Anda di halaman 1dari 8

KEKUASAAN ISLAM PERIODE TENGAH

Nama : Risma
Nim : 21801032
A. KERAJAAN MAMLUK MESIR (648 H./1250 M.-922 H./1517 M.)

1. Mamluk Bahri (648-792 H./1250-1389 M.)

Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi
tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak
atau hamba). Ini berbeda dengan 'abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang
juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih,
sedangkan 'abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang
dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa Kesultanan Bani Ayub. Pada Mamluk Dinasti Ayubi'yah
berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran). Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas
suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Mamluk
sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk
yang dibeli dengan harta sendiri atau dari uang baitulmal dari Mamluk para amir yang disingkirkan
atau meninggal dunia".

Dinasti Mamluk didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang
ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya.
Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Kerajaan Mamluk
dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama dinamakan Mamluk
Bahri/Bahriyah (648-792 H./1250-1389 M.), yakni yang berasal dari kawasan Kipchak (Rusia
Selatan), Mongol, dan Kurdi. Golongan kedua dinamakan Mamluk Burji Barjiyah (792-923 H./1389-
1517 M.), yakni Mamluk yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus. Golongan kedua
inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk³). Salah satu hal yang unik dari
sejarah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir adalah adanya ambisi untuk menjadi sultan dari
seorang Mamluk wanita yang bernama Syajar Ad-Durr. Dia adalah isteri Sultan Bani Ayub, Al-Saleh
Najmuddin Ayyub. Syajar Ad-Durr mengambil alih kekuasaan setelah suaminya meninggal dunia
dalam suatu pertempuran melawan pasukan Louis IX di Dimyati, Mesir.

Namun demikian, di antara peristiwa penting pada masa ini (terutama pasca-Qalawun),
sebagaimana tulisan Ahmad Al-Usairy adalah sebagai berikut.

a. pada tahun 667 H./1268 M., Al-Zahir Babiris mampu meluaskan pengaruhnya di Hijaz;

b. antara tahun 660-690 H./1261-1291 M., orang-orang Mamluk meng-gempur kaum Salibis dan
berhasil mengambil kembali beberapa kota di Syam yang masih berada di tangan pihak luar;

c. pada tahun 680 H./1281 M., Manshur Qalawun berhasil menghancur-kan pasukan Tartar dengan
sangat telak; d. pada tahun 702 H./1312 M., An-Nashir Muhammad bin Qalawun berhasil
menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir orang-orang Salibis dari sana;
e. pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan sangat telak pada perang Syaqhat di
dekat Damaskus (ikut dalam perang syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

2. Mamluk Burji (792-923 H./1389-1517 M.)

Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Barquq (784 H./1382
M.-801 H./1399 M.) setelah berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj
bin Asyraf Sya'ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji, baik
dari segi status para sultan yang dimerdekakan ataupun dari segi sistem pemeritahan yang oligarki.
Hal-hal yang membedakan kedua pemerintahan tersebut adalah suksesi pemerintahan Mamluk Bahri
lebih banyak terjadi dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih banyak
terjadi karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem pendidikan bagi para
Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal di luar pusat-pusat latihan bersama
rakyat biasa 18).

3. Peradaban pada Masa Dinasti Mamluk

Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Perancis dan
Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang dirilis oleh Dinasti Fatimiah di Mesir sebelumnya.
Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih
penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa.
Di samping itu, hasil pertanian juga mening- kat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung
oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota baik laut maupun darat.
Ketangguhan angkatan laut Mamluk sangat membantu pengembangan perekonomiannya21). Dalam
bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari
serangan tentara Mongol. Oleh karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti seja- rah,
kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama.

