Anda di halaman 1dari 12

RESUME DINASTI FATIMIYAH

OLEH

RODIATUL ADAWIYAH HARAHAP: 0205212041

SANDRA AYU WANDIRA: 0205212042

PRASETYO SETO PUTRO: 0205212094

DINASTI FATIMIYAH
A. Sebab-sebab Kemunculan Dinasti-dinasti Kecil Di Timur dan Barat
 Menejelang akhir abad ke-10 kondisi Daulah Abbasiyah di Baghdad mulai
melemah karena daerah kekuasaannya yang luas sudah tidak dapat
terkonsolidasikan lagi atau tepatnya memasuki masa disintegrasi.
 hubungan antara Daulah Abbasiyah dengan orang-orang Syi’ah selalu dalam
keadaan konflik karena Daulah Abbasiyah pernah mengkhianati orang-orang
Syi’ah maka sekte Syi’ah bersikap oposisi bagi pemerintahan Daulah
Abbasiyah. Akibatnya, orang-orang Syi’ah selalu dikejar-kejar penguasa
Daulah Abbasiyah.
 Dinasti ini awal berdirinya di Tunisia pada tahun 909 M sebagai tandingan
dari kekuasaan dinasti besar lainnya di Baghadad yaitu Dinasti Abbasiyah.
 Hal ini merupakan bentuk kekecewaan golongan Ismailiyah terhadap Bani
Abbasiyah atas kerjasamanya merebut kekuasaan Bani Umayyah. Setelah
perjuangan berhasil, dan Bani Abbas berkuasa, sedikit demi sedikit mereka
disingkirkan.
 Pendakwah Islamiyah yang relative sukses di afrika utara. Disana mereka
mampu mengeksploitasi ketegangan tradisional antara suku berber dari Sahara
dan suku Arab dari kota-kota pantai untuk keuntungan mereka. Sepenjang
akhir 800-an, pendakwah Islamiyah menggalang dukungan di kalangan
Sanhaja Berber, dengan kekerasan menggulingkan penguasa Afrika Utara dari
dinasti suni yaitu Rustamiyah dan Aghlabiyyah, menjelang 908.
Pada 909 M, kelompok Islamiyah ini menyatakan kemunculan kembali
seorang imam keturunan ismail. Ia bernama ubaidillah, tetapi mengambil gelar
“Al-Mahdi” berarti ‘yang mendapat petunjuk atau penyelemat’. Asal usul
Ubaidillah tidaklah jelas. Ia mengklaim dirinya sebagai keturunan ismail,
dengan demikian juga dari Ali dan Fatimah, istrinya. Ini mengarah pada nama
dinasti yang didirikannya: Fatimiyah
B. Perkembangan Dinasti Dalam Politik dan Intelektual

Pada masa petumbuhan ini berada di bawah tiga Khalifah, yaitu Ubaidillah Al-Mahdi (909-
934 M), Al-Qaim (934-946 M), Al-Mansur (946-953 M) pada masa ini ibu kota Daulah
Fatimiyah masih berada di Moroko. Tidak lama setelah berdiri Daulah Fatimiyah di Maroko
(909 M) maka Abdurrahman III yang memerintah Daulah Umyyah di Spanyol (921 961 M)
tidak mau lagi memakai gelar Sultan karena itu dia memproklamirkan diri pula memakai
gelar Khalifah di Cordova setelah memahami kelemahan Khalifah Abbasiyah di Baghdad.
Oleh sebab itu pada waktu yang bersamaan terdapat tiga Khalifah di dunia Islam, Khalifah
Daulah Abbasiyah di Baghdad, Khalifah Daulah Umayyah di Cordova dan Khalifah Daulah
Fatimiyah di Mesir satu sama lainnya tidak saling berhubungan di bidang politik tetapi
berhubungan di bidang ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangannya Daulah Fatimiyah ingin memindahkan ibu kota pemerintahan


mereka ke Mesir untuk mempermudah pengaruh ke timur dan barat karena letak Mesir
berada di antara keduanya, sementara Daulah Abbasiyah ingin mempertahankan Mesir
jangan lepas dari wilayah pemerintahan mereka. Maka selama dua puluh tahun pertama dari
berdrinya Daulah Fatimiyah selalu terjadi pergolakan di antara dua pemerintahan tersebut
untuk memperebutkan Mesir.

