Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

Umat Islam sudah seharusnya tahu bagaimana kebenaran perjalanan sejarah peradaban Islam
sejak kemunculannya, fakta-fakta objektif masyarakatnya, prestasi dan kegagalan dinasti yang
memerintahnya, dan kejayaan Islam yang pernah dicapai pada masa silam.
Setelah kelahiran Islam masa Rasulullah Muhammad SAW, sejarah peradaban Islam melewati masamasa kekhalifahan, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, terpecahnya kekhalifahan menjadi dinastidinasti kecil di Barat dan Timur, dan lahirnya Dinasti Fathimiyah sebelum dikuasainya kembali
oleh Dinasti Abbasiyah, sampai akhirnya direbut oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu.
Kemunculan Dinasti Fathimiyah yang merupakan Dinasti Syiah dalam Islam[1] dan perannya
sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yakni Dinasti Abbasiyah, merupakan
fenomena yang selayaknya diketahui oleh umat Islam. Demikian juga kejayaan yang telah
diukirnya, baik dalam hal kehidupan masyarakat dan sistem administrasi, perkembangan
pengetahuan, seni, dan arsitektur, sampai pada kemunduran dan sebab-sebabnya.
Di antara kejayaan Islam pada masa Dinasti Fathimiyah adalah kemakmuran di bidang ekonomi
dan berkembangnya Masjid Agung al-Azhar menjadi lembaga pendidikan universitas di Kairo.
Pembangunan pusat pembelajaran Dr al-Ilm yang melakukan pengkajian ilmu-ilmu keislaman,
astronomi, dan kedokteran[2], juga merupakan bagian penting dari kejayaannya. Buku tentang
optik dan penyembuhan mata, pintu-pintu gerbang yang megah, lukisan, ukiran, produk tekstil
dan keramik, serta seni penjilidan yang bernilai tinggi merupakan karya penting lain yang
dihasilkan pada masa dinasti ini. Bahkan kristal peninggalan dinasti ini yang ditemukan dalam
kapal karam di Pantai Utara Cirebon, telah menghebohkan publik Indonesia bukan hanya karena
tingginya nilai seni yang dimilikinya, melainkan juga karena konsumen produk ini telah merambah
ke wilayah yang sangat jauh dari asalnya[3]. Hal ini menunjukkan eksistensi Dinasti Fathimiyah
yang telah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar.
Sisi menarik yang perlu diungkapkan dalam bidang politik dan kenegaraan pada masa Dinasti
Fathimiyah adalah adanya fenomena upaya penyatuan antara agama dan negara. Hal ini terlihat
dari sejarah kemunculannya yang menganggap pemimpinnya sebagai Imam Mahdi. Golongan
Fathimiyah tidak hanya menolak kekuasaan Abbasiyah tetapi menyatakan bahwa merekalah yang
sebenarnya paling berhak memerintah seluruh kerajaan Islam.[4] Namun demikian, dalam
pelaksanaannya, model kepemimpinan imam-imam Dinasti Fathimiyah cenderung menunjukkan
sikap materialistik berupa kemakmuran di hadapan publik.[5]
Persoalan penting yang perlu diperhatikan lebih jauh adalah faktor-faktor apa saja yang
mendorong dan menjadi pemicu timbulnya dinamika umat Islam sehingga mencapai kejayaan pada
masa tersebut.
Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah mengetahui persoalan mendasar yang menjadi
penyebab terjadinya kemunduran setelah diperolehnya kemajuan.

Sangatlah berdasar apabila umat Islam termotivasi untuk mengembalikan kejayaannya seperti
yang pernah dicapai pada masa silam. Dengan kata lain umat Islam selayaknya mempelajari
sejarah agar menyadari akan kemundurannya dan berupaya bangkit untuk membangun masa depan
yang lebih baik.
Mengingat hal-hal yang disinggung di atas, Dinasti Fathimiyah yang merupakan bagian dari sejarah
peradaban Islam, perlu dipelajari oleh umat Islam untuk kemajuan masa kini dan mendatang.
Melalui pengkajian sederhana terhadap beberapa literatur, penulis berusaha untuk menyajikan
kronologi sejarah peradaban Islam pada Dinasti Fathimiyah dari awal terbentuknya pada tahun 909
Masehi, masa kejayaannya, sampai masa berakhirnya yakni tahun 1171 Masehi[6].

