Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH STUDI AL- QUR’AN

KAIDAH-KAIDAH BALAGHAH

Oleh: ……………………………………………

Balaghah menurut bahasa Akhir dan Akses (hubungan) sedangkan menurut

istilah adalah: penerangan dan penjelasan dan berakhir pada makna dan

sampainya hal yang dimaksud (intisari) dengan lafad yang bagus dan

penyampaian perkatan yang berkesan dan pengungkapan yang bagus/fasih.

‘’sesungguhnya perkataan yang baligh adalah: perkataan yag berkesan di

hati, Mengambil keuntungan dengan merebut (simpati) dan merasakan ketakutan

yang diketahui, apabila mendengar kata ‘’Surga” bersukacita. Dan apabila

mendenagar kata ‘’Neraka” merasa Ngeri.

Balghah bukanlah segalanya kecuali sebuah seni dari berbagai seni yang

bersandar pada kemurnian persiapan yang murni dan telitinya pengetahuan

kalimat dan menerangkan perbedaan yang tersembunyi diantara jenis-jenis asalib.

Almironah merupakan instrument di dalam pembentukan selera artistic dan bakat

yang dingin (belum tereksplorasi), maka wajib bagi para murid disamping itu

untuk membaca kaidah-kaidah sastra.

Istilah “’Ilm Al-Balaghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‘ilm dan al-Balaghah.

Kata “‘Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata “Ilm” juga

diartikan sebagai materi-materi pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu (al-

Qadhaya allati tubhatsu fihi). Kata “ilm” juga dapat diartikan sebagai pemahaman

yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu bidang tertentu.

1
2

Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam bidang ini

dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:

1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:

‫أما البلغاة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خلبا مع ملئامة كل كلما‬

‫للموطن الذي يقال فيه والشأخاص الذين يخاطبون‬.

“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas

mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga

relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta

memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.

2. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah:

‫الحد الصحيح للبلغاة في الكلما هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس الس امع بإص ابة موض ع القإنناع‬

‫من العقل والوجدان‬

“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalahkeberhasilan

si pembicara dalam menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa

pendengar (penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan

kepuasan akal dan perasaannya”.

3. Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin:

‫البلغاة هي مطابقة الكلما لمقتضى الحال مع فصاحت‬

Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi

disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih. Dari beberapa definisi di atas, dapat

ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan

dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan

kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi


3

pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki

pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan tersebut.

Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-

materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai

Balaghah itu sendiri.

A. Ilmu Balaghah Dalam Perspektif Sejarah

1. Balaghah Pra Turunnya Al-Qur’an

Kelahiran dan pertumbuhan Balaghah dikalangan masyarakat

penggunanya bersifat arbitrer. Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya al-

Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu

menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang

menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang

bernilai tinggi. Perhatikanlah misalnya apa yang diungkapkan oleh Imru’

al-Qays salah seorang pujangga Arab Jahiliyah pada saat malam gelap

gulita dimana kedua bola matanya sulit terpejam karena mendengar

informasi tentang kematian sang ayah yang sangat dicintainya:

‫ وأردف أعجازا وناء بكلكل‬# ‫فقلت له لما تمطى بصلبه‬

“Maka kukatakan kepadanya (malam) ketika ia menghimpitku

dengan segenap tubuhnya dan menyesakkan dadaku dengan perasaan

sedih dan duka cita yang tak terucapkan”.

Duka nestapa dan kesedihan yang begitu abstrak diekspresikan

dalam bentuk gaya bahasa yang figurative dan indah sekali. Keindahan

bahasa puisi tersebut jelas dan terasa sekali pada kemampuan si


4

penggubahnya dalam menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak

menjadi kongkrit, hingga seakan-akan dapat diraba keberadaannya.

Dan resapi serta renungkanlah betapa indahnya gubahan beberapa

lirik syai’r yang begitu puitis dalam menggambarkan keadaan yang

dialami oleh penyair tatkala ia merasa begitu tersiksa secara psikis dan

mental akibat rindu yang begitu mendalam terhadap sang kekasih yang

sangat dicintainya. Namun karena adanya jarak yang menghalangi, maka

mereka tidak pernah bisa bersua untuk mengobati kerinduannya. Akhirnya

keluarlah dari mulut salah seorang diantara mereka lirik-lirik bait syair

yang begitu indah untuk menggambarkan keadaan tersebut.

‫ فقلنننننت ومنثننننننلي بالبكننننناء جنديننننننر‬# ‫بكينننننت علنننننى سنننننربا القطنننننا إذ منننننررن بنننننني‬

‫ لنننننعلي إلنننننى مننننن قإنننند هنننننويت أطنننننير‬# ‫أ سننننربا القطننننا هننننل مننننن ينعنننننير جننننناحه‬

‫ أل كلنننننننننا يننننننا مستنعنننننننير ننعنننننننير‬# ‫فنجاوبننننننننني مننننننن فننننننوق غاصننننننن أراكننننننة‬

‫ تنعنيننننننننش بننننننذل والجننننننننناح كسننننننننير‬# ‫فننننننأي قإننننننننطاة لننننننم تنعنننننننرك جننناحنننننننه‬

