Anda di halaman 1dari 17

THE GOLDEN AGE OF OTTOMAN CALIPHATE

Peta sejarah Islam menyatakan


bahwa Turki pernah menjadi pusat
kekuasaan dunia Islam selama selama
kurang lebih enam abad dan sangat
disegani oleh bangsa Eropa. Pada
rentang waktu inilah masa keemasan
Turki mencapai puncaknya, yaitu pada
masa pemerintahan Dinasti Utsmani
Figure 1: Peta Wilayah Kekuasaan Daulah Utsmaniyyah
(Ottoman Empire) yang berkuasa dengan
sistem pemerintahan Khilafah.

Khilafah Utsmaniyah adalah khilafah terbesar dan paling kuat yang ada
dalam sejarah dunia Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Murad III (1547-
1595), Turki Utsmani menguasai seluas sekitar 20 juta km persegi dan
meliputi tiga benua.

Daulah Utsmaniyah mengalami fase-fase pasang maupun surut


sebagaimana kekuasaan politik lainnya. Hanya saja, perjalanan sejarah Daulah
Utsmaniyah memiliki banyak alasan penting untuk dikaji, di antaranya karena
daulah ini dianggap sebagai Khilafah Islamiyah yang terakhir dan terpanjang
umur kekuasaannya.

Daulah Utsmaniyah telah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mulia


yang dipersembahkannya untuk umat ini, seperti menjaga tempat-tempat suci
Islam dari rencana-rencana stratejik kolonialis Portugal, membantu para
penduduk Afrika Utara melawan serangan-serangan Imperium Spanyol, dan
yang lainnya.

Daulah Utsmaniyah juga berhasil membentuk persatuan dunia Islam di


antara pemerintahan-pemerintahan Arab, menjauhkan serbuan penjajahan
dari wilayah-wilayah Syam, Mesir, dan negeri-negeri Islam lainnya, mencegah
penyebaran Syiah ke wilayah-wilayah Islam yang berada di bawah
kekuasaannya, mencegah Yahudi dari menduduki Palestina, serta peranannya
dalam menyebarkan Islam di Eropa.
Namun, penting juga dipelajari sisi-sisi negatif yang melingkupi Khilafah
Utsmaniyah sehingga berpengaruh dalam melemahkan pemerintahan, seperti
pengabaian terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur‟an dan al-
Hadits pada masa-masa akhir kekuasaannya, kurangnya kesadaran terhadap
pemahaman Islam yang benar. Melenceng dari Syariat Allah, dan
terpengaruhnya Utsmaniyah dari propaganda westernisasi dan konspirasi
zionis. Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman,
َ ْ َ َ ْ َ َ َ َّ َ َٰ ْ َ ْ َ َ َّ َ ٍ ‫َو َل ْى َأ َّن َأ ْه َل ْال ُق َز ٰي َآم ُىىا َو َّات َق ْىا َل َف َت ْح َىا َع َل ْيه ْم َب َز َك‬
َّ‫اه ْم ِب َما ك ُاهىا َيك ِس ُبىن‬
َُّ ‫ض َول ِك ْن ك َّذ ُبىا َََذه‬
ِ ‫ات ِمن السم ِاء وْلار‬ ِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah


Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (Surat al-A‟raf: 96)

Pada pembahasan ini, saya hanya akan menjelaskan kronologi singkat


lahirnya kekhilafahan ini, nama-nama khalifah yang pernah memangku
kepemimpinan, dan kejayaan beserta kemuliaan yang pernah dicapai di masa
era keemasannya.

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA KERAJAAN TURKI USMANI


(OTTOMAN EMPIRE)