4. Berakhirnya Pemerintahan Mamluk (Burji)

Kehancuran pemerintahan mamluk baik Bahri maupun Burji pada dasarnya berasal dari
internal istana sendiri. Meskipun faktor luar pun memberikan pengaruh terhadap kehancurab mamluk
sebagai faktor eksternal. Secara internal, sebagai temuan Ibn Al-Taghri Birdi yang dikutip K. Hitti,
menjelaskan bahwa:

"Faktor kehancuran Mamluk Burji tampak terlihat dari para sultan atau pegawainya yang berperilaku
buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan tin- dakan
kejam, curang, dan sebagian yang lain tidak efisien atau bahkan bermoral bejat dan kebanyakan dari
mereka tidak ber- adab. Sultan Al-Mu'ayyan (1412-1421), seorang pemabuk yang dibeli oleh Barquq
dari penjual budak Sirkasius, melakukan berba- gai tindakan keji yang melebihi batas."
B. KERAJAAN USTMANI

1. Pendahuluan

Sejarah Islam sekarang telah berjalan lebih dari empat belas abad lamanya. Sebagaimana
halnya sejarah setiap umat, sejarah Islam pun mengalami pasang surut. Pada periode tertentu Islam
mengalami pertum- buhan dan perkembangan, pada periode selanjutnya Islam mengalami ke- majuan
dan kejayaan dan pada periode lain Islam mengalami kemunduran bahkan kehancuran. Satu di antara
beberapa sejarah peradaban Islam yang cukup menarik untuk bahan kajian ilmiah, yaitu masa
pertengahan khususnya pada abad ke-17, karena pada abad tersebut terdapat tiga kerajaan besar, yaitu
Kerajaan Syafawi di Persia, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Utsmani di Turki.

2. Asal-Usul Utsmani

Nama Kerajaan Turki Utsmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang
pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala Kabilah
Kab di Asia Tengah (Hamka, 1987: 205). Turki Utsmani berkuasa sejak abad ke-13 sampai abad ke-
19. Raja pertama Turki Utsmani adalah Utsman dengan gelar Padisya Alu Utsman atau Raja dari
keluarga Utsman (Syafiq A. Mugni, 1996: 53).

Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289 M., kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya,
Utsman. Putra Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Utsmani (Yatim, 1997: 130).
Wilayah kekuasaan Utsman cukup luas yang meliputi Semenanjung Balkan, Asia Kecil, Arab Timur
Tengah, Mesir, dan Afrika Utara (Safiq A. Mugni, 1996: 91). Turki Utsmani berkuasa sekitar 7 abad
dengan 37 sultan.

a. Kondisi politik dan sosial Turki Utsmani pada abad ke-17

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya, Kerajaan Turki Utsmani pada abad ke-17,
banyak mengalami kemunduran. Pada abad ke-17 hingga abad ke-18, terdapat perubahan penting
dalam sejarah Turki Utsmani. Berakhirnya ekspansi Kerajaan Turki Utsmani, lembaga- lembaga
pemerintahan seringkali kehilangan kemampuan militer dan administrasinya, dan kerajaan dalam
posisi tertekan dengan regresi ekono- mi. pemberontakan rakyat, dan beberapa kekalahan militer.
Perseturuan antara pemerintahan pusat dengan elit lokal untuk mengontrol pendapatan pajak dari
rakyat muncul ke permukaan dan kekuasan dialihkan dari peme- rintah pusat kepada kelompok
Janissari, ulama, dan keluarga Utsmani yang telah mapan dalam pemerintahan pusat (Syafiq A.
Mugni, 1996: 91).

b. Kondisi sosial dan perekonomian Turki Utsmani pada abad ke-17

Ketidakstabilan politik Kerajaan Turki Utsmani pada abad ke-17, memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan ekonomi negara. Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian
negara merosot, pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar, termasuk biaya perang
(Yatim, 1997: 168).

Pada abad tersebut, jumlah penduduk Turki semakin banyak, semen- tara pada saat yang
sama, kerajaan menghadapi problem intern sebagai dampak pertumbuhan perdagangan dan ekonomi
internasional, mereka lebih maju jika dibandingkan dengan negara Turki Utsmani (Syafiq A. Mugni,
1996: 104).

c. Kondisi seni budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi Kerajaan Turki Utsmani pada
abad ke-17

