Anda di halaman 1dari 5

Dinasti-dinasti si Afrika Utara

Krisis politik yang terjadi pada pertengahan abad ke-8 M, berupa pergantian kekuasaan dari Bani
Umayyah kepada Bani Abbas, menyusul dialihkannya pusat kekuasaan kekhalifahan Islam dari
Damaskus di Syiria ke Baghdad di Persia, tampaknya menjadi salah satu pemicu munculnya
pemerintahan-pemerintahan baru di daerah yang terlepas dari kekuasaan pusat. Pengalihan pusat
pemerintahan itu paling tidak membawa akibat yang cukup penting bagi hubungan antara pusat dan
daerah, di mana beberapa propinsi yang ada di bagian barat mulai melepaskan diri dari pengaruh
kekuasaan pusat, meskipun di satu sisi ada yang tetap mengakui 21 kepemimpinan Bani Abbas.
Menurut catatan sejarah, sampai akhir abad ke-8 M hampir seluruh daerah Afrika Utara terlepas dari
kekuasaan Bani Abbas, kecuali Tunisia. Tetapi Tunisia sendiri akhirnya terlepas juga ketika dinasti
Aghlabiyah berdiri di daerah itu pada tahun 800 M.

Pada tahun 757 M, beberapa suku Barbar dari Jabal Nefusa, yang menganut paham Kharijiyah sekte
Ibadiyah, berhasil menduduki Tripoli dan tahun berikutnya Qairawan. Setelah beberapa saat berada
di Qairawan, sekelompok orang Ibadiyah di bawah pimpinan Abdurrahman ibn Rustam pergi ke
Aljazair barat dan kemudian mendirikan basis Kharijiyah di Tahert (Tiaret) pada tahun 761. Dari sini
berdirilah dinasti Rustamiyah y bertahan hingga tahun 909 M ketika Tahart, sebagai ibukotanya, jatuh
ke tangan Fathimiyah.

Pada saat yang hampir bersamaan, di Maroko berdiri dinasti Idrisiyah yang beribukota di Fas (Fez).
Dinasti ini didirikan oleh Idris ibn 'Abdullah, salah satu dari keturunan Ali ibn Thalib yang bermadzhab
Syi'ah. Menurut Syalabi, Idrisiyah merupakan dinasti pertama yang terpisah dari kehalifahan Islam.
Kekuasaannya dapat bertahan dari tahun 788 M hing tahun 974 M, atau kurang lebih 214 tahun. Masa
kekuasaannya yang cukup panjang tersebut paling tidak karena didukung oleh dua faktor Pertama,
pemerintahannya mendapat dukungan penuh dari orang-orang Barbar yang terkenal kuat dan gagah
perkasa. Kedua, pusat pemerin tahannya terletak jauh dari kota Baghdad, ibukota Daulah Bani Abbas,
sehingga khalifah Bani Abbas ragu-ragu untuk mengirim pasukan guna memeranginya. Di samping itu,
menurut perhitungan khalifah Bani Abbas, jika tentaranya menyerang pemerintahan Idrisiyah dan
mengalami kekalahan, maka Idris akan berani pula untuk menyerang pemerintahan Abbasiyah di
Mesir dan Syam. Oleh karena itu demi keamanan negara dan kelangsungan kekuasaan, daulah Bani
Abbas memutuskan untuk tidak menyerang dinasti yang sesungguhnya kecil itu.

Ketika pemerintahan Daulah Bani Abbas berada di tangan Harun al-Rasyid, perlawanan terhadap
Dinasti Idrisiyah mulai dilakukan. Per- lawanan tidak dilakukan secara terang-terangan, tetapi dengan
meng- gunakan taktik dengan mengirim seorang yang cerdik, bernama Sulaiman ibn Jarir, untuk
menyamar sebagai penentang Bani Abbas dan meminta perlindungan kepada Idris. Taktik Harun
berjalan mulus dengan terbunuh- nya Idris, tetapi hal ini belum sampai menyebabkan runtuhnya
kerajaan Idrisiyah. Sebab kaum Barbar sebelumnya telah sepakat mengikrarkan kerajaan mereka
sebagai kerajaan yang bebas merdeka. Sebagai pengganti Idris adalah anak hasil perkawinannya
dengan seorang budak, yang oleh orang-orang Barbar diberi nama Idris juga. Mereka mengikrarkan
kesetiaan dan ketaatan penuh kepada penguasa baru itu, sebagaimana hal itu pernah mereka lakukan
terhadap bapaknya.

