pusat peribadatan umat
Islam; kedua, sebagai pusat pengembangan sosial religius; ketiga, sebagai sentral pendidikan;
keempat, sebagai pusat kegiatan (politik) pemerintahan Dinasti Fatimiyah (www.
warungbaca.blogspot.com/2008/09/dinasti-fatimiyah.html+dinasti+fatimiyah&cd)
15
Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 109
1. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
Abu Mansur Nizar (lahir pada tahun 344 H./954 M.) adalah putra Muiz,
ia menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal 365 H.
memasuki tahun ke-22 dari umurnya dengan gelar al-‘Aziz bi Allah, ia
merupakan khalifah yang paling bijaksana dan pemurah, sehingga
mampu membawa rakyat lebih makmur. Dalam pemerintahannya, ia
sangat liberal dan memberi kebebasan kepada setiap agama untuk
berkembang, kerukunan antar umat beragama terjalin dengan sangat
baik, bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur beragama kristen dan
Manasah seorang Yahudi menjadi salah seorang pejabat tinggi di
istananya.

Pembangunan fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan


pemerintahannya, ia juga ahli Sya’ir, dalam bidang pendidikan ia
mendirikan The Golden Palace, The Pearl Pavillion dan masjid Karafa,
ia juga meresmikan masjid al-Azhar sebagai al-Jami’ah/Universitas
dengan bangunan megah di Kairo. Ia berhasil membawa Fatimiyyah
pada puncak kemajuan. Pada saat pemerintahannya kekuasaanya
meliputi wilayah Eufrat sampai Atlantik, melampaui kekuasaan dinasti
Abbasiyah di Baghdad yang sedang memasuki masa kemunduran di
bawah kekuasaan Buwaihiyah.
Meski pada masa pemerintahannya mengalami puncak kejayaan, tetapi
salah satu kebijakan al-Aziz membawa akibat yang cukup fatal yaitu
penarikan orang Turki dan Negro sebagai basis pasukan militer. Hal ini
dimaksudkan untuk menandingi kekuatan Barbar. Ketika kelompok
Barbar mulai menguasai jajaran militer, terjadilah persaingan antar ras
di tubuh militer Fatimiyyah yang pada gilirannya jadi salah salah satu
faktor kemunduran Fatimiyyah. Pada masa-masa belakangan militer
Turki semakin besar kekuatannya dan ketika kekuatan Fatimiyyah
mulai melemah, unsur-unsur militer mendirikan dinasti-dinasti yang
merdeka. Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan
dengan ini dimulailah berakhirnya kejayaan dinasti Fatimiyyah.

2. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).

Al-‘Aziz digantikan oleh anaknya yang bernama Abu `Ali Mansur


(lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal 875 H./985 M.) dengan gelar al-
Hakim bi Amrullah yang masih berumur 11 tahun. Selama tahun-tahun
pertama, ia berada di bawah pengaruh gubernurnya yang bernama
Barjawan yang sedang terlibat konflik dengan panglima militer Ibn
‘Ammar, setelah berhasil menyingkirkan sang panglima, Barjawan
menjadi pelaku utama dalam pemerintahannya meskipun pada tanggal
26 Rabi’ Al-Tsani 390 H./1000 M. Bajarwan dibunuh karena tuduhan
penyalah-gunaan kekuasaan negara. Pemerintahannya ditandai dengan
tindakan-tindakan kejam yang menakutkan, ia membunuh beberapa
orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja, orang kristen dan
orang yahudi harus memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan
menunggangi keledai, ia mengeluarkan maklumat untuk
menghancurkan seluruh gereja di Mesir dan menyita tanah serta
seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan
hak-haknya sebagai warga negara.16

Hakim memerintah selama 25 tahun, prestasi besar dalam


pemerintahannya adalah pembangunan sejumlah masjid, perguruan-
perguruan dan pusat observatorium astrologi, tahun 395 H./1005 M. Ia
menyelesiakan pembangunan Dar al-Hikmah pada tahun 403 H./1013
M. Dar al-Hikmah berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan
lembaga di Cordova dan Bagdad. Dar al-Hikmah dilengkapi dengan
perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-

16
http://caturhadiprasetyo.wordpress.com/2012/05/27/dinasti-fatimiyyah.
macam buku dengan berbagai ilmu. Selain sebagai pusat ilmu, Dar al-
Hikmah sekaligus dijadikan sebagai sarana penyebaran teologi Syi’ah.