Sejak jatuh dan berakhirnya era Abbasiyah di Baghdad, keadaan politik


umat Islam mengalami kemajuan kembali di era tiga kerajaan besar yang tiba-
tiba muncul bak mentari pagi. Tiga kerajaan tersebut: Turki Utsmani
(Ottoman) di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia/Iran (Kerajaan
Syi‟ah). Dari ketiganya, Turki Utsmani adalah yang terbesar dan terlama,
yang dikenal dengan sebutan “Imperium Islam”. Dengan wilayahnya yang luas
membentang dari Afrika Utara, Jazirah Arab, Balkan hingga Asia Tengah.
Turki Utsmani menyimpan keberagaman bangsa, budaya dan agama. Turki
Utsmani mampu berkuasa kurang kebih enam abad, tentunya hal ini membawa
kesan tersendiri bahwa kerajaan Turki Utsmani mampu membawa masyarakat
islam dalam kejayaan selama 6 abad.
Bangsa Turki tercatat dalam sejarah atas keberhasilannya mendirikan
dua Dinasti, yaitu Dinasti Turki Saljuk dan Turki Usmani. Kehancuran Dinasti
Turki Saljuk oleh serangan bangsa Mongol merupakan awal dari terbentuknya
Dinasti Turki Usmani. Bangsa ini kemudian mengungsi ke sebuah daerah yang
bernama Anatolia (Asia Kecil).
Negeri Anatolia (Asia Kecil) dahulu sebelum islam merupakan kerajaan
yang berada dibawah kekuasaan Byzantium (romawi timmur). Penaklukan-
penaklukan oleh pasukan islam sampai di sebagian wilayah timur negeri ini,
dari ujung Armenia hingga ke puncak gunung thurus sejak tahun 50 H, pada
masa kekhalifahan muawiyah, muslimin belum mampu menaklukkan
konstanttinopel, walaupun telah dilakukan berulang kali usaha penyerangan.
Setelah perang maladzikr (manzakert) pada tahun 463 H yang
dimenangkan oleh orang-orang saljuk di bawah Panglima Alb Arsalan dengan
kemenangan yang gemilang atas romawi, pengaruh kemenangan ini terus
meluas ke negeri Anatolia. Mereka saat itu telah memiliki pemerintahan yang
terkemuka yaitu pemerintahan romawi saljuk.
Anatolia kemudian jatuh ke tangan Mongolia, setelah merebutnya dari
saljuk romawi . maka terjadilah peperangan antara Mongolia dan muslimin
yang terjadi pada tahun 641 H. setelah kekalahan Mongolia pada perang ain
jalut, tahun 658 H berangkatlah Zhahir Bibrez ke Wilayah Saljuk Romawi dan
Mongolia, menyusul kekalahan besar ini sebagai pelajaran besar buat mereka.
Bersamaan dengan lemahnya Mongolia , pemerintahan utsmaniyah lalu
menguasainya pada masa yang berbeda.
Orang-orang Utsmaniyah bernasab pada kabilah Qobi yang berasal dari
kabilah Ghizz Turkmaniyah yang beragama islam dari negeri
Turkistan.Tatkala terjadi penyerbuan mongolia atas negeri itu, kakek mereka
(sulaiman) berhijrah ke negeri Romawi, lalu ke Syam dan Irak.
Nama Kerajaan Usmani diambil dari nama putra Erthogrul. Ia
mempunyai seorang putra yang bernama Usman yang lahir pada tahun 1258 M.
Nama Usman inilah yang kemudian lahir istilah Kerajaan Turki Usmani atau
Kerajaan Usmani. Pendiri Kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabila Oghus.
Yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina, kemudian
pindah ke Turkistan, lalu ke Persia dan Iraq sekitar abad ke-9 dan 10.
Pada abad ke-13 M, Erthoghul pergi ke Anatolia. Wilayah itu berada di
bawah kekuasaan Sultan Alaudin II (Salajikoh Alaudin Kaiqobad). Di bawah
pimpinan Ertugrul, mereka mengabdikan diri pada Sultan Alauddin II, Sultan
Saljuk yang berperang melawan Bizantium. Atas jasa baiknya, Sultan Alauddin
menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil, yang berbatasan dengan
Bizantium dan memilih Syukud sebagai Ibu kotanya.
Ertugrul meninggal dunia pada tahun 1289 M. kepemimpinannya
dilanjutkan oleh putranya yang bernama Usman (1281-1324), atas persetujuan
Alauddin. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol Menyerang Kerajaan Saljuk, dan
Dinasti ini terpecah-pecah menjadi dinasti-dinasti kecil. Dalam kondisi
kehancuran Saljuk inilah, Usman mengklaim Kemerdekaan secara penuh atas
wilayah yang didudukinya, sekaligus memproklamirkan berdirinya kerajaan
Turki Usmani. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka mengakui
Usman sebagai penguasa tertinggi dengan gelar “Padinsyah Ali Usman”.
Setelah Usman mengakui dirinya sebagai Raja Besar Keluarga Usman
pada tahun 699 H/1300 M, secara bertahap ia memperluas wilayahnya.
Penyerangan awal dilakukan di sekitar daerah perbatasan Bizantium dan
Brussa (Broessa) dijadikan salah satu daerah yang menjadi objek taklukan.
Pada tahun 1317 M. wilayah tersebut dapat dikuasainya dan dijadikan sebagai
ibu kota pada tahun 1326 M.
Di akhir kehidupannya Usman menunjuk Orchan, anak yang lebih muda
dari kedua orang putranya sebagai calon pengganti memimpin kerajaan.
Keputusan tersebut disandarkan pada pertimbangan kemampuan dan bakat
anaknya masing-masing. Orchan sebagai prajurit yang potensial telah
mendapat pengawasan dari ayahnya dan telah menunjukkan kemampuannya
dalam konteks militer pada penaklukkan Brossa. Sementara Alauddin
(kakaknya) lebih potensial dalam bidang agama dan hukum. Meskipun mereka
sama-sama dibina dan dididik oleh ayahnya. Sasaran Orchan setelah
penobatannya menjadi raja ialah penaklukkan kota Yunani seperti Nicea dan
Nicomania. Nicea menyerah pada tahun 1327 dan Nicomania takluk pada
tahun 1338 M.
RAJA-RAJA TURKI USMANI