Untuk mengantisipasi serangan dinasti Idrisiyah terhadap Mesir dan negeri Syam, khalifah Harun al-
Rasyid kemudian menyerahkan kawasan Tunisia kepada Ibrahim ibn Aghlab. Tetapi ternyata Ibrahim
ibn Aghlab melangkah jauh melampaui apa yang dikehendaki oleh khalifah. Pada tahun 800 M,
Ibrahim ibn Aghlab mendeklarasikan berdirinya dinasti Aghlabiyah di kawasan tersebut, yang bersifat
independen. Bahkan dia juga berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya sampai di pulau Sisilia, Salah
satu pe- ninggalan dinasti yang mampu bertahan sampai tahun 909 M ini adalah masjid Qairawan di
Tunis, yang bisa dilihat sampai sekarang. Pada tahun 909 M Ziyadatullah III, penguasa Aghlabiyah
terakhir, diusir dari Tunisia 28 ke wilayah Mesir oleh Sa'id ibn Husain al-Salamiyah, pemimpin gerakan
Syiah Isma'iliyah, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Aghlabiyah di Afrika Utara.

Penguasa baru Afrika Utara muncul kembali setelah pengusiran pe- nguasa terakhir Aghlabiyah itu,
yaitu Bani Fathimiyah. Nama ini diberikan karena mereka mengklaim sebagai keturunan garis lurus
dari pasangan Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah al-Zahrah binti Muhammad saw. Ubaidillah al-Mahdi,
pendiri dinasti Fathimiyah, adalah cucu dari Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq, imam Syi'ah yang ketujuh.
Namun bukti historis mengenai kaitan genial antara kedua tokoh tersebut masih tetap dipersoalkan
hingga saat ini. Hampir setiap sejarawan selalu mengakhiri pembahasan masalah tersebut dengan
kesan bahwa secara ilmiah terbukti absah.30 Kesulitan untuk melacak asal-usul tokoh ini dikarenakan
oleh model per- gerakan Syi'ah yang under ground (bawah tanah). Karakter rahasia yang begitu kental
dalam model gerakan Syi'ah tersebut menjadi halangan serius untuk mendapatkan bukti-bukti historis
yang dapat menjelaskan bagaimana proses gerakan itu berlangsung. Hal yang sama juga terjadi
berkenaan dengan pembentukan dinasti Fathimiyah ini.

Pada tahun 874 M, Abdullah ibn Maimun menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yaitu Abu
Abdullah al-Husain sebagai pimpinan gerakan Syi'ah Isma'iliyah. Kemudian dia menyeberang ke Afrika
Utar Berkat propagandanya yang bersemangat, dia berhasil menarik suku Barbar, khususnya dari
kalangan suku Kithamah menjadi pengikut setia geraka ablul bait ini.

Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husain menobatkan Sa'id
ibn Husain al-Salamiyah sebagai penggantinya. Sa'id menyanggupinya, dan melalui seorang
utusannya, Abu Abdullah al-Syi'i, berhasil merebut kekuatan dan mengusir Ziyadatullah III, penguasa
dinasti Aghlabiyah yang terakhir, dari Sijilmasa yang disusul dengan pendudukan daerah itu pada
tahun 909 M. Dari sinilah kemudian Bani Fathimiyah menjadi penguasa baru Afrika Utara dipimpin
oleh Said ibn Husain al-Salamiyah yang bergelar "Ubaidullah al-Mahdi". Masa pemerintahan Bani
Fathimiyah di kawasan Sijilmasa (Afrika Utara) hanya berlangsung sampai tahun 973 M. Kemudian
mereka pindah ke Mesir setelah berhasil menduduki dan membangun kota Fusthat menjadi kota baru
dengan nama al-Qahirah (Kairo), yang selanjutnya dijadikan ibukota pemerintahan. Peristiwa ini
terjadi pada masa pemerintahan Abu Tami Ma'ad ibn al-Mansur yang bergelar "al-Mu'iz li Dinillah".