 Pada tahun 1003 M/301 H, empat tahun setelah Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa, dia
mengirim pasukan terdiri dari orang-orang Maroko dalam usaha hendak merebut
Mesir yang langsung dipimpin oleh anaknya Abu Al-Qasim yang dibantu oleh
Panglima Al-Kuttam ibn Yusuf, mereka berhasil menaklukkan kota Iskandariyah.
Akan tetapi Khalifah Daulah Abbasiyah Al-Muktadir mengirim pasukan dalam
jumlah besar di bawah pimpinanMuamis Al-Khadim dan dia dapat mengalahkan
tentara Daulah Fatimiyah di dekat Al-Jarirah. Pasukan Daulah Fatimiyah terpaksa
mundur balik ke Maroko. Dengan membawa bibit-bibit permusuhan yang semakin
membara.
 Usaha kedua, Pada tahun 1009M/307 H, enam tahun kemudian, Khalifah Al-Mahdi
dari Daulah Fatimiyah kembali mengirim pasukan di bawah pimpinan Abu Al-Qasim,
dia juga berhasil menaklukkan kota Iskandariyah dan Al-Jarirah, tetapi Daulah
Abbasiyah mengirim pasukan besar lagi di bawah pimpinan Muannis Al-Khadam,
iapun berhasil mengalahkan tentara Daulah Fatimiyah dan membakarkapal-kapal
mereka. Pasukan Daulah Fatimiyah terpaksa mundur kembali ke Maroko.
 Usaha ketiga pada tahun 933 M/321 H Khalifah Al-Mandi kembali mengirim
pasukan di bawah pimpinan Al-Jaisy ibn Ahmad Al-Maghribi. Khalifah Daulah
Abbasiyah mengirim pasukan lagi di bawah pimpinan Ahmad ibn Thunghuj.
Pertempuran sengit kembali terjadi antara dua pasukan tersebut selama tiga tahun,
dalam pada itu Khalifah Ubaidillah Al-Mahdi meninggal dan digantikan anaknya Al-
Qasim. Al-Qasim sebagai Khalifah kedua Daulah Fatimiyah mengirim pasukan
tambahan tetapi Daulah Ikhsyad yang pernah berkuasa di Mesir berpihak kepada
Daulah Abbasiyah dan membantunya untuk mengalahkan tentara Daulah Fatimiyah
sehingga pasukan tentara Daulah Fatimiyah kalah dan mereka terpaksa mundur lagi
ke Maroko. Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan Khalifah Daulah Fatimiyah
pada masa pertumbuhan ini untuk merebut Mesir dari wilayah kekuasaan Daulah
Abbasiyah, tetapi pasukan tentara Daulah Abbasiyah lebih unggul dari mereka,selain
itu penduduk wilayah Mesir masih berpihak kepada Daulah Abbasiyah sehingga
pasukan Daulah Fatimiyah selalu kalah dan terpaksa mundur kembali ke Maroko.

Faktor ketidakberhasilan Khalifah Daulah Fatimiyah dalam penaklukan mereka ke Mesir


sebanyak tiga kali tersebut karena kurang memperhatikan situasi keamanan di dalam negeri
terlebih dahulu sebab keberhasilan ekspansi ditentukan oleh stabilitas keamanan dalam negeri
atau rapuhnya sosial ekonomi daerah sasaran. Puncak kejayaan dinasti Fatimiyah dicapai
pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996) di mana kerajaan diliputi
dengan kedamaian dan nama al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang
wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, juga di masjid-
masjid di Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan Mosul. Ia adalah khalifah Fathimiyah yang
kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.

Al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan
Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan pamor penguasa Bagdad. al-Aziz rela
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang tidak kalah megah dari istana
Abbasiyah. al-Aziz merupakan khalifah yang paling bijaksana dan murah hati diantara para
khalifah Fatimiyah.14
Kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari keadaan pekerja istana
kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan 8.000
pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak terkuncinya toko
perhiasan dan toko money changer, bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu
kota yang dibangun menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai

Bidang Administrasi Pemerintahan

Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Fatimiyah sebagian besar tidak berbeda dengan
administrasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik
dalam urusan duniawi maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus
menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.

Kementerian Negara (wasir) terbagi menjadi dua kelompok yaitu: ahli pedang dan ahli pena.
Para ahli pedang menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang
khalifah. Sedang para ahli pena menduduki beberapa jabatan sebagai berikut:

1) Hakim;
2) Pejabat Pendidikan sekaligus pengelola lembaga ilmu pengetahuan;
3) Inspektur Pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan;
4) Pejabat Keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara;
5) Regu Pembantu istana;
6) Petugas Pembaca al-Quran.

Sedangkan di luar jabatan istana di atas, terdapat berbagai jabatan tingkat daerah, meliputi
daerah Mesir, Siria dan Asia Kecil.