Dalam masa kurang lebih 6 abad (1294-1924) berkuasa, kerajaan turki


usmani mempunyai raja sebanyak 40 orang yang silih berganti, namun
demikian, dalam tulisan ini akan dibahas beberapa raja yang berpengaruh
saja, diantaranya:

Sultan Ustman bin Urtoghal (699-726 H/ 1294-1326 M)


Pada tahun 699 H Sultan Utsman melakukan perluasan, kekuasaannya
sampai ke Romawi Bizantium setelah ia mengalahkan Alauddin Saljuk. Usman
diberi gelar sebagai Padisyah Al-Usman (Raja besar keluarga usman), gelar
inilah yang dijuliki sebagi Daulah Usmaniyyah. Usman berusaha memperkuat
tentara dan memajukan negrinya. kepada raja-raja kecil dibuat suatu
peraturan untuk memilih salah satu dari tiga hal, yaitu:
1) Masuk Islam
2) Membayar Jizyah; atau
3) Berperang
Penerapan sistem ini membawa hasil yang menggembirakan, yaitu banyak raja-
raja kecil yang tunduk kepada Usman.

Sultan Urkhan bin Utsman (726-761 H/ 1326-1359 M)


Sultan Urkhan adalah putera Utsman I. sebelum Urkhan ditetapkan
menjadi raja, ia telah banyak membantu perjuangan ayahnya. Dia telah
menjadikan Brousse sebagai ibu kota kerajaannya.
Pada masa pemerintahannya, dia berhasil mengalahkan dan menguasai
sejumlah kota di Selat Dardanil. Tentara baru yang dibentuk oleh Urkhan I
diberi nama Inkisyaiah. Pasukan ini dilengkapi dengan persenjataan dan
pakaian seragam. Di zaman inilah pertama kali dipergunakan senjata meriam.

Sultan Murad I bin Urkhan (761-791 H/ 1359-1389 M)


Pengganti Sultan Urkhan adalah Sultan Murad I. selain memantapkan
keamanan di dalam negerinya, sultan juga meneruskan perjuangan dan
menaklukkan beberapa daerah di Benua Eropa. Ia menaklukkan Adrianopel,
yang kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan yang baru serta
membentuk pasukan berkuda (Kaveleri). Perjuangannya terus dilanjutkan
dengan menaklukkan Macedonia, Shopia ibukota Bulgaria, dan seluruh wilayah
bagian utara Yunani.
Karena banyaknya kota-kota yang ditaklukkan oleh Murad I, pada waktu
itu bangsa Eropa mulai cemas. Akhirnya raja-raja Kristen Balkan meminta
bantuan Paus Urban II untuk mengusir kaum muslimin dari daratan Eropa.
Maka terjadilah peperangan antara pasukan Islam dan Kristen Eropa pada
tahun 765 H (1362 M). Peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Murad I,
sehingga Balkan jatuh ke tangan muslimin. Selanjutnya pasukan Murad I
merayap terus menguasai Eropa Timur seperti Somakov, Sopia Monatsir, dan
Saloniki.

Sultan Bayazid I bin Murad ( 791-805 H/ 1389-1403 M)


Bayazid adalah putra Murad I. Ia meneruskan perjuangan ayahnya
dengan memperluas wilayahnya seperti Eiden, Sharukan, dan Mutasya di Asia
Kecil dan Negeri-Negeri bekas kekuasaan Bani saluki. Bayazid sangat besar
pengaruhnya, sehingga mencemaskan Paus. Kemudian Paus Bonifacius
mengadakan penyerangan terhadap pasukan Bayazid, dan peperangan inilah
yang merupakan cikal bakal terjadinya Perang Salib.
Tentara Salib ketika itu terdiri dari berbagai bangsa, namun dapat
dilumpuhkan oleh pasukan Bayazid. Namun pada peperangan berikutnya ketika
melawan Timur Lenk di Ankara, Bayazid dapat ditaklukkan, sehingga
mengalami kekalahan dan ketika itu Bayazid bersama putranya Musa tertawan
dan wafat dalam tahanan Timur Lenk pada tahun 1403 M.
Kekalahan Bayazid di Ankara itu membawa akibat buruk bagi Turki
Usmani, sehingga penguasa-penguasa Saljuk di Asia Kecil satu persatu
melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Hal ini berlangsung sampai
pengganti Bayazid muncul.