Ketika pindah ke Mesir, Bani Fathimiyah tidak bermaksud untuk per- meninggalkan Afrika Utara
menuju kehancurannya begitu saja, tetapi me reka mempercayakan administrasi pemerintahan
daerah itu kepada Sanhaja Zirids yang telah mengabdi kepada mereka secara penuh. Pada
kembangannya, kekuasaan suku ini berubah menjadi sebuah dinasti yang diberi nama Ziridiyah, yang
pertama kali dipimpin oleh Buluggin ibn Zirid. Wilayah kekuasaannya meliputi Tripolitania, Tunisia dan
bagian timur Algeria. Dinasti yang ibukotanya di Ashir ini bertahan sampai tahun 1148 M. Pada masa
pemerintahan Nashirud Daulah Badis, kekuasaan Ziridiyah terpecah menjadi dua, yaitu Ziridiyah
sendiri yang beribukota di Ashir dipimpin oleh Nashirud Daulah Badis, dan Hammadiyah yang
beribukota di Qalat (Algeria) didirikan oleh Hammad ibn Buluggin. Dengan demikian, setelah selang
waktu 60 tahun, Afrika Utara sekali lagi berada di bawah kontrol politik orang-orang Barbar. Meski
demikian per- daban Islam tetap bertahan di sana, bahkan di bawah kekuasaan Ziridiyah bahasa Arab
dan budaya Islam berkembang secara pesat.

Seiring dengan berakhirnya kekuasaan Bani Ziridiyah (tahun 1148 M dan Hammadiyah (tahun 1152
M), kemudian muncul penguasa baru yaitu al-Murabithûn. Al-Murabithun pada mulanya adalah
sebuah gerakan keagamaan, yang muncul pada awal pertengahan abad ke-5 Hijriyah, dipimpin oleh
seorang tokoh agama dari Qairawan bernama Abdullah ibn Nama al-Murabithun diambil dari nama
tempat belajar yang dibangunnya di negeri Niger (Senegal) sebelah barat suku Lamtunah yang disebut
ribath. Mereka juga disebut dengan al-Mulaththimún, karena tradisi mereka memakai litham
(semacam tudung atau cadar) di bagian muka mereka untuk melindungi diri dari terik matahari dan
cuaca dingin.

Setelah berhasil memasukkan pengaruhnya di antara suku-suku Sanhaja, Abdullah ibn Yasin tidak
hanya mengajarkan agama Islam dan membimbing peribadatan mereka saja, tetapi juga menghimpun
dan melatih mereka menjadi satu kekuatan untuk melakukan jihad melawan orang-orang kafir.
Setelah itu suku-suku Judalah, Missufah, Lamtunah, Mahmunah, Tikalatah dan daerah-daerah
sekitarnya berhasil dikuasai. Pada giliran berikutnya, al-Murabithun mulai mengarahkan
pergerakannya dari keagamaan semata-mata menjadi pergerakan politik dan kemiliteran. Urusan
politik dan administrasi keuangan dipegang langsung oleh Abdullah ibn Yasin, sedangkan urusan
kemiliteran dipercayakan kepada Yahya ibn Umar, salah seorang murid setianya dari suku Lamtunah.

Di tangan Yahya ibn Umar, al-Murabithun berhasil meluaskan wila yah kekuasaannya sampai ke Wadi
Dar'ia dan Sijilmasat pada tahun 447 H/1055 M. Setelah Yahya meninggal pada tahun 448 H/1056 M,
kepemimpinan al-Murabithun dipegang oleh saudaranya, Abu Bakar ibn Umar, dan sebagai
pendampingnya adalah putra pamannya, yaitu Yusuf ibn Tasyfin. Sebelum meninggal pada tahun 480
H/1088 M, Abu Bakar ibn Umar menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada Yusuf ibn Tasyfin,
dan membaiatnya di hadapan para pembesar suku Lamtunah dan seluruh anggota al-Murabithun,
serta para pejabat dan tokoh-tokoh lainnya, sebagaimana tradisi al-Murabithun setiap mengangkat
pemimpin baru. Sejak saat itulah, atas dasar semangat keagamaan para pendahulunya, al. Murabithun
berdiri sebagai dinasti, dengan Yusuf ibn Tasyfin sebagai raja pertamanya dan Marrakesh sebagai
ibukotanya. 2 Kekuasaannya dapat bertahan sampai tahun 541 H/1147 M, setelah Marrakesh direbut
oleh kerajaan Islam Barbar yang menjadi rivalnya, yaitu dinasti al-Muwahhidûn.