Ia juga mendirikan al-Jam’iyyah al-‘Ilmiyyah “Akademia” dari


berbagai disiplin ilmu seperti Fiqh, Mantiq, Filsafat, Matematika,
kedokteran dan lainnya, setelah itu seluruh kitab yang ada di Dar al-
Hikmah ia pindahkan ke Masjid al-Azhar. Tetapi pada tangaal 13
Februari 1021 M./411 H, Ia terbunuh di Mukatam, kemungkinan
konspirasi yang dipimpin oleh adik perempuannya yang bernama Sitt
al-Mulk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh khalifah.17

2.8.5Kemajuan Ekonomi
1. Pajak
Mesir dikenal sebagai negara yang kaya dengna hasil pertanian karena
tanah yang subur di dekat lembah sungai nil. Maka pajak pertanian ikut
serta menjadi sumber pendapatan negara. Selain pertanian, peternakan
di Mesir juga merupakan pemasukkan tambahan kas negara.
Pajak yang dipungut oleh perdana menteri Ya’qub ibn Keles
menghasilkan pendapatan yang luar biasa untuk kota Dimyat saja pajak
bisa melebihhi 200.000 dinar oer harinya. Hal tersebut belum pernah
terjadi di Mesir sebelumnya. 18
2. Jizyah
Yaitu pungutan yang diwajibkan kepada orang kafir Zimmi yang
tinggal di wilayah islam merdeka lagi baligh, tetapi tidak diwajibkan
terhadap wanita dan anak-anak.
3. Al-Makus
Yaitu pajak bae cukai yang diwajibkan bagi industri.Terdaoat dua cara
yang diterapkan dalam pemungutan bea cukai ini. Pertama, bea sukai
yang dipungut dari barang-barang luar negeri yang datang ke Mesir.

17
ibid
18
Joesoef Sou’yb, op.cit., h.546
Sedangkan jenis kedua, adalah bea cukai yang diwajibkan pada
industri-industri yang berada di wilayah Mesir.19

2.8.6 Masa Kemunduran

Pada masa kemunduran ini Khalifah yang memimpin diantaranya.

1. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).


2. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M).
3. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
4. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M)
5. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
6. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
7. al-Fa'iz (1154 M – 1160 M).
8. al-'Adid (1160 M – 1171M).

Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan


al-Aziz. Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru
berumur Sebelas tahun ketika naik tahta. Pemerintahannya di tandai
dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh
beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen,
termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa
umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya
dibolehkan menunggangi keledai, setiap orang Kristen diharuskan
menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan
orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Al-
Hakim adalah Khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakil dan
Umar II, yang menetapkan aturan-aturan yang ketat kepada kalangan non
Muslim. Jika tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman
bagi kalangan Dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci

19
Ibid., h.550
ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun,
dan tindakan itu merupakan salah satu sebab utama terjadinya Perang
Salib. Akhirnya, khalifah bermata biru ini mengikuti perkembangan
ekstern ajaran Syi‟ah Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai
penjelmaan tuhan. Keyakinan itu diterima dan diakui oleh sekte
keagamaan terbaru yang disebut Druziyah. Nama sekte itu diambil dari
nama pendakwa mereka yang pertama, al-Darazi (1019) yang berasal
dari Turki. Pada 13 Pebruari 1021, al-Hakim terbunuh di Mukatam,
kemungkinan oleh persekongkolan yang dipimpinadik perempuannya
Sitt al-Muluk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh Khalifah.20
Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi Khalifah,
kekuasaan sesungguhnya berada di tangan wazir, yang kemudian sering
mendapat julukan kebangsawanan “al-Malik”. Anak dan pengganti al-
Hakim, yaitu al-Zhahir (1021-1035) berumur enam belas tahun ketika naik
tahta. Khalifah inilah yang mendapatkan izin dari Konstantian VIII agar
namanya disebutkan di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang
Kaisar. Ia juga mendapatkan izin untuk memperbaiki masjid di
Konstantinopel sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk
membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat kuburan Suci.
Pengganti al-Zhahir adalah anaknya yang sebelas tahun, Ma‟ad al-
Muntashir (1035-1094), yang berkuasa selama hampir enam puluh tahun,
sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam sejarah Islam. Pada periode
awal kekuasaannya, Ibunya seorang budak dari Sudan yang dibeli dari
seorang Yahudi, menikmati kekuasaan anaknya dengan leluasa. Sejak saat
itu, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mulai menyusut sedikit demi sedikit,
bahkan lebih kecil dari Mesir. Pada 1043, kekuasaan Fatimiyah atas wilayah
Suriah, yang memiliki ikatan longgar pada Mesir, mulai terkoyak dengan
cepat.21 Di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan
besar yang datang dari Timur, yaitu Bani Saljuq dari Turki, kini