Sultan Muhammad I bin Bayazid (816-824 H/ 1403-1421 M)


Kekalahan Bayazid membawa akibat buruk terhadap wilayah-wilayah
Islam yang semula berada di bawah kekuasaan Turki Usmani, sebab satu sama
lain saling melepaskan diri, seperti wilayah Serbia, dan Bulgeria melepaskan
diri dari Turki Usmani. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan
Muhammad I putra Bayazid dapat mengatasinya. Sultan Muhammad I
berusaha keras menyatukan kembali negaranya yang telah bercerai berai itu
kepada keadaan semula.
Berkat usahanya yang tidak mengenal lelah, Sultan Muhammad I dapat
mengangkat citra Turki Usmani sehingga dapat bangkit kembali, yaitu dengan
menyusun pemerintahan, memperkuat tentara dan memperbaiki kehidupan
masyarakat. Akan tetapi saat rakyat sedang mengharapkan kepemimpinannya
yang penuh kebijaksaan itu, pada tahun 824 H (1421 M) Sultan Muhammad I
meninggal.

Sultan Murad II bin Muhammad ( 824-855 H/ 1421-1451 M)


Sepeninggalannya Sultan Muhammad I, pemerintahan diambil alih oleh
Sultan Murad II. Cita-citanya adalah melanjutkan usaha perjuangan
Muhammad I. Perjuangan yang dilaksanakannya adalah untuk menguasai
kembali daerah-daerah yang terlepas dari kerajaan Turki Usmani sebelumnya.
Daerah pertama yang dikuasainya adalah Asia Kecil, Salonika Albania, Falokh,
dan Hongaria.
Setelah bertambahnya beberapa daerah yang dapat dikuasai tentara
Islam, Paus Egenius VI kembali menyerukan Perang Salib. Tentara Sultan
Murad II menderita kekalahan dalam perang salib itu. Akan tetapi dengan
bantuan putranya yang bernama Muhammad, perjuangan Murad II dapat
dilanjutkan kembali yang pada akhirnya Murad II kembali berjaya dan
keadaan menjadi normal kembali sampai akhir kekuasaan diserahkan kepada
putranya bernama Sultan Muhammad Al-Fatih.

Sultan Muhammad Al-Fatih (855-886 H/ 1451-1481 M)


Setelah Sultan Murad II meninggal dunia, pemerintahan kerajaan Turki
Usmani dipimpin oleh putranya Muhammad II atau Muhammad Al-Fatih. Ia
diberi gelar Al-fatih karena dapat menaklukkan Konstantinopel. Muhammad
Al-Fatih berusaha membangkitkan kembali sejarah umat Islam sampai dapat
menaklukkan Konstantinopel sebagai ibukota Bizantium. Konstantinopel adalah
kota yang sangat penting dan belum pernah dikuasai raja-raja Islam
sebelumnya.
Seperti halnya raja-raja Dinasti Turki Usmani sebelumnya, Muhammad
Al-Fatih dianggap sebagi pembuka pintu bagi perubahan dan perkembangan
Islam yang dipimpin Muhammad.
Alasan Sultan Muhammad menaklukkan Konstantinopel, yaitu:
Dorongan iman kepada Allah SWT, dan semangat perjuangan merealisasikan
nubuwwah berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallahu „alaihi wa sallam
bahwa akan ada pasukan, sebaik-baik pasukan yang menaklukan benteng
Konstantinopel, dan untuk menyebarkan ajaran Islam.

Kota Konstantinopel sebagai pusat kemegahan bangsa Romawi.


Negerinya sangat indah dan letaknya strategis untuk dijadikan pusat
kerajaan atau perjuangan. Usaha mula-mula umat Islam untuk menguasai kota
Konstantinopel dengan cara mendirikan benteng besar dipinggir Bosporus
yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid. Benteng Bosporus
ini dikenal dengan nama Rumli Haisar (Benteng Rum).

Benteng yang didirikan umat Islam


pada zaman Muhammad Al-Fatih itu
dijadikan sebagai pusat persediaan perang
untuk menyerang kota Konstantinopel.
Setelah segala sesuatunya dianggap cukup,
dilakukan pengepungan selama 9 bulan.
Akhirnya kota Konstantinopel jatuh ke
tangan umat Islam ( 29 Mei 1453 M) dan
Kaitsar Bizantium tewas bersama tentara
Romawi Timur. Setelah memasuki Konstantinopel disana terdapat sebuah
gereja Aya Sofia (Haghia Sofia) yang kemudian dijadikan mesjid bagi umat
Islam.
Setelah kota Konstantinopel dapat ditaklukkan, akhirnya kota itupun
dijadikan sebagai ibukota kerajaan Turki Usmani dan namanya diganti menjadi
Istanbul. Jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan umat Islam, berturut-
turut pula diikuti oleh penguasaan Negara-negara sekitarnya seperti Serbia,
Athena, Mora, Bosnia, dan Italia. Setelah pemerintahan Sultan Muhammad,
berturut-turut kerajaan Islam dipimpin oleh beberapa Sultan, yaitu:

1. Sultan Bayazid II (1481-1512 M)


2. Sultan Salim I (918-926 H/ 1512-1520 M)
3. Sultan Sulaiman (926-974 H/ 1520-1566 M)
4. Sultan Salim II (974-1171 H/ 1566-1573 M)
5. Sultan Murad III ( 1573-1596 M)

Setelah pemerintahan Sultan Murad III, dilanjutkan oleh 20 orang


Sultan Turki Usmani sampai berdirinya Republik Islam Turki. Akan tetapi
kekuasaan sultan-sultan tersebut tidak sebesar kerajaan-kerajaan sultan-
sultan sebelumnya. Para sultan itu lebih suka bersenang-senang., sehingga
melupakan kepentingan perjuangan umat Islam. Akibatnya, dinasti turki
Usmani dapat diserang oleh tentara Eropa, seperti Inggris, Perancis, dan
Rusia. Sehingga kekuasaan Turki Usmani semakin lemah dan berkurang karena
beberapa negri kekuasaannya memisahkan diri dan dikuasai musuh, di
antaranya adalah:

1. Rumania melepaskan diri dari Turki Usmani pada bulan Maret 1877 M.
2. Inggris diizinkan menduduki Siprus bulan April 1878 M.
3. Bezarabia, Karus, Ardhan, dan Bathum dikuasai Rusia.
4. Katur kemudian menjadi daerah kekuasaan Persia.

THE GOLDEN AGE OF OTTOMAN EMPIRE (‫)عندما كنا عظماء‬

BATTLE OF CHALDIRAN (Pertempuran Chaldiran)