Dinasti al-Muwahhidûn berdiri pada awal abad ke-12 M di atas puing-puing kekuasaan dinasti Bani
Umayah di Spanyol di satu di ujung kekuasaan al-Murabithun di sisi yang lain. Sebagaimana dinasti al-
Murabithun, dinasti ini bermula sebagai gerakan keagamaan, atau setidak-tidaknya menjadikan
agama sebagai dasar gerakan tersebut," Pelopor sekaligus pendirinya adalah Muhammad ibn Tumart,"
yang lahir di Atlas sekitar tahun 1082 M. Dia adalah seorang pengelana yang haus ilmu pengetahuan.
Masa remajanya dihabiskan untuk belajar dari sa tempat ke tempat lain, mulai dari Cordova,
Alexandria, Mekkah, dan akhirnya di Baghdad. Dalam perjalanannya menuntut ilmu itulah dis
mengenal al-Ghazali (w. 1111 M), sehingga pemikiran dan pandangan- pandangannya tidak jauh
berbeda dengan tokoh filsafat dan teologi Sunni di lembaga Nidhamiyah di Baghdad itu.

Setelah kembali dari perantauannya ke Maroko, Ibn Tumart mulai mengadakan propaganda
pembaharuan terhadap tradisi dogmatis Islam di masyarakat dengan landasan tauhid yang murni dan
tegas, dan memberi 46 sebutan untuk para pengikutnya dengan al-Muwahhidûn. Menyusul
keberhasilannya dalam propagandanya itu, pada tahun 1117 M gerakan keagamaan yang dipimpinnya
berubah menjadi gerakan politik, dan para pengikutnya menyebut Ibn Tumart sebagai Imam Mahdi.
Gerakan ini semakin sukses karena dia dibantu oleh Abdul Mu'min, orang yang ahli dalam hal strategi
dan militer, dan nantinya menjadi panglima pasukan bahkan pangganti dan penerusnya yang sukses.
Dalam waktu yang tidak lama banyak suku Barbar telah bergabung dengannya. Di kota Tin Malal ia
mendirikan masjid sebagai pusat pengajaran dan propagandanya, dan kota ini pula pada tahun 1121
M dijadikannya sebagai ibukota pertama al-Muwahhidûn.

Seperti telah disinggung, setelah Ibn Tumart meninggal dunia, keduduk-annya oleh Abdul Mu'min,
yang kemudian meng- gunakan gelar khalifah bagi dirinya. Penggantian ini dinilai para sejarawan
sebagai pilihan yang tepat. Sebab di samping berhasil menaklukkan dinasti al-Murabithûn dan
menguasai ibukotanya, Marrakesh pada tahun 1145 M. Abdul Mu'min juga berhasil menguasai
kerajaan Hammadiyah di Bejaya. Ziridiyah di Ifriqiyah, mengusir orang-orang Kristen dari pelabuhan-
pelabuhan yang dikuasai, dan berhasil membuat dirinya sebagai penguasa seluruh negeri di antara
Teluk Sidra dan samudra Atlantik." Pada gilirannya terbentuklah dinasti al-Muwahhidûn yang kuat
dengan ibukota di Sevilla. Di bawah kepemimpinan Abdul Mu'min, dinasti Barbar muslim ini mencapai
prestasi paling gemilang di antara dinasti-dinasti atau kerajaan manapun di Afrika Utara. Karena jasa-
jasanya itulah se-hingga di antara 49 para sejarawan ada yang mengatakan bahwa Abdul Mu'minlah
pendiri dinasti al-Muwahhidûn yang sesungguhnya. Akhir dari masa kekuasaan al-Muwahhidûn
ditandai dengan munculnya Yaghamrasan ibn Zayyan di Tlemcen (Tilimsan), yang pada tahun 1236 M
mendirikan dinasti Abdul Wadiyah yang independen. Pada tahun berikutnya Abu Zakaria Yahya,
gubernur Ifriqiyah, menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan dinasti Hafsyiyyah. Akhirnya
ibukota al-Muwahhidûn jatuh ke tangan Mariniyah pada tahun 1269, dan dengan demikian
berakhirlah kekuasaan dinasti al- Muwahhidûn.

Setelah runtuhnya dinasti al-Muwahhidûn, dinasti Bani Mariniyah menjadikan Maroko sebagai
kerajaan merdeka turun temurun dengan bentuk seperti dalam peradaban Andalusia yang dibawa
oleh kaum Muhajirin dari Spanyol." Pemerintahan Bani Mariniyah, yang barasal- usul Barbar, tegak
hingga tahun 1554 M. Pada masa mereka, Islam menjadi terkonsentrasi di Maroko berkat usaha para
pengikut persaudaraan tarekat Islam.