II. SEJARAH PERADABAN DINASTI FATHIMIYAH


A.
1.

KELAHIRAN DINASTI FATHIMIYAH


Gerakan Syiah Ismailiyah

Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syiah Imamiyah yaitu
Syiah Ismailiyah yang bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan
penyelidikan kepada kaum Syiah Ismailiyah. Penyelidikan itu mengharuskan golongan yang setia
kepada Ismail bin Jafar harus meninggalkan kota kecil di wilayah Hamah daerah Syria menuju
Afrika Utara.
Kaum Syiah Ismailiyah itu sendiri muncul karena berselisih paham dengan Syiah Imamiyah
tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah Putra Jafar
yang bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Ismailiyah imam yang ketujuh adalah Putra
Jafar yang bernama Ismail. Sehingga meskipun Ismail sudah meninggal, kaum Ismailiyah tidak
mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak atas Ismail sebagai
imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal.[7]
Pemimpin gerakan Syiah Ismailiyah adalah Abu Abdullah al-Husain. Berkat propagandanya yang
penuh semangat, Abu Abdullah al-Husain berhasil menarik suku Barbar yang terkenal keras,
khususnya dari kalangan suku Khithamah, menjadi pengikut setia gerakan ini.
2.
Penobatan Ubaidillah al-Mahdi
Setelah memperoleh banyak dukungan dan berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu
Abdullah al-Husain menobatkan Said ibn Husain al-Salamiyah sebagai penggantinya. Selanjutnya

Said berhasil merebut kekuatan dan berhasil mengusir penguasa dinasti Aghlabiyah yang terakhir
yaitu Ziyadatullah III dari Tunisia disusul dengan pendudukannya pada tahun 909 M. Inilah awal
berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Husain al-Salamiyah yang
bergelar Ubaidillah al-Mahdi.[8]
3.
Ideologi Dinasti Fathimiyah
Nama Fathimiyah dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra yaitu putri Nabi Muhammad Saw yang juga
merupakan istri Ali Ibn Abi Thalib ra. Ubaidaillah al-Mahdi mengaku sebagai keturunan Ali ra dan
Fatimah RA melalui garis Ismail, putra Jafar al-Shadiq.[9] Penisbatan ini memperkuat klaim dan
legitimasi dinasti ini yang menganggap bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak
mengambil kendali dan memerintah seluruh kerajaan Islam. Di samping itu berdirinya Dinasti
Fathimiyah jelas-jelas merupakan tandingan bagi Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa.
Setelah resmi mengukuhkan diri sebagai dinasti baru, Fathimiyah memulai pekerjaannya dengan
mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah benar-benar keturunan Fathimah putri
Rasul dan istri Ali bin Abi Thalib. Mereka mengklaim bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk
berkuasa.
Dinasti Fathimiyah mengklaim sebagai pemimpin Islam yang sebenarnya. Fathimiyah mewakili
simbolisme otoritas politik Abbasiyah, Bizantium, filsafat, dan Ismailiyah. Mereka menegaskan
bahwa mereka adalah imam-imam yang sebenarnya; dengan demikian mereka memutuskan
hubungan dengan tradisi Syiah yang tengah berkembang sebelumnya bahwa Imam Syiah adalah
tersembunyi.[10]
Pencitraan diri sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk
menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki nabi karena Syiah
Ismailiyah sebagai pendiri Dinasti Fathimiyah menunjukkan keyakinan bahwa kepala negara yang
sah adalah wakil Tuhan di muka bumi.
4.

Perluasan Wilayah Kekuasaan

Ubaidillah menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah, yaitu di Raqqadah yang terletak di


pinggiran kota Kairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan
berbakat. Ia memperluas kekuasaannya sampai hampir meliputi wilayah Afrika, dari Maroko
sampai perbatasan-perbatasan Mesir.[11]
Setelah wafat tahun 934 M, Ubaidillah al-Mahdi digantikan oleh putranya Abu al-Qasim dengan
gelar al-Qaim selama 15 tahun. Pada tahun 934 atau 935 Al-Qaim mengirim armadanya untuk
menyerbu Pantai Utara Prancis, dan berhasil menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria.
Al-Qaim meninggal pada tahun 949 M ketika berusaha menaklukkan Mesir. Pengganti beliau adalah
putranya bernama al-Mansyur. Al-Manshur berhasil mengalahkan pasukan Abu Yazid Makad di Mesir.
[12] Setelah meninggal beliau digantikan oleh Abu Tamim Maad yang bergelar al-Muiz.
5.