Haru dan rindu, itulah yang kita


rasakan ketika membaca sekilas
sembilan tahun kepemimpinan seorang
Sultan Salim I, cucu penakluk
Konstatinopel Muhammad Al-Fatih yang
menghabiskan waktunya di atas kuda
mengembalikan Negara-Negara Islam
yang direbut Pasukan Salib dan dari pasukan Syiah Safawiyah dikala
kepemimpinan bapaknya Sultan Bayazid sedang lemah.
Keadaan genting ini diperparah oleh kerjasama Daulah Safawiyah yang
berhaluan Syiah yang dipimpin Ismail as Safawi dengan kerajaan Kristen
dan Alfonso de Albuquerque pemimpin pasukan laut Portugal untuk
menghilangkan Daulah Utsmaniyah dari peta dunia setelah jatuhnya Islam di
Andalusia dan rencana jahat mereka untuk menggali makam
Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wassallam.
Tahun 913 H/1507 M Ismail As Safawi menginvasi kerajaan kecil Dzil
Qadariyah yang ada dibawah Turki Utsmani karena ketamakannya dan
dendam karena lamarannya untuk putri Raja Dzil Qadariyah Bozkort Beik
ditolak. Di kota itu Ia menghancurkan kuburan ulama-ulama Sunni dan
membakar sisa tulang belulangnya.
Kemarahan Salim I memuncak ketika mengetahui kejahatan Ismail As
Safawi itu. Ia menyiapkan 100.000 tentara yang langsung ia pimpin sendiri
ditemani anaknya yang masih berusia 12 tahun Sulaiman Al-Qanuni menuju ibu
kota Daulah safawiyah Tabriz, meskipun tanpa restu dari bapaknya Sultan
Bayazid dan penasihat istana.
Penyebabnya kehawatiran Sultan Bayazid akan jarak yang jauh,
matahari yang terik, dan musuh yang penuh tipu muslihat. Namun Sultan
Salim muda tidak bergeming, ia berangkat dengan pasukannya.
Mengetahui Pasukan Turki Utsmani telah bergerak dengan 100.000
tentaranya, Ismail As Safawi –seperti karakter penganut Safawi licik–
membakar pepohonan yang menyediakan bahan makanan yang tumbuh di
sepanjang jalan yang dilalui pasukan Sultan Salim I agar pasukan muslimin
kelelahan dan kelaparan sebelum perang. Mereka lalu melakukan manuver-
manuver lainnya dari berbagai arah mengulur waktu untuk menghabiskan
energi pasukan Islam.
Maka tepat pada tanggal 2 Rajab 920 H/23 Agustus 1514 M. Sekali
lagi ingat baik-baik tanggal dan tahun ini. Inilah peristiwa Perang
Chaldiran (Battle of Chaldiran), peperangan pasukan Muslimin dengan pasukan
Syiah Safawiyah.
Peperangan yang tidak seimbang ini dengan izin Allah dimenangkan oleh
pasukan Sultan Salim I, pasukan Syiah Safawiyah terdesak, tercerai-berai,
dan melarikan diri, termasuk pemimpin mereka Ismail as Safawi, setelah kaki
dan tangannya terluka ia mengganti baju dengan pakaian tentaranya untuk
mengelabui pasukan muslim sehingga selamat dari kematian.
Dengan lantunan takbir, lembah Chaldiran menjadi saksi sujud syukur
Sultan Salim I atas pertolongan Allah Subhanahu Wata‟ala.
Belum basah darah yang menempel di pakaian pasukan Muslimin, mereka
melanjutkan perjalanan ke Kota Tabriz yang merupakan Ibu Kota Daulah
Safawiyah dimana Ismail as Safawi melarikan diri kesana. Begitulah karakter
Sultan Salim I yang tak kenal kata “lelah” dalam kamus hidupnya.
Amanah memimpin kaum Muslimin selama 9 tahun ia habiskan di atas
kuda, menyelamatkan Negara-Negara Islam yang terjajah baik oleh Syiah
atau pasukan Kristen dengan membawa putra mahkota yang masih belia usia
12 tahun yang nantinya mewarisi tahta selama 46 tahun dengan segudang
jasanya untuk umat Islam.
Mengetahui kedatangan pasukan Sultan Salim I, Ismail As Safawi
melarikan diri karena takut kepalanya dipenggal meninggalkan istri- istri dan
anak-anaknya di belakangnya. Bersembunyi di sebuah kota bernama Khoy.
Tepat hari Jum‟at, 8 Tajab tahun 920 H, pasukan Muslimin menguasai
Kota Tabriz. Adzan dilantunkan dan sholat Jum‟at pertama kali dilaksanakan
setelah Syiah menghapus ritual wajib itu dari masyarakat Sunni di sana.
Setelah itu beliau tidak pernah istirahat, selalu ada di atas kudanya
selama sembilan tahun dari satu perang ke perang lainnya untuk menyatuka
kembali negeri- negeri Islam yang tercerai berai dan dari rencana busuk
kaum Safawiyah yang bekerja sama dengan pasukan Kristen Eropa untuk
menggali dan memindahkan makam Rasulullah Shalallahu „Alaihi
Wassallam. Tidak heran jika sejarawan menyebutnya sebagai penyelamat
Daulah Utsmaniyah.
Allah menghendaki lain, ketika tubuh sang pemberani itu dihinggapi
penyakit disebabkan kelelahan karena terlalu banyak melakukan perjalanan,
jihad dan terik matahari. Sudah saatnya ia turun dari kudanya dan mereguk
manisnya balasan dari yang maha kuasa atas perjuangannya.
Maka tepat tanggal 9 Syawal 926 H, penyelamat kubur Rasulullah
Shalallahu „Alahi Wassalam ini menemui Sang Khaliq dengan menghadiahkan
anaknya Sulaiman Al-Qanuni untuk umat Islam yang telah ia didik dalam
perjalanan yang panjang di atas punggung kudanya, tentang betapa pentingnya
Islam dan Muslimin.
Semoga Allah Subhanahu Wata‟ala senantiasa merahmatimu wahai Sultan
Salim I. Semoga kisah ini menjadi teladan bagi kita generasi yang lemah ini.
Amin.*

BATTLE OF MOHACS
Dengan izin Allah, kekuatan tawakkal, dan strategi perang yang brilian,
pasukan Muslim mampu meluluh lantahkan kepongahan Barat tidak lebih dari
satu setengah jam.

