1. Abu Fadhal Abdul Karim Ath Thai’ Lillah nin al Muth’I bin al
Muqtadir diangkat menjadi khalifah.
2. Dihapusnya Dinasti Hamdaniyah.
3. Berdirinya Dinasti as Sabkitiniyyah (al Ghaznawiyyah) 366 H-
582 H yang dibangun ioleh Sabkatikin.
Al Muktafi Al Muktadir Al Qa
944-940 M 908-932 M 932-97
al Qadir
991-1031 M
al Qo’im
1031-1075 M
Al Mustadhi’
1170-1180 M
An Nashir
1180-1225 M
Azh Zhahir
1225-1226 M
Al Mustanshir I
1226-1242 M
Al Musta’shim
1242-1258 M
Imam Thabari mengisahkan Abul Abbas (721-754), yang dibai’at
sebagai Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, naik mimbar Jum’at
dan berpidato di depan penduduk Kufah. Berikut ini petikan
pentingnya:
، حتى أدركتم زماننا، ولم يثنكم عن ذلك تحامل أهل الجور عليكم،أنتم الذين لم تتغيروا عن ذلك
، وقد زدتكم في أعطياتكم مائة درهم، وأكرمهم علينا، فأنتم أسعد الناس بنا،وأتاكم هللا بدولتنا
والثائر المبير، فأنا السفاح المبيح،فاستعدوا.
Sejak itu, Abul Abbas dikenal dengan julukan al-Saffah. Padanya berkumpul
dua hal: kedermawanan dan sang penjagal. Kepada penduduk Kufah, tak
segan-segan dia meningkatkan pendapatan mereka untuk membeli loyalitas
penduduk Kufah yang lebih dari 80 tahun di bawah kekuasaan Dinasti
Umayyah. Pada saat yang sama, siapa saja yang berani melawan kekuasaan
Abbasiyah, penguasa rezim baru, akan dibunuh dengan kejam.
Abul Abbas memang memiliki nasab yang berasal dari Abbas, paman Nabi
Muhammad. Ini berbeda dengan Syi’ah yang menjadikan keturunan Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah sebagai jalur nasab keluarga Nabi. Boleh saja secara
umum dianggap kekuasaan Abbasiyah ini merupakan Ahlul Bait yang Sunni.
Tapi problem teologis yang dialami Syi’ah mengenai legitimasi keimamahan
mereka juga dihadapi oleh Abbasiyah: “Apa dasarnya keluarga Nabi
mewarisi kekuasaan atas umat?”
Berbeda dengan Syi’ah yang mengambil argumen yang ketat soal imamah,
Abbasiyah tetap menggunakan jalur khilafah melanjutkan tradisi Sunni, tapi
dengan tambahan justifikasi bahwa kekuasaan khilafah berada di tangan
keluarga Nabi dari jalur Abbas. Maka, beredarlah sejumlah riwayat yang
meneguhkan posisi teologis Abbaisyah ini. Dengan kata lain, sekali lagi,
agama telah dijadikan sebagai alat politisasi kekuasaan.
انه اعلم العباس ابن عبد المطلب انه تؤول الخالفة إلى- فيما ذكر عن رسول هللا ص-وكان بدء ذلك
ويتحدثون به بينهم، فلم يزل ولده يتوقعون ذلك،ولده
Tapi Imam Thabari, yang dikenal sebagai ahli sejarah, ahli tafsir dan ahli
fiqh, tidak menyebutkan sanad dan matan Hadits yang dimaksud. Imam
Suyuthi menyebutkan sejumlah riwayat yang berkenaan dengan ini tapi,
seperti bisa kita duga, menurut Imam Suyuthi sendiri riwayat-riwayat
tersebut cukup lemah.
Serangan juga ditujukan terhadap legitimasi keluarga Nabi dari jalur Abbas.
Ini dikarenakan jalur ini bukan keturunan Nabi Muhammad, tapi lebih pada
keturunan paman Nabi. Maka, kita dapati berbagai riwayat di Sunan al-
Tirmidzi, misalnya, “Abbas adalah bagian dariku dan aku (Nabi
Muhmamad) adalah bagian darinya”; “Siapa pun yang menyakiti pamanku
(Abbas) berarti dia telah menyakitiku”; dan “Paman seseorang adalah
saudara kandung ayahnya atau termasuk dari bagian ayahnya”.
Hadits hasan gharib ini hanya satu-satunya yang diriwayatkan oleh Sunan al-
Tirmidzi dan tidak dijumpai riwayat senada dalam kitab hadits utama
lainnya. Toh, meski begitu, ada ulama yang menambahi riwayat doa Nabi di
atas dengan kalimat tendensius: “… dan jadikanlah kekhilafahan tetap di
pundak keturunan Abbas.” Luar biasa, bukan?
Gubernur Madinah yang diangkat Khalifah Abul Abbas, yaitu Dawud bin
Ali, juga membantai semua keluarga Umayyah yang masih tersisa di
Mekkah dan Madinah. Politik balas dendam dan pertumpahan darah menjadi
ciri dari pemerintahan Abul Abbas.