Selama kekuasaan Barbar di bawah pemerintahan Bani Mariniyah di Maroko dan Bani Abdul Wadiyah
di Tlemcen, wilayah Maghribi sesungguhnya menyaksikan peradaban yang berkembang. Tetapi para
penguasa tidak mampu menghentikan serangan tentara Portugal dan Spanyol. Maka berkuasalah
Portugal atas kota Ceuta (di Maroko) sejak tahun 1415 M, kemudian di Tangiers tahun 1471 M.

Sejak abad ke-14 hingga abad ke-16 M, daerah Maghribi mengalami kemerosotan yang tajam.
Peperangan melawan serbuan Spanyol tetap berlangsung, sementara pertikaian internal banyak
terjadi di kalangan sultan-sultan dan emir-emir. Misalnya, pertikaian antara Bani Hafshiyah, yang
menjadi penjaga warisan al-Muwahhidûn yang terus berkuasa di Tunis dengan Bani Mariniyah yang
berkuasa di Maroko. Direbutnya Tunisia oleh Charlemagne pada tahun 1536 M menjadi titik tolak
proteksi Spanyol secara terbatas. Pada tahun 1573 M proteksi tersebut terulang kembali dalam waktu
yang sangat singkat oleh Sang Don Juan dari Austria. Pada tahun 1574 M datang serangan Turki
Utsmani untuk merebut Tunis dan kota Ghulat. Dengan demikian berakhirlah dinasti Hafsyiyah di
Tunisia, dan daerah itu, seperti halnya Aljazair, menjadi wilayah Turki Utsmani.

Situasi politik yang tidak menguntungkan kaum muslim ini membawa kepada berkuasanya para Syarif
(orang-orang yang masih keturunan Nabi Saw.) yang berhasil mndirikan Dinasti Syarifiyah. Para Syarif
dari Bani Sa'id memerintah Maroko pada masa-masa akhir abad ke-16 hingga akhir abad ke-17 M
(1660 M). Mereka dibantu oleh kelompok-kelompok tarekat yang berakidah Sunni, yang mempelopori
terjadinya kebangkitan nasional tetapi tidak memiliki kekuasaan politik. Pemimpin mereka pertama
bernama Muhammad al-Qa'im ibn Amrillah (1509-1517 M). Kekuasaan mereka mulai goyah ketika
Spanyol menduduki negeri Latas, kemudian Andalusia memerdekakan diri di Rabat dan Shalah, serta
pembangkangan dan perlawanan dari sebagaian pemimpin tarekat dan orang-orang Barbar di Fez.

Salah satu kelompok tarekat yang kemudian bergerak di kancah politik adalah Sanusiyah yang
didirikan oleh Muhammad ibn Ali al-Sanusi (w. 1859 M). la lahir di Algeria pada tahun 1787 M. Gerakan
ini ber kembang secara pesat, khususnya di wilayah-wilayah Cyrenaica, Tripoli- tania dan tengah
Afrika.

Setelah kekuasaan Bani Sa'id lemah, maka pada tahun 1660 M kedudukan mereka digantikan oleh
kelompok kedua para Syarif Alawiyyin al-Hasaniyyin (dinisbatkan kepada Hasan ibn Ali, cucu Rasulullah
Saw.). Tidak seperti Bani Sa'id, mereka bersikap waspada terhadap kelompok tarekat., bahkan pernah
mengepung kelompok tarekat tersebut di Fez. Salah seorang yang termasyhur dari Dinasti ini adalah
Ismail, yang berhasil me- maksakan pajak atas seluruh pelosok kerajaannya. Pada masa pemerintahan
cucu-cucunya timbul huru-hara dan perang umum melawan Prancis (tahun 1844 M) dan Spanyol
(tahun 1860 M), sehingga Maroko kemudian men- jadi negeri yang miskin dan menutup diri. Akhirnya
ia menjadi sasaran ketamakan bangsa Eropa, hingga terpaksa mengadakan perjanjian-perjanjian
damai yang diakibatkan oleh pendudukan serta proteksi Spanyol dan Prancis tahun 1912 M.

Anda mungkin juga menyukai