21 Dzul Qa‟dah 932 H atau tepat pada 29 Agustus 1526 M. Ingatlah


tanggal dan tahun ini, tanggal yang sangat menyesakan Eropa dan kerajaan-
kerajaan Kristen lainnya, yang membuat mereka trauma sekaligus mewariskan
dendam kepada generasi setelahnya.
Trauma apa gerangan? Trauma dan dendam atas kekalahan mereka
dalam Perang MOHACS. Mohacs adalah sebuah lembah di Hungaria tempat
perang berlangsung.
Perang ini berawal dari dibunuhnya utusan Sultan Turki Utsmani yang
hendak mengambil jizyah dari Raja Hungaria saat itu, Raja Luis II yang
sudah turun-temurun sampai masa Sultan Salim I, karena Raja Luis II merasa
pengganti Sultan Salim I Sulaiman Al-Qanuni adalah anak belia berusia 26
tahun yang tidak mungkin bisa melawan dan tidak sekuat bapaknya. Maka
dibunuhlah utusan atas dukungan dari Vatikan.
Peristiwa ini membuat Sultan Sulaiman marah besar, lalu ia
mempersiapkan pasukan perangnya dan bergegas ke Hungaria dengan pasukan
kurang lebih 100.000 mujahid dengan 350 meriam dan 800 kapal perang.
Dalam perjalanan ke Hungaria, pasukannya mampu menundukan Benteng
Belgrade (Ibu kota Serbia sekarang). Sedangkan Pasukan Eropa bermodalkan
200.000 pasukan berkuda, 35.000 diantaranya lengkap dengan senjata dan
baju besi.
Pasukan Sulaiman Al-Qanuni melewati sungai yang terkenal dan
menunggu di lembah Mohacs selatan Hongaria dan timur Rumania menanti
pasukan Eropa yg terdiri dari Hongaria, Rumania, Kroasia, Buhemia,
Kekaisaran Romawi, Negara Kepausan, Polandia, Italia, Spanyol, Swiss,
Luxemburg, hampir seluruh daratan Eropa kecuali Britania, Portugal,
sebagian Prancis, dan Skandanavia.
Pagi 21 dzul Qa‟dah Sultan Sulaiman mengimami shalat Fajar setelah
malamnya ia habiskan untuk berdo‟a dan munajat . Beliau mengumpulkan para
tentara Islam dan memandanginya dengan bangga. Setelah
mengucapkan salam, tidak terasa air mata mengalir di pipi sultan muda ini,
seraya iya mengatakan:
‫وكَوي بزسىل هللا صلى هللا عليه وسلم يىظز إليكم ْلان‬
(Saya saat ini seperti dalam posisi Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wassallam
menyaksikan kalian semuanya). Ucapan Sultan Sulaiman membuat tentara
Islam pecah dalam tangisan, meraka saling memeluk satu dengan yang lainnya
seraya saling berjanji bertemu kembali di dalam Surga.
Kekuatan tawakal memenuhi dada seluruh mujahid Islam, tidak ada yang
mereka inginkan kecuali hidup mulia atau mati syahid. Dengan izin Allah,
kekauatan tawakkal, dan strategi perang yang brilian, pasukan Muslim mampu
meluluh lantahkan kepongahan barat tidak lebih dari satu setengah jam.
Pasukan berkuda pilihan Sultan Sulaiman di garda paling depan langsung
berhadapan dengan pasukan elit Barat, ketika ada isyarat tertentu pasukan
terdepan itu tiba-tiba mundur semuanya kearah kanan dan kiri pasukan
meriam Sultan yang tidak disadari oleh pasukan Barat, mereka mengejar
seperti angin topan.
100.000 pasukan Barat terjebak oleh strategi Sultan Sulaiman
sehingga mereka tanpa sadar berada di tengah-tengah meriam pasukan
muslimin dan langsung menghujaninya dari setiap penjuru tanpa ampun,
mereka luluh lantah seperti semut di ranting yang dibakar api dari bawah.
Ribuan Tentara Barat yang masih di belakang lari kabur terbirit-birit dan
tenggelam mati di sungai, termasuk Raja Luis II.
Berakhirlah perang dengan tewasnya Raja Hongaria Louis II beserta
para uskup yang tujuh orang mewakili Nasrani dan utusan Paus dan 70 ribu
pasukan. Disamping itu, 25.000 ditawan dalam keadaan terluka.
Muslimin memasuki Budapest, Ibu Kota Hungaria dengan lantunan
takbir bertepatan dengan Iedul Adha setelah mereka lantunkan hal yang
sama di Belgrade Serbia.
Kemenangan Utsmaniyah menyebabkan perpecahan Hongaria untuk
selama beberapa abad di antara Kesultanan Utsmaniyah, Monarki Habsburg
dari Austria dan Kerajaan Transilvania. Kematian Louis II ketika
menyelamatkan diri dari pertempuran menandakan akhir dinasti Jagiellon, dan
dinasti ini kemudian bersatu dengan Habsburg melalui pernikahan dengan
adinda Lajos. (wikipedia)
Barat senantiasa menutupi aib ini selama beberapa dekade, kemudian
memproduksi film-film tentang King Sulaiman dengan segala distorsinya.
Mereka trauma, kecewa dan akhirnya melakukan perbuatan tercela dan nista.
Semoga Sulaiman Al-Qonuni terlahir kembali.*
INDAHNYA DI NAUNGAN KHILAFAH (Bukti toleransi dan kasih sayang
yang tinggi Sang Khalifah)