Dalam bidang kemiliteran, terdapat tiga jabatan pokok, yaitu:

1. Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer;


2. Petugas keamanan;
3. Berbagai Resimen.

Pusat-pusat armada laut dibangun di beberapa tempat dan masing-masing dikepalai oleh
Admiral Tinggi.

Doktrin Keimaman

Doktrin Imamah bagi Syi’ah tidak hanya dalam hal theologis, tetapi juga berlaku pada bidang
politik. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan
Sunni) merupakan hak Ahl al-Bait yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Sekte
Syi’ah yang ekstrem malah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar, serta khalifah
setelahnya tidak berhak menjadi khalifah. Sehingga mereka menempuh berbagai jalan
termasuk pemberontakan dan peperangan untuk memperjuangkan hal tersebut. Termasuk
berdirinya Dinasti Fatimiyah juga dilatarbelakangi oleh doktrin ini.

Pemerintahan Fatimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat
keagamaan. Hal ini berarti bahwa agama dijadikan sebagai motivasi kebangkitan melawan
rezim yang mapan. Selanjutnya simbol-simbol keagamaan, khususnya yang terkait dengan
keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti membangun masjid-
masjid al-Azhar dan al-Hakim, dengan menara kubah yang menjulang tinggi menggambarkan
ketinggian para Imam.

Juga penghormatan para Imam disejajarkan dengan penghormatan para Syuhada dari
keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, sepertri makam Husein
di Mesir, dalam rangka memberi kesan pada umum atas tempat-tempat suci dan keramat.
Maka pada tahun 1153 M. kepala Husein yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid
bin Muawiyah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu dibangunlah makam Sayyidina
Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.

Doktrin keimaman yang lain yaitu bahwa para Imam dijaga oleh Allah dari kesalahan-
kesalahan yang biasa dibuat oleh manusia biasa. Doktrin ini selanjutnya digunakan oleh para
khalifah untuk melegitimasi keagamaan pada dirinya. Sebagai contoh, Ubaidillah al-Mahdi,
pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari nama asli Sa’id bin Husain al-Salamiyah, yang dengan
gelar ini menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Ismailiyah. Dengan gelar ini pula akan
menimbulkan kesan bahwa sang khalifah adalah seorang Imam yang terjaga dari kesalahan-
kesalahan fatal.

Imam dalam doktrin Syi’ah juga bersifat messianistik (mahdiisme). Yakni ia dipahami
sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa mengalami konflik berkepanjangan. Misalnya,
di akhir zaman nanti akan muncul sang penyelamat al-Mahdi yang akan membawa umat
manusia terselamtkan dari keadaan yang rusak. Karena itu gelar al-Mahdi yang sering dipakai
para khalifah mempunyai kandungan maksud sang penyelamat. Termasuk dalam hal ini gelar
Ubaidillah al-Mahdi. Sebagai akibat doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fatimiyah
bercorak militan, khususnya di awal kemunculannya. Selanjutnya pemerintahannya bercorak
keagamaan untuk memperoleh dukungan rakyat.
Penyebaran Faham Syi’ah

Ketika al-Mu’iz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih:
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan al-Mu’iz menganut faham Syi’ah. Oleh
karena itu, al-Mu’iz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan
Suni dan hakim dari kalangan Syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada
ulama Syi’ah; dan Sunni hanya menduduki jabatan-jabatan yang rendahan. Pada tahun 379
M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama, dan militer diduduki oleh Syi’ah. Oleh
karena itu, sebagian pejabat Fatimiah yang Suni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya
meningkat.18

Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada Dinasti Fatimiyah di Mesir adalah Ibn
Killis. Beberapa ilmuwan lainnya pada jaman ini yaitu sebagai berikut.

1) Muhammad al-Tamim, seorang dokter.


2) Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi dan Ibnu Salamah al-Qudha’i’, sejarawan.
3) Ali ibn Yunus, seorang astronom hebat.
4) Abu Ali al-Hasan dan Ibn al-Haitsam, ilmuwan fisika dan optik.
5) Ibn Muqlah, ahli kaligrafi.

Pada masa al-Aziz Masjid Agung al-Azhar dikembangkan menjadi universitas. Pada masa al-
Hakim dibangun Dâr al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dâr al-‘Ilm (rumah ilmu).
Dalam gedung ini terdapat perpustakaan yang di dalamnya kajian tentang ilmu-ilmu
keislaman, astronomi, dan kedokteran. Di Mukatam al-Hakim membangun sebuah
observatorium.

Beberapa karya buku pada jaman Fatimiyah, yaitu sebagai berikut.

1) Kitab al-Manazhir, mengenai ilmu optik ditulis oleh Ibnu al-Haitsam.