20
Philip K. Hitti, History of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 792.
21
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam (Bogor: Kencana, 2003), 145.
membayang-bayangi wilayah Asia Barat. Pada waktu yang bersamaan,
provinsi-provinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat
kekuasaan, berhasrat untuk memerdekakan diri, atau kembali kepada
sekutu lama mereka, yaitu Dinasti Abbasiyah. Suku Arab yang sering
menyusahkan penguasa, yaitu Banu Hilal dan Banu Sulaim, yaitu berasal
dari kawasan Nejed dan sekarang mendiami dataran tinggi Mesir, pada
1052 memberontak, dan bergerak sendiri ke bagian Barat, kemudian
menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.

Pada 1071, sebagian Barat wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan


Fatimiyah setelah Aglabiyah, dikuasai oleh bangsa Normandia, yang
daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman
Afrika. Hanya kawasan semenanjung Arab yang tetap mengakui
kekuasaan Syiah. Disaat itu, hanya ada seberkas cahaya terang dari
kesuksesan sementara yang dicapai di Baghdad oleh seorang panglima
dan penakluk Turki yaitu Al-basasiri (1060). Kota Wasit dan Bashrah
menggikuti Baghdad. Kain surban Khalifah Abbasiyah, yaitu al-Qa‟im
(yang bahkan menyerahkan semua hak ke Khalifahannya kepada
lawannya dari Dinasti Fatimiyah) jubah Nabi, dan sebuah jendela yang
indah dari istananya, dibawa Ke Kairo sebagai hadiah. Surban, jubah dan
dokumen–dokumen penyerahan dikembalikan ke Bahgdad sekitar satu
Abad kemudian oleh Shalah Al-Din, tapi jendela rampasan itu digunakan
disalah satu istana hingga sultan Baybar al-Jasynakir dari Dinasti
Mamluk menggunakannya untuk menghiasi kuburan, tempat Ia di
makamkan pada 1309.22 Sejak masa kekuasaaan Ma‟add Al-Muntashir
kekacauan terjadi di mana– mana. Kericuan dan pertikaian terjadi
diantara orang–orang Turki, suku Berber dan pasukan Sudan. Kekuasaan
negara lumpuh. Kelaparan yang terjadi selama Tujuh tahun telah
melumpuhkan perekonomian Negara. Ditenggah kerisauannya, pada

22
Muhammad Ash-Shayim, Shalahuddin al-Ayyubi: Sang pejuang Islam (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), 30.
1073 Khalifah memangil seorang Armenia Badr Al-Jamali, seorang
bekas budak, dari pasukan kegubernuran Akka, dan memberinya
wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir
al-Juyusyi (komandan pasukan) yang baru ini mengambil komando
dengan segenap kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai
kekacauan dan memberikan nyawa baru pada rezim Fatimiyah. Tapi
keadaan ini tidak berlangsung lama. Usaha Badr maupun anak dan
penerus al-Mustanshir yaitu al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta setelah
ayahnya meningal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran dinasti
itu.

