Anda di halaman 1dari 18

DAULAH MAMLUK

A. Proses berdirinya daulah mamluk


. Proses Terbentuknya Dinasti Mamluk
Kata Mamluk adalah bentuk mufrad dari kata Mamalik dan Mamlukun yang berarti
budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan
pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu bapak yang merdeka, bukan dari
budak atau hamba sahaya. Berbeda dengan ‘abd, yang dilahirkan oleh ibu bapak yang
juga berstatus sebagai hamba yang kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk
biasanya berkulit putih, sedangkan ‘abd berkulit hitam.[1] Sebagian Mamluk berasal dari
Mesir, yaitu golongan budak yang dimiliki para sultan dan amir pada masa kesultanan
Bani Ayyub. Para Mamluk Dinasti Ayyubiyah ini berasal dari Asia Kecil, Persia,
Turkistan dan Asia Tengah. Mereka terdiri dari suku-suku bangsa Turki, Rusia, Kurdi,
Syracuse dan bagian kecil dari bangsa Eropa.
Sebutan Mamluk bermakna hamba sahaya. Hal ini disebabkan para panglima yang
memegang kekuasaan ketentaraan dewasa itu berasal dari hamba sahaya yang dibeli lalu
diasuh semenjak kecil dan dilatih, terdiri atas berbagai keturunan kebangsaan. Mereka
menjadi pejuang-pejuang Islam yang perkasa.[2]
Kaum Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M. merekalah yang membebaskan
Mesir dan Suria dari peperangan Salib dan juga membendung serangan-serangan kaum
Mongol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, sehingga Mesir terlepas dari
penghancuran-hancuran seperti yang terjadi di dunia Islam lain.[3]
Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah
sebagai budak, kemudian didik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada
kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang
terakhir, Al-Malik Al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan
kekuasaannya. Pada penguasa ini mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier
ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material.[4]
Mamluk adalah sebuah rezim yang dikendalikan oleh pasukan budak, inemerintah Mesir,
Suria, Asia kecil tenggara dan Arab barat (hijaz).[5]Dinasti Mamluk di Mesir adalah
adalah dinasti terakhir di dunia Arab untuk abad pertengahan 1 250-1800 M). Philip K.
Hitti menyebutkan bahwa dinasti Mamluk adalah dinasti yang luar biasa karena dinasati
di dihimpun dan budak-budak yang berasal dan berbagai ras yang dapat membentuk suatu
pemerintahan oligarki di suatu negara yang bukan tumpah darah mereka.
Sultan-sultan yang berasal dan budak-budak inii pantas diacungi jempol karena
keberhasilannya mendirikan suatu kerajaan yang kokoh dan kuat. Dinasti Mamluk di
Mesir rnulai bangkit bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan
pengunduran Islam di Spanyol. Dinasti ini dikenal pula dengan nama Daulat al-Atrak
yang pada perkembangan selanjutnya, wilayah kekuasaannya meiiputi Mesir dan Syiria.
Kaum Mamluk adalah para imigran Mesir yang pada awalnya merupakan budak-budak
yang datang dan daerah pegunungan Kaukasus dan laut Kaspia. Mereka ditempatkan di
barak-barak militer pulau Raudoh di sungai Nil untuk dilatih dan dididik secara baik.
Ditempat inilah mereka diajari membaca, menulis dan pengetahuan kemiliteran, bahkan
diberi pendidikan agama. Kaum Mamluk yang ditempatkan di sungai Nil disebut Mamluk
al-Bahriyun dan kaum Mamluk yang ditempatkan di benteng-benteng istana dikota Kairo
disebut Mamluk al-Burjiyun.
Terbentuknya dinasti Mamluk di Mesir tidak dapat dipisahkan dan dinasti Ayyubiyah
ketika terjadi perebutan kekuasaan antara al-Malik as-Shalih dan al-Malik al-Kamil.
Dalam perebutan kekuasaan ini, para tentara yang berasal dan suku Kurdi memihak
kepada al-Malik al-Kamil, sementara para budak yang tergabung dalam Mamluk Bahri
mendukung al-Malik as-Shalih. Dalam perebutan kekuasaan ini, al-Malik as-Shalih
mampu mengalahkan al-Malik al-Kamil. Sejak saat itulah kaum Mamluk rnempunyai
pengaruh yang besar dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan. Perhatian al-Malik as-
Shalib begitu besar kepada kaum Mamluk sehingga banyak di antara mereka ditempatkan
pada kelompok-kelompok elit yang terpisah dan masyarakat atau kelompok meliter
lainnya. Perlakuan ini sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak karena kehadiran
kaum Mamluk memberikan jaminan bagi berlangsungnya kekuasaan al-Malik as-Shalib,
sedangkan periakuan yang istimewa terhadap budak-budak itu bisa membenikan
kemudahan dalam peningkatan karir mereka dan imbalan-imbalan materil lainnya
Al-Malik as-Shalih rneninggal pada 1429 M setelah menderita sakit dan timbul
kekacauan-kekacauan di berbagai daerah. Kematian as-Shalih dirahasiakan oleh isterinya
(Syajarat al-Dur), kemudian putera mahkota as-Shalih yang bernama Turansyah
memegang tampuk kekuasaan. Namun, kaum Mamluk Bahri menganggap bahwa
Turansyah bukan orang yang dekat dengan mereka. Selain itu, Turansyah juga dianggap
tidak tepat untuk rnenduduki pucuk kekhalifàhan karena lebih banyak bermukim di
Euprat. Oleh karena itu ia dianggap tidak menguasai seluk beluk Mesir secara
keseluruhan. Setelah itu diangkatlah Syajarat al-Dur sebagai Sultan mereka. Dan sinilah
awal terbentuknya dinasti Mamluk di Mesir yang dipimpin oleh seorang budak dan
berakhirlah dinasti Ayyubiyah menguasai Mesir.[6]
Para budak mengangkat Syajarat al-Dur sebagai pemimpin mereka dengan pertimbangan
sama-sama berdarah budak dan diharapkan akan membela kepentingannya. Alasan lain
pengangkatan Syajarat al-Dur karena adanya pertentangan atau persaingan di kalangan
kaum Mamluk itu sendiri. Sebenarnya terdapat beberapa orang yang berambisi untuk
menjadi sultan, seperti Aybak, Baybar dan Qutuz.
Dengan dukungan para Amir Aybak disepakati menjadi wakil al-Dur dalam
mengendalikan tugas-tugas pemerintahannya. Namun, dikemudian dan Aybak pun
mengawini al-Dur dan bertindak sebagi Sultan dengan gelar al-Muiz al-Din. Tetapi
akhirnya Aybak dibunuh di kamar mandi oleh al-Dur karena ia ketahuan ingin
menyingkirkan al-Dur sendiri. Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan anak Aybak
yang bernama Ali bin Aybak dalam usia yang sangat muda, akan tetapi kekuasaannya
hanya sekedar mengisi kekosongan karena yang memegang kendali pemerintahan adalah
Qutuz yang bertindak sebagai wakil sultan. Akhirnya Ali bin Aybak pun mengundurkan
diri karena merasa tidak mampu untuk menduduki jabatannya dan secara otomatis
Qutuzlah yang menjadi penguasa.
Dimasa pemerintahan Qutuz, dinasti Mamluk mendapat ancaman dan tentara Mongol.
Mereka telah menghancurkan Bagdad dan maju ke sungai Euprat menuju Syiria dan
selanjutnya melintasi gurun Sinai menuju Mesir. Sebelum menyerbu Mesir, tentara
Mongol yang dipimpin Kitbuga meminta kepada Qutuz untuk menyerah kepada Hulagu
di Bagdad, akan tetapi Qutuz menolak perrnintaan itu bahkan membunuh
utusannya.Tentara Mongol dengan diperkuat oleh Armenia dan Georgia melintasi
Yordania menuju Galilea, tentara Mamluk di bawah komando Qutuz dan aybar bergerak
ke arah teuggara menghadang tentara Mongol sampai kemudian terjadilah perang di
Ainjalut yang berakhir dengan kekalahan tentara Mongol. Peristiwa di Ainjalut ini
sekaligus menghapus mitos bahwa tentara Mongol tidak dapat dikalahkan. Kemenangan
di Ainjalut juga membangkitkan semangat Islam di wilayah-wilayah lain untuk melawan
tentara Mongol di sekitarnya. Sejak saat itu, nama dinasti Mamluk membumbung tinggi
di mata dunia Islam sehingga penguasa-penguasa di Syiria ketika itu menyatakan
kesetiaannya kepada dinasti Mamluk[7].
Tidak lama setelah itu Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang
tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M) dengan
gelar al-Malik al-Zahir. Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan
Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik kerana
kerajaannya yang begitu utuh dan kuat. Sebelum wafat, Baybar berwasiat agar putranya
pangeran Said, dinobatkan menjadi penggantinya.
Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan
pertama disebut dengan Mamluk bahri. Golongan pertama ini berasal dari kawasan
Kipchak (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi. Mereka ditempatkan di Pulau Raudhah di
Sungai Nil. Di sinilah mereka menjalani latihan militer dan pelajaran keagamaan. Karena
penempatan mereka inilah mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (budak
lalut/air). Golongan kedua dinamakan Mamluk Burji, yang berasal dari etnik Syracuse di
wilayah Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada
Dinasti Mamluk.[8]
B. Perwatakan Dinasti Mamluk dalam Sistem Pemerintahan
Sebagaiamana dijelaskan di atas, Dinasti Mamluk adalah para imigran mesir yang pada
awalnya merupakan budak-budak yang datang dari daerah pengunungan kaukasus
(kemudian disebut Al-mamalik Al-Burjiun) dan laut Kaspi ( al-mamalik al bariyyun ).
Oleh dinasti Al-ayyubiyah para budak-budak ini di tempatkan di sungai Nil di sebut Al-
mamalik Al bahriyun yang memerintah pada 1250 M/ 648 H sampai dengan 1390 M/ 792
H. Selanjutnya kaum mamluk yang ditempatkan di benteng istana kota Kairo di sebut al-
mamalik al-Burjiun yang memerintah pada 1382M/922M.
Sistem pemerintah dinasti Mamluk bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang
singkat ketika Qawalun (1280-1290 M) menerapkan pergantian khalifah secara turun
menurun. Padahal sitem Oligarki Militer memberikan kemajuan bagi Mesir. Kedudukan
Amir sangat penting, para Amir saling berkompetesi dalam prestasi karena mereka
merupakan kandidat sultan. Bahkan dinasti Mamluk juga membawa warna baru dalam
sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki militer dapat
memberikan kemajuan-kemajuan di capai dalam berbagai bidang, seperti konsiladasi
pemerintahan, perekonomian, dan Ilmu pengetahuan.[9]
Dinasti Mamluk pada dasarnya tidak menerapkan sistem turun-temurun terhadap orang
yang memegang jabatan sultan, sebab apabila sistem semacam itu diterapkan maka rasa
keadilan yang telah mengikat keutuhan solidaritas kalangan para mamluk dengan
sendirinya akan rusak dan menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam kalangan mereka.
[10]
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dibahas tentang dinasti mamluk bahri dan dinasti
mamluk burji.
1. Dinasti Mamalik Bahri
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan
Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau
Raudhah di tepi sungai Nil yang dilaengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan
latihan materi-materi sipil dan militer. Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-
Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan).[11]
Al-Malik as-Shalih rneninggal pada 1429 M setelah menderita sakit dan timbul
kekacauan-kekacauan di berbagai daerah. Kematian as-Shalih dirahasiakan oleh isterinya
(Syajarat al-Dur), kemudian putera mahkota as-Shalih yang bernama Turansyah
memegang tampuk kekuasaan. Namun, kaum Mamluk Bahri menganggap bahwa
Turansyah bukan orang yang dekat dengan mereka. Selain itu, Turansyah juga dianggap
tidak tepat untuk rnenduduki pucuk kekhalifàhan karena lebih banyak bermukim di
Euprat.
Oleh karena itu ia dianggap tidak menguasai seluk beluk Mesir secara keseluruhan.
Setelah itu diangkatlah Syajarat al-Dur sebagai Sultan mereka. Dan sinilah awal
terbentuknya dinasti Mamluk di Mesir yang dipimpin oleh seorang budak dan berakhirlah
dinasti Ayyubiyah menguasai Mesir.[12]
Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh
anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun
1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang
mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke
Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah
berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan
pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz, Baybars
dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah berhasil menghancurkan pasukan
Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di
Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria
segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa Mamalik.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di kairo setelah Baghdad hancur total oleh
tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars, kerajaan Mamluk bertambah
kuat. Bahkan, Baybars, mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H./1260 M.-676
H./1277 M.) karena mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi,
selain Baybars. Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik. Ia
pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik.Kejayaan yang diraih
pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib di sepanjang Laut Tengah,
Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia dan
kapal-kapal Mongol di Anatolia). Terlebih lagi prestasi Baybars adalah menghidupkan
kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan
Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258.
Pemerintah Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir
Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo.
Sebelumnya, Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancur leburkan oleh orang-
orang Mongolia, kemudian dia dibaiat sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir
pada tahun 659 H./1260 M.Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah untuk
menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam yang
lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah.
Tidak begitu banyak yang berarti Kerajaan Mamluk di bawah pimpinan Bani Babiris.
Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H./1280 M.-689H./1290 M.) yang telah
menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administrasi pemerintah, perluasan
hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan
internasional. Sultan Qalawun berhasil mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Hal
ini terjadi berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk
melindungi kepentingan pribadinya.

Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun
adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./1296 M.). Sultan
memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun
tahta.Masa setelah Bani Qalawun, tampuk pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk
keturunan Muhammad hingga 9 sultan. Kesembilan sultan ini hanyalah simbul nama dan
tidak berpengaruh terhadap masyarakat umum lainnya. Dalam analisis Ahmad Al-Usairy,
“mereka tidak memiliki daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun “, sampai
sultan terakhir dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj
Asyraf bin Sya’ban sekitar tahun 791 H./1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq yang
menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.
2. Dinasti Mamalik Burji
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Brquq (784
H./1382 M.-801 H./1399 M.) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk
Bahri, Shalih Haj bin Asyraf Sya’ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan
Mamluk Bahri dan Burji, baik dari segi status para sultan yang dimerdekakan atau pun
dari segi sistem pemerintahan yang oligarki. Hal-hal yang membedakan kedua
pemerintah tersebut adalah sukses pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi
dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih banyak terjadi
karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem pendidikan bagi
para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal di luar pusat-pusat
latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Sultan Al-Nashir Faraj (801 H./1399 M.-808
H./1405 M.), putra sultan Barquq dan merupakan salah seorang cucu jengis khan yang
telah masuk Islam dan berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan, Timur Lenk (771
H./1370 M.-807 H./1405 M.), melakukan penyerangan ke wilayang Suriah. Timur Lenk
tampaknya mengulang kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada zaman
Hulagu Khan ketika menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang muslim. Pasukan
Mamluk pun menyiapkan diri untuk menghadang serangan Timur Lenk tersebut. Pada
tahun 1401, Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan Timur Lenk dan disusul dengan
Damaskus yang menyerah setelah tentara Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus
dibumihanguskan, baik sekolah maupun masjid dibakar. Ketika pasukan Mamluk
disiagakan kembali untuk merebut Damaskus, Timur Lenk sudah meninggalkan kota itu
dan akhirnya diadakanlah perjanjian perdamaian serta bertukar tawanan perang.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk Burji, yakni Al-Asyraf Baribai (825 H./1422 M.-841
H./1437 M.) dan Al-Zahir Khusyqadam (865 H./1461 M.-872 H./1467 M.) masih harus
terus mempertahankan wilayahnya dari serangan pasukan salib di kepulauan Cyprus dan
Rhodos (Laut Aegea, sekarang milik Yunani). Kedua ekspedisi militer ini berhasil
menahan kekuatan kaum Nasrani dan dengan demikian, pasukan Mamluk kembali
membuktikan keunggulanya untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.