2) Al-Muntakhab fi ‘ilaj al-Ayn, tentang penyembuhan mata ditulis oleh Ammar ibn Ali
al-Maushili.
3) Militer

Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang
dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan bahwa dinasti Fatimiyah dalam bidang militer
menggunakan tentara bayaran sebagai penopang utama pemerintahannya. Hal itu terjadi
karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok
minoritas. Tentara bayaran tersebut direkrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang dibeli
dari pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan
sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.

C. Kemunduran dan kehancuran


1) Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-
Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-
Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak
kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya,
menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di
dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen (1009). Maklumat
penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang
beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya Perang Salib.
2) Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka
hanya diperbolehkan menunggangi keledai; Setiap orang kristen diharuskan
menunjukkan salib yang dikalungkan dilehernya, sedangkan orang yahudi
diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Orang-orang Yahudi
dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia
juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah
membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H /
991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari
tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap dari penduduk dan
menyeret Daulah Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun
pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan
Bizantium selama sepuluh tahun.
3) Al-Hakim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran
Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan.
4) Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam
pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang
dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak
hormat olehnya.
5) Al-Hakim kemudian digantikan oleh Abu Hasan Ali al-Zahir, anaknya
sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur tahun. Pada
mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi
ketika masa az-Zahir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan
Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan
suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari
Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di
bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki
masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap
restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya
terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-
Hâkim.Setelah meninggal Abu Hasan Ali al-Zahir kemudian digantikan oleh
anaknya sendiri yang baru berusia 7 tahun, yaitu Abu Tamim Ma’ad al-
Mustanshir.
6) Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi
parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara
pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para menteri. Oleh karena itulah
masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh menteri-menteri).
7) Abu Tamim Ma’ad al-Mustanshir sebagaimana juga Abu Hasan Ali al-Zahir
lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu
Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta
bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat
mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam
Dinasti Fatimiyah.
8) Pada masa Abu Tamim Ma’ad al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah
di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara di Palestina sering
terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari
timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu
yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan
dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada
sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang
terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir
memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki
Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
9) Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang
mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah
kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika.
Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Abu Hasan Ali al-Zahir kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad al-
Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan
pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan.
Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun
telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada
tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak
dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai
wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru
ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk
memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan
penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran
Dinasti ini. Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai
dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang
didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir
wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi
antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu
Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi
gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat.
Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia
didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan
ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual
Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafatdganti oleh al-Amir, anak
al-Musta’li yang baru berumur 5 tahun diangkat sebagai khalifah. Al-amir
meninggal karena dibunuh oleh kelompok Bathiniyah; Al-Amir kemudian
digantikan oleh al-Hafidz dan setelah meninggal dunia Al Hafizh diganti oleh
Al-Zafir.
10) Az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda
hingga, merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir
melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki
(gubernur Suriah dibawah khalifah Abasiah bagdad). Nurudin mengirim
pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin
al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir.
Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu
Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius.
Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia 4 tahun, sebagai
khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan
oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur 9 tahun.
11) Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya
kembai memasuki Mesir di bawah di bawah pimpinan Syirkuh dan
Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan
kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai
tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana
Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya
pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.
12) Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia
mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini
menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya
Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan
kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada
orang-orang Fathimiyah.
13) Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-
Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan
khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah
simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk
kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.

Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa
pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:

 Sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer


 Terjadinya persaingan perebutan wazir
 Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
 Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama
dalam bidang militer.
 Adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni.
 Datangnya serbuan dari tentara salib.
 Lemahnya para khilafah.
 Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara
terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana.
Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri.
 Para penguasanya selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
 Kondisi Al-Adhid (sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din

Beberapa pengarang juga menjelaskan tentang kemunduran dinasti fatimiyah antara lain :

a. Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran


dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan
beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.),
menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam
eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama.
b. Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan.
Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul dikarenakan hampir
semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik tahta ketika masih dalam
usia sangat mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik tahta pada
usia 11 tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11
tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun.
Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz
bertindak sebagai pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazir menjadi
begitu penting, berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.
c. Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan
menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa
Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai
pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang
dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa
itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Kondisi
terakhir itulah yang terjadi pasca berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.
d. Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti
ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan
Banu Sulaim dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah
kekuasan Fatimiyah.
e. Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200
tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi
Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia
kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di
ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha
membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.
f. Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa
pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan
dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai
wakil dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di
Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin
Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat mengusir
pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah
al-‘Adid. Setelah khalifah al-‘Adid wafat pada tahun 1171

Anda mungkin juga menyukai