Qahirah Menjadi Ibu Kota

Pada masa pemerintahan al-Muiz, Dinasti Fathimiyah berhasil menaklukkan Maroko, Sisilia, Mesir,
Palestina, Suriah, dan Hijaz.
Periode Dinasti Fathimiyah di Mesir dimulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Muiz (Imam
Syiah Dinasti Fathimiyah untuk periode 953-975), kepala perang yang gagah berani asal Sicilia,
menaklukkan negeri itu dan memasuki ibu kotanya Fusthat pada tahun 969. Ia berhasil
merampasnya dari keturunan Ikhsyid. Keturunan Ikhsyid tidak dapat mempertahankan
kekuatannya, sehingga terpaksa melarikan diri.[13] Setelah menduduki kota Fusthat, dia
membangun kota baru dengan nama al-qahirah yang berarti gagah perkasa sebagai lambang
kemenangannya.[14]
Di Mesir, yang telah direbutnya dalam waktu singkat, Jauhar memiliki tugas utama, yaitu:
1.
2.
3.

a. Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo


b. Membina suatu universitas Islam yaitu Al-Azhar
c. Menyebarluaskan ideologi Fathimiyah yaitu Syiah ke Palestina, Syria, dan Hijaz.[15]

Setelah empat tahun dikuasai, barulah al-Muiz datang ke Mesir, tepatnya tahun 973 M dengan
terlebih dahulu memasuki kota Iskandariyah. Di Iskandariyah beliau disambut dengan upacara
besar oleh penduduk, selanjutnya beliau memasuki Qahirah. Tiga tahun kemudian al-Muiz
meninggal dan digantikan oleh putranya al-Aziz.
B.
6.

MASA KEJAYAAN DINASTI FATHIMIYAH


Keadaan Politik

Pada masa Dinasti Fathimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz,
kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan
pemerintahan yang damai. Al-Aziz adalah khalifah Fathimiyah yang kelima sejak berdirinya dinasti
ini di Tunisia, dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.
Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian arsitektur, dan agama
Islam. Di dalam istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Ismailiyah.
Para hakim, misionari, qari al-Quran, dan imam shalat secara reguler hadir dalam berbagai
upacara di dalam istana.[16]
Periode ini menandai munculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir, yang untuk pertama kalinya
sepanjang sejarah, menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang didasarkan
atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama dan politik
jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam harus menjadi sosok yang
adil, yang bisa menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari
dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki, dan kehidupan manusia, telah
berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah. Nama sang khalifah senantiasa disebut-sebut
dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik
hingga Laut Merah, di Yaman, Mekah, Damaskus, dan bahkan di Mosul.[17]

Di bawah kekuasaan al-Aziz, Fathimiyah berhasil mendapatkan tempat tertinggi sebagai negara
Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Ia telah berhasil menjadikan negaranya sebagai
lawan tangguh bagi kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.
Stategi promosi Fathimiyah yang gencar dilakukan untuk mengagungkan agama diwujudkan dengan
memasyarakatkan pemuliaan terhadap keluarga Ali. Pemuliaan terhadap imam yang masih hidup
disejajarkan dengan pemuliaan terhadap kalangan syuhada dari keluarga nabi. Pemerintah
membangun sejumlah bangunan makam keluarga Ali untuk meningkatkan kegiatan perziarahan.
Selain berhasil mewujudkan kemakmuran, strategi lain yang dijalankannya adalah memberikan
toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen. Keadaan ini sama sekali tidak pernah dirasakan
oleh masyarakat pada periode-periode sebelumnya.
7.

