Anda di halaman 1dari 4

Dinasti-Dinasti di Dunia Islam Bagian Timur

Baghad
• Abstrak
Artikel ini membahas mengenai Dinasti-Dinasti kecil di Timur
Baghad. Pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, jalannya
pemerintahan di Baghdad tidaklah mulus. Banyak terjadi perang,
kekacauan dan kerusuhan di beberapa daerah. Sehingga hal ini
menjadi salah satu sebab munculnya dinasti-dinasti kecil di Barat
dan Timur Baghdad yang memerdekakan diri dari kekuasaan
Daulah Bani Abbasiyah. Beberapa dinasti-dinasti tersebut adalah
Dinasti Idrisi di Maroko, Dinasti Aghlabi, Dinasti Thulun di
Mesir, Dinasti Tahiri, Dinasti Safari, Dinasti Samani dan Dinasti
Ghuznawi. Selain itu, ada beberapa dinasti yang berpengaruh
dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah diantaranya Dinasti
Buwaihi dan Dinasti Saljuk. Dinasti Buawaihi sempat mengambil
alih kekuasaan pemerintahan selama kurang lebih 130 tahun.
Sedangkan Dinasti Saljuk juga berkuasa setelah era Buwaihi yaitu
selama kurang lebih 200 tahun. Runtuhnya Dinasti Saljuk
sekaligus menjadi akhiri dari masa Daulah Bani Abbasiyah.
Kata kunci: Dinasti-dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad,
Buwaihi, Saljuk, Ghuznawi, Abbasiyah.