Walaupun di bidang politik dan ekonomi banyak kemunduran, namun pada abad ke-17,
Kerajaan Turki Utsmani masih mengalami kemajuan dalam bidang budaya dan seni. Di bidang syair
yang menonjol pada abad ke-17 adalah Nefi' dan Syekh Al-Islam Zekeria Zade Yahyat Efend. Dalam
bidang sastra, prosa Kerajaan Utsmani pada masa tersebut mela- hirkan dua tokoh, yaitu Katip Celebi
dan Evia Celebi. Katip Celebi menga- rang buku Kasf al-Zunun fi Asmaailkutub wal Punun.
Sementara Evia Celebi mengarang buku Seyahatname (Syafiq A. Mugni, 1997: 87-8). Pada abad ke-
17, subur dengan karya populer yang berbentuk puisi dan cerita. Dalam kaitannya dengan masalah
ilmu pengetahuan dan teknologi Kerajaan Turki Utsmani mengalami banyak kemandegan.

C. KERAJAAN SYAFAWI

Kerajaan Syafawi berdiri sejak tahun 1503-1722 M., (Marshal G.S. Hodson, t.th.: 16).
Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.
Tarekat ini diberi nama tarekat syafawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din dan nama
Syafawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus
dilestarikan setelah gerakan ini berhasi mendirikan kerajaan (Yatim, 1997: 138). Sementara itu, di
Persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupa kan suatu kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti
ini berasal dari seorang sufi Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabil di Azerbaijan (Nasution, op. cit.,
1985: 84).

Uraian di atas dapat dipahami bahwa penggagas awal berdirinya Kerajaan Syafawi adalah
Syekh Ishak Safiuddin yang semula hanya sebagai mursyid tarekat dengan tugas dakwah agar umat
Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama. Namun, pada tahun selanjutnya setelah
memperoleh banyak pengikut fanatik akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik dan
awal memperoleh kekuasaan secara konkret pada masa Junaid. Kerajaan Safiuddin beraliran Syi'ah
dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara.
1. Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Syafawi

Keadaan politik pada masa Syafawi mulai bangkit kembali setelah Abbas naik tahta dari
tahun 1587-1629 dan dia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik (Marshal G.S.
Hodson, t.th.: 38). Kondisi memprihatinkan Kerajaan Syafawi bisa diatasi setelah Raja Syafawi
kelima, Abbas I naik tahta, ia memerintah dari tahun 1587-1629 M. (Yatim, 1997: 142). Langkah-
langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan Syafawi adalah :

a. mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat

b. pemindahan ibu kota ke Isfahan (Marshal G.S Hodson, t. th. : 40)

c. berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qiziblash atas Kerajaan Syafawi dengan cara
membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas budak-budak yang berasal dari tawanan perang
bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tamh I ;

d. mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani;

e. berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah Jumat (Yatim,1997: 142).

2. Kondisi Keagamaan

Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah sebelumnya
yang senantiasa memaksakan agar Syi'ah menjadi agama negara, tetapi ia menanamkan sikap
toleransi. Menurut Hamka, terhadap politik keagamaan beliau tanamkan paham toleransi atau lapang
dada yang amat besar. Paham Syi'ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup
bebas mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani diperbolehkan
mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia yang telah
menjadi penduduk setia di kota Isfahan (Hamka, 1981: 70).

3. Kondisi Ekonomi

Stabilitas politik Kerajaan Syafawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan
perekonomian Syafawi, terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah
menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, salah satu jalur dagang laut antara timur dan
barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik
Kerajaan Syafawi (Yatim, 1997: 144).

4. Kondisi Bidang Ilmu Pengetahuan

Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan
berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila
pada masa Kerajaan Syafawi, khususnya ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuan terus ber
kembang.
Berkembangnya ilmu pengetahuan masa Kerajaan Syafawi tidak lepas dari suatu doktrin
mendasar bahwa kaum Syi'ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum Syi'ah
tidak seperti kaum Sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti taqlid saja.
Kaum Syi'ah tetap berpendirian bahwasanya mujtahid tidak terputus selamanya (Hamka, 1987: 70).