Artinya: “Aku menangisi sekawanan burung merpati tatkala mereka

melintas dihadapanku, dan akupun bergumam: orang seperti diriku

memang layak untuk menangis. Wahai kawanan burung merpati, Adakah

diantara kalian yang sudi untuk meminjamkan sayapnya kepadaku, agar

aku dapat terbang tuk menemui kekasih yang kucintai. Merekapun

nyeletuk menjawab permintaanku dari atas ranting pohon arak, Hai orang

yang bermaksud meminjam sayap kami, ketahuilah bahwa kami juga

sebenarnya sekedar dikasih pinjam. Maka tidak ada seekor burung

merpatipun yang rela tuk meminjamkan sayapnya, karena (jika itu terjadi)

pasti ia akan hidup dalam keadaan hina dan sayapnya akan patah”.
5

Perasaan rindu yang terpendam dan berkecamuk serta perasaan

asmara yang bergejolak melahirkan perasaan sedih yang mendalam yang

diekspresikan dengan cucuran airmata tertuang dalam gubahan syair

tersebut dengan indah sekali. Keadaan tersebut diadukan kepada kawanan

burung-dalam bentuk dialog personifikatif-yang dilihat oleh penyair

sebagai kelompok makhluk yang beruntung karena dilengkapi dengan

sayap yang membuat mereka dapat terbang kemanapun mereka suka.

Tidak seperti diri penyair yang terisolir dan nasibnya yang terpasung tidak

dapat pergi menemui sang kekasih yang sudah lama didambakannya.

Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh

adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi

yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan

tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung

pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai

perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di

berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-

kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir

untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-

ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang

digunakan, maupun kandungan maknanya.

Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif

menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah

mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan bayan.[10]

Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra
6

Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum

terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut

tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-

pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-

an dan ke-balaghah-an.

Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin menyatakan bahwa sastra Arab klasik

pra turunnya al-Qur’an ini lebih banyak mengekspresikan sesuatu dalam

bentuk tasybih, dan majaz saja, terutama isti’arah.

2. Balagah Pasca Turunnya Al-Qur’an

Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra

turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah

turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan

pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak

ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra,

terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator

dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.

Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber

keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-

Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balaghag (nahj al-balaghah)

dan merupakan model utama (al-namuzaj al-mitsli) dalam rujukan

penggubahan syai’r.

Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar

terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat

sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan


7

bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang

nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui

dalam diskursus kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah

menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan

atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun,

baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep

I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak

seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa

dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan

tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya

untuk mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu

surat saja sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah:

“Dan jika kalian masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa

(kitab) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka

(coba) datangkanlah sekedar satu surat yang mirip dengannya dan ajaklah

para pembantu kalian selain Allah (yang kalian anggap mampu) jika kalian

benar-benar jujur”.

Dan sesungguhnya mereka telah mengakui dan merasakan

ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an, sehingga diantara mereka ada

yang meninggalkan syai’r karena lebih tertarik dengan keindahan bahasa

al-Qur’an tersebut sebagaimana keterangan yang diperoleh dari Lubaid

dan al-Khansa’ dua orang sastrawan dan pujangga besar masa tersebut.[14]

Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an dan

mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan


8

penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan

sekasama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an.

Uapaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-

Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan

keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil.

Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping

telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang

melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.

Pengaruh al-Qur’an terhadap Balaghah ‘Arabiyyah tersebut begitu

nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai objek

kajian dalam diskursus-diskursus kebalaghahan yang melahirkan karya-

karya besar seperti Kitab Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaidah (w. 207 H)

yang ditulis karena adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma’il terhadap

penggunaan tasybih dalam penggambaran sifat syajarat al-Zaqqum

(makanan penduduk neraka) dalam firman Allah ayat 65 surat al-Shaffat:

‫ طلعها كأنه رءوس الشياطين‬.

Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai

suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia

terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan

kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah,

dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam,

sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami

perkembangan yang menggembirakan.


9

Perkembangan Balaghah yang semakin baik tersebut ditandai dengan

munculnya para tokoh yang kompeten dan karya-karya besar mereka pada

abad ke-III H, seperti Abu ‘Ubaidah (w. 211 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H),

Ibnu Hasan al-Rumani (w. 284 H), al-Farra’ (w.207 H), dan Al-Jahizh (w.

255 H). Abu ‘Ubaidah menyusun sebuah kitab tentang Majaz al-Qur’an

yang bernama Ilmu Majazil Qur’an. Ibnu Quthaibah menulis kitab Ta’wil

Musykil al-Qur’an, dan Al-Farra’ menulis kitab Ma’anil Qur’an yang

meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi juga menyinggung

kajian ilmu Balaghah. Sedangkan al-Rumani menyusun kitab An-Naktu Fi

I’jazil Qur’an.[18] Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat

berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan

ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang berjudul al-Bayan wa

al-Tabyin.

Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai

puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan semakin utuhnya

kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh

Imam Abdul Qahir al-Jurjani (400-471 H). Kedua kitab tersebut adalah:

Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi soal-soal majaz, isti’arah,

tamtsil, tasybih dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma’ani yang merupakan

bagian dari Balaghah. Kedua, kitab Dala’ilul I’jaz, yang berisi tentang

keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang

merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan

kemukjizatannya.
10

Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki pada abad

ke-VII H yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai

disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai

komponennya, yaitu Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’. Namun

antara ilmu Bayan dan Ilmu Badi’ masih beliau gabung dalam satu ilmu

dengan istilah Ilmu al-Mahasin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu

Al-Mahasin al-Lafziyyah dan Ma’nawiyyah. Beliau menyusun sebuah

karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu

pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama

Miftahul ‘Ulum.

Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu

Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh

Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya

yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab

Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.