Banyak dari sultan-sultan Mamluk Burji naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah
satu faktor penyebab melemahnya Dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan
dengan gejolak atau pertentangan yang terjadi. Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan
untuk aksi-aksi militer, sementara itu pemasukan semakin menipis. Rongrongan dari luar
wilayah Mamluk pun datang beruntun karena para Mamluk tidak mengutamakan
persatuan dan banyak yang meminta bantuan dari luar. Sebagai contoh pada masa
pemerintahan Sultan Asyraf Qaitbay (872 H./1468 M.-901 H./1496 M.), terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Syam dan Aleppo, dan
gerakan pengacau keamanan dari orang Arab di selatan Mesir. Pada masa pemerintahan
ini, terjadi penyerangan pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah Mamluk yang
merupakan cikal-bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara Turki Utsmani.
Begitulah seterusnya para Sultan Mamluk dilanda krisis dan perang, baik dari dalam
(Mamluk) maupun dari pihak luar seperti serangan tentara Turki Utsmani, orang portugis
yang melarang dan mengusik jalur perdagangan Mamluk di Laut Tengah hingga
tewasnya Sultan Qanshus Al-Guri ketika berperang melawan tentara Turki Utsmani pada
tahun 922 H./1516 M. sejak saat itu, Dinasti Mamluk di bawah bayang-bayang tentara
Turki Utsmani.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah Al-Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang
pejuang yang gigih. Namun, pada saat itu ia tidak memperoleh dukungan dari golongan
Mamluk sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani. Akhirnya,
Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa amir Mamluk
dan kemudian digantung di salah satu gerbang kota Kairo, pada tahun 923 H./1517 M.
Sejak saat itu, berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Mamluk dan dimulainya masa
penguasaan Turki Utsmani di Mesir dan Syam.[13]
Adapun sultan-sultan yang pernah menjadi penguasa dinasti Mamluk bahri adalah sebagai
berikut:
PPT
Dari sekian banyak sultan pada dinasti mamluk yang disebutkan di atas, baik pada masa
dinasti mamluk bahri sampai pada dinasti mamluk burji, terdapat beberapa sultan yang
meninggalkan jejak besar pada masa dinasti mamluk. Adapun sultan-sultan yang sempat
meninggalkan jejak besar dalam sejarah Islam disaat pemerintahan Dinasti Mamluk
diantaranya yaitu :
a. Sultan Qutuz
Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa mongol yang sudah berhasil
mengalahkan Abbasyiah dan menduduki hampir seluruh Dunia Islam. Kedua tentara ini
bertemu di ‘Ayn jalut. Tentara Mamluk yang dibawah pimpinan Qutuz dan Baybars
berhasil mengalahkan pasukan mongol tersebut. Daulah Mamluk di Mesir ini lah yang
satu-satunya penguasa yang berhasil mengalahkan pasukan mongol sehingga menjadi
tumpuan harapan umat Islam sekitar.

b. Sultan Baybars
Setelah kemenangan di ‘Ayn jalut, mulai memalingkan perhatian untuk merebut kembali
kota-kota benteng yang dikuasai tentara Salib, seperti kota benteng Arsulf, Safad, Arkad,
kota Antioch dan mengepung kota Okka hingga pada akhirnya pada tahun 1272 pimpinan
tentara Salib perancis, Edward of Egland, meminta genjatan senjata 10 tahun dengan
kesediaan membayar upeti tahunan ke Mesir. Sultan Baybrs juga melanjutkan
pembangunan di Mesir, Palestina, dan Syiria.
c. Sultan Qolawun
Sultan Qolawun juga banyak mendirikan bangunan di Mesir yang masih di kagumi
sampai sekarang, baik bangunan keagamaan maupun bangunan sosial. Sultan Qolawun
juga dapat menghancurkan serangan bangsa mongol yang di pimpin oleh Abaga khan
(anak hulago khan) yang ingin menebus kekalahan ayahnya. Pertenpuran pecah di
wilayah Homs, Syiria Utara dan pasukan mongol hancur. Qolawun juga menghancurkan
serangan tentara salib yang berjalan dua abad lamanya sehingga tamatlah kekuasaan
salibiyah dan angan-angannya untuk menguasai makam Suci dan membebaskan kota
kelahiran nabi Isa penebus dosa mereka.
C. Peran dinasti Mamluk dalam Menjaga Peradaban di Mesir
Dinasti Mamluk telah membawa warna baru dalam sejarah politik Islam sekaligus
mebawa kemajuan bagi Mesir. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki militer dapat
memberikan kemajuan-kemajuan bagi peradaban Mesir dalam berbagai bidang.
Adapun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pada masa Dinasti Mamluk ini adalah
sebagai berikut:
1. Bidang Militer
Pemerintahan dinasti ini dilantik dari pengaruhnya dalam kemiliteran. Para Mamluk yang
dididik haruslah dengan tujuan untuk menjadi pasukan pendukung kebijaksanaan
pemimpin. Ketua Negara atau sultan akan diangkat di antara pemimpin tentara yang
terbaik, yang paling berprestasi, dan mempunyai kemampuan untuk menghimpun
kekuatan. Walaupun mereka adalah pendatang di wilayah Mesir
Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka
harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti
keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda,
kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka
dan cedera.
Tentara Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka
diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur.
Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan
memastikan bahwa kebudayaan Mamluk ini abadi.
Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada
khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara
Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat.
Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih
kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan.
Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara
Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir,
tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya
mendapat pengaruh yang luas. Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai
ilmu militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku
manual militer karya AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan
menaklukan Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus
mengenai soal perang. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah
meminta agar para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah
peperangan seperti legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam Al-Qur'an.
Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang
berlari kencang dalam kecamuk peperangan.
”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang
mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-
tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan
musuh.” (Al-‘Adiyat 1-4).
Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan
ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap seluk beluk
kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya Ibnu Al-
Nadim (wafat antara 380H-338 H/990-998 M).
Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda,
menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan
alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa.
Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah
Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode
kekuasaan Daulah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang
sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk
mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat
itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan
serangan bangsa Mongol.
Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi,
sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di
dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib dan menaklukan Yerussalem.
Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual
yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai
‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-
menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi.

Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana
senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi
Bakar Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal
taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan
ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang
pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan.
Pada lingkungan militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer,
khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai
bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara
menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring
(Further Knowledge) Concering the Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet
karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas
mengenai doktrin dan pembahasan pembagaian rampasan perang.
2. Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn
al-Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak
penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk
menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer
sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan
Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri
dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah
Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulaghu di Baghdad, berhasil dipertahankan
oleh daulah ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang
dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di
sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya
orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.[15]
3. Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi yang dicapai o!eh dinasti Mamluk lebih besar diperoleh
dan sektor perdagangan dan pertanian. Di sektor perdagangan, pemerintah dinasti
Mamluk memperluas hubungan dagang yang telah dibina sejak masa Fatimiyah, misalnya
dengan membuka jalur dagang dengan Italia dan Prancis. Setelah jatuhnya Bagdad, Kairo
menjadi kota yang penting dan strategis karena jalur perdagangan dan Asia Tengah dan
Teluk Persia hampir dipastikan melalui Bagdad. Keadaan ini menjadikan berlimpahnya
devisa negara terutama dan sektor perdagangan.

