Anda di halaman 1dari 23

Sejarah Islam Di Andalusia

ISLAM DI ANDALUSIA

Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania


yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada tahun 711 M, pasukan Umayyah yang
sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania
dipimpin jenderal Tariq bin Ziyad, dan dibawah perintah dari Kekhalifahan Umayyah di
Damaskus.

Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah
mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete ( 711 M ),
kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada tahun 719 M. Hanya daerah Galicia,
Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah itu, pasukan
Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun berhasil dihentikan
oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732 M). Daerah yang dikuasai Muslim
Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal dan Perancis
bagian selatan yang disebut sekarang.

A. Perkembangan Politik

Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali Yusuf Al-Fihri (gubernur)
yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun
pada tahun 740an M, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan
Khalifah. Dan pada tahun 746 M, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut,
menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.

Pada tahun 750 M, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di


Damaskus, dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada tahun 756 M,
Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa
Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada
kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah
membunuh sebagian besar keluarganya.
Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di Al-
Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah
Abbasiyah.

Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai


Amir Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan
kadang-kadang meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir
Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami
naik-turun politik, itu tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa. Amir
Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.

Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada tahun 912 M, dan


dengan cepat mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika
Utara bagian barat. Pada tahun 929 M ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga
keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis.

B. Masa kekhalifahan

Andalusia - Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid Rahimahullah
(705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus,
dimana Ummat Islam sebelumnya telah mengusasi Afrika Utara. Dalam proses
penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa
yaitu Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair Rahimahullahum
ajma’in.

Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang
berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang, lima ratus
orang diantaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang
disediakan oleh Julian.

Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang
dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya.
Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan
Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk
memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim
pasukan ke spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad
Rahimahullah.

Thariq ibn Ziyad Rahimahullah lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol
karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian
besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair Rahimahullah dan sebagian lagi
orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid Rahimahullah. Pasukan itu kemudian
menyeberangi Selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad Rahimahullah. Sebuah gunung
tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya,
dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq).

Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk
memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja
Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq Rahimahullah dan pasukannya terus
menaklukkan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada dan Toledo (ibu kota kerajaan
Gothik saat itu). Sebelum Thariq Rahimahullah berhasil menaklukkan kota Toledo, ia
meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair Rahimahullah di Afrika Utara.
Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 personel, sehingga jumlah pasukan
Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Gothik
yang jauh lebih besar, 100.000 orang.

Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad Rahimahullah membuat
jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair
Rahimahullah merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan
maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat
menyeberangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukkannya.
Setelah Musa Rahimahullah berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan
Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia
bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh
kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre.

Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan


Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz Rahimahullah tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran
ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan.
Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah Rahimahullah, tetapi usahanya itu
gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan
diserahkan kepada Abdurrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi Rahimahullah. Dengan
pasukannya, ia menyerang kota Bordreu, Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota
Tours. Akan tetapi, diantara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel,
sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali
ke Spanyol.

Sesudah itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan, seperti ke Avirignon


tahun 734 M, ke Lyon tahun 743 M, dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah,
Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus dan sebagian dari Sicilia juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayah. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum
Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau
seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah dan bagian-bagian
penting dari Italia. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu
mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang
menguntungkan.

Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di
dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam,
kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan.
Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa
negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap
aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap
penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar
dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia
disiksa, dan dibunuh secara brutal.

Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh


kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu,
kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka
temukan dari orang Islam. Berkenaan dengan itu Amer Ali, seperti dikutip oleh
Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati kenyamanan dalam
segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol
berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa
Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada
penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting
menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri
Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M.
Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic
berdiri.

Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam


masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu
Spanyol masih berada di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan
tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan
karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada
di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat
menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan
antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat
perawatan.

Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan


oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja
Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal kehancuran kerajaan Ghoth
adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo,
sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan
begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak
Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan
Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin.

Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan
penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara
dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan
pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa Rahimahumullah.

Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick yang terdiri
dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang Selain itu, orang
Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan
bagi perjuangan kaum Muslimin.

Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat
dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam
penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang
kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan
tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam
yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong.
Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu
menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

C. Perkembangan Peradaban

Umat Islam di Spanyol telah mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi
yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada
kemajuan yang lebih kompleks, terutama dalam hal kemajuan intelektual.

Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah
mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan
pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian membawa dunia kepada kemajuan yang
lebih kompleks.
Kemajuan Intelektual

Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan


ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir.

Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari :

- Komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan)

- Al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam)

- Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara)

- Al-Shaqalibah (tentara bayaran yang dijual Jerman kepada penguasa Islam)

- Yahudi

- Kristen Muzareb yang berbudaya Arab

- Kristen yang masih menentang kehadiran Islam

Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual


terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah,
sastra, dan pembangunan fisik di Andalusia - Spanyol.

1. Filsafat

Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam
bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu
pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani
Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).

Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor
dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-
universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol
ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.

Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut


Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari
Cordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah
kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam
menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga
ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al- Mujtahid.

2. Sains

IImu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga


berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi.
Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-
Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana
matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern
yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari
Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan
saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.

Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan
banyak pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-
negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M)
mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat
Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua
sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika. Itulah
sebagian nama-nama besar dalam bidang sains.

3. Fiqih
Dalam bidang fiqh, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki.
Yang memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn
Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah,
Munzir Ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.

4. Musik dan Kesenian

Dalam bidang musik dan suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan
tokohnya al-Hasan Ibn Nafi yang dijiluki Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan
dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal
sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik
pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar
luas.

5. Bahasa dan Sastra

Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di


Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan,
penduduk asli Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang
ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa.
Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-
Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring
dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-’Iqd al-Farid
karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-
Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.

Diposkan oleh Rudi Arlan Al-farisi di 13.06


Label: Sejarah Peradaban Islam - Islam Di Andalusia

Mengaji dan Mengkaji


HomeNotesBlogPhotosVideoMusicCalendarReviewsLinks
Oct 21, '05 2:12 PM
Kegetiran Sejarah Sastra Andalusia
for everyone
Prahara Sejarah;
KEGETIRAN SEJARAH ISLAM DI ANDALUSIA
DALAM POTRET BUDAYA DAN SASTRA
religiusta

• View Penyebaran Islam ke Eropa Barat khususnya ke Andalus


Contacts (kini meliputi Spanyol dan Portugal), telah dilakukan
(312) kurang dari satu abad, tepatnya 78 tahun setelah
• View Rasulullah wafat, yaitu ketika terjadi penyebaran
Groups kekuasaan kekhalifahan Islam ke berbagai belahan
(9) dunia. Mengenali lebih jauh perjalanan Islam ke Eropa,
• Photos of berarti menapaki perjalanan sejarah yang cukup
Taufik panjang.
• Personal
Message Penaklukan Andalus oleh bangsa Arab merupakan babak
• RSS Feed sejarah yang cemerlang. Bermula dari pendaratan
[?] pasukan Thariq bin Ziyad di sebuah bukit yang
kemudian diberi nama Jabal Thariq (Gibraltar) tahun 711
• Report M pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Selanjutnya
Abuse serangan demi serangan mampu menaklukan hampir
seluruh Semenanjung Iberia (Andalus), yang ketika itu
merupakan propinsi Kekaisaran Romawi.

Di antara penguasa Bani Umayyah, yang paling terkenal


dan paling besar adalah Abdurrahman III (912-976 M). Ia
merupakan penguasa Andalus yang cakap. Pada masa
pemerintahannya Andalus dan ibukotanya Cordova
mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai
bidang, sampai pada puncak kejayaannya. Ia berhasil
menggali sumber daya manusia dan ekonomi tanah
Spanyol sehingga menghasilkan kekayaan yang
berlimpah ruah, pada saat Eropa masih mengalami
kegelapan. Ia juga berhasil menciptakan kondisi yang
tentram dan damai, dengan tingkat toleransi yang tinggi
terhadap pemeluk agama yang berbeda.

Kejayaan Bani Umayyah di Andalus selanjutnya


berangsur-angsur memudar, muncullah dinasti-dinasti
kecil yang menyebabkan disintegrasi kekuatan Islam. Di
lain pihak, kaum Nasrani berusaha bersatu untuk
menghancurkan kerajaan Islam. Cordova dapat dikuasai
kaum Kristen pada tahun 1236 M. Pernikahan Ratu
Izabela dari Castilia dan Raja Ferdinand dari Aragon
memunculkan kekuatan dan melakukan penyerangan
pada tahun 1469 M. Kerajaan Arab yang terakhir Bani
Ahmar tak dapat bertahan, diserahkannya kunci kota
Granada benteng terakhir kekhalifahan dan akhirnya ia
memilih tanah Afrika sebagai tempat pembuangannya.
Dengan demikian secara politik kekuatan Islam berakhir
pada penghujung abad ke 15.