Abul Abbas as-Saffah hanya berkuasa 4 tahun. Pada 10 Juni tahun 954
Masehi, dia wafat saat masih berusia cukup muda, yaitu 33 tahun. Sebelum
wafat, Abul Abbas telah menunjuk saudaranya, Abu Ja’far, dan
keponakannya, Isa bin Musa, sebagai satu paket penerus kekhilafahan
Abbasiyah.
2.
Ada kisah menarik tentang Abu Ja'far Al-Manshur dan Abu Hanifah. Ketika
selesai membangun Baghdad, Abu Ja'far mengundang para ulama
terkemuka. Imam Abu Hanifah termasuk di antara mereka.
Saat itulah Abu Hanifah ditawari sebagai Hakim Tinggi (Qadhi Qudha).
Namun Abu Hanifah menolak keras. Ketika diancam agar bersedia
memegang jabatan itu, Abu Hanifah mengucapkan kalimat yang dicatat
sejarah, "Seandainya anda mengancam untuk membenamkanku ke dalam
sungai Eufrat atau memegang jabatan itu, sungguh aku akan memilih untuk
dibenamkan."
3.
Ketika khalifah Abu Ja'far Al-Manshur meninggal di tengah perjalanan
untuk menunaikan ibadah haji, Al-Mahdi sedang berada di Baghdad
mewakilinya mengurus kepentingan negara. Di sanalah Al-Mahdi
mendengar kabar kematian ayahnya tercinta sekaligus pengangkatan dirinya
sebagai khalifah.
Pada tahun 159 H, Al-Mahdi mengangkat kedua anaknya, Musa Al-Hadi dan
Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota secara berurutan. Pada tahun 169
H, Al-Mahdi meninggal dunia. Ia memerintah selama 10 tahun. Satu riwayat
menyebutkan dia meninggal karena jatuh dari kudanya ketika sedang
berburu. Riwayat lain mengatakan dia meninggal karena diracun.
4.
Musa Al-Hadi (785-786 M) menjabat Khalifah Abbasiyah keempat
menggantikan ayahnya, Khalifah Al-Mahdi. Ia menjalankan pemerintahan
hanya satu tahun tiga bulan (169-170 H). Ia dilahirkan di Ray pada 147 H.
Ketika ayahnya wafat, Musa Al-Hadi sedang berada di pesisir pantai Jurjan
di pinggir laut Kaspia. Saudaranya, Harun Ar-Rasyid, bertindak mewakilinya
untuk mengambil baiat dari seluruh tentara. Mendengar berita wafatnya sang
ayah, Musa Al-Hadi segera kembali ke Baghdad dan berlangsunglah baiat
secara umum.
Tantangan terhadap Khalifah Musa Al-Hadi tak hanya muncul dari kaum
Zindiq. Di daerah Hijaz muncul sosok Husain bin Ali bin Hasan bin Ali bin
Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari masyarakat karena masih
keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini sempat memaklumatkan
berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.
Husain bin Ali tewas dalam peperangan itu. Kepalanya dibawa ke hadapan
Khalifah Musa Al-Hadi dan dikebumikan di Baghdad. Sisa-sisa pasukan
Husain dikejar. Sebagian melarikan diri keluar Hijaz.
5.
Salah satu tokoh besar umat ini yang berhasil membuat Romawi
menundukkan kepala karena wibawanya adalah al-Khalifah al-Mujahid
Harun al-Rasyid rahimahullah. Seorang laki-laki mulia yang dikaburkan
sejarahnya dan dibunuh karakternya oleh orang-orang yang membenci Islam
dan kaum muslimin. Ia digambarkan sebagai seorang pemabuk yang gila.
Laki-laki hidung belang dengan banyak selir. Pemimpin kejam dan zalim.
Padahal dia adalah khalifah terbaik di Daulah Abbasiyah. Ia seorang
mujahid. Pemimpin yang perhatian terhadap ilmu dan ulama. Dan keutamaan
lainnya. Mungkin inilah yang menyebabkan fitnah itu dihembuskan. Ia
digambarkan sebagai pemimpin yang tak bertanggung jawab. Di sampingnya
hanya ada khamr dan mabuk. Dibuatlah kisah-kisah palsu dan hikayat-
hikayat dusta untuk mendukung fitnah itu.
Ibnu Khalkan berkata, “Harun al-Rasyid termasuk khalifah yang paling
mulia dan raya yang paling melayani. Ia berhaji, berjihad, berperang,
pemberani, dan cerdas.” (Siyar A’lam Nubala, Juz: 7 al-Rasyid).
Nasab dan Kelahirannya
Kun-yahnya adalah Abu Ja’far. Sedangkan nama dan nasabnya adalah Harun
bin al-Mahdi Muhammad bin al-Manshur Abu Ja’far Abdullah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi al-
Abbasi. Jadi, ia adalah seorang Quraisy satu kabilah dengan Nabi
Muhammad ﷺ. Dan keturunan dari paman Nabi, Abbas bin Abdul
Muthalib radhiallahu ‘anhu.
