Prof. K. Ali dalam bukunya A Study of Islamic History menjelaskan asal mula Bani
Buwaihi hingga memperoleh kesempatan untuk berkuasa di Baghdad. Bahwa
tampilnya Bani Buwaihi dari keturunan Persia itu bermula dari tiga putera Suza’
Buwaihi: Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Untuk
mengatasi problem kemiskinannya, maka keluarga dari Dailam ini memasuki dinas
kemiliteran di negerinya. Prestasi mereka sangat menonjol, sehingga salah satunya,
Ali, diangkat menjadi gubernur, dan kedua saudaranya diberi juga kekuasaan yang
tinggi. Gubernur Ali mengadakan penaklukan ke Persia, dan setelah raja Mardawij-
yang mempercayainya itu meninggal, ia berusaha meminta legitimasi kekuasannya
kepada khalifah Bani Abbas, dan anak keturunan Buwaihi mendapat kedudukan
penting di sana. Selanjutnya, Ali dengan keluarga Buwaihi itu mengadakan ekspansi
ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sinilah pasukan Buwaihi dengan mudah memasuki
pusat pemerintahan Bani Abbas.[1] Perjalanan Dinasti Buwaihi dapat dibagi dalam
dua periode. Periode pertama merupakan periode pertumbuhan dan konsolidasi,
sedangkan periode kedua adalah periode defensif, khususnya di wilayah Irak dan
Iran Tengah. Dinasti Buwaihi mengalami perkembangan pesat ketika Dinasti
Abbasiyah di Baghdad mulai melemah.[2] Setelah Mutawakkil meninggal, khalifah-
khalifah penerusnya ibarat boneka kerena kelemahannya, sedang yang berkuasa
sebenarnya adalah pengawal- pengawal khalifah dari Turki. Untuk menghindari
tekanan dari Turki itu, Al-Mustakfi meminta bantuan kepada kesultanan Buwaihi,
Ahmad. Akhirnya dikabulkan, dan kemudian berhasil mendepak Turki dari Baghdad.
Sebagai hadiah, Ahmad diangkat menjadi sultan dengan gelar Mu’iz al- Daulah, lalu
memindahkan kekuasaanya dari Syiraz ke Baghdad. Sejak saat itu para khalifah
tunduk pada Bani Buwaihi. Mu’iz al-Daulat (932-949 M) digantikan oleh Izz al-
Daulat (967-977 M), tidak lama kemudian digantikan oleh Azad Daulat (949-983 M).
Di bawah komando Azad, sebagian dinasti- dinasti kecil yang memisahkan diri dapat
dikendalikan lagi. Setelahnya, khalifah dipegang oleh Syafar al-Daulat (983-989 M),
Samsam al-Daulat (989-998 M), Bahaud al-Daulat (1012-1024 M), Imad al-Daulat
(1024- 1048 M), dan terakhir Khusru Firuz Malik al-Rahim (1048- 1055 M).
Meskipun di satu sisi Dinasti ini mengambil alih kekuasaan khalifah Bani Abbas,
tetapi dinasti ini juga mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana Bani Abbas. Di bidang- bidang lain
juga diperhatikan, pembangunan saluran air, masjid- masjid, rumah sakit dan lainnya.
Kemajuan juga telihat dalam pertanian, ekonomi, perdagangan dan industri. Tidak
terlalu lama kekuasaan ini berlangsung, terjadilah perebutan kekuasaan antar saudara
setelah generasi pertama uzur, sehingga hal ini membawa ketidakstabilan
pemerintahan. Keadaan ini masih diperparah dengan pertentangan di tubuh militer,
yakni antara kelompok militer yang berasal dari Dailam Persia dengan kelompok
militer dari Turki. Permasalahan ini diperparah dengan datangnya gangguan dari luar,
yaitu gencarnya serangan dari Bizantine ke dunia Islam, serta banyaknya dinasti-
dinasti kecil di luar Baghdad yang sudah tidak dapat dikendalikan. Jatuhnya Dinasti
Bani Buwaihi di Baghdad ke tangan Bani Saljuk berawal dari perebutan kekuasaan
dalam pemerintahan itu sendiri. Ketika jabatan Sultan Al-Rahim dirampas oleh
panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri, ia berbuat semena-mena terhadap Sultan al-
Rahim maupun khalifah al-Qaim. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan
kepada Tughrel Bek dari dinasti Saljuk, Persia. Setelah berhasil memasuki Baghdad
pada 1055 M, Sultan Al- Rahim dipenjarakan. Dengan demikian, berakhirlah
kekuasaan Bani Buwaihi.[3]
Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa
Guzz dari Turki yang menguasai Asia barat daya pada abad ke-11 dan akhirnya
mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah,
Palestina dan sebagian besar Iran. Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas
menandai awal kekuasaan suku bangsa Turki di kawasan Timur Tengah hingga abad
ke-13. Dinasti Saljuk dibagi menjadi lima cabang, yaitu, Saljuk Iran, Saljuk Irak,
Saljuk Kirman, Saljuk asia kecil dan Saljuk Suriah. Dinasti Saljuk didirikan oleh
Saljuk bin Duqaq dari suku bangsa Guzz. Akan tetapi, tokoh yang dipandang sebagai
pendiri Dinasti Saljuk yang sebenarnya adalah Tugril Beq. Ia berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Dinasti Abbasiyah.
Setelah Saljuk bin Tuqaq meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil
ibn Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan
bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar
Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti
Ghaznawiyah dipimpin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa
Ghaznawiyah, kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Saljuk. Dinasti Saljuk melemah setelah para
pemimpinnya meninggal atau ditaklukan oleh bangsa lain. Peninggalan dinasti ini
adalah Kizil Kule (Menara Merah) di Alanya, Turki Selatan, yang merupakan
pangkalan pertahanan Bani Saljuk dan Masjid Jumar di Isfahan, Iran.[5]