Anda di halaman 1dari 18

Tugas Mata Kuliah Lintas Minat

Indikator Dan Pengukuran Promosi Kesehatan


MAKALAH TENTANG SELF EFFICACY PADA ORANG TUA YANG
MEMILIKI ANAK AUTIS

Oleh:
Kelompok 5
Risna Nur Fajariyah 101511133056
Dwi Ratnasari 101511133057
Siti Rohmatun Ni’mah 101511133110
Nur Vita Widiningrum 101511133204

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Dalam
makalah ini kami membahas tentang “Self Efficacy pada Orang Tua yang Memiliki
Anak Autis”.
Selama proses penulisan makalah ini, terdapat beberapa hambatan, tetapi
atas kerja sama dengan berbagai pihak maka datat teratasi. oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada anggota kelompok dan semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta dukungannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini dengan baik.
Kami juga senantiasa menerima kritik dan saran untuk perbaikan dalam
makalah ini dan penulisan yang lebih baik pada makalah berikutnya. Semoga tugas
yang telah kami kerjakan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Akhir kata kami
mengucapkan terima kasih.

Surabaya, 22 April 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... 1


KATA PENGANTAR .................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah ……………………………………………………… 5
1.3 Tujuan ………………………………………………………………….. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Self Efficacy……………………………………………………….......... 6
2.2 Autisme ……………………………... .................................................... 10
2.3 Depresi .....................................................................................................12
2.4 Orang Tua dan Perannya ..........................................................................13
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Instrumen Pengukuran Self Efficacy ………… ....................................... 14
3.2 Cara Pengukuran………………………………………………………...15
3.2 Analisis ……………………………………………................................ 16
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan …………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… ...... 18

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan mental merupakan salah satu kesehatan yang perlu dijaga.
Kesehatan mental yang baik akan membawa batin berada dalam kondisi yang
tentram dan tenang sehingga memungkinkan untuk dapat menikati kehidupan
dan menghargai orang yang ada di sekitar kita. Namun sebaliknya dengan
kesehatan mental yang terganggu, seseorang akan merasa batinnya tidak
tentram dan tidak dapat mengendalikan emosinya terhadap orang lain,
sehingga dapat berperilaku buruk.
Kesehatan mental dapat dialami oleh anak yang menderita autisme.
Autisme merupakan gangguan ada proses perkembangan anak yang
mengakibatkan anak tidak dapat berinteraksi dan berkomunikasi baik dengan
orang yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini peran penting orang tua sangat dibutuhkan untuk anak.
Orang tua harus mengetahui kondisi dan perasaan anak yang memiliki
gangguan kesehatan mental. Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari
orang tua memberikan support dan kepercayaan dalam diri anak yang autisme.
Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk
anak yang autisme pada dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar
dan tidak selalu juga identik dengan gangguan depresi pada orang tua.. Namun
demikian kehidupan yang sederhana dari orangtua tidak mengurangi
kebersamaan dan komunikasi yang saling mendukung antar anggota keluarga.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berkebutuhn khusus itu diharapkan
dapat membantu keberhasilan akademik dan non akademik anak autisme.
Dengan dukungan dan penerimaan dari orang tua dan perlu adanya
memberikan self efficacy pada anak untuk lebih berusaha mempelajari dan
mencoba hal-hal baru yang terkait dengan keterampilan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas bagaimana peran orang
tua dalam memberikan pengasuhan yang berhubungan dengan self efficacy
pada anak autisme.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan self efficacy?
2. Bagaimana instrumen pengukuran self efficacy pada orang tua yang
memiliki anak autisme?
3. Bagaimana analisis instrumen pengukuran self efficacy pada orang tua yang
memiliki anak autisme?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang self efficacy secara umum
2. Untuk mengetahui bentuk instrumen yang digunakan dalam pengukuran self
efficacy pada orang tua yang memiliki anak autisme
3. Untuk mengetahui analisis yang digunakan dalam instrumen pengukuran
self efficacy pada orang tua yang memiliki anak autisme

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Self Efficacy
2.1.1 Pengertian Self Efficacy

Self efficacy merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan diri individu


mengenai kemampuannya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas,
mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan
untuk mencapai kecakapan tertentu. Menurut Bandura (dalam Jess Feist & Feist,
2010:212) Self efficacy adalah keyakinan seseorang dalam kemampuannya
untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi orang itu sendiri dan
kejadian dalam lingkungan. Bandura juga menggambarkan Self efficacy sebagai
penentu bagaimana orang meras berfikir, memotivasi diri, dan berperilaku
(Bandura, 1994).