Harun al-Rasyid dilahirkan pada tahun 148 H di Kota Ray. Kala itu, ayahnya
menjadi pemimpin wilayah Ray dan Khurasan. Ibunya adalah al-Khayziran
(Arab: )الخيزران, kun-yahnya Ummul Hadi.
Sejak kecil, Harun al-Rasyid telah memiliki sifat istimewa seperti pemberani
dan kuat. Sifat ini menjadikannya sangat layak sebagai suksesor ayahnya
saat ia berusia 20-an tahun.
Menjabat Khalifah
Al-Manshur bin Ammar mengatakan, “Aku tidak melihat orang yang lebih
mudah menitikkan air mata saat berdzikir melebihi tiga orang: al-Fudhail bin
Iyad, (Harun) al-Rasyid, dan yang lain.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq, Juz:
27, Hal: 19).
Diriwayatkan, suatu hari Ibnu as-Samak menemui al-Rasyid. Saat itu Harun
al-Rasyid meminta minum. Diberikanlah untuknya semangkok minuman.
Ibnu as-Samak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya Anda
terhalangi meminum minuman ini –maksudnya satu mangkuk air ini pun
Anda tak punya-, dengan apa Anda akan membelinya?” “Dengan setengah
kerajaanku,” jawab al-Rasyid. “Minumlah, semoga Allah memberimu
ketenangan,” kata Ibnu as-Samak.
Setelah al-Rasyid selesai meminum air itu, Ibnu as-Samak kembali berkata,
“Seandainya air ini dihalangi keluar dari badan Anda, dengan apa Anda akan
menebusnya agar ia bisa keluar?” “Dengan seluruh wilayah kerajaanku,”
jawab al-Rasyid. Ibnu as-Samak melanjutkan, “Sesungguhnya harga sebuah
kerajaan hanya dengan seteguk air dan kencingnya. Sungguh tidak pantas
seorang berlomba-lomba memperebutkannya.” Harun al-Rasyid pun
menangis tersedu-sedu. (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).
Ibnul Jauzi mengisahkan, “al-Rasyid berkata kepada Syibyan, ‘Nashiatilah
aku’. Syibyan mengatakan, “Bertemanlah dengan orang-orang yang
membuatmu takut, tapi dengan itu engkau merasa aman. Hal ini lebih baik
bagimu daripada berteman dengan orang yang membuatmu merasa aman,
tapi engkau menjadi ketakutan.”
“Andai saja aku berperang di jalan Allah, kemudian terbunuh. Setelah itu
aku hidup kembali dan terbunuh kembali.” (HR. al-Bukhari 6799).
Pada tahun 187 H, Harun al-Rasyid menerima surat dari Kaisar Romawi
Nikephoros I. Surat tersebut berisi pembatalan perjanjian damai antara
Romawi dan Abbasiyah yang telah disepakati oleh Kiasar Romawi
sebelumnya. Isi surat Nikephoros adalah sebagai berikut:
Dari Nikephoros, Kaisar Romawi, kepada Harun, Raja Arab. Amma ba’du..
Ketika al-Rasyid membaca surat ini, ia pun marah besar. Tidak ada seorang
pun yang berani mengarahkan pandangan ke arah wajahnya. Apalagi
mengeluarkan sepatah kata padanya. Orang-orang yang duduk bersamanya
menyingkir karena takut. Menteri pun membisu. Al-Rasyid menulis surat
balasan:
Bismillahirrahmanirrahim.
“Hujanlah dimanapun yang kau inginkan. Hasil bumi pun akan datang
padaku.” (Mausu’ah Akhlak wa Zuhd wa Raqa-iq Juz 1 Hal: 198).
Hujan tersebut akan bermanfaat bagi kaum muslimin, baik turun di wilayah
kekuasaan Islam Dintasti Abbasiyah atau di luar wilayah tersebut. Jika dia
turun di wilayah Islam, kaum muslimin akan memanfaatkan airnya untuk
minum dan mengairi ladang mereka. Dan jika turun di selain wilayah kaum
muslimin, hasil buminya akan datang kepada umat Islam dalam
bentuk jizyah.
Inilah gambaran kemuliaan, kemakmuran, dan kekuasaan kaum muslimin di
era Harun al-Rasyid rahimahullah.
Wafatnya al-Rasyid
Mimpi itu pun jadi kenyataan. Saat al-Rasyid menempuh perjalanan menuju
Khurasan, setibanya di Kota Thous, ia jatuh sakit. Al-Rasyid memerintahkan
pembantunya, “Datangkan padaku sewadah tanah dari tempat ini.”
Kemudian diberikan padanya tanah merah di gengagamannya. Melihat itu,
al-Rasyid mengatakan, “Demi Allah, inilah telapak tangan yang aku lihat.
Dan tanah yang ada di genggamannya.”
Glosarium
Latihan Soal 2
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan jelas !