Sistem Administrasi Pemerintahan

Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Fathimiyah tidak begitu berbeda dengan sistem
administrasi Abbasiyah, atau lebih cenderung pada sistem administrasi Persia kuno.
Administrasi internal kerajaan dibentuk oleh Yakub ibn Killis yang wafat tahun 991 M, seorang
wazir atau menteri pada kekhalifahan al-Muiz dan al-Aziz. Yakub adalah seorang Yahudi yang
masuk Islam. Berkat kecakapannya dalam bidang administrasi, ia berhasil meletakkan dasar-dasar
ekonomi sehingga Dinasti Fathimiyah mencapai kemakmuran pada awal pemerintahannya.
Pengelolaan negara dilakukan dengan mengangkat para menteri. Fathimiyah membagi kementrian
menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok: (1)
Para amir, yang terdiri atas para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah; (2) Para perwira
istana yang terdiri atas para ahli (ustadz) dan para kasim; (3) Komando-komando resimen yang
masing-masing menyandang nama berbeda seperti Hafizhiyah, Jususyiyah, Sudaniyah, atau yang
disebut dengan nama khalifah, wazir, atau suku. Para wazir atau menteri juga terdiri atas
beberapa kelas, yang tertinggi adalah menteri keamanan yang mengatur tentara dan urusan
perang, kemudian menteri dalam negeri, menteri urusan rumah tangga yang menyambut tamutamu kehormatan utusan luar negeri, dan yang terakhir adalh menteri sekertaris negara yang
terdiri atas para qadhi yang juga menjadi kepala percetakan uang; menteri pengawas pasar yang
mengawasi ukuran dan timbangan dalam Tingkatan pegawai yang paling rendah adalah para
pegawai di departemen sekretariat negara yang terdiri atas para pegawai sipil, termasuk para
pedagang dan sekretaris dari berbagai departemen.[18]Selain pejabat pusat, di setiap daerah
terdapat pejabat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya
masing-masing. Administrasi pemerintahan dikelola oleh pejabat setempat.[19]
8.
Perkembangan Ekonomi
Dalam membahas masalah perkembangan ekonomi akan dibicarakan mengenai kehidupan
masyarakat dan keadaan negara dilihat dari kemajuan ekonomi dan kemakmurannya.

Seperti yang telah disinggung di awal, masyarakat pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah
hidup dengan damai. Kekuasaan rezim Syiah tetap memberi toleransi kepada masyarakat, baik
kepada golongan Koptik maupun kepada masyarakat umum yang bermazhhab Sunni.
Sebenarnya masa keemasan dalam sejarah dinasti ini di Mesir dimulai pada periode al-Muiz dan
mencapai puncaknya pada periode al-Aziz, tetapi pada periode sesudahnya yaitu masa alMunthashir masih menunjukkan bahwa Mesir merupakan negara Islam paling maju.
Khalifah al-Aziz hidup di kota Kairo yang mewah dan gemerlap, dikelililngi beberapa masjid,
istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru dibangun. Pada prosesi ibadah, misalnya idul fitri,
dia biasa berkeliling dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan
dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Tenda yang dipakai oleh khalifah dihiasi mutiara.
Kegemilangan Mesir pada masa al-Muntashir ini dapat tergambar sebagaimana dideskripsikan oleh
seorang Persia yang mengunjungi negara ini tahun 1046-1049, beberapa saat sebelum terjadi
kehancuran ekonomi dan politik. Ia mengemukakan bahwa istana khalifah mempekerjakan 30.000
orang, 12.000 orang di antaranya adalah pelayan dan 1.000 orang pengurus kuda. Khalifah muda
yang dilihatnya pada sebuah perayaan menunggangi kuda, dinaungi oleh pelayan dengan payung
yang dihiasi batu-batu mulia. Di tepi Sungai Nil terdapat tujuh buah perahu berukuran 150 kubik
dengan 60 tiang pancang sedang berlabuh. Khalifah memiliki 20.000 rumah di ibu kota, hampir
semuanya dibangun dengan batu bata, dengan ketinggian hingga lima atau enam lantai. Ia juga
memiliki ribuan toko yang masing-masing bisa menghasilkan dua hingga sepuluh dinar perbulan.
Jalan-jalan utama diberi atap dan diterangi lampu. Para penjual toko menjual dengan harga yang
telah ditetapkan. Jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan di sepanjang
jalan kota sambil membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya. Bahkan begitu amannya
kota, toko perhiasan atau tempat penukaran uang tidak pernah dikunci saat ditinggal oleh
pemiliknya. Kota Fusthat memiliki tujuh masjid besar; Kairo memiliki delapan buah.[20] Seluruh
kota merasakan ketenangan dan kemakmuran dengan ungkapannya yang antusias, Bahkan aku
tidak bisa memperkirakan kekayaan kota ini, dan tidak pernah sekali pun aku melihat satu tempat
yang lebih makmur dari kota ini.[21]
Khalifah al-Muntashir hidup dalam kemewahan dan kesenangan. Dia mewarisi harta yang
berlimpah dari para pendahulunya. Kekayaan khalifah terbukti dengan ditemukannya warisan
harta sangat berharga yang tersebar di antara tentara-tentara Turki berupa vas-vas kristal, piringpiring berlapis emas, tempat tinta yang terbuat dari gading dan kayu eboni, gelas-gelas berbahan
gading, cermin-cermin dari baja, payung dengan gagang terbuat dari emas dan perak, papan catur
dengan bidak terbuat dari emas dan perak, belati berhiaskan mutiara, dan pedang-pedang berukir
indah.[22]
9.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dinasti Fathimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah al-Aziz sendiri
adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Pada masanya dikembangkanlah Masjid
Agung al-Azhar menjadi universitas sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua.