Tahun–tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan munculnya


perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh
kelompok tentaranya masing–masing. Ketika al-Mustanshir mati, al-
Malik al-Afdhal menempatkan anak Khalifah paling muda sebagai
Khalifah dengan julukan al-Musta‟li dengan harapan bahwa ia akan
memerintah di bawah pengaruhnya. Setelah al-Musta‟li anaknya yang
berumur lima tahun, dinyatakan sebagai Khalifah oleh al-Afdhal, dan
memberinya gelar kehormatan al-Amir (1101–1130). Ketika al-Hafizh
(1130-1149) meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana
kekhalifahan. Anak dan penggantinya, al-Zhafir (1149-1154) masih
sangat muda hingga kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang wazir
dari Kurdistan Ibn al-Sallar, yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-
Adil. Catatan-catatan Usamah, yang menghabiskan waktu antara 1144
dan 1154 di istana Fatimiyah, menunjukkan bahwa tidak ada istana yang
bersih dari tipu daya, permusuhan dan kecemburuan. Pembunuhan Ibn al-
Sallar (1153) oleh istri cucunya Nashr ibn Abbas, yang kemudian dihasut
oleh khalifah untuk menghabisi nyawa ayahnya, Ibn Abbas, pengganti
Ibn al-Sallar sebagai wazir, juga pembunuh misterius al-Zhafir sendiri
oleh suatu persengkongkolan, menorehkan satu bagian paling gelap
dalam sejarah Mesir. Hari kedua setelah meninggalnya Khalifah, Abbas
mengumumkan anak al-Zhafir yang berusia empat tahun, yakni al-Fa‟iz,
sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini meninggal pada usia
sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya, al-Adhid yang berumur
sembilan tahun. Ia menjadi khalifah yang ke empat belas dan yang
terakhir dalam garis Dinasti Fatimiyah yang berkuasa selama lebih dari
dua abad setengah.23

Al-Mu’tadhid mengirim utusan dari Baghdad dan mengantar surat


kepada Nuruddin. Dalam surat itu ia meminta agar Nuruddin menarik
pasukan tentara Turki dari Mesir. Namun Nuruddin menolak permintaan
khalifah Fatimiyah itu. Ia juga memberitahu Fatimiyah bahwa saat ini
Mesir berada dalam kekuasaan kerajaannya.

Dengan penolakannya itu, makin jelas betapa lemahnya kekhalifahan


Fatimiyah. Bahkan, Shalahuddin al-Ayyubi kemudian mendeklarasikan
kemerdekaan Mesir dari Daulah Fatimiyah. Dengan demikian, khalifah
Fatimiyah tidak lagi memiliki kekuasaan atas Mesir. Hal itu mendorong

Shalahuddin al-Ayyubi untuk mendirikan Daulah Ayyubiyah di Mesir.24

Raja Nuruddin di Syam bersepakat dengan Shalahuddin al-Ayyubi untuk


meruntuhkan kekhalifahan Fatimiyah. Namun, Shalahuddin masih
menunda-nunda rencana itu. Ia khawatir jika tindakannya akan
membangkitkan kemarahan rakyat Mesir terhadapnya.

Penundaannya itu membuat Nuruddin berkali-kali mengirim surat untuk


mengingatkan Shalahuddin. Akhirnya, ia mengirim peringatan tegas
kepada Shalahuddin pada musim panas pada tahun 566 H atau 1171 M,
untuk segera melaksanakan rencana mereka.

Shalahuddin akhirnya segera menjalankan rencana itu. Ia menghilangkan


penyebutan nama al-Adhid dan menggantinya dengan Khalifah al-
Mustadhi‟ dari kekhalifahan Abbasiyah. Hal itu ia lakukan saat ia

23
Hitti, History of The Arab, 794.
24
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun: Menyingkap Sejarah Kegemilangan dan
Kehancuran Imperium Khalifah Islam (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012),
121.
menyampaikan khotbah Jum‟at. Tiga hari kemudian khalifah al-Adhid
meninggal dunia.

Dengan demikian, punahlah kekhalifahan Fatimiyah yang telah


memerintah negara Islam selama dua abad lamanya. Sebagai gantinya
tampillah kekhalifahan Abbasiyah. Namun, kondisi tersebut belum
membuat Shalahuddin al-Ayyubi tenang. Ia mengambil tindakan untuk
mendirikan Daulah Ayyubiyah.

Tindakannya itu membuat Nuruddin yang berada di Syam marah besar.


Namun Shalahuddin tidak memiliki pilihan lain. Hanya dua pilihan
baginya, yaitu terus menjadi bawahan Nuruddin, yang dapat kapan saja
memindahkan atau memberhentikannya, atau mendeklarasikan
daulahnya sendiri. Dari kedua pilihan itu Shalahuddin memilih tindakan

yang kedua.45

Anda mungkin juga menyukai