Untuk mendukung kelancaran sektor ini, dinasti Mamluk memperbaiki sarana transportasi
untuk memperlancar perjalanan pedagang-pedagang terutama antara Kairo dan
Damaskus. Dalam sektor pertanian, pemerintah mengambil kebijakan pasar bebas kepada
petani, artinya petani diberi kebebasan untuk memasarkan sendiri hasil pertaniannya.
4. Bidang Arsitektur
Devisa negara yang melimpah pada masa dinasti Mamluk memungkinkan mereka untuk
mendirikan bangunan-bangunan yang indah dan megah. Sejak masa pemerintahan
Qalawun, sultan-sultan Mamluk telah terbiasa memperindah bangunannya dengan batu-
batu benteng, batu kapur dan batu api yang diambil dan dataran tinggi Mesir, terutama
dalam bentuk kuburan-kuburan dan kubah-kubah mesjid yang terdiri atas bebatuan
tersebut. Hampir semua macam kerajinan yang berkembang saat itu berhubungan erat
dengan bangunan, khususnya bangunan yang bercorak religius. Seperti hiasan perunggu
pada pintu-pintu mesjid, kotak al-Qur’an yang terbuat dan emas bertabur mutiara,
mosaik-mosaik yang indah pada lengkung-lengkung bangunan, karya seni dan kayu pada
mimbar yang cukup rumit pembuatannya, yang kesemuanya menunjukkan perkembangan
seni dan kerajinan saat itu.
Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-
masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini diantaranya
adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid. Pada
periode mamluk kejutan yang paling mengesankan adalah bangunan-bangunan
arsitektural nan artistik pada sakla dan kualitas yang tidak di temukan padanannya dalan
sejarah Mesir sejak jaman masa plotemius dan fira’un. Arsitektur muslim mencapai
ekspresi yang paling kaya ornament pada sejumlah masjid, sekolah dan museum yang
didirikan oleh pemimpin-pemimpin mamluk.
Mazhab arsitektur mamluk, yang asalnya bisa di lacak model arsitektur periode Nuriyyah
dan Ayyubiyah, mendapat suntikan baru dari orang Suriah-Mesopotamia pada abad ke
13, ketika Mesir menjadi tempat berlindung para pengrajin dan seniman yang melarikan
dari Mosul, Baghdad dan Damaskus sebelum invasi Mongol. Rancangan bentuk
menyilang pada struktur masjid-sekolah di kembangkan hingga mencapai kesempurnaan.
Kubah di bangun untuk menahan cahaya yang datang dari berbagai arah, juga untuk
penerangan, tampak indah dari luar dan kaya dekorasi. Bangunan batu bergaris, dan
berbagai dekorasi yang di hasilkan dengan menggunakan batu-batu beragam warna pada
setiap isinya berasal dari Romawi dan Bizantium, menjadi ciri istimewa arsitektur periode
ini. Hal lain yang perlu di catat dari periode ini adalah pengembangan stalaktif-pendentif,
sama halnya dengan dua dekorasi lain yang di kenal baik saat ini yaitu arabesque dan
huruf-huruf bergaya kufi. Sepanjang sejarah muslim figur-figur binatang lebih bebas di
pakai di Mesir dan Suriah dari pada di Spanyol dan Persia.

Karakter mewah dan halus dalam berkesenian tidak hanya diterapkan pada obyek-obyek
yang dianggap suci seperti hiasan kotak Al qur’an dan masjid akan tetapi di terapkan juga
pada berbagai perlengkapan rumah tangga seperti cangkir, mangkok, baki, pedupan, yang
mana
semua itu menjadi saksi tentang gambaran hidup mewah sebagaimana dilukiskan oleh
para penulis kronik kontemporer. Putri-putri kerajaan menghiasi diri mereka dengan
berbagai hiasan mewah seperti gelang, kalung, gelang kaki, anting sama seperti yang
masih di gunakan oleh orang Mesir modern.
Kemegahan mamluk semakin meriah dengan berbagai pertunjukan seni semisal tarian,
sulap dan pertunjukan wayang. Sejak penaklukan Turki Ustmani atas wilayah Mesir dan
Suriah, hampir semua pusat kerajinan dan industri mulai runtuh. Sejumlah arsitek, ahli
teknik, tukang kayu dikirim ke Konstantinopel oleh sultan Halim. Hanya satu bidang
kerajinan yaitu ukiran keramik yang bertahan setelah penaklukan Turki usmani dan
menghsilkan kualitas terbaik melampaui berbagai kriya seni lainnya. Sebagaimana
ditunjukkan oleh koleksi keramik damaskus yang tersimpan di Kensington selatan.
Talam, mangkok, kandil, vas bunga dan berbagai benda yang terbuat dari kuningan yang
di produksi saat ini di Demaskus, kebanyakan mengikuti pola-pola dari periode mamluk.
Di antar karya-karya seni terapan itu, yang menjadi ciri Khas Mesir-Mamluk adalab seni
dekorasi kitab suci. Bidang kesenian ini mendapatkan kedudukan terhormat karena
berhubungan dengan “firman Allah” dan tingkat tingkat kesulitannya juga jauh tebih
tinggi.
Karakter mewah dan halus dalam berkesenian tidak hanya diterapkan pada objek-objek
yang dianggap suci. Berbagai perlengkapan rumah tangga seperti cangkir, mangkok, baki,
pedupaan juga rnerupakan gambaran hidup mewah sebagaimana dilukiskan oleh para
penulis kronik kontemporer. Di samping yang telah disebutkan tadi, masih banyak karya-
karya seni yang lain yang berkembang pada masa dinasti Mamluk.[16]
5. Bidang Pendidikan
Setelah Baghdad hancur dan kekuasaan Abbasiyah runtuh, maka ibu kota alam Islami
berpindah ke Kairo, Mesir. Begitu juga pusat pendidikan dan pengajaran berpindah pula
ke Kairo, ke Jami’ Al-Azhar. Pada masa Sultan Baybars, Al-Azhar mengalami
peningkatan yang gemilang, menjadi pusat ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu agama
dan bahasa Arab. Mesir pada masa itu adalah masa keemasan dalam sejarahnya. Al-Azhar
masa itu dikunjungi oleh ulama-ulama dan pelajar-pelajar dari seluruh dunia,
sebagaimana halnya kota Baghdad dahulu.
Pada masa Sultan An-Nashir (693 H-741 H/ 1293 M-1341 M) kebudayaan Islam di Mesir
mencapai tingkat yang tertinggi. Kekayaan negeri masa itu bertambah besar dengan biaya
cukai barang-barang perdagangan dari India ke Eropa dengan melalui Mesir.