B. Urgensi Ilmu Balaghah

Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis

seperti posisi ruh dari jasad. Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah

yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas tersebut disebabkan oleh

beberapa hal, diantaranya adalah:

1. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan

seseorang kepada pengetahuan tentang ke-I’jaz-an al-Qur’an;

2. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu

seorang yang bergelut dengan diskursus al-Qur’an terutama mufassir


11

dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang

didalamnya. Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-

Kasysyaf:

‫إن أمل العلوما بما يغمر القرائاح وأنهضها بما يبهر اللبابا القوارح من غارائاب نكت يلطف مسلكها‬

‫ ول‬,‫ومستودعات أسرار يدق سلكها علم التفسير الذي ل يتم لتعاطيه وإجالة النظر فيه كل ذي علننم‬

‫ وهم ا علمنا المعناني‬,‫يغوص على تلنك الحقنائاق إل رجنل قإند بنرع ف ي علمينن مختصنين بنالقرآن‬

‫والبيان‬.

“Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah rahasia yang

rumit di tempuh, paling padat dengan kandungan rahasia yang pelik, yang

membuat watak dan otak manusia kewalahan untuk memahaminya adalah

ilmu tafsir, yakni ilmu yang sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki

oleh orang yang berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk

menyelam kekedalaman hakekat pemahaman tersebut kecuali seseorang

yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yang

berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan”.

Dari pernyataan al-Zamakhsyari tersebut, dapat ditangkap pesan

utama bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang sangat sulit dan pelik,

sehingga membutuhkan pelbagai perangkat keilmuan yang mendukung

dalam upaya pengkajian dan penafsiran al-Qur’an. Salah satu perangkat

utama yang mendukung hal tersebut adalah adanya kompetensi dan

penguasaan yang matang tentang dua ilmu utama yang berkaitan dengan

al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan. Penguasaan kedua ilmu ini

merupakan prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggali isi al-

Qur’an.
12

Hal tersebut dipertegas oleh Al-Zahabi yang mengutip pernyataan

para ulama yang mempersyaratkan beberapa syarat mutlak bagi seorang

mufassir dalam upaya menafsirkan al-Qur’an terutama tafsir bi al- ra’yi.

Setidaknya mereka harus qualified dan menguasai lima belas jenis ilmu

yang merupakan ilmu Bantu mutlak dalam upaya tersebut. Diantara kelima

belas ilmu yang mesti dikuasai tersebut adalah ilmu al-Balaghah yang

mencakup ketiga komponennya (ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’). Berikut

pernyataan Al-Zahabi:

,‫ علوما البلغاة الثلثة )المعاني والبيان والبديع( فعلننم المعنناني‬:‫الخامس والسادس والسابع‬

‫ يعرف به خواص الننتراكيب‬,‫ وعلم البيان‬.‫يعرف به خواص تراكيب الكلما من جهة إفادتها المعنى‬

.‫ يعنرف بنه وج وه تحسنين الكلما‬,‫ وعلنم البنديع‬,‫من حيث إختلفها بحسب وضوح الدللة وخفائاهنا‬

‫ وذلننك‬,‫ لنه لبد له منن مراعناة مننا يقتضننيه العجناز‬,‫وهذه العلوما الثلثة من أعظم أركان المفسر‬

‫ليدرك إل بهذه العلوما‬.

Artinya: “Yang kelima, keenam, dan ketujuh adalah ilmu Balaghah yang

mencakup tiga komponen ilmu (Ma’ani, Bayan, dan Badi’). Ilmu Bayan

berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik struktur

kalimat dari sisi pemberian makna. Ilmu Bayan berfungsi sebagai

instrument untuk mengetahui karakteristik suatu struktur kalimat dalam

hal perbedaan bentuk sisi kejelasan atau ketidak jelasan tunjukannya.

Sedangkan ilmu Badi’ berfungsi sebagai instrument untuk mengenal

bentuk-bentuk keindahan suatu ungkapan. Ketiga komponen ilmu ini

termasuk bagian yang paling basic yang harus dikuasai oleh seorang

mufassir, karena keberadaan seorang mufassir yang dituntut untuk


13

memperhatikan sisi kei’jazan al-Qur’an. Hal itu tidak akan terwujud

kecuali dia menguasai ketiga komponen ilmu ini”.

C. Fungsi Ilmu Balaghah

Mengenai fungsi ilmu Balaghah ini, penulis berusaha melacak berbagai

sumber tentang ilmu ini terutama dalam kaitannya dengan kajian al-Qur’an.

Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi utama yang

melekat pada ilmu Balaghah dalam kaitannya dengan kajian ini, yaitu:

1. Fungsi Interpretatif

Yang dimaksud dengan fungsi interpretatif ini adalah penggunaan

ilmu Balaghah dalam menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud ayat

al-Qur’an. Peranan fungsi ini sangat dominan dalam upaya pengkajian

makna-makna teks al-Qur’an, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu

‘Ubaidah dalam kasus ketidakpahaman Ibrahim bin Ismail tentang maksud

uslub tasybih dalam ayat 65 surat al-Shaffat: “ ‫”طلعها كأنه رءوس الشنياطين‬.

Penggunaan uslub tasybih dalam menggambarkan makanan penduduk

neraka berupa syajarat al-zaqqum dalam ayat diatas menimbulkan

kesulitan dan kerancauan dalam pemahaman bagi setiap orang yang tidak

memiliki pengetahuan yang memadai tentang uslub tersebut. Untuk

menguraikan interpretasi klausa dalam ayat tersebut sangat dibutuhkan

pemahaman yang mendalam tentang ilmu Balaghah. Unsur tasybih dalam

klausa ayat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Dhamir “‫ ”ه‬yang

melekat pada kata “‫ ”كنأنه‬merupakan kata ganti untuk kata “‫”طلننع‬, yang

berposisi sebagai musyabbah. Lafal “‫ ”كأن‬merupakan adat at-tasybih, dan


14

kata “‫ ”رءوس الشياطين‬sebagai musyabbah bih. Sedangkan wajah syabh tidak

disebutkan secara eksplisit.