D. KESULTANAN DELHI (1192-1525 M.)

Periode ini dipimpin oleh Quthbuddin Aybak setelah hancur Gaznawi (1186 M.) dan
Dinasti Ghuri (1192 M.). Dua dinasti di atas, tampaknya tidak mampu mengembangkan
kekuasaannya. Sementara Aybak lebih pandai karena ia memiliki kemampuan manajemen
politik dan keterampil- an yang sangat hebat. Hingga akhirnya, Aybak secara independen,
mem- bentuk dinasti yang berpusat di Delhi dengan nama Kesultanan Delhi (1206-1526).
Kesultanan yang berisi para budak militer, menandai adanya periode tunggal dalam sejarah
muslim India. Ini terjadi karena adanya ke- sinambungan kepemimpinan pemerintahannya,
baik dalam suksesi kepe- mimpinan atas dasar warisan kepercayaan militer yang cukup
panjang maupun dari segi keberlanjutan kepemimpinan para budak dan panglima yang
tangguh berasal dari Turki dan Afganistan serta Asia Tengah28), se- bagai "penerus" tradisi
Dinasti Mamluk.

E. KERAJAAN MUGHAL (INDIA)

Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya Kerajaan Syafawi. Jadi, di
antara tiga kerajaan besar Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah
kerajaan Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada
masa Khalifah Al-Walid, dari Dinasti Bani Umayah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara
Bani Umayah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qosim (Syed Muhammad Natsir, t.th.: 163).

Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur, salah satu dari .cucu Timur Lenk, (Syed
Muhammad Natsir, t.th.: 262). Kerajaan Mughal mulai berkuasa sejak tahun 1526 sampai tahun 1707,
(Marshal G.S. Hodson, t.th.: 59). Kerajaan ini memiliki sultan-sultan yang besar dan terkenal pada
abad ke-17, yaitu Akbar (1556-1606), Jengahir (1605-1627) dengan permaisurinya Nurjannah, Syah
Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb (1659-1707) (lihat Syed Muhammad Natsir, t.th.: 226, 272, 274,
277). Masing-masing dari ketiga kerajaan ini mempunyai masa kejayaan sendiri baik di bidang
ekonomi, budaya, maupun arsitektur.
1. Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Mughal Abad ke-17

Di masa Akbar kerajaan tidak dijalankan dengan kekerasan, ia banyak menyatu dengan
rakyat, bahkan rakyat dari berbagai agama, kehebatannya dalam menata kekuatan militer, melainkan
juga loyalitas para budak militer yang selalu dibinanya agar terus membantu mereka dalam menjaga
dan mengontrol kewibawaannya di mata rakyat India. Keberhasilan dan kesuksesan sultan-sultan
budak sebagai tradisi Mamluk terdahulu yang diterapkan dalam memerintah wilayah sekitar India,
bukan hanya menghasilkan kontrol politik, melainkan juga sangat mewarnai proses Islamisasi. Salah
satu cara yang dilakukan para penguasa untuk mengenalkan Islam kepada mereka adalah
menerjemahkan teks- teks keislaman dengan jumlah kurang lebih 1.500 buah dari bahasa Arab dan
Persia ke dalam berbagai bahasa lokal India. Dengan cara demikian, pemikiran tentang keislaman
masuk ke dalam masyarakat India, kecuali di pusat-pusat Hindu yang ekstrem seperti di Vijayanagar
sebagaimana temuan Sayyidina Alvi sebagaimana dikutip Ajid dan Ading31).

2. Kondisi Pengetahuan dan Seni Kerajaan Mughal Abad ke-17

Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi Kerajaan Mughal pada abad ke-17, mengalami
kemajuan dalam bidang pengetahuan, seni, dan budaya. Di bidang pengetahuan kebahasaan Akbar
telah menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama,
bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana dan kesusastraan (Hamka,
1987: 152).

Gedung-gedung sejarah yang ditinggalkan periode ini (abad ke-17) adalah Tajmahal di Aqra,
Benteng Merah, Jama Masjid, istana-istana, dan gedung-gedung pemerintahan di Delhi. Sultan-sultan
Mughal juga mendiri- kan makam-makam yang indah. (Nasution, 1985: 86). Berdasarkan uraian di
atas maka ilmu pengetahuan, seni, dan budaya pada masa Kerajaan Mughal cukup pesat, khususnya
pada masa Akbar dan Aurangzeb.

Anda mungkin juga menyukai