Masa Mamluk adalah masa mengarang matan-matan yang pendek dan mengarang
syarahnya. Ulama meringkas kitab-kitab lama yang panjang, sehingga menjadi ringkas
seringkas-ringkasnya, yang disebut matan. Maka lahirlah kitab-kitab pendek
(mukhtashar) dalam ilmu fiqhi, nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain.
Akhirnya matan-matan tersebut dikumpulkan menjadi satu buku besar bernama Majma’
Mutun. Yang lebih ahli dalam meringkaskan dan mengarang matan-matan itu adalah
ulama Syafiiyah. Di antara matan-matan itu juga ada yang berupa syair. Tujuan dibuatnya
matan-matan tersebut adalah agar pelajar mudah menghafalnya.[17]
Di antara kemajuan pada bidang pendidikan pada masa Dinasti Mamluk, dapat ditinjau
dari berbagai aspek, antara lain:
a. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa dinasti mamluk antara lain sejarah,
kedokteran, asrtonomi, matematika dan ilmu agama. Di masa ini pula muncul tokoh-
tokoh ilmu pengetahuan yang hasil karyanya mampu di jadikan rujukan oleh para ilmuan
dunia. Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan
tentara Mongol. Di samping itu Mesir dengan perguruan tinggi Al ashar serta
perpustakaan Dar al Hikmahnya yang selamat dari serangan Mongol menyebabkan
kesinambungan ilmu jaman klasik tetap berkembang. Mesir menjadi pusat peradaban
islam berintikan kebudayaan arab.
Ilmuan-ilmuan besar yang lahir pada masa dinasti mamluk di antaranya adalah :
1) Ibn Nafis yang oleh pengagumnya digelari The second Avisenna ( Ibn Sina kedua )
karena reputasinya sebagai seorang dokter yang terkemuka dan seorang penulis yang
serba bisa pada abad ke-7 H/13 M. Ia belajar ilmu kedokteran di tempat kelahirannya
yang mana gurunya berasal dari perguruan “ Ibn at-Tilmidz”. selain itu ia juga belajar tata
bahasa arab, logika dan ilmu keislaman lainnya . Salah satu karyanya yang terkenal
adalah as Shamil fi at Thibb sebuah ensiklopedia kedokteran yang lengkap, terdiri kurang
lebih 27.000 folio yang tersebar dalam 8 jilid dan dia juga penemu susunan dan peredaran
darah dalam paru-paru manusia .
2) Abu al Fida, dia adalah seorang geografi dan sejarah terkenal. Abu al Fida
merupakan keturunan keluarga ayyub yaitu Shalahuddin al Ayyubi. Karyanya yang
terkenal Al-Nujum al Zhahiroh fi muluk Meshir wa al Qohiroh ( bintang terang raja-raja
Mesir dan Kairo) sebuah sejarah tentang mesir dan periode penaklukan bangsa arab
sampai 1453.
3) Ibn Khaldun, dia adalah seorang ilmuan islam yang sangat cemerlang dan yang
paling di hargai oleh dunia intelektual modern karena karya-karyanya yang sangat
monumental, salah satu karyanya adalah Philosophi of history yaitu filsafat sejarah
terbesar yang pernah duciptakan manusia dari Negara dan bangsa manapun.[18]

Selain itu dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar seperti Nashiruddin ath-Thusi
yang dalam bidang astronomi, Abul Faraj al-'Ibry ahli dalam dalam bidang matematika.
Abdul Mun'im ad-Dimyathi seorang dokter hewan, dan Ar-Razi’, perintis psykoterapi.
Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam
bidang ilmu keagamaan tersohor nama Syaikhul Islam ibn Taimiyah seorang mujaddid,
mujahid dan ahli hadits dalam Islam, Imam As-Suyuthi yang menguasai banyak ilmu
keagamaan, Imam Ibn Hajar al-'Asqalani dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan masih banyak
ilmuan-ilmuan lainnya.[19]
Pada abad ke-13 satu genre bidang kesenian berkembang dengan baik yaitu seni wayang,
pertama kali muncul dengan tajuk Thayf al Khayal fi Ma’rifah Khayal al Zhil (bayang-
bayang imajinsi tentang pengetahuan pertunjukan wayang dan masih banyak para ilmuan-
ilmuan besar lainnya) oleh Muhammad ibn Daniyal al Khuza’I al Maushili dan satu-
satunya karya yang masih bertahan hingga kini dalam bidang drama puitis dari dunia
islam abad pertengahan. Pertunjukan wayang kemungkinan di ciptakan di Timur tengah,
akan tetapi orang-orang islam mengenalnya dari India atau Persia.
Kitab-kitab pelajaran di Al-Azhar pada masa Dinasti Mamluk yaitu:[20]
1) Kitab Hadits yang enam (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai,
Ibnu Majah) dan Musnad Ahmad dan Syafi’i.
2) Umdatul Ahkam (Hafiz Abdul Ghani).
3) Syuzur az-Zahab (Ibnu Hisyam).
4) Jam’ul Jawami’.
5) Al-Badrul Munir.
6) As-Syarhul Kabir (ar-Rafi’i)
7) Al-Minhaj (An-Nawawi).
8) Hadits Arbain.
9) Al-Waraqat (Ushul).
10) Al-Lamhatul Badriyah (Nahwu).

