Anda di halaman 1dari 3

Judul Jurnal : Self-Efficacy: A brief literature review

Jenis Jurnal : Jurnal Manajemen


Tahun : 2019
Penulis : Lianto
Peresume : Epul Saepul Zalil
Kelas : MPI 1A
Mata Kuliah : Kepemimpinan dan Teori Prilaku dalam Organisasi Lembaga
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Rudiana, S.Th.I., M.Pd.

Latar Belakang

Latar belakang penulisan jurnal tersebut adalah berdasarkan pengamatan dari riset-riset
tentang self-efficacy, dimana self-efficacy telah menyumbangkan kerangka konseptual yang
dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu.. Ternyata membuktikan bahwa self-efficacy
berdampak positif pada sukses individual maupun organisasional. Pentingnya konsep ini
dalam mengefektifkan berbagai aktivitas hidup mendorong penulis untuk mengkaji kajian
literatur tersebut.

Tujuan Penulisan Jurnal

Tujuan dari penulisan jurnal tersebut adalah untuk menyediakan uraian tentang asal-usul
konsep, definisi, dimensi, dan berbagai variabel yang memengaruhi maupun dipengaruhi
self-efficacy.

Metode

Metode yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan kualitatif. Metode ini
memanfaatkan deskripsi dan kata-kata dari pengamatan terhadap perilaku. Sementara itu,
metode pemerolehan data dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur yang berkaitan
degan penelitian tersebut.

Hasil Penelitian

Dalam ranah ilmu Perilaku Organisasi, Propst dan Koesler (1998) membuktikan bahwa
self-efficacy berpengaruh terhadap kepemimpinan. Riset Bandura dan Cervone (1983) dan
Lunenberg (2011) menemukan bahwa self-efficacy memicu motivasi dan kinerja. Mensah
dan Lebbaeus (2013) meneliti self-efficacy dan menemukan perannya untuk meningkatkan
kualitas kerja. Dalam hubungan dengan employee engagement, Luthans dan Peterson (2002)
membuktikan bahwa self-efficacy berpengaruh signifikan terhadap engagement. Sejalan
dengan Luthans dan Peterson di atas, Xanthopoulou et al. (2008) menyatakan bahwa self-
efficacy terbukti menjadi prediktor untuk kinerja melalui mediator employee engagement.
Demikian pula riset Rich et al. (2010) memperlihatkan hubungan yang positif signifikan
antara evaluasi-diri inti (i.e.: self-esteem, self-efficacy, lokus kendali, dan stabilitas
emosional) dan engagement. Di samping itu, penelitian Salanova et al. (2011), yang
berjudul: “Yes, I Can, I Feel Good, and I Just Do It!” On Gain Cycles and Spirals of
Efficacy Beliefs, Affect, and Engagement”, menemukan bahwa selfefficacy dapat
menciptakan lingkaran positif di mana orang yang memiliki keyakinan diri tinggi menjadi
lebih engaged dalam tugasnya sehingga mampu meningkatkan kinerja. Setelah kinerjanya
tercipta, prestasi itu selanjutnya akan semakin meningkatkan keyakinan dirinya. Hasil
serupa ditunjukkan oleh penelitian Ouweneel, Schaufeli, dan Le Blanc (2013) yang
menemukan bahwa perubahan dalam tingkat self-efficacy siswa memengaruhi perubahan
tingkat engagement dan kinerja mereka. Demikian pula Dagher, Chapa, dan Junaid (2015)
membuktikan bahwa employee engagement secara signifikan dipengaruhi oleh self-efficacy.

Dalam area pendidikan, self-efficacy diaplikasikan untuk antara lain mengembangkan


teknik pengajaran (Montcalm, 1999) dan pencapaian hasil akademik (Zimmerman,
Bandura, dan Martinez-Pons, 1992). Dalam bidang kesehatan, self-efficacy juga diterapkan
untuk pengobatan pasien kecanduan alkohol (Rollnick dan Heather, 1982), pemulihan
pasca-traumatik (Benight dan Bandura, 2004), pengembangan pendidikan anak-anak
(Bandura, Barbaranelli, Caprara, dan Pastorelli, 2001), pengendalian infeksi HIV (Bandura,
1990), dan perawatan rehabilitasi jantung (Jeng dan Braun, 1994).