Setelah Kaum Kristen menguasai Andalus, mulailah


dilakukan gerakan Kristenisasi di Andalus, padahal Islam
telah bertahan selama 700 tahun. Para penduduk
dipaksa kembali untuk menganut agama Kristen, semua
literatur Arab dihanguskan. Pada tahun 1556 M, Raja
Philip II membuat undang-undang agar kaum Muslimin
yang tinggal di Andalus membuang kepercayaan,
bahasa, adat istiadat, dan cara hidupnya. Pada tahun
1609 M, Raja Philip III mengusir secara paksa semua
penganut Islam keluar dari Andalus, atau masuk Kristen.
Dengan demikian sirnalah sisa-sisa penyebaran Islam ke
Eropa, tinggal hanya sisa peninggalan bangunan yang
kini telah berubah menjadi istana Kristen.

Sama seperti kondisi kekuasaannya, sastra (Arab


Islam_red) juga mengalami jatuh bangun. Karena sastra
merupakan refleksi dan dokumen sejarah yang
mencakup semua sendi kehidupan yang terjadi kala itu.
Semua peristiwa seperti peperangan, kemajuan
keilmuan, pengembangan kota dan berbagai gejala
kemasyarakatan pasti terdokumentasikan dalam karya
sastra. Tulisan ini mencoba melihat kondisi dan
perkembangan sastra Arab di Andalus, terutama dalam
masa perwalian dan kekacauan politik selama 55 tahun.
Suatu masa pembuka jalan keberanian tentara salib
untuk menaklukkan Islam di Andalus. Kejatuhan kota-
kota Andalus yang berantai pada masa dinasti Thawâif
setelah itu, disamping menyebabkan prahara budaya
dan kemanusiaan, juga memunculkan semangat
nasionalisme dalam bentuk elegi sebagai ratapan
terhadap hilangnya harta dan penyadaran masyarakat
untuk bersatu merebut kembali mahkotanya.

Kondisi Pemerintahan Masa Perwalian dan


Kekacauan Politik (976 – 1031)

Sejak Hisyam II menduduki kursi khilafah tahun 976 M,


Andalus mengalami fenomena baru dalam pemerintahan
karena memakai sistem perwalian. Hal ini diambil
karena khalifah yang diangkat masih kecil, berumur 12
tahun. Wali pertama adalah Muhammad bin ‘Amir yang
bergelar al-Manshur, seorang ambisius dan licik yang
menghabisi semua teman seperjuangannya. Perdana
Menteri al-Mushafy, Panglima Ghalib dan orang-orang
Slaves yang setia dengan khalifah dibantainya. Sampai
masyarakat Andalus tidak mengenali lagi dan lupa
kepada khalifah yang sesungguhnya.

Peran wali yang terlalu besar ini mencapai puncaknya


pada masa Abdurahman yang bergelar al-Makmun,
ketika dia memaksa khalifah untuk mengangkatnya
sebagai putra mahkota. Sampai disini mulai timbul
kesadaran masyarakat Andalus untuk mengembalikan
khilafah kepada Bani Umawiyah yang sebenarnya. Pada
tahun 1008 M terjadilah kudeta militer yang dipimpin
oleh Muhammad bin Hisyam putra khalifah sendiri. Dan
dia pun berhasil menduduki kursi khilafah dengan gelar
al-Mahdi. Dan berakhirlah sistem perwalian dalam
pemerintahan Andalus.

Setelah terjadi kekacauan politik yang besar disebabkan


perebutan kekuasaan baik antar orang-orang Umawiyah
maupun persaingan dengan orang Barbar. Mereka lebih
suka untuk minta bantuan kepada kerajaan Kristen di
Utara, meskipun dengan imbalan penyerahan kota-kota
dan benteng-benteng Andalus dan dibolehkannya
tentara kristen Spanyol untuk berbuat semaunya di
Cordova. Al-Mahdi lebih suka bergaul dengan Ramon III
de Barcelona, sementara Sulaiman al-Mustaîn minta
tolong kepada Sanco Garcia dari Castilia dalam
menghadapi al-Mahdi. Model perebutan kekuasaan
selama priode ini tidak jauh berbeda dari fenomena di
atas. Sebuah jalan bagi kristen untuk memenangi
perang salib di Andalus pada akhirnya.