Sebagai salah seorang mufassir yang sangat memperhatikan unsur

Balaghah, Imam al-Zamakhsyari dalam menafsirkan maksud ayat tersebut

mengawali dengan menjalankan analisnya sesuai dengan analisis ilmu

Bayan. Ia menggambarkan mayang pohon zaqqum itu sama dengan

kepala-kepala syetan, yang dalam bayang pemikiran manusia sangat

menakutkan dan sangat jelek bentuknya. Bayangan kejelekan dan bentuk

yang menakutkan itu didasarkan atas keyakinan manusia bahwa setan

merupakan makhluk yang paling jahat dan paling menakutkan yang tidak

ditemukan padanya sedikitpun kebaikan. Gambaran mengenai mayang

pohon zaqqum yang diserupakan dengan kepala-kepala syetan yang begitu

menakutkan dan menyeramkan itu hanya ada dalam benak pemikiran

manusia saja. Gambaran seperti itu oleh al-Zamakhsyari disebut dengan

istilah tasybih takhyili.

2. Fungsi Argumentatif

Kata “Argumen” merupakan kata serapan dari bahasa asing dan

dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan alasan yang dapat dipakai

untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.

Dari kata tersebut lahir istilah “Argumentasi”, yang berarti pemberian

alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiriian, atau

gagasan. Sedangkan “Argumentatif” adalah memberikan alasan yang

dapat dipergunakan sebagai bukti.


15

Dari pengertian-pengertian kata yang dikemukakan tersebut dapat

ditarik suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan fungsi argumentif

ilmu Balaghah adalah suatu fungsi yang dilekatkan bagi ilmu ini dalam

upaya memperkuat atau menolak pendapat yang sudah ada tentang al-

Qur’an berdasarkan bukti-bukti tertentu. Yang penulis maksud disini

adalah pandangan orang yang masih meragukan otentisitas dan keberadaan

kitab suci al-Qur’an yang benar-benar datang dari sisi Allah SWT, bahkan

cenderung menuduh bahwa kitab tersebut merupakan gubahan tangan

Nabi Muhammad Saw.

Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu

Balaghah pasti akan menemukan nilai-nilai sastra yang sangat tinggi yang

jauh melebihi kemampuan manusia untuk menggubah dan membuat yang

mirip dengannya. Oleh karenanya pengetahuannya tentang ilmu Balaghah

tersebut dapat menjadi argument yang mendukung ke-I’jaz-an al-Qur’an

yang menunjukkan otentisitas kitab tersebut. Pengetahuan tentang

Balaghah itu sekaligus membantah tuduhan dan pandangan orang yang

menyangsikan otentisitas al-Qur’an selaku kitab suci yang benar-benar

bersumber dari sisi Allah SWT, bukan hasil goresan tangan manusia

apalagi seperti sosok Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan sifat ke-

ummi-annya.

Oleh karena itu, perhatian terhadap kajian ke-balagh-an ini sudah

selayaknya menjadi perhatian serius umat Islam terutama pemerhati kajian

dan diskursus al-Qur’an. Bahkan Abu Hilal al-‘Askari memandang

kedudukan ilmu Balaghah sangat strategis dan utama. Ia menempatkannya


16

dalam urutan kedua setelah ilmu yang berkaitan dengan ma’rifatullah

(theology) yang mesti mendapat perhatian serius. Keberadaannya harus

dijaga dan dipertahankan lewat pendidikan berkesinambungan. Karena

siapa saja yang melalaikan keberadaan ilmu Balaghah pasti ia tidak akan

mengetahui sisi kemukjizatan al-Qur’an, baik dari sisi keindahan susunan

lafal, keunikan struktur kalimat, maupun keindahan-keindahan lainnya

yang berhubungan dengan sisi maknanya.

D. Macam-Macam Ilmu Balaghah

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kitab Balaghah

permulaan, ilmu Balaghah masih belum dipilah kedalam beberapa bagian

seperti sekarang ini. Pemilahan ini dirintis oleh Abdul Qahir al-Jurjani,

dilanjutkan oleh As-Sakaki, dan dimantapkan lagi oleh Khatib al-Qazwaini.

Dalam kitab Talkhisul Miftah yang dikutip oleh Abdul Jalal, beliau

menjelaskan macam-macam ilmu Balaghah sebagai berikut:

1. Ilmu Ma’ani, yang membahas segi lafal Arab yang relevan dengan

tujuannya. Definisinya yaitu:

‫علم المعاني هو أصول وقإواعد يعرف بها أحنوال الكلما العربني النتي يك ون به ا مطابق ا لمقتض ى‬

‫الحال بحيث يكون وفق الغرض الذي سيق له‬

“Ilmu Ma’ani ialah ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang

dengannya diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang sesuai dengan

keadaan dan relevan dengan tujuan pengungkapannya”.

a. Pengertian

Ma’aani jamak dari ma’na, secara leksikal berarti arti. Secara istilah:

ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafal bahasa yang sesuai dengan
17

tuntutan situasi dan kondisi. Objek kajiannya hampir sama dengan

ilmu nahwu. Hanya kalau ilmu nahwu membahas makna yg lebih

bersifar mufrad, sedang ma’ani lbh besifat tarkibi.

b. Kajian

1) Kalimat dan bagian-bagiannya

a) Musnad – musnad ilaih

b) Fi’il – mutaallaq

2) Jumlah

a) Fashal

b) Washal

c) Ijaz

d) Ithnab

e) Musawat

Lebih rinci meliputi 8 macam kajian:

a) Ihwal Isnad Khabary

b) Ihwal musnad ilaih

c) Ihwal musnad

d) Ihwal mutaaliqaatul fi’li

e) Al-Qashr

f) Al-Insya’

g) Alfashal dan alwashal

h) Al-Ijaaz, al-ithnaab, dan al-musaawah


18

3) Jumlah = Kalimat

a) Jumlah Ismiyah

- Ismiyah: suatu jumlah (kalimat) yang terdiri atas mubtada’

dan khabar.

- Fungsi jumlah ismiyah adalah menetapkan sesuatu hukum

pada sesuatu.

- Jumlah ini tidak berfungsi untuk tajaddud/pembaruan dan

istimrar/kontinuitas (terutama yang khabarnya berbentuk

fa’il atau isim maf’ul.

- Jika khabarnya berbentuk fi’il, maka mengandung dimensi

waktu (bisa lampau, sekarang, atau yang akan datang)

- Jumlah ismiyah (kalimat nominal), mubtada’ ditempatkan

di awal kalimat sedangkan khabar ditempatkan sesudahnya

- Jika mubtada berbentuk nakirah (indefinitive) dan khabar

berupa frase preposisi, maka khabar didahulukan

b) Jumlah Fi’liyah

- Jumlah fi’liyah: kalimat yang terdiri atas fi’il dan fa’il atau

fi’il dan naibul fa’il

- Mengandung makna pembatasan waktu (lampau. Sedang,

akan). Setiap fi’il hanya ada satu pembatas waktu.

- Waktu pada fi’il tdk perlu ada qarinah lafdziyah

- Penanda waktu pada isim perlu qarinah lafdhiyah

- Fi’il juga bisa menunjukkan makna tajaddud


19

- Jumlah fi’liyah juga bisa menunjukkan adanya perubahan

secara berkesinambungan dan bertahap sesuai konteks dan

indikatornya (syarat fi’ilnya berupa mudhari’)

- Pada jumlah fi’liyah (kalimat verbal), fi’il (verba) dapat

berbentuk aktif dan pasif.

- Karakteristik jumlah fi’liyah tergantung kepada fi’il. Fi’il

madhi membentuk karakter (baik positif maupun negatif).

Sedangkan fi’il mudhari’ membentuk tajaddud

(pembaharuan)

- Selain struktur, kalimat juga bisa digolongkan dari segi isi.

Dari segi isi, baik jumlah ismiyah maupun fi’liyah ada kita

sebut jumlah mutsabatah (kalimat positif) dan jumlah

manfiyah (kalimat negatif).

- Jumlah mutsabatah (kalimat positif) ialah kalimat yang

menetapkan keterkaitan antara subjek dan predikat (baik

dalam jumlah ismiyah maupun jumlah fi’liyah)

- Jumlah manfiyah (kalimat negatif ialah kalimat yang

menegasikan/meniadakan hubungan antara subjek dan

predikat

2. Ilmu Bayan, yang membahas segi makna lafal yang beragam. Definisinya

yaitu:

‫علم البيان هو أصول وقإواعد يعرف بها إيراد المعنى الواحد بطرق يختلف بعضها عنن بعننض فني‬

‫وضوح الدللة العقلية على نفس ذلك المعنى‬


20

“Ilmu Bayan ialah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang dengannya

dapat diketahui penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan,

namun terdapat perbedaan kejelasan tunjukan makna antara satu ungkapan

dengan ungkapan lainnya yang beragam tersebut”

3. Ilmu Badi’, yang membahas keindahan kalimat Arab. Definisinya yaitu:

‫البديع عو علم يعرف به الوجوه والمزايا التي تزيد الكلما حسنا وطلوة وتكسوه بهنناء ورونقننا بعنند‬

‫مطابقته لمقتضى الحال‬

“Ilmu Badi’ ialah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui bentuk-

bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai keindahan

dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat

memperbagus dan mepermolek ungkapan itu, disamping relevansinya

dengan tuntutan keadaan”.

Menurut leksikal: suatu ciptaan baru yang tidak ada contoh

sebelumnya

Menurut terminologi: Suatu ilmu yang dengannya diketahui metode dan

cara-cara yang ditetapkan untuk menghiasi kalimat dan memperindahnya

setelah kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dan telah jelas

makna yang dikehendaki.

Objek kajian ilmu badi’ adalah upaya memperindah bahasa baik

pada tataran lafal (muhassinaat lafdziyyah) maupun makna (muhassinaat

ma’nawiyyah). Kalau ma’aani dan bayan membahas materi dan isinya,

maka badi’ membahas dari aspek sifatnya.


21

4. Majazi

Majazi secara leksikal bermakna melewati. Secara terminologi:

Kata yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya

‘alaqah disertai adanya qarinah yang mencegah dimaknai secara hakiki.

Majazi (konotatif) merupakan kebalikan dari hakiki (denotatif).

Makna hakiki: makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang

pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafal atau ungkapan itu

lahir untuk makna itu sendiri.

Majazi: perubahan makna dari makna asal ke makna kedua. Makna

ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna ini ada

proses perubahan makna.

Muraadif atau munaasabah tdk dikatakan memiliki makna majazi

karena di dalamnya tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna

baru. Suatu teks bisa dinilai mengandung makna haqiqi jika si penulis

menyatakan secara jelas bahwa maksudnya sesuai dengan makna asalnya;

atau tidak adanya qarinah-qarinah (indikator) yang menunjukkan bahwa

teks tsb mempunyai makna majazi. Jika ada qarinah-qarinah yang

menunjukkan bahwa lafal atau ungkapan tidak boleh dimaknai secara

haqiqi, maka kita harus memaknainya secara majazi

a. Ungkapan majaz muncul disebabkan:

1) Sabab lafzhi: lafal-lafal tsb tidak bisa dan tidak boleh dimaknai

secara hakiki. Jika dimaknai haqiqi maka akan muncul pengertian

yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafzhi

pula.
22

2) Sabab takribi (isnadi): ungkapan majazi terjadi bukan karena lafal-

lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari

segi penisbatan. Penisbatan fi’il kepada failnya tidak bisa diterima

secara rasional dan keyakinan.

3) Makna haqiqi: makna yang dipakai menurut makna yang

seharusnya.

4) Makna majazi: kata yang dipakai bukan pada makna yang

semestinya karena ada alaqah (hubungan) dan disertai qarinah

(lafal yang mencegah penggunaan makna asli).

5) Majas pada garis besarnya terdiri atas majas lughowi dan majaz

aqli.

6) Majas lughowi: majas yang alaqahnya atau illah nya didasarkan

pada aspek bahasa

7) Majas aqli adalah penisbatan suatu kata fi’il (verba) kepada fa’il

yang tidak sebenarnya

8) Majas lughowi terdiri atas majaz isti’arah dan majaz mursal:

b. Majaz isti’arah: yang alaqahnya (hubungan) antara makna asal dan

makna yang dimaksud adalah musyaabahah (keserupaan). Majaz

mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyabbah (tidak saling

menyerupai).

1) Majaz isti’arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafain

nya (musyabbah atau musyabbah bih nya) dan dibuang pula wajh

syibh dan adat tasybihnya.


23

2) Dalam isti’arah: musyabbah dinamai musta’ar lah dan musyabbah

bih dinamai musta’ar minhu. Lafal yang mengandung isti’arah

dinamakan musta’ar dan wajh syibh nya dinamakan jami’.

Qarinahnya ada dua yaitu qarinah mufrad dan qarinah jama’

3) Ditinjau dari musta’ar lah dan musta’ar minhu, majaz isti’arah ada

dua kategori:

a) Isti’arah tashriihiyyah: yang ditegaskan (ditashrih) adalah

musta’ar minhu nya sedangkan musta’ar lah nya dibuang.

Dengan istilah lain: musyabbah bihnya disebut, dan

musyabbahnya dibuang

b) Isti’arah makniyyah: yang dibuang adalah musta’ar minhu, atau

dengan kata lain musyabbah bihnya dibuang.

Ditinjau dari segi bentuk lafalnya:

a) Isti’arah ashliyah: jenis majaz yang lafal musta’ar nya isim

jami bukan musytaq (bukan isim sifat)

b) Isti’arah taba’iyyah: jenis majaz yang musta’arnya fi’il, isim

musytaq atau harf

Ditinjau dari kata yang mengikutinya:

a) Isti’arah murasysyahah: ungkapan majaz yang diikuti oleh

kata-kata yang cocok untuk musyabbah bih

b) bagi musyabbah bih mauapun musyabbah

c) Isti’arah mujarradah: yang disertai dengan kata-kata yang

cocok bagi musyabbah


24

4) Majas mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyaabahah (tidak

saling menyerupai). Alaqah antara musta’ar dan musta’ar minhu

dalam bentuk:

a) Sababiyah: ini sebagai salah satu indikator majaz mursal.

Menyebutkan sebab sesuatu, sedangkan yang dimaksud adalah

sesuatu yang disebabkan

b) Musababiyyah: Ini indikator kedua. Menyebutkan sesuatu yang

disebabkan, sedangkan yang dimaksud adalah sebabnya

c) Juz’iyyah: Menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang

dimaksudkannya adalah keseluruhannya

d) Kulliyah: Menyebutkan sesuatu keseluruhannya, sedangkan

yang dimaksudkannya adalah sebagiannya

e) I’tibaaru maa kaana: Menyebutkan sesuatu yang telah terjadi,

sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang akan terjadi atau

yang belum terjadi

5) I’tibaaru maa yakuunu: Menyebutkan sesuatu dengan keadaan

yang akan terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah

keadaan sebelumnya

a) Mahaliyyah: Menyebutkan tempat sesuatu, sedangkan yang

dimaksudkannya adalah menempatinya

b) Haliyyah: menyebutkan keadaan sesuatu, sedangkan yang

dimaksudkannya adalah yang merasakan keadaan itu

c) Aliyah: apabila disebutkan alatnya, sedangkan yang

dimaksudkan adalah sesuatu yang dihasilkan oleh alat tersebut


25

6) Majaz aqli: menyandarkan fi’il (verba) atau yang semakna

dengannya kepada yang bukan seharusnya karena ada alaqah

(hubungan) serta adanya qarinah yang mencegah dari penyandaran

yang sebenarnya. Penyandaran fi’il atau yang semakna dengannya

dilakukan kepada:

a) Sebab

b) Penisbatan kepada waktu

c) Penisbatan kepada tempat

d) Penisbatan kepada mashdar

e) Mabni maf’ul disandarkan kepada isim fa’il

f) Mabni fa’il disandarkan kepada isim maf’ul

c. Kinayah

Kinayah secara leksikal bermakna ‘ucapan yang berbeda dengan

maknanya. Secara etimologis: suatu kalam yang diungkapkan dengan

pengertiannya yang berbeda dengan pengertian umumnya, dengan

tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya. Kinayah pada awalnya

bermakna dhamir, irdaf, isyarah, isim maushul, laqab, badal, dan tikrar.

Sekarang mempunyai pengertian seperti di atas. Perbedaan antara

majaz dan kinayah terletak pada hubungan antara makna hakiki

(denotatif) dengan makna majazi (konotatif). Pada ungkapan berbentuk

majaz, teks harus dimaknai secara majazi dan tidak boleh dimaknai

secara hakiki. Sedangkan pada ungkapan kinayah, teks harus dimaknai

dengan makna yang berbeda dengan lazimnya dengan tetap dibolehkan

mengambil makna hakikinya.


26

Ilmu balaghah mengalami perkembangan sampai pada akhirnya

para ahli balaghah bersepakat bahwa kinayah adalah “suatu ungkapan

yang diucapkan dengan pengertiannya yang lazim, akan tetapi tidak

tertutup kemungkinan dipahami dalam pengertiannya yang asal. Dari

segi makna kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah sifah, kinayah

maushuf, dan kinayah nisbah. Kinayah sifah adalah pengungkapan

sifat tertentu tidak dengan jelas, melainkan dengan isyarah atau

ungkapan yang dapat menunjukkan maknanya yang umum. Istilah

shifah dalam ilmu balaghah berbeda dengan shifah pada ilmu nahwu.

Sifat sebagai salah satu karakteristik kinayah berarti sifat dalam

pengertiannya yang maknawi (seperti: kedermawanan, keberanian,

panjang, keindahan, dan sifat-sifat lain yang merupakan lawan dari

zat). Kinayah shifah mempunyai dua jenis:

1) Kinayah qariibah: perjalanan makna dari lafal yang dikinayahkan

(makny anhu) kepada lafal kinayah tanpa melalui media

2) Kinayah baa’idah: perpindahan makna dari makna lafal-lafal yang

dikinayahkan (makny anhu) kepada makna pada lafal-lafal kinayah

memerlukan lafal-lafal lain untuk menjelaskannya.

Kinayah maushuf: apabila yang menjadi makny anhu nya atau lafal-

lafal yang dikinayahkan adalah maushuf (dzat). Ada dua jenis kinayah

maushuf:

1) Kinayah yang makny anhu nya (lafal yang dikinayahkan)

diungkapkan hanya dengan satu ungkapan


27

2) Kinayah yang makny anhu nya diungkapkan dengan ungkapan-

ungkapan yang banyak. Pada jenis kinayah ini, sifat-sifat tsb harus

dikhususkan untuk maushuf, tdk untuk yang lainnya.

Kinayah nisbah: apabila lafal yang menjadi kinayah bukan

merupakan sifat dan bukan pula merupakan maushuf, akan tetapi

merupakan hubungan sifat dan maushuf. Dari aspek wasaaith (media;

lafal-lafal atau makna-makna yang menjadi media atau penyambung

dari makna hakiki kepada makna majazi) kinayah dibagi menjadi tiga:

kinayah ta’ridh, talwih, imaa atau isyarah, dan ramz.

Kinayah ta’riidh (sindiran): secara leksikal bermakna ‘sesuatu

ungkapan yang maknanya menyalahi lahirnya lafal. Secara

terminologi: suatu ungkapan yang mempunyai makna yang berbeda

dengan makna sebenarnya. Pengambilan makna tersebut didasarkan

kepada konteks pengucapannya.

1) Zarkasyi: Ta’ridh adalah pengambilan makna dari suatu lafal

melalui mafhum (pemahaman konteks). Dinamakan ta’ridh karena

pengambilan makna didasarkan pada pemaparan lafal atau

konteksnya

2) Zamakhsyari: Antara kinayah dan ta’ridh terdapat perbedaan.

Kinayah berarti menyebutkan sesuatu bukan dengan lafal yang

ditunjukkannya. Sedangkan ta’ridh menyebutkan suatu lafal yang

menunjuk pada suatu makna yang tidak disebutkannya.

a) Ibn Al-Atsir: Ta’ridh lebih mementingkan makna dengan

meninggalkan lafal
28

b) Syakaki: Ta’ridh selain terdapat pada kinayah juga terdapat

pada majaz

c) Talwih secara bahasa bermakna ‘engkau menunjuk orang lain

dari kejauhan’. Secara terminologi: Talwih adalah jenis kinayah

yang di dalamnya terdapat banyak wasaaith (media) dan tidak

menggunakan ta’ridh (Bakri Syeikh Amin)

d) Zarkasyi: Talwih adalah seorang mutakallim memberi isyarah

kepada pendengarnya pada sesuatu yang dimaksudkannya

e) Imaa atau isyaarah: Kinayah jenis ini merupakan kebalikan dari

talwih. Di dalam imaa, perpindahan makna dari makna asal

kepada makna lazimnya terjadi melaui media (wasaaith) yang

sedikit. Pada kinayah ini, makna lazimnya tampak dan makna

yang dimaksud juga dekat

f) Ramz: Secara bhs ramz berarti isyaarah dengan dua bibir, dua

mata, dua alis, mulut, tangan dan lisan. Isyarah-isyarah tsb

biasanya dilakukan dengan cara tersirat. Secara istilah: ramz

adalah jenis kinayah dengan media (wasaaith) yang sedikit dan

lazimnya tersirat. Dengan kata lain, ramz adalah isyaarah

kepada sesuatu yang dekat dengan anda secara tersirat. Ramz

menyerupai bahasa sandi. Orang Arab menyebutnya ‘Lahn’

atau ‘malaahin’

d. Tujuan Kinayah:

1) Menjelaskan (Al-Idhaah)

2) Memperindah makna
29

3) Menjelaskan sesuatu

4) Mengganti dengan kata-kata yang sebanding karena dianggap jelek

5) Menghindari kata-kata yang dianggap malu untuk diucapkan

6) Peringatan atas keagungan tuhan

7) Untuk mubalaghah (hiperbola)

8) Untuk meringkas kalimat

e. Hubungan kinayah dan majaz:

1) Persamaan antara majaz dan kinayah, keduanya sama-sama

berkaitan dengan makna yang tsawaani (majazi). Sedangkan

perbedaannya terletak pada qarinah.

2) Qarinah dalam ilmu balaghah adalah suatu ungkapan baik eksplisit

maupun implisit yang ada pada suatu kalam (wacana) yang

menunjukkan bahwa makna yang dimaksud pada ungkapan

tersebut bukan makna haqiqi.

3) Qarinah ada dua: qarinah lafdziyyah dan qarinah ma’nawiyyah

a) Qarinah lafdziyyah adalah qarinah yang berbentuk lafal-lafal.

Jika dalam suatu kalam terdapat satu kata atau lebih yang

menunjukkan bahwa makna dalam kalam itu bukan makna

haqiqi, maka dia disebut qarinah lafdhiyyah

b) Qarinah ma’nawiyah adalah qarinah yang menunjukkan bahwa

makna kalam itu bukan hakiki dengan tersirat

4) Pada majaz, qarinah bisa bersifat lafdziyyah dan bisa juga bersifat

ma’nawiyyah; sedangkan pada kinayah qarinahnya harus tersirat


30

5) Pada majaz, qarinah mencegah pengambilan makna haqiqi; sedang

pada kinayah, qarinah tidak mencegah untuk mengambil makna

haqiqi.

6) Para pakar balaghah berpendapat qarinah pada ungkapan majaz

mengharuskan kita mengambil makna majazi dan meninggalkan

makna hakikinya

7) Pakar ushul fiqh berpendapat tidak ada perbedaan antara qarinah

pada majaz dan kinayah, boleh antara mengambil makna haqiqi

dan majazi

8) Qazwaini: Antara majaz dan kinayah terdapat perbedaan. Pada

majaz mesti ada qarinah yang menolak makna haqiqi

9) Syakaki: Pada majaz, perpindahan makna terjadi dari malzuum

kepada laazim. Pada kinayah, perpindahan makna dari laazim

kepada malzuum. Selain itu, kelaziman itu sendiri merupakan

kekhasan yang ada pada kinayah

f. Hubungan Kinayah dan Irdaaf (sinonim):

1) Menurut pakar ilmu bayaan, esensi dari kinayah merupakan irdaaf

Menurut pakar badi’: irdaaf berbeda dengan kinayah. Kinayah

adalah menetapkan salah satu dari beberapa makna dengan tidak

menggunakan lafal yang seharusnya, akan tetapi menggunakan

sinonimnya sehingga pengambilan maknanya cenderung

kepadanya.

2) Suyuti: Salah satu dari jenis badi’ yang menyerupai kinayah adalah

irdaaf yaitu seorang mutakallim ingin mengungkapkan sesuatu,


31

akan tetapi tidak menggunakan lafal yang seharusnya dan tidak

pula ada isyaarah yang menunjukinya. Lafal yang digunakannya

adalah sinonim dari lafal yang seharusnya

3) Pendapat lain tentang irdaaf dan kinayah: irdaaf berpindah dari

yang disebutkan kepada yang ditinggalkan; sedangkan kinayah

maknanya berpindah dari yang lazim kepada yang malzum

g. Perbedaan Kinayah dan Ta’ridh:

1) Zamakhsary: Kinayah adalah menyebutkan sesuatu bukan dengan

menggunakan lafal yang seharusnya. Sedangkan ta’ridh adalah

mengungkapkan makna sesuatu dengan tidak menyebutkannya

2) Ibn Atsir: Kinayah adalah suatu ungkapan yang mengandung

makna haqiqi dan majazi dengan gambaran yang mencakup

keduanya. Sedangkan ta’ridh adalah suatu ungkapan yang

mengandung makna dengan tidak melihat dari sisi haqiqi dan

majazinya

3) Subky: Kinayah adalah lafal yang digunakan pada makna

lazimnya, yaitu cukup dengan menggunakan lafalnya yang

mengandung makna haqiqi dan juga mengandung makna yang

tidak terdapat pada teksnya

4) Syakaki: Ta’ridh adalah konteks yang menggambarkan sesuatu

yang tidak disebutkan. Seseorang menyebut sesuatu, akan tetapi

dia memaksudkan untuk yang lainnya. Dengan demikian

dinamakan ta’ridh karena memiringkan kalam kepada sesuatu yang

ditunjuknya
32

5) Thiby menyatakan bahwa ta’ridh adalah mengungkapkan sesuatu

dengan tujuan:

a) Menjelaskan sesuatu yang ada di sisinya

b) Menghaluskan

c) Lil istidraj (menundukkan musuh)

d) Untuk mencela

e) Untuk merendahkan

6) Syubki: Ta’ridh itu ada dua macam. Pertama ungkapan yang

mengandung makna hakiki akan tetapi tersirat makna lainnya yang

dimaksud. Kedua ungkapan yang tidak dimaksudkan ungkapan

hakikinya

Sumber:

http://rexpozforum.blogspot.com/2010/08/al-balaghah-ilmu-maani.html

http://cadaziz.blogspot.com/search?updated-max=2011-02-

27T17%3A08%3A00%2B07%3A00&max-results=1

http://muhammadeko58.wordpress.com/2008/06/11/tafsir-qsal-ahzab-33-40/

http://www.facebook.com/note.php?note_id=212683785963

http://goermunsorif.blogspot.com/2010/01/ilmu-balagoh.html

Anda mungkin juga menyukai