Secara psikologis, persepsi tentang kemampuan diri akan memengaruhi pikiran,


perasaan, dan tindakan. Menurut Bandura (1997), self-efficacy yang terbentuk cenderung
akan menetap dan tidak mudah berubah. Kekuatan self-efficacy akan menjadi penentu
perilaku. Berikut ini diuraikan beberapa peranan dari terciptanya self-efficacy.

a. Menentukan pemilihan perilaku: individu akan cenderung memilih melakukan tugas


di mana ia merasa memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk menjalankannya,
alih-alih tugas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa self-efficacy menjadi pemicu
munculnya suatu perilaku.
b. Menentukan besarnya upaya dan daya juang terhadap hambatan. Menurut Bandura,
self-efficacy menentukan kekuatan dan daya tahan individu dalam mengatasi
hambatan dan situasi yang tidak menyenangkan. Self-efficacy yang tinggi akan
menurunkan kecemasan tentang kemampuan menyelesaikan tugas sehingga individu
akan lebih tabah ketika mengalami hambatan dalam menjalankan tugasnya. Upayanya
pun akan lebih banyak dikerahkan karena keyakinan bahwa usahanya tidak akan sia-
sia.
c. Menentukan cara pikir dan reaksi emosional. Individu dengan self-efficacy yang
rendah cenderung menganggap dirinya tidak akan mampu menghadapi tantangan
pekerjaannya. Dalam menjalankan tugasnya, mereka cenderung membesarbesarkan
masalah yang akan timbul jauh lebih berat daripada kenyataannya. Mereka lebih
sering merasa pesimis, mudah putus asa, dan tertekan. Sebaliknya, orang dengan self-
efficacy yang tinggi akan menganggap tugas-tugas beratnya sebagai tantangan yang
menarik untuk diatasi. Pikiran dan perasaannya lebih terbuka untuk menemukan
solusi bagi permasalahan yang dihadapi.

Prediksi perilaku yang akan muncul. Orang dengan self-efficacy yang tinggi cenderung
lebih berminat melibatkan diri dalam aktivitas organisasi. Interaksinya dengan lingkungan
kerja lebih intensif. Dalam kerja sama tim, mereka lebih kreatif menemukan berbagai solusi
dan ikhlas bekerja keras karena keyakinan yang tinggi tentang kemampuannya. Sebaliknya
individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung lebih tertutup dan kurang terlibat
dalam kerja sama tim karena persepsi mereka tentang masalah dan kesulitan lebih besar
ketimbang peluang untuk merubah keadaan).
Simpulan

Penulis menyimpulkan beberapa poin bahwa Self-efficacy menciptakan lingkaran kausal


yang positif antara keterlibatan karyawan dalam pekerjaan, kinerja, dan keyakinan diri itu
sendiri. Orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan lebih terlibat dalam pelaksanaan
tugasnya. Hal itu tentu saja akan meningkatkan kinerjanya. Kemudian dalam proses
berikutnya, kinerja yang dihasilkan akan semakin meningkatkan self-efficacy-nya.
Perubahan dan perbedaan tingkat self-efficacy dalam tiap individu tentu saja akan
memengaruhi tingkat kinerja organisasi secara keseluruhan. Individu dengan tingkat self-
efficacy yang lebih tinggi akan merespon umpan balik negatif dengan upaya dan motivasi
yang lebih tinggi. Sebaliknya individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung patah
semangat dan mengurangi upayanya setelah mendapat umpan balik negatif. Gejala ini perlu
disadari para manajer dalam mengelola karyawan dengan tingkat self-efficacy yang
bervariasi. Penerapan teori penetapan tujuan dan self-efficacy secara simultan dipercaya
dapat membantu para manajer dalam mengelola karyawan. Penetapan tujuan yang sulit di
satu sisi dapat menantang karyawan mengerahkan upaya terbaiknya. Di lain sisi, penetapan
tujuan yang sulit juga menciptakan persepsi bahwa karyawan dipercaya oleh manajer untuk
menangani perkara sulit. Hal itu juga berarti bahwa bagi manajer, karyawan yang
bersangkutan memiliki kemampuan yang tinggi. Secara psikologis, cara kerja self-efficacy
mirip dengan efek Pygmalion. Orang yang meyakini atau diyakinkan bahwa ia mampu
melaksanakan suatu tugas, ternyata ia memang mampu melaksanakannya. Dalam
manajemen sumber daya manusia, konsep self-efficacy juga diterapkan dalam berbagai
program pelatihan. Pelatihan memberikan ruang dan waktu bagi peserta untuk
mempraktikkan dan membangun keahlian. Sudah menjadi aksioma bahwa segala sesuatu
menjadi mudah jika orang tahu mengerjakannya. Pengetahuan dan keterampilan teknis yang
diperoleh dari pelatihan menciptakan pengalaman dan keyakinan diri dalam melaksanakan
pekerjaan. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan self-efficacy itu sendiri. Individu
dengan peningkatan self-efficacy akan mengambil manfaat dari program pelatihan dan akan
menerapkan keahlian yang diperoleh dari pelatihan pada pekerjaan.

Anda mungkin juga menyukai