Anda di halaman 1dari 6

DAMPAK BENCANA BANJIR TERHADAP KESADARAN WAJIB

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PADA MASYARAKAT PERUMNAS


ANTANG MANGGALA
Muhammad Royyan azis
Faturrahman Apriliansyah
Alfani Wahida
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
E-mail: faturrahman14089@gmail.com

Dosen Pengampuh Muhammad Nasri katman S.E


Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

PENDAHULUAN
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak daerah yang merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah guna mewujudkan akuntabilitas pemerintahan daerah yang luas,
substantif dan efektif. Oleh karena itu, kepatuhan wajib pajak diperlukan untuk
memenuhi kewajibannya yang sangat penting dalam pemungutan pajak. Kepatuhan wajib
pajak dapat dilihat dari pencapaian target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Daerah Pamekasan, dimana dalam
penelitian ini penulis mengkaji tentang analisis kepatuhan wajib pajak berdasarkan
kinerja penerimaan pajak bumi dan real estate.
Salah satu penerimaan APBN saat ini primadona sebagai sumber penghasilan
adalah pajak. Pajak adalah transfer kekayaan dari sektor swasta ke sektor public
berdasarkan hukum yang dapat dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dapatkan reward
yang bisa langsung di demonstrasikan, ini sangat penting untuk pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan sebagai kewajiban pemerintah untuk memperbaiki
kemakmuran dan kebahagiaan rakyat, dan karena itu perlu kontrol yang baik dalam hal
mengingat serta dalam hal Manajemen eksekutif. Sistem pemungutan pajak dilaksanakan
dengan memenuhi tiga hal yaitu sistem penilaian formal, sistem penilaian diri dan Sistem
pengekangan. Ketiga sistem tersebut memiliki karakteristik khusus setiap Namun yang
memiliki peran paling dominan adalah Selfrating system, sistem ini diterapkan untuk
pemungutan pajak Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan
Kemewahan, serta sebagian tentang pajak bumi dan bangunan
Kepatuhan wajib pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap
kewajibannya untuk membayar pajak tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai
persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak orang
pribadi maupun badan, aparatur pajak (fiskus), maupun yang bersumber dari perpajakan
itu sendiri. Kesadaran masyarakat untuk membayar pajak sudah patuh namun ada
sebagian wajib pajak yang masih melalaikan kewajibannya sehingga target penerimaan
ada yang belum terlaksana dengan baik.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan potensi yang harus terus digali
dalam menambah penerimaan daerah dikarenakan obyek pajak ini adalah bumi dan
bangunan yang jelas sebagian besar masyarakat memilikinya. Hanya saja pemungutan
PBB sering kali mendapatkan hambatan, baik mulai dari sosialisasi kepada masyarakat
yang kurang pemahaman masyarakat yang sempit mengenai pajak sampai pada metode
pemungutannya yang kurang efektif dan efisien.
Penting untuk memahami dampak bencana terhadap pembayaran pajak karena hal
ini memiliki implikasi penting bagi pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bergantung
pada penerimaan pajak untuk membiayai berbagai program dan proyek pembangunan.
Ketika terjadi bencana, pemerintah seringkali harus mengalokasikan sumber daya yang
signifikan untuk penanggulangan dan pemulihan pascabencana. Dalam situasi seperti ini,
masalah pembayaran pajak menjadi sangat penting karena dapat berdampak langsung
pada kemampuan pemerintah untuk membiayai kebutuhan mendesak pascabencana.
Selain itu, dampak bencana terhadap pembayaran pajak juga dapat dirasakan oleh
masyarakat. Bencana sering kali menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan, seperti
kerusakan properti, kehilangan harta benda, dan kerugian bisnis. Dalam situasi seperti
ini, masyarakat mungkin menghadapi kesulitan dalam memenuhi kewajiban pajak
mereka. Ini dapat mengarah pada penurunan penerimaan pajak dan memengaruhi
program dan layanan publik yang disediakan oleh pemerintah.
PEMBAHASAN
Masyarakat yang wajib membayar pajak kepada Negara merupakan sesuatu yang
tidak dapat dipungkiri dan harus dipatuhi. Dalam rangka mendukung hal tersebut, Negara
memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakatnya dalam melakukan pembayaran
pajaknya  begitupun terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang termaktub dalam
Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 1985 . Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
yaitu mengeluarkan kebijakan self assesment sistem dalam pembayaran pajak. Self
assesment itu sendiri dapat diartikan sebagai salah satu sistem pungutan pajak dimana
seorang wajib pajak dituntut untuk mandiri dalam menghitung (natsri, perpajakan ),
membayar dan melaporkan pajak yang setiap tahunya disetor kepada Negara.
Prinsip pungutan pajak tersebut, telah merubah paradigma pajak di masyarakat
sehingga pajak yang awalnya dianggap sebagai beban kini berubah menjadi tugas
kenegaraan yang harus dilaksanakan. Akan tetapi disisi lain Selfassessment system juga
membuka peluang para wajib pajak untuk melakukan kecurangan misalnya wajib pajak
dapat dengan mudah memalsukan jumlah pajak yang akan dibayar atau bahkan wajib
pajak tersebut menolak untuk melakukan kewajibannya selaku subjek pajak. Ada
beberapa alasan mengapa seorang wajib tidak membayar pajaknya, yang pertama karena
unsur kesengajaan dan yang kedua karena kelalaian atau bahkan ketidaktahuannya. Dari
hal tersebut maka pajak diibaratkan sebagai koin yang memiliki dua sisi, satu sisinya
untuk kepatuhan sedangkan sisii lainnya untuk kepercayaan dan membayar pajak tidak
pernah lepas dari perdebatan dalam memahami arti pajak itu sendiri. Hal itu pula
memberikan pengaruh kepada wajib pajak yang terkena bencana Banjir terparah terjadi
di Kecamatan Manggala dengan jumlah 573 jiwa yang harus meninggalkan rumahnya.
Ratusan warga itu mengungsi di 11 posko pengungsian di Kecamatan Manggala.
"Yang terdampak banjir ada empat kecamatan, tapi tidak seluruh kecamatan ada
pengungsinya. Terparah di Manggala, dari 924 pengungsi, 573 di antaranya di
Manggala," tutur Kepala BPBD Makassar, Ahmad Hendra Kaimuddin di lokasi banjir.
kerugian langsung akibat bencana menjadi fokus dari banyak upaya mitigasi dan
kesiapsiagaan sebagai kunci mengurangi dampak langsung. Apabila kerugian langsung
dapat segera diatasi, maka dampak sekundernya dapat dikurangi atau dicegah. Kerugian
ekonomi yang secara langsung teramati adalah kerugian rusak dan hancurnya perumahan
dan sektor usaha tidak hanya berakibat pada kerugian output yang tidak bisa dihasilkan,
tetapi juga kemungkinan munculnya kemiskinan sebagai akibat dari penyesuaian kondisi
struktural masyarakat yang berubah.Dampak langsung disebabkan oleh bencana alam
dibedakan tergantung pada periode waktu, jenis dan besarnya bencana. Periode yang
lama dan terjadi perlahan-lahan seperti bencana kekeringan, kerusakan langsung dapat
terjadi selama jangka bulan bahkan bertahun-tahun. Sebaliknya, dampak langsung
berdurasi pendek seperti bencana gempa bumu dapat terjadi dalam durasi menit. Bencana
alam dapat menyebabkan kerusakan langsung yang melibatkan penghancuran yang
menyeluruh atau aset fisik secara parsial baik disektor publik dan swasta. Contohnya
seperti infrastruktur, bangunan, instalasi,mesin,barang jadi, bahan baku, peralatan,
transportasi, pertanian, tanaman dipanen dan irigasi. Selain itu, kematian dan cedera juga
merupakan dampak langsung dari bencana.Aset-aset perusahaan termasuk saham
secara langsung dapat dipengaruhi oleh bencana, baik milik publik maupun swasta
perlu diukur dan dihargai melalui survei dan pengamatan dilapangan secara
langsung.Ketika survey yang komprehensif tidak memungkinkandalam waktu dan
sumberdaya yang tersedia, maka kerusakan langsung mungkin harus menggunakan rata-
rata yang diperkirakan berdasarkan luas dan sampel yang representatif. Setiap jenis aset
fisik yang terkena dampak harus dihitung sesuai dengan jumlah unit fisik yang
berkelanjutan sesuai tingkat kerusakannya yaitu hancur, sebagian hancur, kerusakan
ringan dan terpengaruh. Misalnya kuantifikasi kerusakan langsung yang disebabkan oleh
banjir meliputi jumlah rumah yang rusak yang ibagi dalam beberapa kategori, jalan
yang rusak dan membutuhkan perbaikan, jumlah tanaman gagal panen,
dsb
sedangkan Dampak tidak langsung dapat terus terjadi dari waktu ke waktu, karena
itu diperlukan untuk membandingkan situasi yang berkembang setelahbencana dengan
situasi yang terjadi tanpa bencana. Tingkat gangguan ekonomi yang disebabkan oleh
bencana sangat dipengaruhi oleh derajat gangguan yang dapat menyebar melalui jaringan
ekonomi. Misalnya dalam jangka menengah, produksi sektor manufaktur danjasa dapat
terancam karena tidak adanya pasokan listrik, tenaga kerja dan infrastruktur komunikasi,
bahkan ketika modal produktif (pabrik dan input) tidak rusak.Adanya perubahan
struktur dalam sistem produktif akan mempengaruhi distribusi dan keterlambatan
menerima input akan menyebar ke perekonomian yang lebih luas.Metode survei
merupakan metode paling tepat untuk memperkirakan kerugian tidak langsung akibat
bencana. Banyak kerugian tidak langsung berkait bulan atau tahun setelah bencana,
sehingga sulitatau bahkan tidak mungkin menilai kerusakan pada awal periode atau
setelah bencana terjadi. Oleh karena itu penting untuk menindaklanjuti penilaian untuk
mengevaluasi dampak tidak langsung. Pada banyak bencana, menggunakan kerangka
waktu dua tahun untuk menilai dampak tidak langsung, bisa jangka waktu lebih
pendek atau lebih panjang tergantung pada jenis dan skala bencana (AusAID, 2005).
Selain kurannya keseriusan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan
pajak, kurangnya kontribusi PBB P2 juga diakibatkan oleh kurangnya kesadaran dari
masyarakat atau wajib pajak untuk melakuakan pembayaran pajak, kurangnya kesadaran
masyarakat ini diakibatkan karena sanksi yang di berikan terlalu ringan sehingga tidak
adanya efek jerah bagi masyarakat yang tidak melakukan pembayaran pajak. Sesuai
dengan peraturan WaliKota Palu Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Klasifikasi dan Penetapan
Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Pekotaan, (2012). Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB
P2) adalah sebesar 0,11% dengan Pengenaan denda 2% terihutung dari masa tunggakan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan (PBB P2). Sosialisasi akan pentingnya pajak
terhadap pertumbuhan suatu daerah masih kurang dilakukan oleh pemerintah daerah,
sehingga masyarakat atau wajib pajak masih kurang paham akan dampak positif yang
ditimbulkan oleh pajak itu sendiri. Terlepas dari kedua alasan mengapa kontribusi PBB
P2 masih sangat kurang, data yang ada tidak menunjukkan data yang sebenarnya jumlah
objek pajak yang ada dilapangan karena banyak objek pajak yang sudah tidak sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya. Seperti halnya jual beli yang terjadi namun tidak
dilaporkan ke Kantor Badan Pendapatan Daerah sehingga pemungutan pajak yang terjadi
simpang siur atas kepemilikan tanah ataupun bangunan yang telah diperjual belikan
tersebut, sehingga salah satu yang mengakibatkan timbulnya pajak terutang karena
kepemilikan yang telah berpindah tangan namun tidak ada konfirmasi dan koordinasi
terhadap pihak pemerintah daerah setelah terjadinya jual beli.
KESIMPULAN
Dalam konteks ini, jurnal ini akan menjelaskan beberapa faktor yang
berkontribusi terhadap dampak bencana terhadap pembayaran pajak. Faktor-faktor ini
mencakup aspek sosial, ekonomi, dan kebijakan yang memengaruhi kemampuan individu
dan bisnis untuk memenuhi kewajiban pajak mereka setelah terjadinya bencana.
Selain itu, jurnal ini juga akan membahas beberapa langkah yang dapat diambil oleh
pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi dampak negatif bencana terhadap
pembayaran pajak. Ini termasuk upaya peningkatan kesadaran, penyediaan bantuan
keuangan sementara, dan fleksibilitas kebijakan dalam hal pembayaran pajak selama
masa pemulihan pascabencana.
Kesimpulannya, bencana alam memiliki dampak yang signifikan terhadap
pembayaran pajak. Dampak ini dapat dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi pembayaran pajak pascabencana dan mengidentifikasi langkah-langkah
yang dapat diambil untuk mengurangi dampak negatifnya. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara
bencana dan pembayaran pajak, serta memberikan kontribusi positif dalam menyusun
kebijakan yang relevan untuk menghadapi tantangan ini.
Dalam konteks minat pembayan pajak PBB pada masyarakat perumnas antang
manggala, Makassar yang terdampak bencana banjir setiap tahunnya tidaak
mempengaruhi secara signifikan karena menurut masyarakat perumnas membayar pajak
merupakan hal wajib bagi warga Indonesia

Anda mungkin juga menyukai