Jika kita berbicara tentang negara Irlandia apa yang terbersit di benak
anda? Uni Eropa? Negara pesepakbola? Atau negara yang melahirkan boyband
legendaris mereka? Sesuai dengan judul diatas, saya akan membahas tentang
hubungan baik antara Irlandia dan Khilafah Turki Utsmani.
Secara geografis negara Republik Irlandia adalah sebuah negara yang
mencakup lima perenam Pulau Irlandia yang terletak di bagian barat laut
Eropa. Populasi Irlandia berjumlah lebih dari 4 juta jiwa dan termasuk
anggota Uni Eropa. Wilayah Pulau Irlandia yang tidak termasuk republik ini
adalah Irlandia Utara, sebab wilayah tersebut adalah bagian dari Britania
Raya. Di sebelah timur berbatasan dengan Laut Irlandia, sebelah utara
Irlandia Utara, sebelah barat dan selatan Samudra Atlantik. Bisa dibilang
Irlandia adalah negara paling
barat di benua Eropa
(wikipedia.com).
Tapi tahukah anda jika
antara Republik Irlandia dengan
Khilafah memiliki hubungan yang
akan dikenang sepanjang masa
oleh rakyat Irlandia. Ini dimulai
ketika Khalifah Abdul Majid Figure 2: Kapal-kapal Utsmani yang berlayar menuju Irlandia dalam
rangka kemanusiaan
pernah memberikan pertolongan
kepada rakyat Irlandia, saat itu
Irlandia terjadi kelaparan masal pada tahun 1945-1852, sekitar abad ke 19.
Saat itu selama 7 tahun berturut-turut penyakit menyerang tanaman kentang
di negara itu. Padahal, kentang adalah makanan pokok di Irlandia. Menurunnya
hasil panen yang buruk menyebabkan kelaparan massal, penyakit, dan
kematian hampir satu juta orang. Ini adalah peristiwa paling mematikan di
negeri paling barat Eropa ini.
Saat itu di tahun 1845 Sultan Abdul Majid berusia 23 tahun. Pada usia
yang masih terbilang muda, sultan mampu mencari rute terbaik dari Istanbul
mencapai negara Irlandia. Untuk menuju Negara Irlandia Sultan memutuskan
untuk mengambil perjalanan melalui laut. Dari Istanbul melewati laut yunani,
lalu melawati sepanjang laut Mediterania hingga spanyol, dan kemudian
memasuki laut Atlantik. Hingga akhirnya rombongan sang Sultan tiba di
pelabuhan Drogheda Irlandia pada tahun 1845.
Kala itu Sultan bermaksud memberikan bantuan sebesar £ 10.000 (saat
ini kira-kira setara dengan £ 800.000), tapi mengingat ratu Victoria hanya
memberikan bantuan kepada rakyat Irlandia sebesar £ 2.000, maka para
duta besar Inggris mengingatkan Sultan Abdul Majid untuk memberikan
bantuan hanya setengah dari yang diberikan sang ratu. Hal itu dilakukan agar
tidak menyinggung perasaan banyak pihak. Sultan pun menyetujui hal
tersebut. Tapi secara diam-diam beliau mengirimkan lima kapal yang sarat
dengan makanan ke pelabuhan Drogheda pada bulan Mei 1847. Tentu saja ini
disambut dengan baik oleh rakyat Irlandia.
Inilah tanda cinta sang Khilafah Abdul Majid kepada rakyat Irlandia.
Meskipun Irlandia bukan masuk dalam wilayah daulah, bahkan sebagian besar
dari mereka adalah pemeluk
Kristen ortodoks, tetapi bantuan
kemanusiaan sang Khalifah tidak
main-main jumlahnya. Disaat
negara-negara terdekatnya
enggan memberikan bantuan,
Sultan Abdul Majid rela
menempuh perjalanan sepanjang
Figure 3: Piagam ucapan terima kasih pemerintah Irlandia kepada 6000Km, demi menyelamatkan
Turki Utsmani
rakyat Irlandia dari bencana
kelaparan.

Ini membuktikan bahwa Khilafah bukan ancaman bagi manusia, justru


sebaliknya. Sebab Khilafah adalah junnah atau perisai. Tapi tidak hanya kaum
muslimin saja yang akan mendapatkan perlindungan, melainkan ummat non
muslim juga akan dilindungi jika mereka dalam kondisi bahaya. Khalifah juga
tidak akan memaksa kaum non muslim yang pernah ditolongnya, untuk masuk
kedalam agama Islam. Justru sebaliknya. Seperti contoh sejarah di atas.
Rakyat Irlandia tidak pernah dipaksa untuk masuk Islam. Bahkan mereka
dengan senang hati membantu sang Khalifah saat Khilafah Turki Utsmani
Terlibat dalam perang Krimea, yaitu perang melawan Rusia pada tahun 1854.
Tercatat bahwa sekitar 30.000
tentara Irlandia ikut bertugas dalam
perang. Meskipun baru 2 tahun sejak
bencana kelaparan terjadi, mereka
berbalik membantu Turki Utsmani
dengan antusias dalam
mempertahankan wilayah Sultan, yang
sebelumnya telah membantu mereka
pada saat mereka membutuhkan. Figure 4: Drogheda United FC menempatkan simbol Utsmani
berupa bulan dan bintang pada logonya

Wallahu a‟lam Bishowab.

Anda mungkin juga menyukai