b. Sistem Pengajaran
Sistem pengajaran pada masa Mamluk ialah dengan menghafal matan-matan, meskipun
murid-murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal matan Ajrumiyah, matan
Taqrib, matan Alfiyah, matan Sullan dan lain-lain. Setelah murid-murid menghafal
matan-matan itu barulah mereka mempelajari syarahnya, kadang-kadang serta
hasyiahnya. Dengan demikian pelajaran bertambah berat dan bertambah sulit untuk
menghafalnya.Selain itu, juga diterapkan sistem praktikum untuk praktikum kimia dan
kedokteran.[21]
c. Lembaga Pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan pada masa Dinasti Mamluk yaitu:
1) Masjid, di antaranya adalah masjid yang besar di Husainiyah bernama Jami’ Az-
Zahir.
2) Madrasah, dalam madrasah diajarkan ilmu fiqhi dalam empat madzhab.
3) Perpustakaan, berisi berbagai macam kitab dalam berbagai ilmu pengetahuan.
4) Rumah sakit, dibangun oleh Qallawun yang terdapat bilik untuk tempat praktikum
kimia dan alat-alat kedokteran.
5) Observatorium, sebagai pusat penelitian.
6) Jami’ Al-Azhar, sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, memelihara dan
mengembangkan syariat Islam dan Bahasa Arab selama zaman pertengahan.
Salah satu anak Sultan an-Nashir bernama Sultan Hasan, mendirikan madrasah yang
besar yang termasyhur sampai sekarang, yaitu Jami’ Sultan Hasan. Selain itu, banyak
juga sultan-sultan Mamluk yang mendirikan bangunan-bangunan besar, masjid-masjid
dan madrasah-madrasah seperti:
1) Barquq, ia mendirikan gedung-gedung besar dan madrasah besar yang termasyhur
sampai sekarang dengan nama Jami’ Barquq.
2) Al-Muaiyad Syekh, ia mendirikan masjid yang besar bernama Jami’ Al-Muaiyad.
3) Qayutbai (873-902 H/ 1468-1496 M), ia membangun masjid-masjid dan madrasah-
madrasah, serta benteng-benteng dan jalan-jalan raya, di antara bangunannya yang
termasyhur ialah Jami’ Qayutbai.
4) Al-Ghuri (906-922 H/ 1501-1516 M), ia juga banyak membangun gedung-gedung,
di antaranya Jami’ Al-Ghuri dan madrasah Al-Ghuriyah.[22]

Pada masa Dinasti Mamluk, madrasah-madrasah bertambah banyak. Kebanyakan


didirikan oleh sultan-sultan dan setengahnya didirikan oleh orang-orang kaya. Menurut
riwayat, bahwa madrasah-madrasah di Mesir pada masa ini berjumlah 45 madrasah dan
jumlah seluruhnya 70 madrasah beserta wilayah-wilayah lain:
PPT
D. Zaman Kemunduran Dinasti Mamluk

Seperti halnya dinasti-dinasti yang lain, dinasti Mamluk juga mengalami pasang surut.
Setelah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, dinasti ini mengalami masa
kemunduran yang pada akhirnya membawa pada masa kehancuran. Faktor-faktor yang
menyebabkan dinasti mi mengalarni kemunduran dan kehancuran di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Internal
a. Perebutan Kekuasaan
Pada masa penierintahan Qalawun, sultan Mamluk ke-8 melakukan perubahan dalam
pemerintahan, yaitu pergantian sultan secara turun menurun dan tidak lagi memberikan
kesempatan kepada pihak meliter untuk memilih sultan sebagai pemimpin mereka. Di
samping itu, Qalawun juga telah mengesampingkan kelompok Mamluk Bahri sehingga
makin lama pejabat dan Mamluk Bahriy semakin berkurang dan digantikan oleh Mamluk
Burjiy. Perpindahan kekuasaan ke tangan Marniuk Burjiy membawa banyak perubahan
gaya pernerintahan dalam dinasti ini.
Sistem baru yang diterapkan Qalawun ternyata telah menimbulkan kericuhan dalam
pemerintahan. Pada masa ini Qalawun mengalami dua kali turun tahta karena perebutan
kekuasaan dengan Kitbuga dan Najim al-Mansur Hisamudin. Pada 1382 M. Barquk al-
Dzahir Saef al-Din dan Mamluk Burjiy berhasil merebut kekuasaan dan tangan as-Salih
Salahuddin, sultan terakhir dan keturunan Qalawun. Sejak saat itulah mulai periode
kekuasaan Mamluk Burjiy.
Meskipun sultan-sultan Mamluk Burji menerapkan kembali sistem pemerintahan secara
oligarki seperti yang diterapkan Mamluk Bahri sebelumnya, kekacauan tetap berlanjut
sehingga situasi mi dimanfaatkan oleh para amir untuk saling berebut kekuasaan dan
memperkuat posisinya di pemerintahan. Di samping itu, sultan yang memerintah dar
tahun 1412 sampai 1421 M adalah seorang pemabuk. Sultan inilah yang melakukan
berbagai perbuatan yang melampaui batas.
Ada pula seorang sultan yang lain yang tidak dapat berbahasa Arab sama sekali. Adapun
sultan yang memerintah pada tahun 1453 adalah orang yang tithk pandai membaca dan
menulis. Bahkan ada di antara sultan Mamluk burji yang bukan saja buta huruf melainkan
juga gila. Seorang sultan lainnya yang dibeli seharga lima puluh dinar, telah mengorek
mata dan dipotong lidahnya karena gagal mengubah logam rongsokan menjadi emas.[23]

b. Kemewahan dan Korupsi


Sejak pemerintahan Qalawun, pola hidup mewah telah menjalar di kalangan penguasa
istana, hahkan di kalangan para amir. Hal mi membuat keuangan negara sernakin merosot
dan untuk mengatasinya, pendapatan dan sektor pajak dinaikkan sehIngga penderitaan
rakyat semakin bertambah. Di samping itu, perdagangan pun semakin sulit, seperti
komoditi utama dan Mesir yang selama mi yang selama mi diperjualhelikan bebas oleh
para petani, diambil alih oleh sultan-sultan dan keuntungannya digunakan untuk berfoya-
foya. Korupsi, baik banyak maupun sedikit tidak hanya dilakukan oleh para sultan,
namun para pejabat rendahan pun melakukan hal yang sama.
Situasi ekonomi kerajaan yang sangat buruk diperparah oleh kebijakan politik para sultan
yang mementingkan din sendiri. Para sultan menaikkan pajak yang tinggi, baik pada
orang-orang muslim maupun non muslim, sebab pajaklah satu-satunya jalan untuk
mendapatkan penghasilan yang banyak guna membiayai kegiatan pemerintahan,
menggaji pegawai-pegawai, melengkapi istana-istana dengan berbagai kemewahan dan
membangun bangunan monumental.[24]
c. Merosotnya Perekonomian
Sikap penguasa Dinasti Mamluk yang memeras pedagang membelenggu kebebesan
petani menyebabkan lunturnya gairah dan semangat kerja mereka. Keadaan ini semakin
memperburuk musim kemarau panjang dan wabah penyakit menjalar di Negeri ini.
Selain itu, sejak Vasco da Gama menemukan Tanjung Harapan di tahun 1498 M, jalur
perdagangan dari Timur jauh ke Eropa yang asalnya melalui Kairo, berpindah ke tempat
itu. Hal ini berdampak besar pada pendapatan devisa Negara yang selanjutnya
melemahkan perekonomian.
2. Faktor Eksternal
Penyebab Iangsung runtuhnya dinasti Mamluk adalah terjadinya peperangan dengan
tentara Turki Utsmani yang terjadi dua kali.[20] Pada tahun 1516 M, terjadilah
peperangan di Aleppo yang berakhir dengan kekalahan total tentara Mamluk. Setelah
menang di Aleppo, tentara Turki (Usmani malanjutkan perjalanannya untuk masuk ke
daerah Mesir yang dalam perjalanan mi terjadi lagi pertempuran yang sengit antara
tentara Turki Utsmani dengan tentara Mamluk.
Pertempuran mi terjadi ketika Mamluk diperintah oleh Tuman Bay II (al-Asyrof) yang
merupakan sultan terakhir dinasti Mamluk. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan
dinasti Mamluk di Mesir yang berlangsung cukup lama dan sebagai akibatnya tampuk
pemerintahan kekhalifahan dipindahkan dan Kairo ke Istambul. Kairo yang sebelumnya
menjadi ibi kota kerajaan, sekarang tidak lebih dan sebuah kota protinsi dan kesultanan
Turki Utsmani.

KESIMPULAN
Dinasti Mamluk adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh para budak yang berasal dan
Turki yang dijadikan tentara oleh Malik as-Shalih Najamuddin Ayyub sebagai pengawal
kerajaan, akan tetapi mereka diberi kebebasan dan kesempatan yang luas untuk mencapai
kedudukan dalam jajaran militer. Mereka akhimya mendirikan suatu kelompok militer
yang terorganisir lalu kemudian merebut kekuasaan, sehingga menjadikan Syajarat al-Dur
sebagai orang pertama yang memegang jabatan sultan pada dinasti Mamluk.
Perwatakan pada sistem pemerintah dinasti Mamluk bersifat oligarki militer, kecuali
dalam waktu yang singkat ketika Qawalun (1280-1290 M) menerapkan pergantian
khalifah secara turun menurun. Padahal sitem Oligarki Militer memberikan kemajuan
bagi Mesir. Kedudukan Amir sangat penting, para Amir saling berkompetesi dalam
prestasi karena mereka merupakan kandidat sultan. Bahkan dinasti Mamluk juga
membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti yang bersifat
oligarki militer dapat memberikan kemajuan-kemajuan di capai dalam berbagai bidang,
seperti konsiladasi pemerintahan, perekonomian, dan Ilmu pengetahuan.
Peran dinasti Mamluk dalam menjaga peradaban di Mesir dibuktikan dengan kemajuan-
kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahannya. Pada masa dinasti Mamluk berkuasa
benyak kemajuan yang dicapai, hal tersebut memberikan sumbangan yang besar bagi
perkembangan dunia Islam. Adapun kemajuan yang dicapai pada saat itu adalah di bidang
militer, politik, ekonomi,pendidikan dan ilmu pengetahuan dan seni arsitektur. Pada masa
itulah banyak sekali ilmuan handal yang lahir dan memberi sumbangan pemikiran yang
begitu besar terhadap peradaban Islam
Kemunduran dinasti Mamluk dikarenakan berbagai faktor antara lain faktor internal yaitu
perebutan kekuasaan, kehidupan yang bermewa-mewahan dikalangan pemimpin, korupsi,
merosotnya sistem ekonomi. Dan faktor eksternal penyebab kemunduran dinasti Mamluk
adalah munsulnya gejolak politik baru yakni Turki usmani kemudian menguatnya Turki
Usmani dalam berbagai bidang sehingga dapat memukul mundur kekuatan dinasti
mamalik sampai menghancurkannya. Sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Mamalik.

Anda mungkin juga menyukai