• Pendahuluan
Masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah (Bani Abas) adalah
merupakan simbol kemajuan peradaban Islam dan kemajuan
perkembangan Ilmu Pengetahuan dunia Islam. Kekhalifahan
Dinasti Abbasiyah ini berlangsung cukup lama yakni tahun
750-1258 M, Dinasti ini disamping mengalami kemunduran
dan bahkan kehancuran. Masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu:
Periode Pertama (750-950 M)
Periode Disententegrasi (950-1050 M)
Periode Kemunduran dan Kehancuran (1050-1258 M)
• Hasil dan Pembahasan
DINASTI - DINASTI KECIL DI TIMUR
BAGHAD
Menurut para pakar Sejarah Islam, Daulat Abbasiyah telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini
ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian dan filsafat. Sekalipun demikian
menurut Philips K. Hatti dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negrinya, karena setelah Khalifah
Harun Ar-Rasyid daerah kekuasaan ini mulai goyah baik daerah timur dan barat Baghdad. Hal ini bisa di lihat
dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad. Di
barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H /788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800
M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M). Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti
Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-911 M), Dinasti Samani (261 H-
395 H / 874 M-1004 M).
Faktor yang mendorong berdirinya dinasti kecil ini yaitu adanya persaingan jabatan Khalifah di antara keluarga
raja dan munculnya sikap Abbasiyah antara keturunan Arab dan Non Arab, tepatnya Arab dan Persia. Pendapat
lainnya bahwa kemungkinan munculnya dinasti kecil ini pada abad ke III Hijrah, disebabkan banyaknya
kegoncangan politik, yang timbul dalam dunia Islam yang dimanfaatkan oleh keluarga yang sudah mempunyai
kekuasaan di daerah Baghdad..
Dinasti-Dinasti di Timur Baghdad
1.) Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M)
Dinasti yang pertama mendirikan sebuah negara semi indepeden di sebelah timur Baghdad adalah orang yang
pernah dipercaya oleh Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral, yakni Thahir bin Al-Husayn dari
Khurassan, ia berhasil memimpin balatentaranya untuk melawan Al-Amin. Thahir adalah keturunan budak
Persia, pada tahun 820 M diangkat oleh Al-Mamun sebagai gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur
Baghdad dengan pusat kekuasaannya di Khurassan. Dinasti ini mempertahankan hubungan baik dan setia
kepada pemerintahan Baghdad, secara formal para penerus Thohir juga adalah pengikut khalifah Abbasiyah,
mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga perbatasan India.
Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur, para ahli sejarah mengakui bahwa dinasti ini telah
menyumbang dalam kemajuan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam dan disitu mereka
berkuasa sampai tahun 872 H, sebelum akhirnya digantikan oleh Dinasti Saffarriyah
2.) Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-911 M)
Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia, didirikan
oleh Yakub bin al Laits al Shaffar. Al Saffar menjadikan pengrajin tembaga sebagai pekerjaannya dan
merampok sebagai kegemarannya. Perilakunya yang sopan dan efesien sebagai seorang kepala gerombolan
perampok telah menarik perhatian gubernur Sijistan, yang kelak memberinya kepercayaan untuk memimpin
balatentaranya. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur itu dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan
hampir ke seluruh Persia dan kawasan pinggiran India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di
bawah pimpinan Khalifah al-Mu’tamid.
Setelah Ya’qub memproklamirkan dirinya menjadi penguasa baru dan dilanjutkan dengan ekspansi ke wilayah-
wilayah di sekitarnya, kemudian pada dua tahun berikutnya, ia mempersiapkan kekuatan baru, sambil
menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di sana sini sebagai reaksi
atas pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 256 H terjadilah puncak kemelut di ibukota Samarra. Demikian
pula khalifah penggantinya pun, khalifah al-Muhtadi, dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga wibawa
pemerintah tampak berkurang.
Dengan meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di tangan Amr, ia menerima kekuasaan
atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan
ketaatannya. Ia pun akhirnya diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap berusaha
memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang saat itu secara formal berada di bawah
penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi sesungguhnya yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini
lebih kuat dari pada Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu Ahmad dari Bani
Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap. Akhirnya semua hasil penaklukan terlepas kembali, dan
hanya Sijistan yang masih berada dalam kekuasaannya.
Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya kurang mendapatkan perhatian oleh para
sejarawan.Ketiga penerus itu adalah Thahir ibnu Muhammad (900-909 M), al-His ibnu Ali (909-910 M), dan al-
Mua’addil ibnu Ali (910-911 M). Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan dalam
pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa
terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di
Sijistan.[8]
3.)Dinasti Samani (261 H-395 H / 874 M-1004 M)
Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi
gubernur di daerah Samarkand. Yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. Keluarga
Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang keturunan Saman, yaitu seorang bangsawan dari
Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr bin Ahmad, cucu dari Saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan
dinasti ini adalah saudara Nashr, yaitu Ismail yang pada tahun 900 H, berhasil merebut Khurassan dari
genggaman dinasti Saffarriyah. Ketika berada dibawah kepemimpinan Nashr II (Ibn Ahmad yang berada di
garis keturunan ke 4 Sammaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para gubernur muslim dibawah
kekuasaan Dinasti Tahirriyah, berhasil memperluas kerajaan hingga Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi, dan
Tabaristan.[9]
Berdirinya dinasti Samaniyah ini di dorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin memerdekakan
diri terlepas dari baghdad. Dimata Baghdad, Samaniyah adalah para amlr (gubernur) atau bahkan amil, tetapi di
mata rakyat, kekuasaan mereka tak terbantahkan. Pada masa ini pula, ilmuanwan muslim yang termansyur, Al-
Razi mempersembahkan karya utamanya dalam dunia kedokteran, berjudul al-Mansyur. Pada masa ini pula,
pada periode Nuh II yang mengajukan pengembangan ilmu pengetahuan, Ibnu Sina muda tinggal di Bukhara
dan memperoleh mengakses buku-buku. Disanalah ia memperoleh imu-ilmu yang tak ada habisnya.
Sejak masa media ekspresi sastera, dan berkat para penulis itulah sastra muslim Persia yang cenderung mulai
berkembang, bahkan Ibnu sina pernah menjabat sebagai mentri. Kendati merupakan dinasti yang paling cerah,
Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan.
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail. Kemajuan yang dicapai pada
masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas
wilayahnya hingga Tabaristan, Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri terjamin.[10]
Pada masa Nuh ibnu Nashr al-Samani, ia memiliki perpustakaan yang tidak ada bandingannya. Di dalamnya
terdapat kitab-kitab masyhur dari berbagai disiplin ilmu, yang tidak terdapat di tempat lainnya. Mereka juga
membantu menghidupkan kembali bahasa Persia.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti yang digariskan oleh khalifah al-
Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat
memuncak di tangan daulat Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu itu.
Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, al-Firdausi, dan lain-lain.
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibnu Ismail, anak dari Ismail. Belum lama
memerintah lalu ia terbunuh, dan digantikan oleh putranya Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para
tokoh Samani merasa khawatir, sementara itu masih ada paman bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad, penguasa
Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania. Lalu tokoh Samani menyampaikan permohonan
kepada khalifah al-Muktadir, agar didatangkan pemerintahan dari Khurasan, tetapi khalifah bersikeras
menolaknya.
Pada pertengahan abad kesepuluh, terlihat Dinasti Samaniyyah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan.
Serangkaian revolusi istana memperlihatkan bahwa kelas militer dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan
sentralisasi administratif para amir, dan berupaya memegang kendali, pemberontakan-pemberontakan di
Khurasan melepaskan provinsi itu dari otoritas langsung Bukhara. Maka tidaklah sulit bagi Qarakhaniyyah dan
Ghazwaniyah untuk mengambil alih wilayah-wilayah Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini. Dan pada
tahun 1005 M Ismail al-Muntasir terbunuh dalam pelariannya

• Penutup
Pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah terdapat 3 dinasti kecil
yang berada di sebelah Timur Baghad, yakni: Dinasti
Thahiriyah(820 M â□□ 872 M) Dinasti Shaffariyah (867 M â□□
1495 M) Dinasti Samaniyyah (819 M â□□ 1005 M) Pelepasan
wilayah kekuasaan dinasti-dinasti kecil di barat dan timur Baghad
dari Dinasti Abbasiyah disebabkan beberapa faktor ; Pertama,
Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih
menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan
mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberi peluang
terhadap wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk
memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah. Kedua, Karena
dinasti Abbasiyah tidak diakui di Spanyol dan seluruh Afrika
Utara, kecuali Mesir, sehingga membuat daerah-daerah yang jauh
mendirikan dinastidinasti kecil. Ketiga, Adanya pemberian hak
otonom sehingga tidak terkontrol karena berjauhan dari
pemerintahan pusat, dan terlalu luasnya kekuasaan Abbasiyah.

• Referensi
Garuda.ristekbrin.go.id
Www.slideshare.net
Staiba.ac.id
Alkamalblitar.com
Journal.uin-
alauddin.ac.id
Kajianumum313.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai