Anda di halaman 1dari 43

1

UJIAN PENJAMINAN MUTU (UPM)


METODOLOGI KUANTITATIF

STUDI KASUS I
memenuhi tugas
Mata kuliah Perilaku Organisasi

Disusun oleh:
Nama :
NPM :
Kelas :
No. Absen :

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. H. NURUS SJAMSI, SE., MM

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PANCASETIA
BANJARMASIN
2020
2

RENCANA JUDUL TESIS

PENGARUH SELF EFFICACY, SELF ESTEEM, BEBAN KERJA

DAN STRESS KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PUSKESMAS

MUARA TEWEH

LATAR BELAKANG MASALAH

Kekuatan setiap organisasi terletak pada sumber daya manusia, sehingga

prestasi organisasi tidak terlepas dari prestasi setiap individu yang terlibat

didalamnya, dan prestasi akhir itulah yang dikenal dengan performance atau

kinerja (Bernadine dan Russel, 1993). Manajemen sumber daya manusia

merupakan salah satu faktor kunci untuk mendapatkan kinerja terbaik, karena

selain menangani masalah keterampilan dan keahlian, manajemen sumber daya

manusia juga berkewajiban membangun perilaku kondusif individu untuk

mendapatkan kinerja terbaik (Robbins, 2006).

Tenaga kerja dituntut untuk berperan aktif dalam setiap kegiatan

organisasi, karena manusia menjadi aktor utama dalam menentukan

perkembangan suatu organisasi. Organisasi memiliki tujuan yang menjadikan

manusia sebagai pelaku, perencana, dan penentu. Peningkatan kualitas sumber

daya manusia merupakan suatu keharusan demi tercapainya tujuan perusahaan.

Oleh karena itu perusahaan di tuntut untuk mengelola sumber daya manusia

yang dimiliki dengan baik demi kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan.

Keberhasilan dalam proses produksi tidak hanya tergantung pada peralatan

canggih yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi juga pada manusia yang dalam hal

ini adalah karyawan yang menjalankan peralatan tersebut.


3

Pada dasarnya kinerja karyawan merupakan hasil proses yang kompleks,

baik berasal dari diri pribadi karyawan (internal factor) maupun upaya strategis

dari perusahaan. Faktor-faktor internal misalnya motivasi, tujuan, harapan dan

lain-lain, sementara contoh faktor eksternal adalah lingkungan fisik dan non fisik

perusahaan (Luthans, 2006). Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan

bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab

kinerja karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja

perusahaan secara keseluruhan. Banyak faktor yang mempengaruhi baik

buruknya kinerja seperti dipahami dalam konsep perubahan perilaku.

Robbins (2001) mengemukakan empat variabel kritis sebagai human

output yang akan menentukan tingkat kerja organisasi atau individu yaitu

motivasi, komitmen, kompetensi, produktivitas, kemangkiran, dan kepuasan

kerja. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa unsur manusia dalam

kerangka pemikiran pendekatan modern dipandang sebagai faktor penentu

dalam proses peningkatan efektifitas organisasi. Sedangkan Cascio (2003)

menyebutkan abilitas dan motivasi sebagai faktor-faktor yang berinteraksi

dengan kinerja. Abilitas ditentukan oleh skill dan pengetahuan, sedangkan skill

dipengaruhi oleh kecakapan, kepribadian dan pengetahuan yang terbentuk oleh

pendidikan, pengalaman latihan, dan minat yang seluruhnya terangkum dalam

teori kompetensi. Sedangkan dari perspektif individu karyawan dan

keorganisasian, kinerja karyawan itu dipengaruhi oleh motif berprestasi,

kompetensi dan komitmen.

Menurut As’ad (2004), kepuasan kerja merupakan “perasaan seseorang

terhadap pekerjaan” ini berarti bahwa konsepsi kepuasan kerja semacam ini

melihat kepuasan kerja itu sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan

kerjanya. Jadi pimpinan harus mengetahui tingkat kepuasan kerja karyawan,

karena hal ini mempengaruhi tingkat kinerja seorang karyawan. Kepuasan kerja
4

adalah penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya atau keseluruhan

memuaskan kebutuhannya dan secara umum dapat diberi batasan sebagai

perasaan seseorang terhadap pekerjaannya (Prasetya, dkk, 2013).

Tingkat kepuasan yang rendah berakibat terganggunya aktivitas seorang

individu dalam pencapaian tujuannya, karena kepuasan kerja merupakan salah

satu indikator keefektifan kinerja seseorang. Kinerja merupakan penampilan hasil

kerja seseorang baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja seseorang

bergantung pada kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang

diperoleh. Menurut Gibson (2000), kepuasan kerja menyebabkan peningkatan

kinerja sehingga pekerja yang puas akan menunjukkan kinerja yang baik pula.

Ada beberapa faktor penentu yang berlaku sebagai mempengaruhi kepuasan

kerja terhadap kinerja individu, diantaranya adalah self esteem dan self efficacy

(Prasetya, dkk, 2013).

Self esteem merupakan keyakinan nilai diri sendiri berdasarkan evaluasi

secara keseluruhan yang diharapkan dapat menjelaskan seberapa besar

pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja individual. Definisi organization based

self esteem (OBSE) atau self esteem dalam organisasi sebagai nilai yang dimiliki

oleh individu atas dirinya sendiri sebagai anggota organisasi yang bertindak

dalam konteks organisasi. Orang yang memiliki skor OBSE tinggi cenderung

memandang diri mereka sendiri sebagai sebagai orang yang penting, berharga,

berpengaruh dan berarti dalam konteks organisasi yang mempekerjakan mereka

(Kreitner dan Kinicki, 2003).

Engko (2008) dengan hasil penelitiannya menunjukkan jika seseorang

merasa dirinya begitu penting berharga dan berpengaruh maka timbul kepuasan

atas pekerjaan yang dilakukannya karena apa yang dilakukannya berhasil dan

menciptakan hasil yang optimal. Self esteem merupakan suatu kualitas yang

dapat ditingkatkan pada setiap saat dalam kehidupan manusia dan tidak terikat
5

oleh umum, pendidikan, dan status sosial. Seseorang yang merasa dirinya begitu

berharga dan berarti cenderung untuk melakukan yang terbaik dalam setiap

tugas dan tanggungjawabnya, baik sebagai anggota organisasi maupun sebagai

individual.

Perasaan-perasaan self esteem, pada kenyataannya terbentuk oleh

keadaan kita dan bagaimana orang lain memperlakukan kita (Judge dan Bono,

2001). Individu dengan Self esteem tinggi cenderung puas dengan karakter dan

kemampuan diri. Adanya penerimaan dan penghargaan diri yang positif ini

memberikan rasa aman dalam menyesuaikan diri yang positif ini memberikan

rasa aman dalam menyesuaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus dan

lingkungan sosial. Individu dengan Self esteem tinggi lebih bahagia dan lebih

efektif dalam menghadapi tuntutan lingkungan dari pada individu dengan Self

esteem rendah.

Konsep efikasi diri (self efficacy) pertama kali dikemukakan oleh Bandura.

Efikasi diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk

mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

menampilkan keahlian tertentu (Bandura, 1986). Terkait dunia kerja efikasi diri

dipahami sebagai kemampuan pengaturan diri individu terkait pembentukan

perilaku untuk tampil baik dalam pekerjaan. Efikasi diri mendorong seseorang

untuk memahami secara mendalam atas situasi yang mungkin tidak dapat

diramalkan sehingga dapat menerangkan mengapa seseorang ada yang

mengalami kegagalan atau ada yang berhasil.

Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut akan digunakan untuk

memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Self efficacy

merupakan kepercayaan terhadap kemampuan seseorang untuk menjalankan

tugas. Orang yang percaya diri dengan kemampuannya cenderung untuk


6

berhasil, sedangkan orang yang selalu merasa gagal cenderung untuk gagal

(Engko, 2008).

Self efficacy berhubungan dengan kepuasan kerja dimana jika seseorang

memiliki self efficacy yang tinggi maka cenderung untuk berhasil dalam tugasnya

sehingga meningkatkan kepuasan atas apa yang dikerjakannya. Bandura (1986)

mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self efficacy tinggi akan mencapai

suatu kinerja yang lebih baik karena individu ini memiliki motivasi yang kuat,

tujuan yang jelas, emosi yang stabil dan kemampuannya untuk memberikan

kinerja atas aktivitas atau perilaku dengan sukses. Kinerja yang baik dari seorang

karyawan dengan self efficacy tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang

dialami oleh karyawan tersebut juga tinggi.

Kepercayaan terhadap kemampuan diri, keyakinan terhadap keberhasilan

yang selalu dicapai membuat seseorang bekerja lebih giat dan selalu

menghasilkan yang terbaik. Menurut Engko (2008), self efficacy dapat dikatakan

sebagai faktor personal yang membedakan setiap individu dan perubahan self

efficacy dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku terutama dalam

penyelesaian tugas dan tujuan. Self esteem dan self efficacy berkaitan dengan

personalitas seseorang. Jika seseorang merasa dirinya begitu berarti, berharga

dan dapat diterima dalam lingkungan organisasi maka hal ini dapat

meningkatkan keyakinan atau kepercayaan terhadap kemampuannya dalam

menjalankan setiap tugas dan diyakini tugas itu akan berhasil (Schyns dan

Collani, 2002).

Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki

kepribadian yang baik karena individu ini memiliki keyakinan mengenai

kemampuannya sehingga pada akhirnya akan membentuk perilaku yang positif.

Hal ini akan membuat diri kita menjadi berani mengambil risiko, membuka diri,
7

membuat keputusan yang bijaksana, melakukan sesuatu sesuai dengan waktu

sehingga dapat mendukung diri untuk membangun self esteem.

Penelitian yang dilakukan Indrawati (2014) menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh signifikan dari self esteem terhadap kepuasan kerja, pengaruh yang

signifikan dari self efficacy terhadap kepuasan kerja, pengaruh yang signifikan

dari self efficacy terhadap kinerja perawat, pengaruh yang signifikan dari

kepuasan kerja terhadap kinerja perawat, dan pengaruh yang tidak signifikan dari

self esteem terhadap kinerja perawat. Sedangkan hasil penelitian Prasetya,

Veronika dkk (2013), menunjukkan bahwa secara langsung kepuasan kerja

berpengaruh signifikan terhadap kinerja individual, self esteem berpengaruh

signifikan terhadap self efficacy.

Kepuasan kerja lebih berpengaruh terhadap kinerja individu secara

langsung daripada melalui self esteem maupun self efficacy Dhingra, Katie and

Boduszek Daniel (2014) dengan hasil penelitian nya menunjukkan bahwa

variabel prediktor menyumbang 22 persen dari varians dalam kepuasan kerja

guru. Namun, hanya stres yang dirasakan ditemukan untuk menjelaskan tingkat

kepuasan kerja., dengan tingginya tingkat stres kerja yang terkait maka

rendahnya tingkat kepuasan kerja. Sedangkan hasil penelitian mneurut Bruster,

Belinda (2009), perlunya adanya bagi penerima kesejahteraan perempuan Afrika

Amerika untuk menyelesaikan penilaian yang mengidentifikasi kekuatan kerja

dan tantangan sebelum mereka diwajibkan untuk memasuki proses pencarian

kerja. Salah satu asumsi untuk studi penelitian nya adalah bahwa dengan

mengidentifikasi dan kekuatan yang ada, dan tantangan, sumber daya dapat

dibuat tersedia untuk memberdayakan penerima kesejahteraan perempuan

Afrika Amerika untuk mempertahankan pekerjaan atau untuk menyelesaikan

program pendidikan atau pelatihan.


8

Pada dasarnya kinerja dari seseorang merupakan hal yang bersifat individu

karena masing-masing individu memiliki tingkat kemampuan yang berbeda.

Cascio (2006) mengemukakan bahwa kemampuan mental, intelegensi emosi,

dan tacit knowledge dapat membantu membedakan karyawan yang berkinerja

tinggi dengan karyawan yang berkinerja rendah. Hal ini diperjelas oleh Snell

(1992) yang mengungkapkan bahwa apabila kemampuan karyawan rendah,

maka akan menggunakan waktu yang lama dan usaha yang lebih besar untuk

menyelesaikan pekerjaan dibandingkan dengan karyawan yang memiliki

kemampuan tinggi. Jika seseorang merasa dirinya begitu berarti, berharga dan

dapat diterima dalam lingkungan organisasi maka hal ini dapat meningkatkan

keyakinan atau kepercayaan terhadap kemampuannya dalam menjalankan

setiap tugas dan diyakini tugas itu akan berhasil (Judge dan Bono, 2001).

Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki

kepribadian yang baik karena individu ini memiliki keyakinan mengenai

kemampuannya sehingga pada akhirnya akan membentuk perilaku yang positif.

Hal ini akan membuat diri kita menjadi berani mengambil risiko, membuka diri,

membuat keputusan yang bijaksana, melakukan sesuatu sesuai dengan waktu

sehingga dapat mendukung diri untuk membangun self esteem. Tingkat

kepuasan yang rendah berakibat terganggunya aktivitas seorang individu dalam

pencapaian tujuannya, karena kepuasan kerja merupakan salah satu indikator

keefektifan kinerja seseorang. Berdasarkan fenomena masalah tersebut, maka

peneliti tertarik untuk mengangkat tema “pengaruh self efficacy, self esteem,

beban kerja dan stress kerja terhadap kinerja pegawai Puskesmas Muara

Teweh”.
9

VARIABEL-VARIABEL DALAM RENCANA TESIS

3.1.1 Variabel Terikat (Dependent)

Variabel dependen adalah variabel yang menjadi pusat perhatian

utama peneliti (Sugiyono, 2013: 116). Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel dependen adalah kinerja (Y) adalah hasil kerja

yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam suatu

organisasi, sesuai dengan wewenang atau tanggung jawab masing-

masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi

bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum, dan sesuai

dengan moral dan etika. Indikator dari kinerja yaitu:

Y1.1 Kualitas Pekerjaan (Quality of Work)

Merupakan tingkat baik atau buruknya sesuatu pekerjaan

yang diterima bagi seorang pegawai yang dapat dilihat dari

segi ketelitian dan kerapihan kerja, keterampilan dan

kecakapan.

Y1.2 Kuantitas Pekerjaan (Quantity of Work)

Merupakan seberapa besarnya beban kerja atau sejumlah

pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seorang pegawai.

Diukur dari kemampuan secara kuantitatif didalam mencapai

target atau hasil kerja atas pekerjaan-pekerjaan baru.

Y1.3 Pengetahuan Pekerjaan (Job Knowledge)

Merupakan proses penempatan seorang pegawai yang sesuai

dengan background pendidikan atau keahlian dalam suatu

pekerjaan. Hal ini ditinjau dari kemampuan pegawai dalam

memahami hal-hal yang berkaitan dengan tugas yang mereka

lakukan.
10

Y1.4 Kerjasama Tim (Teamwork)

Melihat bagaimana seorang pegawai bekerja dengan orang

lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Kerjasama tidak

hanya sebatas secara vertikal ataupun kerjasama antar

pegawai, tetapi kerjasama secara horizontal merupakan faktor

penting dalam suatu kehidupan organisasi yaitu dimana antar

pimpinan organisasi dengan para pegawainya terjalin suatu

hubungan yang kondusif dan timbal balik yang saling

menguntungkan.

Y1.5 Kreatifitas (Creativity)

Merupakan kemampuan seorang pegawai dalam

menyelesaikan pekerjaannya dengan cara atau inisiatif sendiri

yang dianggap mampu secara efektif dan efisien serta mampu

menciptakan perubahan-perubahan baru guna perbaikan dan

kemajuan organisasi.

Y1.6 Inovasi (Inovation)

Kemampuan menciptakan perubahan-perubahan baru guna

perbaikan dan kemajuan organisasi. Hal ini ditinjau dari ide-

ide cemerlang dalam mengatasi permasalahan organisasi.

Y1.7 Inisiatif (initiative)

Melingkupi beberapa aspek seperti kemampuan untuk

mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi kesulitan,

kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan tanpa

bantuan, kemampuan untuk mengambil tahapan pertama

dalam kegiatan.
11

3.1.2 Variabel Bebas (Independent)

Variabel independen yang dilambangkan dengan (Xi) adalah

variabel yang mempengaruhi variabel dependen, baik yang

pengaruhnya positif maupun yang pengaruhnya negatif (Sugiyono,

2013: 118). Variabel independen dalam penelitian ini adalah:

1. Self Eficacy (X1) menurut Bandura (1997), adalah persepsi

seseorang akan kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai

suatu tujuan tertentu. Dengan indikator sebagai berikut:

X1.1 Level adalah suatu tingkatan seseorang dalam meyakini

usaha atau tindakan yang dapat ia lakukan.

X1.2 Strength Yaitu keyakinan akan kemampuan diri untuk

bertahan dan berusaha mencari penyelesaian dalam

mengerjakan sesuatu.

X1.3 Generality yaitu bagaimana seseorang dapat

menggunakan self efficacy dalam berbagai situasi yang

berbeda.

2. Beban Kerja (X2) merupakan suatu konsep yang multi-dimensi,

sehingga sulit diperoleh satu kesimpulan saja mengenai definisi

yang tepat (Cain, 2016: 68):

X2.1 Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang

berasal dari luar tubuh pekerja, meliputi:

1) Tugas (task) Meliputi tugas bersifat fisik seperti,

stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, kondisi

lingkungan kerja, sikap kerja, cara angkut, beban

yang diangkat. Sedangkan tugas yang bersifat

mental meliputi, tanggung jawab, kompleksitas

pekerjaan, emosi pekerja dan sebagainya.


12

2) Organisasi Kerja, Organisasi kerja meliputi lamanya

waku kerja, waktu istirahat, shift kerja, sistem kerja

dan sebagainya.

3) Lingkungan Kerja, Lingkungan kerja ini dapat

memberikan beban tambahan yang meliputi,

lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja

psikologis.

X2.2 Beban Kerja Oleh Karena Faktor Internal adalah faktor

yang berasal dari dalam tubuh akibat adanya reaksi dari

beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai stressor,

meliputi faktor somatis (kondisi kesehatan) dan faktor

psikis (kepercayaan dan keinginan).

3. Stres kerja (X3) adalah respon adaptif terhadap situasi eksternal

yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau

perilaku pada anggota organisasi (Luthans, 2016: 441). Dengan

indikator sebagai berikut:

X3.1 Adanya tugas atau beban yang terlalu banyak

X3.2 Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan.

X3.3 Konflik peran.

X3.4 Frustrasi

X3.5 Hubungan dalam Pekerjaan.


13

LANDASAN TEORI

2.1.1 Konsep Self efficacy

1. Pengertian Self efficacy

Self efficacy menurut Bandura (1997), adalah persepsi

seseorang akan kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai

suatu tujuan tertentu. Selanjutnya Bandura (1997, dalam

Friedman & Schustack, 2008), mengatakan bahwa self efficacy

adalah ekspetasi-keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh

seseorang mampu melakukan satu perilaku dalam suatu situasi

tertentu. Seseorang yang memiliki self efficacy positif akan

yakin untuk mampu melakukan suatu perilaku yang dimaksud.

Self efficacy akan menentukan bagaimana seseorang

menunjukan perilaku tertentu, daya tahan dalam menghadapi

kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau

kegagalan dapat mempengaruhi perilaku kita di masa depan.

Bandura (1986, dalam Haycock, McCarthy, & Skay,

1998), membedakan komponen self efficacy yang terdiri dari

efficacy expectations dan outcome expectations. Efficacy

expectations adalah keyakinan diri seseorang bahwa dirinya

dapat berhasil melakukan perilaku yang ingin dilakukannya.

Sedangkan outcome expectations menentukan seberapa besar

seseorang mencoba dan seberapa lama akan bertahan pada

perilaku tersebut.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self efficacy

Ada beberapa faktor yang menyebabkan self-efficacy,

antara lain disebabkan oleh:


14

a. Mastery experiences: merupakan sumber yang paling

mempengaruhi self efficacy. Secara umum, keberhasilan

ditentukan dari seberapa keras orang akan mencoba dan

berapa lama mereka akan bertahan pada perilaku tersebut.

Pertama, keberhasilan dapat diraih berdasarkan dari

proporsi self efficacy dalam menghadapi kesulitan tugas.

Kedua, tugas yang dapat diselesaikan oleh diri sendiri akan

lebih memuaskan jika dibandingkan dengan mendapat

bantuan dari orang lain. Ketiga, ketika kita gagal maka

akan mengurangi self efficacy dan kita dapat mengetahui

seberapa besar usaha yang telah dilakukan. Keempat,

ketika gagal dalam kondisi rangsangan emosional yang

tinggi atau tekanan yang tidak melemahkan diri sebagai

kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan

sebelum membangun rasa penguasaan lebih merugikan

perasaan keberhasilan pribadi daripada mendapatkan

kegagalan kemudian. Keenam, keterkaitan tersebut

menunjukan bahwa kegagalan memiliki sedikit efek

terhadap efficacy, terutama untuk orang yang memiliki

harapan yang tinggi untuk mencapai kesuksesan.

b. Social modeling: sumber efficacy selanjutnya adalah social

modeling yaitu dengan cara melihat orang lain melakukan

suatu perilaku tertentu yang kurang lebih sama (vicarious

experience). Akan tetapi efek dari social modeling tidak

sebesar kinerja personal untuk mendapatkan tingkatan

efficacy.
15

c. Social persuasion: efek dari social persuasion masih

terbatas. Akan tetapi jika dipengaruhi oleh kondisi, persuasi

dari pihak lain dapat meningkatkan ataupun menurunkan

self efficacy. Bandura berhipotesis bahwa kekuatan sugesti

efikasi secara langsung berhubungan dengan status dan

otoritas dari orang yang memberikan persuasinya.

3. Indikator Self efficacy

Menurut Bandura (1997), yang termasuk ke dalam

indikator self efficacy adalah:

a. Level

Yang dimaksud dengan level adalah suatu tingkatan

seseorang dalam meyakini usaha atau tindakan yang dapat

ia lakukan.

b. Strength

Yaitu keyakinan akan kemampuan diri untuk bertahan dan

berusaha mencari penyelesaian dalam mengerjakan

sesuatu.

c. Generality

Bagaimana seseorang dapat menggunakan self efficacy

dalam berbagai situasi yang berbeda.

2.1.2 Konsep Beban Kerja

1. Pengertian Beban Kerja

Beban kerja adalah istilah yang mulai dikenal sejak tahun

1970-an. Banyak ahli yang telah mengemukakan definisi beban

kerja sehingga terdapat beberapa definisi yang berbeda

mengenai beban kerja. Beban kerja merupakan suatu konsep


16

yang multi-dimensi, sehingga sulit diperoleh satu kesimpulan

saja mengenai definisi yang tepat (Cain, 2016: 68).

Beban kerja sebagai suatu konsep yang timbul akibat

adanya keterbatasan kapasitas dalam memproses informasi.

Saat menghadapi suatu tugas, individu diharapkan dapat

menyelesaikan tugas tersebut pada suatu tingkat tertentu.

Apabila keterbatasan yang dimiliki individu tersebut

menghambat atau menghalangi tercapainya hasil kerja pada

tingkat yang diharapkan, berarti telah terjadi kesenjangan

antara tingkat kemampuan yang diharapkan dan tingkat

kapasitas yang dimiliki. Kesenjangan ini menyebabkan

timbulnya kegagalan dalam kinerja (performance failures). Hal

inilah yang mendasari pentingnya pemahaman dan pengukuran

yang lebih dalam mengenai beban kerja (Cain, 2016: 84).

Menurut Tarwaka (2015:40), beban kerja dapat

didefinisikan sebagai suatu perbedaan antara kapasitas atau

kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus

dihadapi. Mengingat kerja manusia bersifat mental dan fisik,

maka masing-masing mempunyai tingkat pembebanan yang

berbeda-beda. Tingkat pembebanan yang terlalu tinggi

memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan dan terjadi

overstress, sebaliknya intensitas pembebanan yang terlalu

rendah memungkinkan rasa bosan dan kejenuhan atau

understress. Oleh karena itu perlu diupayakan tingkat intensitas

pembebanan yang optimum yang ada di antara kedua batas

yang ekstrim tadi dan tentunya berbeda antara individu yang

satu dengan yang lainnya.


17

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja

Secara umum hubungan antara beban kerja dan

kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat

komplek, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

Faktor eksternal beban kerja adalah beban yang berasal

dari luar tubuh pekerja. Termasuk beban kerja eksternal adalah

tugas (task) yang dilakukan bersifat fisik seperti: beban kerja,

stasiun kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja,

cara angkat-angkut, alat bantu kerja, dan lain-lain. Organisasi

kerja yang terdiri dari: lamanya waktu kerja, waktu istirahat,

kerja bergilir, dan lain-lain. Selain itu lingkungan kerja yang

meliputi: suhu, intensitas penerangan, debu, hubungan pekerja

dengan pekerja, dan sebagai berikut. Ketiga aspek ini sering

disebut stressor.

Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal

dari dalam tubuh sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari

beban kerja eksternal. Reaksi tubuh tersebut dikenal sebagai

strain. Berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif

maupun subjektif. Penilaian secara objektif melalui perubahan

reaksi fisiologis, sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan

melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan perilaku

(Robbins, 2015: 154).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja

menurut Robbins (2015:156), antara lain:

a. Beban Kerja Oleh Karena Faktor Eksternal

Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang

berasal dari luar tubuh pekerja, meliputi:


18

1) Tugas (task) Meliputi tugas bersifat fisik seperti,

stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, kondisi

lingkungan kerja, sikap kerja, cara angkut, beban yang

diangkat. Sedangkan tugas yang bersifat mental

meliputi, tanggung jawab, kompleksitas pekerjaan,

emosi pekerja dan sebagainya.

2) Organisasi Kerja, Organisasi kerja meliputi lamanya

waku kerja, waktu istirahat, shift kerja, sistem kerja dan

sebagainya.

3) Lingkungan Kerja, Lingkungan kerja ini dapat

memberikan beban tambahan yang meliputi,

lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja

psikologis.

b. Beban Kerja Oleh Karena Faktor Internal

Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari

dalam tubuh akibat adanya reaksi dari beban kerja

eksternal yang berpotensi sebagai stressor, meliputi faktor

somatis (kondisi kesehatan) dan faktor psikis (kepercayaan

dan keinginan).

3. Konsekuensi Beban Kerja

Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan

kelelahan baik fisik maupun mental dan reaksi-reaksi emosional

seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah.

Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana

pekerjaan yang terjadi karena pengurangan gerak akan

menimbulkan kebosanan dan rasa monoton. Kebosanan dalam


19

kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu

sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan

sehingga secara potensial membahayakan pekerja (Prihatini,

2016: 52).

2.1.3 Konsep Stres Kerja

1. Pengertian Stres Kerja

Pada umumnya orang menganggap bahwa stres

merupakan suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang

mengarah ke timbulnya penyakit fisik maupun mental, atau

mengarah ke perilaku yang tidak wajar. Munandar (2014: 374)

membedakan antara distress yang destruktif dan eustress yang

merupakan kekuatan yang positif dimana stres kadangkala dapat

diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi.

Menurut Hasibuan (2015: 204) “Stres pegawai timbul

akibat kepuasan kerja tidak terwujud dari pekerjaannya”.

Mengacu pada pendapat Beehr dan Newman dalam Luthans

(2016) mengemukakan stres kerja sebagai situasi yang timbul

dari interaksi manusia dengan pekerjaan yang diakibatkan oleh

perubahan manusia yang menyimpang dari fungsi normalnya.

Luthans (2016: 441) mendefinisikan stres kerja sebagai

“Respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan

penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota

organisasi”.

Menurut Arden (2016: 10) ada dua faktor penting apakah

stres dialami sebagai tak terkendali atau dapat dikuasai. Jika

stres dapat diramalkan dan dapat dikendalikan, kemungkinannya


20

adalah seseorang akan menyesuaikan diri secara

menyenangkan terhadap stres. Jika sebaliknya seseorang akan

merasa tidak berdaya. Meskipun pekerjaan pada hakekatnya

penuh dengan stres, itu tidak perlu membuat orang tersebut

kewalahan. Tetapi bila seorang pekerja kehilangan rasa kendali

dan kondisinya menjadi tidak dapat diramalkan, stresnya menjadi

terlalu sulit untuk ditanggulangi.

Dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan kondisi

yang tercipta dari interaksi antara manusia dan pekerjaan yang

mengarah ke timbulnya penyakit fisik maupun mental karena

perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang

dari fungsi normal sehingga menghasilkan penyimpangan fisik,

psikologis, dan perilaku pada anggota organisasi, baik yang

dapat terkendali maupun tidak.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja

Ada beberapa faktor yang menyebabkan stres kerja,

antara lain disebabkan oleh:

a. Adanya tugas atau beban yang terlalu banyak

Menurut Davis dan Newstrom (dalam Margiati, 2014:

73), banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres,

akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak

sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian

dan waktu yang tersedia bagi pegawai.

Menurut Everly & Girdano (dalam Munandar, 2014:

384-389) menambahkan kategori lain dari beban kerja,

antara lain yaitu:


21

1) Beban kerja kuantitatif

1. Beban berlebih secara kuantitatif

Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu

harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan

kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang

menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah

desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat

diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan

cermat. Pada saat-saat tertentu, dalam hal tertentu

waktu akhir (dead line) justru dapat meningkatkan

motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang

tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan

timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan

kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini

merupakan cerminan adanya beban berlebih

kuantitatif.

2. Beban terlalu sedikit secara kuantiatif

Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat

mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.

Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak

terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan,

rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-

hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas

yang harus dilakukan, dapat menghasilkan

berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial

membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk

bertindak tepat dalam keadaan darurat.


22

2) Beban kerja secara kualitatif

a) Beban berlebih secara kualitatif

Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan

yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik

beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin

menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan yang

harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan

mudah berkembang menjadi beban berlebihan

kualitatif jika kemajemukannya memerlukan

kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi

daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu

kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi

menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah

melewati kemampuan kita untuk memecahkan

masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif.

Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi

emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa

kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-

gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi

kronis dari beban berlebih kualitatif.

b) Beban terlalu sedikit secara kualitatif

Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan

dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk

menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau

untuk mengembangkan kecakapan potensialnya

secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan

kurang adanya rangsangan akan mengarah ke


23

semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja.

Tenaga kerja akan merasa bahwa ia "tidak maju-

maju", dan merasa tidak berdaya untuk

memperlihatkan bakat dan ketrampilannya

(Sutherland & Cooper dalam Munandar, 2011: 387).

b. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan.

Menurut Davis dan Newstrom (dalam Margiati, 1999:

73), pegawai biasanya mempunyai kemampuan normal

menyelesaikan tugas kantor/Puskesmas yang dibebankan

kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian,

pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi

tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan

waktu yang lerbatas. Akibatnya, pegawai dikejar waktu

untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang

ditetapkan atasan.

c. Konflik peran.

Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a)

konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan

dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak

konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender,

konflik peran ini kebanyakan terjadi pada pegawai atau

manajer yang menduduki jabatan di dua struktur.

Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan

pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada

pegawai atau manajer yang berada pada posisi

dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah


24

satu alternatif; (c) Konflik peran pribadi, dimana konflik ini

terjadi di dalam diri para pegawai.

d. Frustrasi

Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang

bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga

berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya

promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta

penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima.

e. Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam

gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat

yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi.

Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan

ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke

komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja

dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan

pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan,

dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya

(Kahn dkk, dalam Munandar, 2014: 395).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

penyebab stres kerja antara lain adalah adanya tugas atau

beban yang terlalu banyak, terbatasnya waktu dalam melakukan

pekerjaan, konflik peran, frustasi, hubungan dalam pekerjaan

yang kurang baik. Hal ini dapat menurunkan kinerja para

pegawai yang tentunya dapat menghambat pencapaian tujuan

dari organisasi.
25

Menurut Robbin (2015: 794), stres kerja dipengaruhi oleh

3 faktor yaitu:

a. Faktor Lingkungan

1) Ada beberapa faktor yang mendukung faktor lingkungan

yaitu perubahan situasi bisnis yang menciptakan

ketidakpastian ekonomi. Bila perekonomian itu menjadi

menurun, orang menjadi semakin mencemaskan

kesejahteraan mereka.

2) Ketidakpastian politik

Situasi politik yang tidak menentu seperti yang terjadi di

Indonesia, banyak sekali demonstrasi dari berbagai

kalangan yang tidak puas dengan keadaan mereka.

Kejadian semacam ini dapat membuat orang merasa

tidak nyaman. Seperti penutupan jalan karena ada yang

berdemo atau mogoknya angkutan umum dan membuat

para pegawai terlambat masuk kerja.

3) Kemajuan teknologi

Dengan kemajuan teknologi yang pesat, maka hotel pun

menambah peralatan baru atau membuat sistem baru.

Yang membuat pegawai harus mempelajari dari awal dan

menyesuaikan diri dengan itu.

4) Terorisme adalah sumber stres yang disebabkan

lingkungan yang semakin meningkat dalam abad ke 21,

seperti dalam peristiwa penabrakan gedung WTC oleh

para teroris, menyebabkan orang-orang Amerika merasa

terancam keamanannya dan merasa stres.


26

b. Faktor Organisasi

Banyak sekali faktor di dalam organisasi yang dapat

menimbulkan stres. Tekanan untuk menghindari kekeliruan

atau menyelesaikan tugas dalam kurun waktu terbatas,

beban kerja berlebihan, bos yang menuntut dan tidak peka,

serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Dari beberapa

contoh di atas, maka dapat dikatagorikan menjadi beberapa

faktor dimana contoh-contoh itu terkandung di dalamnya,

yaitu:

1) Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan

tuntutan atau tekanan untuk menunaikan tugasnya

secara baik dan benar.

2) Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang

diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran

tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik

peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali

sulit dirujukkan atau dipuaskan. Kelebihan peran terjadi

bila pegawai diharapkan untuk melakukan lebih daripada

yang dimungkinkan oleh waktu. Ambiguitas peran

tercipta bila harapan peran tidak dipahami dengan jelas

dan pegawai tidak pasti mengenai apa yang harus

dikerjakan.

3) Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan

oleh pegawai lain. Kurangnya dukungan sosial dari

rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk

dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya


27

di antara para pegawai yang memiliki kebutuhan sosial

yang tinggi.

4) Struktur Organisasi menentukan tingkat diferensiasi

dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan dan

dimana keputusan itu diambil. Aturan yang berlebihan

dan kurangnya berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan yang berdampak pada pegawai merupakan

potensi sumber stres.

c. Faktor Individu

Faktor ini mencakup kehidupan pribadi pegawai

terutama faktor-faktor persoalan keluarga, masalah ekonomi

pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan.

1) Faktor persoalan keluarga

Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa

orang menganggap bahwa hubungan pribadi dan

keluarga sebagai sesuatu yang sangat berharga.

Kesulitan pernikahan, pecahnya hubungan dan

kesulitan disiplin anak-anak merupakan contoh masalah

hubungan yang menciptakan stres bagi pegawai dan

terbawa ke tempat kerja.

2) Masalah Ekonomi

Diciptakan oleh individu yang tidak dapat mengelola

sumber daya keuangan mereka merupakan satu contoh

kesulitan pribadi yang dapat menciptakan stres bagi

pegawai dan mengalihkan perhatian mereka dalam

bekerja.
28

3) Karakteristik kepribadian bawaan

Faktor individu yang penting mempengaruhi stres

adalah kodrat kecenderungan dasar seseorang. Artinya

gejala stres yang diungkapkan pada pekerjaan itu

sebenarnya berasal dari dalam kepribadian orang itu.

3. Konsekuensi Stres Kerja

a. Konsekuensi Stres Kerja pada Puskesmas

Hasibuan (2015: 4) mengidentifikasi beberapa perilaku

negatif pegawai yang berpengaruh terhadap organisasi.

Stres yang dihadapi oleh pegawai dapat berkorelasi dengan

penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja

serta tendesi mengalami kecelakaan. Secara singkat

beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja

dapat berupa:

1) Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajcmen

maupun operasional kerja.

2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja.

3) Menurunkan tingkat produktivitas.

4) Menurunkan pemasukan dan keuntungan Puskesmas.

Kerugian finansial yang dialami Puskesmas karena tidak

imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang

dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas

lainnya.

b. Konsekuensi Stres Kerja pada Individu

Luthans (2016: 456) berpendapat bahwa berdasarkan

penelitian diindikasikan tingkat kesulitan, sifat tugas yang

dikerjakan, disposisi personal, disposisi psikologis, dan


29

neurotisme mungkin mempengaruhi hubungan stres dan

kinerja. Masalah karena tingkat stres yang tinggi dapat

ditunjukkan secara fisik, psikologis atau perilaku individu.

1) Masalah kesehatan fisik yang berhubungan dengan stres

adalah sebagai berikut:

a) Masalah sistem kekebalan tubuh, dimana terdapat

pengurangan kemampuan untuk melawan sakit dan

infeksi.

b) Masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah

tinggi dan penyakit jantung.

c) Masalah sistem musculoskeletal (otot dan rangka),

seperti sakit kepala dan sakit punggung.

d) Masalah sistem gainstrointestinal (perut), seperti diare

dan sembelit.

2) Masalah psikologis

Tingkat stres tinggi mungkin disertai kemarahan,

kecemasan, depresi, gelisah cepat marah, tegang, dan

bosan. Sebuah studi menemukan bahwa dampak stres

yang paling kuat adalah tindakan agresif, seperti

sabotase, agresi antar pribadi, permusuhan, dan keluhan.

Jenis masalah psikologis tersebut relevan dengan kinerja

yang buruk, penghargaan diri yang rendah, benci pada

pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan

membuat keputusan, ketidakpuasan kerja.

3) Masalah perilaku

Perilaku langsung yang menyertai tingkat stres yang

tinggi mencakup makan sedikit atau makan berlebihan,


30

tidak dapat tidur, merokok dan minum, dan

penyalahgunaan obat-obatan.

2.1.4 Konsep Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Kinerja sumber daya manusia merupakan istilah yang

berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance

(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai

seseorang). Definisi kinerja pegawai yang dikemukakan oleh

Kusriyanto (2012:3), adalah perbandingan hasil yang dicapai

dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya

perjam).

Prawirosentoro (2015:2), memberi arti Performance atau

Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang

atau kelompok dalam suatu organisasi, sesuai dengan

wewenang atau tanggung jawab masing-masing, dalam rangka

upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal,

tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral dan etika.

Sedangkan Moehariono (2012:95), mendefinisikan Kinerja atau

Performance merupakan gambaran mengenai tingkat

pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan

dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi

yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi.

2. Dasar-dasar pengukuran kinerja

Moeheriono (2012: 96), pengukuran kinerja mempunyai

pengertian suatu proses penilaian tentang kemajuan pekerjaan

terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan sumber daya


31

manusia untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk

informasi atas efisiensi serta efektivitas tindakan dalam

mencapai tujuan organisasi.

Beberapa aspek yang mendasar dan yang paling pokok

dari pengukuran kinerja sebagai berikut:

a. Menentukan tujuan, sasaran dan stategi organisasi dengan

menetapkan secara umum apa yang diinginkan oleh

organisasi sesuai dengan tujuan, visi dan misi.

b. Merumuskan indikator kinerja dan ukuran kinerja, yang

mengacu kepada penilaian kinerja secara tidak langsung,

sedangkan indikator kinerja mengacu pada pengukuran

kinerja secara langsung yang berbentuk keberhasilan utama

dan indikator kinerja kunci.

c. Mengukur tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi,

menganalisis hasil pengukuran kinerja yang

mengimplementasikan dengan membandingkan tingkat

capaian tujuan dan sasaran organisasi.

d. Mengevaluasi kinerja dengan menilai kemajuan organisasi

dan pengambilan keputusan yang berkualitas.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut

Sedarmayanti (2015: 369), adalah:

a. Kualitas Pekerjaan (Quality of Work)

Merupakan tingkat baik atau buruknya sesuatu pekerjaan

yang diterima bagi seorang pegawai yang dapat dilihat dari

segi ketelitian dan kerapihan kerja, keterampilan dan

kecakapan.
32

b. Kuantitas Pekerjaan (Quantity of Work)

Merupakan seberapa besarnya beban kerja atau sejumlah

pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seorang pegawai.

Diukur dari kemampuan secara kuantitatif didalam mencapai

target atau hasil kerja atas pekerjaan-pekerjaan baru.

c. Pengetahuan Pekerjaan (Job Knowledge)

Merupakan proses penempatan seorang pegawai yang

sesuai dengan background pendidikan atau keahlian dalam

suatu pekerjaan. Hal ini ditinjau dari kemampuan pegawai

dalam memahami hal-hal yang berkaitan dengan tugas yang

mereka lakukan.

d. Kerjasama Tim (Teamwork)

Melihat bagaimana seorang pegawai bekerja dengan orang

lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Kerjasama tidak

hanya sebatas secara vertikal ataupun kerjasama antar

pegawai, tetapi kerjasama secara horizontal merupakan

faktor penting dalam suatu kehidupan organisasi yaitu

dimana antar pimpinan organisasi dengan para pegawainya

terjalin suatu hubungan yang kondusif dan timbal balik yang

saling menguntungkan.

e. Kreatifitas (Creativity)

Merupakan kemampuan seorang pegawai dalam

menyelesaikan pekerjaannya dengan cara atau inisiatif

sendiri yang dianggap mampu secara efektif dan efisien

serta mampu menciptakan perubahan-perubahan baru guna

perbaikan dan kemajuan organisasi.


33

f. Inovasi (Inovation)

Kemampuan menciptakan perubahan-perubahan baru guna

perbaikan dan kemajuan organisasi. Hal ini ditinjau dari ide-

ide cemerlang dalam mengatasi permasalahan organisasi.

g. Inisiatif (initiative)

Melingkupi beberapa aspek seperti kemampuan untuk

mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi kesulitan,

kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan tanpa

bantuan, kemampuan untuk mengambil tahapan pertama

dalam kegiatan.

TERJEMAHAN JURNAL INTERNASIONAL

Abstrak:

Pada saat ini, kita tahu bahwa ada hubungan positif antara self-efficacy dan self-

esteem di mana keyakinan positif tentang kemanjuran seseorang meningkatkan

rasa harga diri seseorang ketika situasi stres dari beban kerja yang berat diatasi

dengan sukses, dan ini, pada gilirannya, mempengaruhi rencana perawat untuk

bekerja lebih lama. Menganalisis peran mediasi efikasi diri dan harga diri dalam

efek beban kerja, diukur sebagai jumlah pengguna yang hadir selama hari kerja,

tentang kelelahan pada profesional keperawatan. Sampel dari 1307 perawat

berusia 22 hingga 60 tahun yang diberikan Kuesioner Burnout Singkat, Skala

Self-Efficacy Umum, dan Skala Harga Diri Rosenberg, dan beban kerja, diukur

sebagai jumlah pengguna yang hadir selama hari kerja. Hasilnya menunjukkan

bahwa para profesional dengan tingkat self-efficacy yang tinggi juga mendapat

skor lebih tinggi pada harga diri global. Burnout berkorelasi negatif dengan kedua

variabel (self-efficacy dan self-esteem). Tiga cluster ditemukan dengan variabel


34

(self-efficacy, self-esteem, dan beban kerja) yang menunjukkan perbedaan

signifikan dalam skor burnout di antara cluster. Self-efficacy dan selfesteem

berfungsi sebagai penyangga efek negatif dari beban kerja pada burnout.

Organisasi harus merancang intervensi untuk mempromosikan sumber daya

pribadi pekerja mereka melalui kegiatan pelatihan dan sumber daya organisasi

(mis., Mendesain ulang posisi pekerjaan) untuk meningkatkan kepuasan dan

kesejahteraan karyawan, menjadikan masa tinggal mereka di tempat kerja lebih

besar.

Kata kunci: self-efficacy, harga diri, beban kerja, burnout - professional,

psikologi, model mediasi

Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] menganggap burnout, yang juga telah

dianalisis dalam pendidikan (Martos et al., 2018; Vizoso-Gómez dan Arias-

Gundín, 2018), penyakit akibat kerja dari relevansi khusus (Organisasi

Kesehatan Dunia [WHO], 2016). Sindrom ini ditandai dengan kelelahan fisik dan

mental bertahap individu, perasaan terlepas dan sikap negatif terhadap

pekerjaan mereka, dan persepsi kemanjuran profesional yang berkurang

(Maslach et al., 2001).

Meskipun pekerja di sektor pekerjaan yang berbeda mungkin menderita sindrom

ini, ada risiko yang lebih kuat untuk profesional kesehatan, karena kontak

permanen dengan penderitaan dan penyakit orang lain membuat pengaturan

pekerjaan mereka sangat emosional dan psikologis (Adriaenssens et al., 2015;

Hunsaker et al., 2015; Banerjee et al., 2016). Kita tidak bisa lupa bahwa sindrom

ini juga hadir di sektor lain, seperti di Pengasuh Keluarga Pasien Alzheimer tanpa

Pelatihan Khusus (Pérez-Fuentes et al., 2017).


35

Oleh karena itu, pentingnya studi ini berasal dari konsekuensi negatif yang

dimilikinya bagi kesehatan pekerja dan organisasi. Sebagai contoh, telah

ditunjukkan bahwa kelelahan berhubungan dengan beragam penyakit fisik

(muskuloskeletal, kardiovaskular, gastrointestinal, infeksi saluran pernapasan,

dll.) (Jaworek et al., 2010; Kim et al., 2011) dan masalah psikologis (suasana

hati). , gangguan depresi dan kecemasan, dll. (Bianchi et al., 2015; Maslach dan

Leiter, 2016), memengaruhi kinerja pekerjaan secara negatif dan mengarah pada

ketidakhadiran (Schaufeli et al., 2009; Bakker dan Demerouti, 2014).

Salah satu model teoritis referensi dalam penelitian tentang kesejahteraan dan

stres kerja adalah Job Demand-Resources Model (JD-R), yang dikembangkan

oleh Demerouti et al. (2001), untuk memberikan pemahaman tentang kejenuhan

dan proses psikologis lainnya yang terjadi dalam organisasi. Di antara hal-hal

lain, model ini mengidentifikasi tuntutan pekerjaan yang merupakan prediktor

terbaik burnout melalui proses kemunduran kesehatan karyawan, yang dapat

memicu tekanan psikososial, ketidakhadiran dan kurangnya komitmen pekerja

terhadap organisasi (LePine et al., 2005; Bakker et al., 2014; Bakker dan

Demeoruti, 2017).

Tuntutan pekerjaan yang paling banyak mendapat perhatian dalam literatur

terkait dengan tugas dan fungsi dalam posisi pekerjaan, terutama beban kerja

(Garcia-Izquierdo dan Rios-Risquez, 2012; Cooper et al., 2016; Kandelman et al.,

2017; Purohit dan Vasava, 2017). Beban kerja dapat dipahami dari perspektif

kuantitatif, mengacu pada persepsi volume pekerjaan yang berlebihan

sehubungan dengan waktu yang tersedia untuknya, dan dimensi kualitatifnya,

yang menyinggung kualitas dan kompleksitas pekerjaan yang harus dilakukan

(French et al. , 1982).

Kalisch dan Lee (2014), misalnya, menemukan bahwa beban kerja, merujuk

pada jumlah pasien yang dirawat di hari kerja, terkait dengan ketidakpuasan
36

profesional keperawatan. Sementara itu, Van Bogaert et al. (2017) menemukan

bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan rutinitas kerja harian

mempengaruhi persepsi beban kerja karyawan keperawatan, terutama, jumlah

besar pasien dan tingkat keparahan penyakit. Namun demikian, para penulis ini

menyarankan bahwa persepsi negatif dari beban kerja tidak secara eksklusif

ditentukan oleh volume pekerjaan, tetapi juga oleh perasaan frustrasi yang

ditimbulkan oleh tidak mampu memperhatikan kebutuhan pasien secara

memadai atau menawarkan layanan berkualitas kepada mereka. Selain itu,

dalam perpanjangan baru-baru ini dari model JD-R asli, sumber daya pribadi

pekerja dimasukkan untuk menyelesaikan struktur Model Sumber Daya dan

Permintaan Kerja (Xanthopoulou et al., 2007).

Dari perspektif ini, evaluasi diri atau keyakinan positif yang dimiliki pekerja

tentang kontrol mereka atas pengaturan mereka dapat menyangga dampak

negatif dari tuntutan pekerjaan dan pada saat yang sama, berhubungan positif

dengan keterlibatan dan kinerja pekerjaan (Bakker dan Demeoruti, 2017). Di

antara kepercayaan ini, self-efficacy dan nilai, yang telah banyak dipelajari dalam

Psikologi Organisasi karena keterlibatan mereka dalam kesejahteraan dan

kesehatan kerja, ditekankan (Ventura et al., 2015; Alharbi et al., 2016;

Barbaranelli et al., 2018).

Self-efficacy adalah "keyakinan" yang dimiliki individu tentang kemampuan

mereka untuk mengendalikan lingkungan mereka dan memengaruhi cara mereka

berperilaku, berpikir dan merasakan tentang peristiwa di masa depan (Bandura,

1977, 1997). Dalam hal ini, keyakinan pekerja tentang efikasi diri mereka sangat

penting untuk bagaimana mereka memahami konteks di mana mereka bekerja,

terutama ketika mereka harus menghadapi tuntutan pekerjaan yang sangat

menuntut dan berpotensi stres (Grau et al., 2012; Ventura et al ., 2015). Dalam

kasus-kasus seperti itu, karyawan dengan keyakinan positif tentang self-efficacy


37

mereka merespons secara adaptif terhadap stresor pekerjaan, memprediksi

keadaan positif dari peningkatan spiral (misalnya, keterlibatan) (Ventura et al.,

2006; Lorente et al., 2014; Pérez-Fuentes et al., 2018).

Sebaliknya, para pekerja yang menganggap diri mereka tidak efektif, akan

mengaitkan kegagalan dengan defisit dalam kompetensi mereka, meningkatkan

perasaan ketidakefisienan mereka (Van Wingerden et al., 2017). Harga diri

adalah evaluasi positif atau negatif global yang dimiliki seseorang terhadap harga

dirinya (Rosenberg, 1965). Tingkat harga diri yang tinggi telah dikaitkan dengan

kesejahteraan, kepuasan (Orth et al., 2012; Extremera dan Rey, 2018) dan

manajemen stres yang efektif dan mengatasi situasi konflik (Bajaj et al., 2016;

Yildirim et al., 2017).

Ada juga perhatian yang cukup besar pada studi harga diri karena dampak yang

signifikan di sekolah (Pérez-Fuentes dan Gázquez, 2010; González-Cabanach et

al., 2017) dan di tempat kerja (Bakker et al., 2014; Lin et al., 2018), dan lebih

khusus lagi, berkenaan dengan sindrom burnout (Molero et al., 2018a, b).

Akhirnya, kita mulai dari hipotesis berikut, bahwa beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara self-efficacy dan harga diri

(Maggiori et al., 2016), di mana keyakinan positif tentang kemanjuran seseorang

meningkatkan perasaan harga diri sebagai situasi yang penuh tekanan berhasil

diatasi (Caprara et al., 2010, 2013). Tujuan kami adalah untuk menganalisis

peran mediasi dari self-efficacy dan harga diri pada efek beban kerja, diukur

sebagai jumlah pengguna yang hadir di hari kerja, tentang kelelahan pada

profesional keperawatan.
38

METODE PENELITIAN

Sampel

Sampel asli terdiri dari 1601 perawat di Andalusia (Spanyol) yang dipilih secara

acak dari berbagai pusat kesehatan, di antaranya yang bekerja secara aktif pada

saat data diperoleh dipilih. Kasus jawaban acak atau kuesioner tidak lengkap

dibuang. Dengan demikian sampel penelitian akhir terdiri dari total 1.307 peserta.

Usia rata-rata adalah 32,03 tahun (SD = 6,53) dalam kisaran 22 hingga 60. Dari

total sampel, 84,5% (n = 1104) adalah perempuan dan 15,5% (n = 203) laki-laki,

dengan usia rata-rata 32,03 ( SD = 6.50) dan 32.01 (SD = 6.71), masing-masing.

Adapun situasi kerja mereka, 67,1% (n = 877) bekerja di pekerjaan sementara

dan 32,9% (n = 430) memiliki kontrak permanen.

Teknik Pengumpulan Data

Kuesioner ad hoc disiapkan untuk data sosiodemografi (usia, jenis kelamin),

serta informasi tentang beban kerja, diukur sebagai jumlah pengguna yang hadir

dalam satu hari kerja. Cuestionario Breve de Burnout [Kuesioner Burnout

Singkat] Ini terdiri dari 21 item pada skala respon tipe Likert lima poin, yang

mengevaluasi latar belakang, elemen, dan konsekuensi dari sindrom (Moreno et

al., 1997).

Tujuannya adalah evaluasi keseluruhan burnout serta latar belakang dan

konsekuensinya, dalam tiga blok kuesioner disusun. Dalam subjek penelitian

makalah ini, blok terdiri dari tiga faktor sindrom dalam model Maslach dan

Jackson ( 1981) digunakan. Keandalan instrumen untuk sampel penelitian,

khususnya, untuk burnout global, adalah α = 0,78. Skala Self-Efficacy Umum

Skala ini terdiri dari 10 item dengan format Likerttype empat poin yang

mengevaluasi persepsi seseorang tentang kompetensi mereka sendiri untuk

mengelola berbagai situasi stres yang efektif secara efektif (Baessler dan

Schwarcer, 1996).
39

Sanjuan et al. (2000), menganalisis reliabilitas skala, menemukan alpha

Cronbach 0,87. Dalam kasus kami, perhitungan konsistensi internal skala

menemukan alpha 0,92. Rosenberg Self-Esteem Scale Ini dikembangkan untuk

mengevaluasi harga diri pada remaja (Rosenberg, 1965). Ini terdiri dari 10 item

yang isinya berkonsentrasi pada perasaan hormat dan penerimaan terhadap diri

sendiri. Tanggapan dinilai pada skala Likert empat poin (dari 1 = Sangat setuju

hingga 4 = Sangat tidak setuju). Studi lain telah menunjukkan karakteristik

psikometrik yang memadai pada populasi umum (Atienza et al., 2000) dan pada

populasi yang lebih spesifik (Vázquez et al., 2013). Dalam kasus kami,

konsistensi internal adalah α = 0,86.

Teknik Analisis Data

Sebelum mengumpulkan data, para peserta dijamin kepatuhan dengan

kerahasiaan dan standar informasi etis dalam pemrosesan data. Penelitian ini

disetujui oleh Komite Bioetika Universitas Almeria (Spanyol). Kuesioner

diimplementasikan pada platform Web yang memungkinkan peserta untuk

mengisinya secara online. Untuk kontrol jawaban acak atau tidak selaras,

serangkaian pertanyaan kontrol dimasukkan dan setiap kasus tersebut dibuang

dari sampel penelitian.

Analisis Data Pertama, untuk mengeksplorasi hubungan antar variabel, analisis

korelasi dilakukan untuk variabel kuantitatif kontinu. Analisis klaster dua tahap

juga dilakukan untuk mengelompokkan peserta dengan harga diri sebagai

variabel kategori (rendah, sedang dan tinggi), dan variabel kuantitatif

berkelanjutan lainnya, seperti efikasi diri secara umum dan jumlah pengguna

yang menghadiri per hari kerja. .

Setelah cluster atau kelompok telah diidentifikasi, ANOVA dilakukan untuk

menentukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok sehubungan

dengan burnout sebagai variabel dependen. Untuk menentukan kelompok mana


40

yang berbeda secara signifikan satu sama lain, uji perbandingan post hoc

Scheffé diterapkan. Perangkat lunak statistik SPSS versi 23.0 untuk Windows

digunakan untuk analisis ini. Akhirnya, analisis mediasi ganda dilakukan dengan

dua variabel mediator yang membentuk rantai sebab-akibat untuk

membandingkan efek mediasi yang dirasakan variabel Self-efficacy dan Self-

esteem.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Profesional perawat merawat sejumlah besar pasien selama hari kerja mereka,

kadang-kadang dengan ketidakseimbangan antara waktu yang tersedia untuk

memenuhi kebutuhan mereka secara memadai dan beban kerja. Beban kerja ini

secara signifikan mempengaruhi kesehatan, kesejahteraan karyawan dan

rencana untuk bekerja lebih lama, menimbulkan perasaan negatif dan

ketidakpuasan kerja karena mereka tidak dapat memberikan layanan yang

berkualitas (Cooper et al., 2016; Van Bogaert et al., 2017).

Menurut Model Permintaan Pekerjaan dan Sumber Daya, beban kerja adalah

pemicu yang kuat, selain sebagai pemicu kelelahan, melalui proses kesehatan

yang memburuk (Xanthopoulou dkk., 2007; Bakker dkk., 2014). Namun, hasil

kami menunjukkan bahwa self-efficacy dan self-esteem bekerja sebagai

penyangga efek negatif dari beban kerja pada burnout. Bahkan, penulis seperti

Bakker et al. (2014) dan Bakker dan Demerouti (2017) telah menunjukkan peran

luar biasa dari sumber daya pribadi untuk kapasitas mereka untuk menipiskan

dampak negatif dari stres kerja dan hubungan mereka dengan berbagai hasil

positif di bidang organisasi (mis., Keterlibatan dan kinerja kerja).

Juga telah ditemukan bahwa kepercayaan tentang self-efficacy mempengaruhi

harga diri itu sendiri, meningkatkan persepsi seseorang tentang harga diri ketika

situasi yang penuh tekanan berhasil diatasi. Teori Sosial Kognitif Bandura (1977)

menunjukkan bahwa keyakinan positif dalam self-efficacy meningkatkan motivasi


41

untuk memulai dan mempertahankan perilaku untuk mencapai tujuan yang

diinginkan, sehingga pengalaman yang berhasil meningkatkan evaluasi diri positif

terhadap harga diri dan ini memengaruhi rencana untuk bekerja lebih lama.

Selain itu, studi longitudinal telah menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik

antara self-efficacy dan harga diri dari waktu ke waktu (Caprara et al., 2010,

2013).

Model mediasi menunjukkan bahwa hubungan berantai dapat dibangun, di mana

jumlah pengguna yang hadir dalam hari kerja memberikan peluang untuk

mengevaluasi sejauh mana para profesional memahami kemanjuran yang

dengannya mereka melakukan tugas-tugas mereka, dengan akibat yang

diakibatkannya pada diri mereka sendiri. menghargai. Dengan demikian, tuntutan

pekerjaan dianggap sebagai pemicu tantangan yang mendorong pertumbuhan

pribadi pekerja, menghasilkan emosi positif (LePine et al., 2005; Van Bogaert et

al., 2017).

Dalam hal ini, profesional keperawatan mempertimbangkan upaya yang

diperlukan untuk merawat sejumlah besar pasien harus dikaitkan secara positif

dengan kemungkinan melakukan tugas dengan memuaskan, dan menutupi

permintaan ini juga terkait dengan konsekuensi positif, seperti rencana untuk

bekerja lebih lama. Selain itu, hasilnya menunjukkan bahwa self-efficacy dan

harga diri berinteraksi satu sama lain, dan dapat melemahkan efek negatif dari

beban kerja pada burnout. Dengan demikian profesional keperawatan dengan

tingkat kepercayaan diri yang tinggi dalam mengatasi beban kerja dengan upaya

dan ketekunan, berkontribusi untuk mempertahankan tingkat harga diri yang

optimal, dan dengan demikian, meningkatkan keterlibatan mereka dengan

pekerjaan mereka (Lorente et al., 2014; Ventura et al., 2015; Bajaj et al., 2016).

Bukti yang berasal dari penelitian ini berubah menjadi implikasi praktis yang

relevan. Sebagai contoh, efek penting yang sumber daya pribadi seperti
42

selfefficacy atau harga diri miliki pada tuntutan pekerjaan, kesejahteraan

profesional keperawatan dan kesehatan kerja harus ditekankan (Molero et al.,

2018a). Inilah sebabnya mengapa organisasi harus merancang intervensi yang

berorientasi pada pengembangan sumber daya pribadi pekerja melalui kegiatan

pelatihan dan sumber daya organisasi (mis., Mendesain ulang posisi pekerjaan)

untuk meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan karyawan mereka. Meskipun

demikian, hasilnya harus dipertimbangkan dalam beberapa batasan.

Yang pertama adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, yang

dapat dibiaskan oleh varians dari metode tunggal, dan karenanya harus

menggabungkan metode kualitatif lainnya (mis., Wawancara). Kedua, sampel

terdiri dari mayoritas wanita, dengan kesulitan terkait dengan menggeneralisasi

hasil ke seluruh kelompok. Akhirnya, dengan desain penelitian ini, tidak mungkin

untuk mengetahui apakah data tentang burnout tetap konstan dari waktu ke

waktu, dan penentuan pengaruh waktu atau perubahan variabel pada hubungan

antara variabel terhambat. Sebagai jalur penelitian di masa depan, kami

menyarankan untuk memasukkan tuntutan pekerjaan lain (misalnya, shift kerja

dan stres peran) dan variabel psikologis lainnya (misalnya, kecerdasan emosi

dan keterampilan sosial), harapan waktu untuk bekerja, dan variabel yang terkait

dengan sumber daya kerja seperti otonomi dan gaya kepemimpinan, untuk

melengkapi sumber daya pekerjaan dan menuntut model dan menawarkan

pemahaman yang lebih baik tentang fenomena tersebut. Ini juga akan menarik

untuk melakukan studi multi-level tentang kelelahan oleh area di mana

profesional keperawatan bekerja, sehingga langkah-langkah pencegahan

organisasi dapat diimplementasikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi peran mediasi

variabel psikologis pada efek beban kerja pada kelelahan pada profesional
43

keperawatan. Itu mengungkapkan bahwa beban kerja memiliki hubungan positif

yang signifikan dengan kelelahan, sementara self-efficacy dan harga diri

bertindak sebagai variabel pelindung. Itu juga menunjukkan bahwa beban kerja

memiliki efek tidak langsung pada harga diri, dimediasi oleh keyakinan tentang

self-efficacy, dan bahwa efek bersama dari self-efficacy dan harga diri dapat

buffer efek negatif dari beban kerja pada burnout. Mengingat semua hal di atas,

sebuah garis penelitian sekarang mulai di mana analisis hubungan kompleks

ditetapkan antara variabel yang berbeda dan efek dari kombinasi mereka, di luar

dampak variabel terisolasi pada burnout, diprioritaskan.

Anda mungkin juga menyukai