Khalifah al-Hakim melakukan pembangunan pusat pembelajaran Dr al-Hikmah (rumah


kebijaksanaan) dan Dr al-Ilm (rumah ilmu) pada tahun 1005 yang melakukan pengkajian ilmuilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Dia menyediakan dana yang besar untuk
mengembangkan institusi ini, di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah,
memperbaiki buku, dan pemeliharaan umum lainnya. Bangunan tersebut ditempatkan berdekatan
dengan istana kerajaan. Di dalam bangunan itu terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang
pertemuan.
Al-Hakim juga membangun sebuah observatorium karena ketertarikannya pada perhitunganperhitungan astrologi. Alat untuk mengukur tanda-tanda zodiak yang terbuat dari tembaga
didirikan oleh al-Hakim di atas dua menara.
Beberapa tokoh ilmuwan yang terkenal pada masa ini di antaranya Ali ibn Yunus. Dia adalah
seorang astronom paling hebat yang menciptakan tabel astronomi. Juga ada Abu Ali al-Hasan ibn
al-Haitsam (bahasa Latin, Alhazen) yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia menulis
tidak kurang dari seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat, dan
kedokteran. Karya terbesarnya adalah Kitb al-Manzhir mengenai ilmu optik. Kitab ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu optik dan menjadi rujukan utama hampir semua penulis
tentang optik pada Abad Pertengahan. Tokoh lainnya adalah Ammar ibn Ali al-Maushili yang
menghasilkan karya al-Muntakhab fi Ilaj al-Ain (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata) dan
Ibn Isa yang menghasilkan karya Tadzkirah.[23] Dalam karya Ammar ini dijelaskan dasar-dasar
operasi katarak yang merupakan penemuannya yang berharga dalam bidang kesehatan.
Dalam perkembangan berikutnya, pada masa al-Muntashir, terjadilah kemunduran dalam bidang
ilmu pengetahuan dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan yang telah
didirikan sejak masa al-Aziz yang ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400
Alquran.[24] Berkurangnya koleksi perpustakaan ini sebagai akibat peristiwa perebutan rampasan
perang pada tahun 1068. Naskah-naskah berharga itu digunakan sebagai bahan bakar untuk
membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki.
10.
Perkembangan Seni dan Arsitektur
Seni dan arsitektur pada masa Fathimiyah menghasilkan karya yang bernilai sangat tinggi berupa
berbagai kerajinan, baik di bidang tekstil, keramik, benda seni dari kayu, benda logam, dan batu
kristal. Pada produk tekstil kita bisa menemukan motif-motif hewan dengan pose konvensional.
Beberapa contohnya ditemukan di Barat yang dibawa ke sana pada masa Perang Salib.
Seni keramik masa ini mengikuti pola-pola Iran. Beberapa contoh produk keramiknya merupakan
bukti kemunculan pertama keramik ala Cina di wilayah Arab Timur. Produk keramik yang dibuat
oleh orang-orang Mesir sangat bagus dan menakjubkan.
Benda seni dari kayu adalah berupa papan-papan kayu berukir yang digambari lukisan beberapa
makhluk hidup seperti rusa yang diserang oleh monster, kelinci yang diterkam oleh elang, dan
beberapa pasang burung yang saling berhadapan.