Selama 22 tahun periode kekacauan politik, Andalus


diperintah oleh 14 khalifah dengan jarak masa yang
saling berdekatan. Kesemuanya berakhir dengan
pembunuhan. Karena sering terjadinya pertumpahan
darah, bencana kemanusiaan dan peradaban pun tidak
bisa dihindari. Pembunuhan, pencurian, pembakaran
istana dan benteng Cordova, dan jatuhnya kota-kota ke
tangan tentara kristen baik melalui perebutan maupun
penyerahan suka rela.
Ketidak-pastian politik di Andalus selama masa ini
menghancurkan semua sektor kehidupan, industri,
perdagangan, pertanian bahkan kelaparan, paceklik,
wabah penyakit menular dan bencana merajalela.
Rakyat kehilangan raut muka dan jati diri yang hidup
dalam gelombang kegetiran dan kepahitan. Rakyat
ditikam-cekam rasa ketakutan. Dan tentunya kondisi ini
mempengaruhi perkembangan sastra kala itu, sampai
dalam dua periode ini, sastra mengalami kemunduran
dan stagnasi. Apalagi kalau dilihat dari menurunnya
produktivitas karya sastra dan menyempitnya tema-
tema yang dibicarakan.

Penyempitan Kultur dan Pengetahuan

Selama 55 tahun masa perwalian dan kekacauan politik,


kultur dan pengetahuan tidak banyak mengalami
kemajuan, bahkan sebaliknya tambah menyempit dan
terbelenggu. Ada dua fenomena menarik dalam masa
ini, yaitu matinya ilmu filsafat yang berkembang pesat
pada masa khalifah al-Hakam al-Mustansir dan
berkembang pesatnya studi bahasa Arab.

Terkuburnya filsafat lebih disebabkan intervensi


pemerintah yang getol mengibarkan perang melawan
filsafat dengan tujuan mengambil hati rakyat dan
dukungan fuqaha. Pada masa ini terjadilah pembakaran
buku-buku filsafat, mantiq dan kosmografi secara besar-
besar, termasuk pembakaran perpustakaan al-Hakam al-
Mustansir yang banyak menyimpan buku-buku tersebut.
Bukan itu saja, para filosof dan ilmuan pun dikejar-kejar
dan dipenjarakan, hal sama menimpa para pegawai
perpustakaan dan sejenisnya. Suasana ini memasung
kebebasan ekspresi pemikiran dan membuat takut
masyarakat untuk belajar dan bersinggungan dengan
ilmu-ilmu filsafat, logika dan pengetahuan lainnya.
Akibat dari suasana ini pengetahuan jadi mandeg,
filsafat jadi mati dan pengungsian besar-besaran para
ilmuwan dan filosof ke dunia Timur untuk menghindari
siksaan dan demi mendapatkan kebebasan berfikirnya.
Kepedihan tragedi ini bisa dibaca dari kegetiran puisi
yang dibuat salah satu penyair Andalus:

Tangisilah Cordova
Kota nan indah yang lebur
Peradaban telah terkubur
Kesejahteraan telah lenyap terkikis
Dan Semuanya kini sirna

Adapun perkembangan studi bahasa Arab tidaklah murni


demi kemajuan keilmuan, tapi hanya keinginan untuk
bersaing dengan ahli bahasa Arab dari Timur, seperti
Mundzir bin Sa’îd ingin mengalahkan Abu Ali al-Qâly,
seniman Yahya al-Ghazzâl mengalahkan Zeryâb. Mereka
beranggapan bahwa dengan mengalahkan sastrawan
dan ahli linguistik dari Timur berarti kemenangan sastra
Andalus atas sastra Timur.

Stagnasi Sastra dan Perkembangan Semu tanpa


Nilai

Politik kediktatoran yang dikembangkan pada


periode ini juga berpengaruh pada sastra, baik dalam
karya puisi maupun prosa. Tidak ada tema-tema baru
yang muncul, bahkan tema-tema lama yang sudah
mapan cenderung berkurang bahkan hilang. Aliran-aliran
sastra yang pernah mapan seperti konservatif, reformis,
seni rakyat dan new-konservatif semakin redup
sinarnya. Kritikus sastra banyak mencatat bahwa dalam
masa ini sastra merupakan lahan tersempit dan
termiskin. Sangat kontras dengan kondisi sebelumnya.
Sastra filsafat yang berkembang pada masa al-Hakam
al-Mustansir menjadi mati sama sekali karena
pemerintah yang menyatakan perang terhadapnya,
disamping terjadinya stagnasi pemikiran kala itu. Tidak
adanya karya sastra yang membicarakan perkembangan
keilmuan yang menunjukkan kematiannya. Berbeda
dengan karya sastra masa al-Hakam yang banyak
menyinggung masalah filsafat, astronomi, ilmu logika,
kedokteran dan sebagainya. Seperti puisi Ibnu ‘Abdi
Rabbih kepada astronom Abu ‘Ubaidah berikut:

Bumi yang bulat


Menjadi titik tengah alam
Dikurung langit
Dari atas dan bawah
Dalam masa ini tidak kita dapatkan kembali karya
sastra yang membanggakan keagungan dan kekuatan
khilafah Andalus seperti pada masa keemasannya.
Munzir bin Sa’îd pernah menuturkan kedatangan utusan
Romawi kepada Abdurrahman al-Nâshir untuk
menghindari serangannya dalam puisi berikut:
Manusia berbondong mengetuk pintunya
Semuanya berharap dan berangan terhadapnya
Utusan Romawi di tengah halaman istananya
Karena ketakutan akan kekuatan dan serangannya
Engkau adalah harapan semua manusia
Kau kuasai Timur dan Barat
Dari ujung Kostantinopel sampai daratan Babel

Kekuatan khilafah Islam di Andalus, menjadikan


mereka sering dimintai bantuan raja-raja kristen Spanyol
yang sedang bertikai. Raja Ordono yang kalah perang
melawan Raja Sancho, mendatangi khalifah al-
Mustanshir guna memohon bala bantuan untuk
mengembalikan kekuasaannya. Abdul Malik bin Sa’îd
menuturkan hal ini dalam puisi di bawah ini:

Raja mereka mendatanginya


Meminta perlindungan dan bantuannya
Tunduk atas kebesarannya
Aman dari semua musuhnya
Dan dengan kerelaannya
Dapat menghinakan musuhnya

Pada masa keemasan sebelum masa perwalian,


khilafah Andalus mempunyai kekuatan tentara yang
tidak tertandingi, yang kalau bergerak laksana gemuruh
gelombang samudera, seperti yang diungkapkan oleh
Ismail bin Badar:

Dan gemuruh tentaranya


Bak gelombang lautan
Yang memakan daratan sahara

Bungkamnya sastra dalam berbagai tema ini


menunjukkan kematian tema-tema tersebut dari
kehidupan Andalus. Pengemisan bantuan ke kerajaan-
kerajaan Spanyol Utara, penyerahan kota-kota dan
benteng-benteng ke tangan kristen sebagai imbalannya
mengindikasikan kelemahan khilafah Islam di Andalus.
Meskipun demikian, dalam masa ini ada beberapa
tema yang berkembang pesat sebagai konsekuensi dari
kondisi masyarakat yang poya-poya. Namun
perkembangannya sangat kosong dari nilai dan etika,
seperti seruan kepada minuman, ekspresi kejadian-
kejadian dalam tempat-tempat hiburan dan
pengumbaran nafsu yang telanjang. Karena masyarakat
yang poya-poya, kecenderungan sastra pun demikian,
suka pada kebebasan dan ekspresi kenikmatan jasmani
dan material dalam wujud minuman, tari perut dan
sebagainya.
Diantara tema yang digemari adalah al-mujûn
(tingkah laku yang hina). Sebagai contoh bisa kita simak
dialog antara Abdul Malik bin Syahid dengan al-Manshur
mengenai budak-budak wanita tawanan perang. Abdul
malik berkata:

Meskipun tua, aku tetaplah muda


Kulindungi engkau dari segla bencana dengan diriku
Buatlah aku berterima kasih atas kebaikanmu
dan kirimkan wanita tawanan tercantik buatku

Al-manshur pun mengirim hadiah yang diminta


dengan berkata:

Telah kukirim tiga perawan


Yang putihnya laksana matahari siang
Bersiap dan bersungguhlah
Karena engkau tua bangka
Di ujung sore meninggalkan siang
Semoga Allah menjagamu dari
Keletihan mencumbunya

Betapa transparan sekali permintaan panglima


perang yang langsung dikabulkan wali khalifah. Dialog
semacam ini sudah sering terjadi di tempat-tempat
hiburan antar pemabuk atau penyair, tapi bukan dalam
lingkungan khalifah. Kediktatoran membuat penguasa
semena-mena termasuk perusakan moral
masyarakatnya.
Diantara tema yang berkembang pada masa ini
juga, pujian palsu dengan tujuan mencari penghasilan
dari berpuisi. Hal ini bisa berkembang karena khalifah
penguasa memerlukan pujian untuk mendongkrak
popularitas dimata rakyat. Maka segala kejadian selalu
dibesar-besarkan melalui karya sastra, terutama puisi,
meskipun penuh dengan kemunafikan. Seperti yang
dikatakan Ibnu Darrâj al-Qasthaly ketika memuji al-
Manshur:

Pujian dan syukurku terhadapmu


Bukanlah karena kekuasaan yang kau berikan
Tapi karena pengorbanan jiwamu yang melindungiku
Ketulusanmu adalah karunia terbesar
Laksana surya yang menunjukiku dalam kegelapan
Tiada bayangan karunia yang membelitku selainmu
Tiada aliran air yang mengenyangkanku selainmu

Al-Darrâj diangkat al-Manshur memerintah di


Qasthal, dan dia selalu memuji al-Manshur setinggi
langit untuk mengekalkan kekuasaannya, meskipun
penuh dengan kemunafikan.
Hal ini juga bisa kita lihat dari pujian Ibnu al-
Hannâth kepada khalifah Qasim bin Hamûd agar diberi
perlindungan dan bekal:

Dunia menjadi terang dengan cahaya khalifah


Dengan cahaya itu
Rembulan kebenaran selalu nampak
Meskipun cahaya siang telah menghilang

Minum-minuman keras sudah sangat membudaya


dalam masyarakat Andalus. Dari rakyat kecil sampai
khalifah. Seruan kepada minuman sangat nyaring
terdengar. Tradisi jahiliah yang dengan susah payah
diberantas al-qur’an pun berkembang lagi yang pada
awal pemerintahan Islam di Andalus sangat dihindari.
Lihat saja nikmatnya minum yang digambarkan oleh
Ubadah bin Mâi al-Samâ berikut:
Adakah yang lebih indah
Dari gelas-gelas arak yang tergenggam di tangan
Hai pelayan, siramlah aku dengannya
Dan ambillah perak dan emas
Nafsu pun tenggelam bersamanya
Buih keharuman selalu muncul di permukaannya
Membuat gelasnya kekal di tangannya

Puisi yang bertemakan minuman arak dan


sejenisnya merupakan salah satu trend baru di Andalus
yang dipelopori oleh Abbas bin Nâsih dengan
mengadopsi trend ini dari Timur yang dipelopori Abu
Nawas, Abu al-‘Atâhiyah dan kawan-kawan. Namun
pesan-pesannya bukan dititik-beratkan pada seruan
untuk berbuat, tapi sekedar ekspresi dari perenungan
imajinasi tentang arak, seperti ketika penyair pra Islam
menggambarkan sosok wanita ideal dalam puisi
erotisnya. Penggambaran wanita tersebut tidak didasari
oleh nafsu sama sekali, tapi lebih menginformasikan
kepada pembaca sosok ideal wanita Arab secara
keseluruhan. Sosok wanita yang hanya ada dalam fikiran
dan angannya, dan belum tentu ada dalam dunia realita.
Meskipun hal serupa berkembang juga sebelumnya,
tapi masih banyak sastra yang mem-balance seruan
kepada minuman dan justru menganjurkan untuk
menjauhinya. Puisi ‘Ubadah di atas bisa kita bandingkan
dengan sikap khalifah al-Muntashir terhadap para
peminum yang justru dibencinya:

Para peminum telah menyempitkan dadaku


Bencana mereka membakar hidupku

Disamping perkembangan sastra yang tanpa nilai di


atas, ada sastra yang berkembang dengan segala
kesadarannya terutama para penyair yang sadar benar
akan bahaya politik kediktatoran kala itu. Seperti kritik
politik yang diungkapkan dalam penggalan bait berikut:

Wahai Bani Umaiyah..!!


Dimanakah bulan-bulan malammu,
Bintang-bintangmu
Singa-singa telah punah dari hutanmu
Dan raja pun menggenggam kancil dan rubahmu

Bait di atas untuk mengkritik orang-orang Bani


Umawiyah karena mereka hanya sebagai bulan-bulanan
dan perebutan antara orang-orang Barbar dan kristen
Spanyol. Kadang kritik tersebut memakai bahasa yang
lugas dan terang-terangan seperti peringatan keras
akan bahaya situasi yang tergambar dalam penggalan
berikut:

Waktunya tiba telah dekat


Kehancuran sudah diambang pintu
Semua kekhawatiranmu telah datang
Dan raja pun tak berdaya
Dalam genggaman dan kekuasaan
Sang ibu suri…

Karena banyaknya pembersihan musuh-musuh politik


dan pembakaran sastrawan, ilwuwan dan filosof, dalam
masa ini juga berkembang tema-tema permohonan
belas kasihan dari penguasa, seperti penggalan bait al-
Mushafy kepada al-Manshur berikut:
Penyesalan membawaku menghadapmu
Wahai sebaik-baik penolong
Kemarahanmu terlalu besar kepadaku
Maka bentangkanlah maaf buatku
Sesungguhnya tiada raja yang dimintai belas kasihnya
Kecuali akan segera memberikannya

Nasionalisme dalam Elegi atas Runtuhnya kota-


kota

Sejak masa Thawâif, kekuatan Islam di selatan


Spanyol semakin melemah, sementara kekuatan kristen
di utara Spanyol semakin solid dan besar. Tidak heran
jika dalam peperangan yang terjadi setelah itu, kerajaan
Islam pun selalu kalah dan banyak sekali kota-kota yang
jatuh ke tangan mereka. Masjid diruntuhkan, gereja
ditegakkan, upeti diwajibkan atas orang-orang Islam,
dan bencana kemanusiaan tidak bisa dihindarkan.
Bencana politik dan kemanusiaan ini menginspirasikan
spirit nasionalisme dalam diri satrawan. Jatuhnya kota
dan peradaban ke tangan musuh mereka rasakan
seakan terpisahnya organ dari tubuh mereka bahkan
terpisah dari ruh mereka. Apalagi ditambah dengan
kekhawatiran dalam kehilangan harta paling berharga
yaitu Islam.
Kesedihan dengan jatuhnya kota-kota Andalus,
menimbulkan kreasi-kreasi elegi sebagai ekspresi
kesedihan sekaligus penyadaran masyarakat agar
bersatu merebut kembali harta mereka. Sebagaimana
yang dilakukan oleh seorang fakih yang penyair
Abdullah bin Farag al-Yahshuby yang dikenal dengan
sebutan Ibnu al-‘Assâl ketika jatuhnya kota Prester tahun
1063 M dalam elegi berikut:

Dan kekuatan para musyrik pun telah menembus kita


yang menjadikan kita terdiam seribu bahasa
Dengan kuda-kuda mereka menghacurkan istana
sehingga tiada bersisa baik gunung maupun setapak
tanah
Mereka gerebek penghuni rumah-rumah
Tiada hari tanpa serangan yang membabi buta
Hati para muslim pun di puncak ketakutannya
Sementara pemimpin kita sangat penakut
menghadapinya
Berapa tempat telah dirampasnya
Tanpa belas kasihan terhadap bayi, anak kecil, para
lansia dan perawan
Berapa banyak bayi susuan yang terceraikan dari ibunya
Sehingga menimbulkan kegaduhan dan lenguhan aniaya
Berapa banyak anak yang telahir dengan ayah yang
Terpanggang di atas debu perang dan kasur sahara
Berapa banyak wanita dipaksa keluar dari rumah
sucinya
Dipertontonkan dengan ketelanjangan

Bait-bait di atas ibarat dentang bel yang menyadarkan


kita pada bencana kemanusiaan yang terjadi di kota
Prester, sehingga mengobarkan api perjuangan untuk
menyelamatkannya. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu
al-‘Assâl yang terpaksa mengungsi ke Granada saat
kejatuhan kota Toledo tahun 1094 M yang kejatuhannya
diibaratkan dengan pakaian yang carut marut, dia
berkata:

Wahai penduduk Andalus, tunggangilah kuda-kudamu


Karena menetap di Toledo adalah kesalahan
Pakaian akan ditanggalkan dari ujung-ujungnya
Dan aku melihat pakaian Andalus tertanggalkan dari
pusatnya
Barang siapa yang meng-akrabi kejahatan tidak akan
lepas dari akibatnya
Bagaimana manusia bisa hidup dengan ular-ular dalam
satu kantong?

Meskipun bati-bait di atas mendapatkan kritikan


pedas dari sisi estetisnya, namun cukup keras dalam
mengingatkan akan bahaya ketidakberdayaan, seakan-
akan berkata: jika kalian tetap tidak berdaya dan tunduk
maka adalah kesalahan besar untuk tetap tinggal di
dalam Toledo. Maka kumpulkan kekuatan dan satukan
barisan untuk mengembalikan hak kalian atas kota
Toledo. Kalau tidak, maka kalian tidak layak untuk
mengaku sebagai penduduknya dan tinggal di
dalamnya. Dengan demikian, menjauhi Toledo
merupakan kewajiban agar kalian menjaga kesucian dan
kemulian dari hinanya ketakutan kalian.

Contoh lain adalah 72 bait puisi yang dilantunkan


oleh al-Jundy al-Majhûl dalam elegi Toledo, dengan
menganggap kejatuhannya sebagai bencana yang
disebabkan karena dosa dan maksiat orang Islam
sendiri, sebagai mana firman Allah: “Dan kamu tidak
akan terkena musibah kecuali karena perbuatanmu” dia
berkata:

Kita adalah manusia-manusia yang layak mendapatkan


balasan
Karena kefasikan besar dan maksiat jangak
Yang mengalir deras dalam darah kita

Meskipun demikian, al-Jundy tetap mengobarkan api


jihad membela negara atas nama agama dan akidah
yang telah dihinakan musuh:

Dendamlah atas agamamu dan menangkanlah


Elang-elang akan melindungi korban-korban
darimu

Bencana ketiga adalah jatuhnya kota Valencia


ibukota Andalus Timur tahun 1094 M. Mr. Kampitor
bahkan membakar ulama’nya seperti Ahmad bin Jahhâf
dan memenjarakan sebagainnya. Ibnu ‘Alqamah
menggambarkan bencana tersebut dalam bukunya ‘al-
bayan al-wadhih fi al-mulimm al-fâdih’. Penyair Hisyam
al-Kinâni pun tidak ketinggalan membuat elegi yang
bahkan banyak dipelajari oleh para orientalis Eropa
seperti Engel Palencia dan Jalian Rebiera.
Ibnu Khafâjah banyak membuat elegi saat
keruntuhan Valencia ini, diantara penggalan puisinya
adalah:

Hai rumahku, pekaranganmu telah penuh dengan


musuh
Kerusakan dan api telah membakar dirimu
Jika seorang melihat ke dalam dirimu
Akan jelas panjangnya bencana dan praharamu
Pendudukmu terkubur dalam batu-batu
Lembaran sejarah pun menuliskan
Bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dulu

Kota Valencia ini dapat direbut kembali oleh


dinasti Murâbithûn tahun 1101 M.
Berbeda dengan elegi sastra Timur yang
mementingkan keindahan struktur bahasa saja tanpa
didasari dengan emosi dan refleksi yang nyata, elegi
Andalus cenderung mudah dan tidak berbelit-belit,
namun secara estetik masih didasari dengan fantasi dan
ilustrasi yang jujur yang mengekspresikan apa adanya,
dengan sebab-sebab berikut:
1. Sangat eratnya hubungan para penyair dengan
tanah airnya, sehingga keruntuhannya
menimbulkan kesedihan yang tak ternilai
2. Sebab agama, jatuhnya kota-kota ini di tangan
musuh yang notabene berlainan agama
menyebabkan mereka berapi-api berpuisi
menghidupkan nasionalisme. Karena agama bagi
mereka adalah harta termahal bahkan melebihi
jiwa mereka sendiri

Penutup

Sebagai penutup, sengaja saya kutipkan penggalan


puisi Abu al-Baqâ’ al-Rundy untuk melihat betapa
keadaan menjadi terbalik akibat dari kezaliman orang
Islam dan betapa besar tragedi kemanusiaan di Andalus:

Kemarin, mereka adalah raja di negerinya


Sekarang, mereka adalah hamba di wilayah musuhnya
Kalau engkau melihat mereka kebingungan tanpa
petunjuk
Karena berbagai warna kehinaan dilakui mereka
Kalau engkau mendengar sayatan tangis mereka
Hatimu pun miris karena kesedihan
Betapa banyak ibu dan anak jadi terpisah
Seperti terpisahnya ruh dari badan
Betapa banyak bayi yang tak sempat tersinari mentari
Mereka laksana batu korundum dan karang
Sang atheis menggiringnya kepada kebencian
Mata menangis dan hati pun luka
Hati menjadi tenggelam dalam kesedihan
Jika terdapat di dalamnya Islam dan iman

Sebagaimana yang pernah dikatakan Umar bin Khatthab


bahwa puisi bukan hanya sebagai poetical work, tapi
merupakan data dan dokumentasi sejarah manusia yang
bisa ditelusuri kebenaran peristiwa-peristiwa yang
dikandungnya. Maka melihat realitas sejarah Andalus,
harus juga melihat karya-karya puisi yang timbul
sepanjang sejarahnya. Meskipun tulisan ini kurang
menggambarkan timbul tenggelamnya sastra Andalus,
tapi bisa dipakai untuk sekedar melihat kegetiran
sejarah Islam di Andalusi akibat ulah pemeluknya
sendiri. Wallahu A’lam!!

Daftar Bacaan:
1. Ahmad Haikal, Dr. al-Adab al-Andalusy min al-fath
ilâ suqût al-khilâfah, dâr al-Ma’ârif, cet. 12, Kairo,
1997
2. Galal Hijazy, dr. Fi al-Adab al-Andalusy Târîkhuhu
wa Nushûsuhu, Dâr al-Busyrâ, 1998.
3. Muhammad Ridhwân al-Dâyah, Dr. Târikh al-Naqd
al-Adaby fi al-Andalus, Muassasah al-Risâlah, scet.
2, Syiria, 1993.
4. Ahmad al-Muqry al-Maghriby, Nafh al-Thayb min
Ghusn al-Andalus al-Rathîb, Pen. Azhariyah, Kairo,
1302H.
http://religiusta.multiply.com/journal/item/86

Anda mungkin juga menyukai