Seperti juga pada produk kayu, koleksi perunggu memperlihatkan hal yang sama. Kebanyakan
produknya berupa cermin atau pedupaan. Koleksi perunggu yang paling terkenal adalah patung
griffin dengan tinggi 40 inci, yang sekarang berada di Pisa.
Benda kristal dinasti Fathimiyah menurut pakar sejarah seni di situs simerg.org merupakan salah
satu mahakarya peradaban Islam paling indah. Ornamen yang ditampakkan pada batu kristal
tersebut menunjukkan karya seni dengan citarasa yang tinggi. Salah satu ciri khasnya adalah
bentuk-bentuk batu kristal yang umumnya mengambil model ikan sebagai simbol kehidupan.
Banyak juga yang berisi tulisan dari Imam-imam Syiah Ismailiyah. Salah satu peninggalan yang
terkenal terdapat di Basilica Venesa yang berisi tulisan al-Aziz yang hidup sekitar tahun 975-996
Masehi. Batu kristal lainnya berisi tulisan Imam al-Hakim yang berada di Chatedral of Fermo,
Italia.[25]
Berbagai benda kuno berupa keramik dan kristal peninggalan Dinasti Fathimiyah pada tahun 2004
ditemukan di dalam kapal karam berusia 1000 tahun di Pantai Utara Cirebon. Sekitar 271.381
benda kuno yang menghebohkan publik Indonesia tersebut dilelang oleh Kementrian Kelautan RI
pada 5 Mei 2010 yang kemungkinan nilai jualnya mencapai 750 milyar sampai trilyunan rupiah.
Seni arsitektur publik Fathimiyah merupakan bentuk pengembangan dari aspek-aspek seremonial
istana kerajaan. Ibu kota Fathimiyah, al-Qahirah atau Cairo yang dibangun pada tahun 969,
merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan[26].
Masjid Agung al-Azhar dan al-Hakim dibangun dengan sejumlah menara dan kubah yang
melambangkan sifat ketinggian para imam dan mengingatkan pada Kota Suci Makkah dan Madinah.
Bagian tengah al-Azhar dibangun dengan batu bata yang memiliki sudut mihrab. Masjid al-Hakim
memiliki kopula dari tembok yang menyokong sebuah tambur besar berbentuk segi delapan di atas
ruangan shalati. Di Masjid al-Aqmar ditemukan ciri khas arsitektur Islam yaitu ceruk stalaktit.
Tiang masjid ini menampilkan disain kaligrafi bergaya Kufi yang kubus dan tegas. Ciri khas lain
yang menjadi tradisi pada masa ini adalah bangunan makam para pendiri masjid yang
dihubungkan dengan masjid. Selain bentuk bangunan, kemegahan gedung-gedung periode
Fathimiyah dilengkapi juga dengan pintu-pintu gerbang berukuran sangat besar yang dibangun oleh
arsitek-arsitek dengan rancangan ala Bizantium.
C.
KEMUNDURAN DINASTI FATHIMIYAH
11.
Awal Kemunduran
Kemunduran yang dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai ada pada masa Abu Ali Manshur alHakim. Al-Hakim adalah pengganti al-Aziz, ia baru berusia 11 tahun ketika naik tahta. Karena
masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khalifah, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan
para wazir. Para wazir ini akhirnya sering mendapat julukan kebangsawanan al-malik.
Masa pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh berupa tindakan-tindakan kejam yang
menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazir, dan menetapkan aturan-aturan ketat kepada
kalangan nonmuslim. Ia membuat kebijakan menghancurkan beberapa gereja dan Kuburan Suci
umat Kristen, yang kelak akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatarbelakangi pecahnya

Perang Salib. Ia juga secara umum menyatakan dirinya sebagai penjelmaan dari Tuhan, sebuah
klaim yang menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan ummat Islam. Inilah akhirnya menjadi
akar melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun 1094
terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal Sahinsyah.
Pengganti al-Hakim adalah anaknya, al-Zhahir (1021-1035), yang ketika naik tahta berusia enam
belas tahun. Ia mendapatkan izin dari Konstantin VIII agar namanya disebut-sebut di masjid-masjid
yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid di
Konstantinopel sebagai balasan terhadap restu al-Zhahir untuk membangun kembali gereja yang di
dalamnya terdapat Kuburan Suci.
12.
Terjadinya Pemberontakan
Pengganti al-Zhahir adalah anaknya, Maad al-Muntashir (1035-1094). Seperti al-Hakim, alMuntashir naik tahta saat berusia sebelas tahun. Pada masa awal kekuasaannya, ibunya, seorang
budak dari Sudan, menikmati kekuasaan anaknya dengan leluasa. Sejak saat itu, kekuasaan
Fathimiyah mulai menyusut sedikit demi sedikit. Penyebabnya karena sering terjadinya
pemberontakan seperti di Palestina dan Suku Arab di dataran tinggi Mesir yang akhirnya mampu
menduduki Tripoli dan Tunisia. Pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia dikuasai oleh
bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga ke pedalaman Afrika. Hanya
kawasan Semenanjung Arab yang masih tetap mengakui kekuasaan Fathimiyah. Sejalan dengan itu,
provinsi-provinsi Dinasti Fathimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan dan
berkeinginan untuk memerdekakan diri atau kembali kepada Dinasti Abbasiyah. Selain itu
kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang-orang Turki, suku Berber dan pasukan Sudan.
Kekuasaan negara dapat dikatakan lumpuh. Perekonomian negara juga tidak berdaya sebagai
akibat kelaparan selama tujuh tahun.
13.

Persaingan Antarwazir

Setelah al-Muntashir meninggal pada tahun 1094, kekuasaan diteruskan oleh anaknya yaitu alMalik al-Afdhal. Pada masa ini muncul perseteruan terus-menerus di antara para wazir yang
didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Al-Afdhal lalu menempatkan anaknya yang
paling muda sebagai khalifah dengan julukan al-Mustali.
Sementara itu terjadi kekacauan sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah alMustaali. Nizar, putera Mustaali yang tertua dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut
Nizar mengakui bahwa Nizar masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu
yang saling bersaing, yaitu kubu Mustaliyah dan kubu Nizariyah.
Putra al-Mustaali bernama al-Amir yang masih berusia lima tahun, menggantikan ayahnya sebagai
penguasa di Mesir. Al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130.
Penerus al-Amir adalah al-Hafizh. Sepeninggal al-Amir, Dinasti Fathimiyah semakin mengalami
kemunduran. Pada saat itu, timbul pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasa
dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam
mereka masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.

Ketika al-Hafizh (1130-1149) meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana


kekhalifahan. Penggantinya yaitu anaknya yang bernama al-Zhafir (1149-1154) masih berusia
sangat muda hingga kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan ibn al-Sallar
yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-Adil.
14.

Al-Adid sebagai Khalifah Terakhir

Hari kedua setelah meninggalnya khalifah, dinobatkanlah anak al-Zhafir yang baru berusia empat
tahun yakni al-Faiz sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini meninggal pada usia sebelas
tahun, dan digantikan oleh sepupunya al-Adid yang baru berusia sembilan tahun[27]. Dialah
khalifah yang keempat belas yakni khalifah yang terakhir pada Dinasti Fathimiyah yang berkuasa
selama lebih dari dua setengah abad.
Pada masa pemerintahan al-Adid, kehidupan masyarakat sangat sulit dengan adanya bencana
kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah pajak yang tinggi untuk
memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan bersenjata. Keadaan semakin sulit dengan
datangnya pasukan Perang Salib ke Mesir. Maka khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nuruddin
Zanki, gubernur Suriyah di bawah kekuasaan Abbasiyah Baghdad[28]. Nuruddin akhirnya mengutus
Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk menghalau tentara Salib. Karena
keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun
khalifah al-Adid amat tua untuk memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara
keberhasilan Shalahuddin al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada
akhirnya, Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah pada
tahun 1171. Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan yang sebelumnya Syiah
beralih ke Sunni, sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah.
Dinasti Ismailiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini hanya mampu bertahan selama lebih
kurang dua setengah abad (909-1171 M).Tiga orang khalifah Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah
memerintah di Maroko adalah al-Qaim (322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M),
dan al-Muizz (341-362 H/952-975 M). Dinasti ini dapat maju antara lain karena didukung oleh
militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan
ekonominya stabil. Krisis kepemimpinan Khalifah berikutnya setelah al-Aziz, yakni al-Hakim (386411 H/996-1021 M), al-Zahir (411-427 H/1021-1036 M), Al-Mustansir (428-487 H/1036-1094 M),
hingga al-Mustali (487-495 H/1094-1101 M), tak mampu mengendalikan pemerintahan seperti
yang dilakukan oleh al-Aziz. Bahkan, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah
Fatimiyah itu terus berlangsung paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149 M), al-Zafir (544-549
H/1149-1154 M), al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M), dan al-Adid (555-567 H/1160-1171 M).
Sekalipun Fathimiyah runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan
di Syiria, Persia dan Asia Tengah, serta mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah
runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau
setidaknya tumbuh di tempat lain.
III. PENUTUP

Selama dua abad lebih menguasai Mesir, keberadaan Dinasti Fathimiyah telah memberikan
sumbangan peradaban yang besar. Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang berkembangnya
ilmu pengetahuan di dunia Islam yang melahirkan banyak ilmuwan dengan didirikannya Dr alHikmah dan Dr al-Ilmi dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu
pengetahuan yang masih terasa hingga kini.
Kemajuan lain yang dicapai oleh Dinasti Fathimiyah adalah tertatanya sistem administrasi
pemerintahan yang membuahkan kemakmuran. Catatan sejarawan tentang kecemerlangan Mesir
saat itu dan jejak peninggalannya berupa karya-karya seninya yang bernilai sangat tinggi,
membuktikan kebenaran fakta tersebut.
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak
mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni menyeberang ke Syiah Ismailiyah. Mereka juga
sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah
pada masa khalifah al-Hakim.
Kemunduran Dinasti Fathimiyah bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal berupa serangan
dari pasukan luar, melainkan juga karena masalah internal yang tidak dapat diselesaikan seperti
berkurangnya kesetiaan publik kepada penguasa yang dianggap berprilaku aneh, banyaknya
campur tangan para wazir akibat penguasa yang belum cukup umur, dan timbulnya perselisihan
dalam suksesi pemerintahan.
Terlepas klaim sebagai keturunan nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang khalifah tidak
mencerminkan kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan dinasti ini merupakan
sumbangan berharga. (maspalah_aagun)
DAFTAR PUSTAKA
Admin. Heboh Harta Karun 1000 Tahun & Misteri Kristal Dinasti Fatimiyyah
Mesir,http://atmonadi.com/?p=2418
Ahmad, Z. A. 1979. Sejarah Islam dan Ummatnya. Jakarta: Bulan Bintang
Esposito, J.L. 2004. The Islamic World: Abbasid Caliphate-Historians USA: Oxford University Press
Hamka. 2005. Sejarah Umat Islam. Cet. V. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Hitti, P. K. 2008. History of Arabs; From the Earliest Times to the Present. Terjemahan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan judul History of Arabs. Cet. I. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Sentosa
Lapidus, I. M. 1999. A History of Islamic Societies. Terjemahan oleh Ghufron A. Masadi dengan
judul Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
_____ 2002. A History of Islamic Societies. New York: Cambridge University Press
Maryam, S. dkk. 2003. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern Cet. I.
Yogyakarta: LESFI
Mubarok, J. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Cet. I. Bandung: Pustaka Islamika

Sanders, P. 1994. Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo . Albany: State University of New
York Press
Sunanto, M. 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Cet. 3. Jakarta:
Kencana
[1] Philip K. Hitti, History of Arabs; From the Earliest Times to the Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan judul History of Arabs (Cet. I; Jakarta: PT
Serambi Ilmu Sentosa, 1429 H/2008 H), h. 787
[2] Ibid. h. 801
[3]Admin, Heboh Harta Karun 1000 Tahun & Misteri Kristal Dinasti Fatimiyyah
Mesir,http://atmonadi.com/?p=2418
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. 3,
Jakarta, Kencana, 2007) h. 142
[5] Paula Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo (Albany: State University of New
York Press, 1994) h. 49
[6] John L. Esposito: The Islamic World: Abbasid Caliphate-Historians (USA: Oxford University
Press, 2004) h. 159
[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. 3,
Jakarta, Kencana, 2007) h. 141
[8] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Cet. I,
Yogyakarta: LESFI, 2003) h. 264
[9] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) h. 190
[10]Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 2002) h.
285
[11] Philip K. Hitti, History of Arabs; From the Earliest Times to the Present, diterjemahkan oleh
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan judul History of Arabs (Cet. I; Jakarta: PT
Serambi Ilmu Sentosa, 1429 H/2008 H), h. 789
[12] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) h. 190
[13] Hamka, Sejarah Umat Islam (Cet. V, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2005), h. 333
[14] Ibid., h. 322
[15] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) h. 109
[16] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Masadi dengan
judul Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) h. 536
[17] Philip K. Hitti, 2008. h. 791
[18] Philip K. Hiti, 2008 h. 800
[19] Jaih Mubarok, 2008h. 191
[20] Philip K. Hitti, 2008, h. 798
[21] Philip K. Hitti, 2008, h. 799
[22]Philip K. Hitti, 2008, h. 799
[23] Philip K. Hitti, 2008, h. 803
[24] Philip K. Hitti, 2008, h. 803

[25] http://. Atmonadi.com


[26] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 536
[27] Philip K. Hitti, 2008, h. 796
[28] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, h. 193

Anda mungkin juga menyukai