Self efficacy merupakan salah satu aspek pengetahuan diri atau self
knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal
ini di sebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam
menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
termasuk di dalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi. Efikasi
diri yakni keyakinan bahwa seorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan
hasil positif. Bandura mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap
perilaku.

Sementara itu, Baron dan Bryne mendefinisikan efikasi diri atau self
efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi
dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.
Alwisol (2009:287) menyatakan bahwa self efficacy sebagai persepsi diri sendiri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, efikasi diri
berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan
tindakan yang diharapkan. Efikasi diri menurut Alwisol dapat diperoleh, diubah,
ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi 4 sumber, yakni
pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment),

6
pengalaman vikarius (vicarious experiences), persuasi sosial (social persuation)
dan pembangkitan emosi (emotional physiological states).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Self efficacy adalah


keyakinan individu pada kemampuan dirinya sendiri dalam menghadapi atau
menyelesaikan tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan untuk mencapai
suatu hasil dalam situasi tertentu.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Bandura (dalam Jess Feist & Feist, 2010: 213-215), Self efficacy
dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui 4 hal, yaitu:
a. Pengalaman Menguasai Sesuatu (Mastey Experience)
Pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu. Secara
umum performa yang berhasil akan menaikkan self efficacy individu,
sedangkan pengalaman pada kegagalan akan menurunkan. Setelah self
efficacy kuat dan berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak
negatif dari kegagalan-kegagalan yang umum aka terkurangi secara
sendirinya. Bahkan, kegagalan-kegagalan tersebut dapat diatasi dengan
memperkuat motivasi diri apabila seseorang menemukan hambatan yang
tersulit melaui usaha yang terus-menerus.
b. Modeling Sosial
Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan
yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan self
efficacy individu dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu pula
sebaliknya, pengalaman terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan
penilaian individu mengenai kemampuannya dab individu akan mengurangi
usaha yang dilakukannya.
c. Persuasi Sosial
Individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan bimbingan
sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kemampuan-kemampuan
yang dimiliki dapat membantu tercapainya tujuan yang diinginkan. Individu
yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk
mencapai suatu keberhasilan. Namun pengaruh persuasi tidaklah terlalu

7
besar, dikarenakan tidak memberikan pengalaman yang dapat lansung
dialami atau diamati individu. Pada kondisi tertekan dan kegagalan yang
terus menerus akan menurunkan kapasitas pengaruh sugesti dan lenyap
disaat mengalami kegagalan yang tidak menyenangkan.
d. Kondisi Fisik dan Emosional
Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang
mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stres yang
tinggi kemungkinan akan mempunyai ekspetasi efikasi yang rendah.

2.1.3 Aspek-Aspek Self Efficac

Menurut Bandura (dalam Ghufron, 2010), self efficacy pada diri tiap
individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga
dimensi. 3 dimensi tersebut, yaitu:
a. Tingkat (Level)
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu
merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada
tugas-tugas yang disusun tingkat kesulitannya, maka efikasi diri individu
mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang atau bahkan
meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan
yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada
masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan
tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah
laku yang berada di luar batas kemampuan yang di rasakannya.
b. Kekuatan (Strength)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan diri keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah
mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, pengharapan yang mantab mendorong individu tetap bertahan
dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level,
yaitu makin tinggi level taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang
dirasakan untuk menyelesaikannya.

8
c. Generalisasi ( Geneality)
Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana
individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin
terhadap kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan
situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.

2.1.4 Fungsi self Efficacy

Efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi
pada aktivitas individu. Bandura menjelaskan tentang pengaruh dan fungsi
tersebut, diantaranya:
a. Fungsi Kognitif
Bandura menyebutkan bahwa pengaruh dari efikasi diri pada proses
kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, efikasi diri yang kuat akan
mempengaruhi tujuna pribadinya. Semakin kuat efikasi diri, semakin tinggi
tujuan yang di tetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang
memperkuat adalah komitmen individu terhadap tujuan tersebut. Individu
dengan efikasi diri yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi,
mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai tujuan
tersebut. Kedua, individu dengan efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi
bagaimana individu tersebut menyiapkan langkah-langkah antisipasi bila
usahanya yang pertama gagal dilakukan.
b. Fungsi Motivasi
Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi
diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif.individu
memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakan-tidakannya degan
menggunakan pemikiran-pemikiran tentang masa depan sehingga individu
tersebut akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dirinya
lakukan. Individu juga akan mengantisipasi hasil-hasil dari tindakan-
tindakan yang prospektif, menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan
merencanakan bagian dari tindakan-tindakan untuk merealisasikan masa
depan yang berharga. Efikasi diri mendukung motivasi dalam berbagai cara

9
dan menentukan tujun-tujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri
dengan seberapa besar ketahanan individu terhadap kegagalan.
c. Fungsi Afeksi
Efikasi diri akan mempunyai kemampuan coping individu dalam
mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang
sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu
tersebut. Efikasi diri memegang peran penting dalam kecemasan, yaitu
untuk mengontrol stres yang yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan
pernyataan Bandura bahwa efikasi diri mengatur perilakuuntuk
menghindari suatu kecemasan. Semakin kuat efikasi diri, individu semakin
berani menghadapi tindakan yang menekan dan mengancam. Individu yang
yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol pada situasi yang
mengancam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran yang
mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur situasi
yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi.
d. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan
yang akan diambil oleh individu. Individu menghindari aktivitas dan situasi
yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam
dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas
yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.
2.2 Autisme

Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan


perkembangan saraf yang memengaruhi kemampuan anak dalam
berkomunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. ASD tak hanya mencakup
autisme, tapi juga melingkupi sindrom Asperger, sindrom Heller, dan gangguan
perkembangan pervasif (PPD-NOS). Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik, diperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang penyandang autisme di
Indonesia pada tahun 2010. Jumlah penduduk Indonesia pada saat itu mencapai
237,5 juta jiwa, berarti ada sekitar satu penyandang autisme pada setiap 100 bayi
yang lahir.

10
Secara umum, gejala autisme terdeteksi pada usia awal perkembangan
anak sebelum mencapai tiga tahun. Gejala dan tingkat keparahan autisme juga
cenderung bervariasi pada tiap penyandang. Tetapi, gejala-gejala tersebut dapat
dikelompokkan dalam dua kategori utama. Kategori pertama adalah gangguan
interaksi sosial dan komunikasi. Gejala ini dapat meliputi masalah kepekaan
terhadap lingkungan sosial dan gangguan penggunaan bahasa verbal maupun
non verbal. Sementara kategori kedua meliputi pola pikir, minat, dan perilaku
yang terbatas serta bersifat pengulangan. Contoh gerakan repetitif, misalnya
mengetuk-ngetuk atau meremas tangan, serta merasa kesal saat rutinitas tersebut
terganggu.

Menurut CDC, tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan anak-anak
menjadi autis. Para ilmuwan berpikir bahwa ada hubungan genetika dan
lingkungan. Mengetahui penyebab pasti dari autisme sangat sulit karena otak
manusia sangat rumit. Otak mengandung sel saraf lebih dari 100 miliar neuron
disebut. Setiap neuron mungkin memiliki ratusan atau ribuan sambungan yang
membawa pesan ke sel-sel saraf lain di otak dan tubuh. Neurotransmiter menjaga
neuron bekerja sebagaimana mestinya, seperti Anda dapat melihat, merasakan,
bergerak, mengingat, emosi pengalaman, berkomunikasi, dan melakukan
banyak hal-hal penting lainnya. Dalam otak anak-anak dengan autisme,
beberapa sel-sel dan koneksi tidak berkembang secara normal atau tidak
terorganisir seperti seharusnya. Para ilmuwan masih mencoba untuk memahami
bagaimana dan mengapa hal ini terjadi.

Penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa


faktor yang diduga bisa memicu seseorang untuk mengalami gangguan ini.
Faktor-faktor pemicu tersebut meliputi:
 Jenis kelamin. Anak laki-laki memiliki risiko hingga 4 kali lebih tinggi
mengalami autisme dibandingkan dengan anak perempuan.
 Faktor keturunan. Orang tua seorang pengidap autisme berisiko kembali
memiliki anak dengan kelainan yang sama.

11
 Pajanan selama dalam kandungan. Contohnya, pajanan terhadap minuman
beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) selama
dalam kandungan.
 Pengaruh gangguan lainnya, seperti sindrom Down, distrofi otot,
neurofibromatosis, sindrom Tourette, lumpuh otak (cerebral palsy) serta
sindrom Rett.
 Kelahiran prematur, khususnya bayi yang lahir pada masa kehamilan 26
minggu atau kurang.
2.3 Depresi

Depresi atau dalam istilah medis disebut gangguan depresi mayor adalah
gangguan suasana hati (mood) yang dapat memengaruhi pola pikir, perasaan,
dan cara menghadapi aktivitas sehari-hari.

Ketika mengalami depresi seseorang akan merasa sedih, putus harapan,


merasa tidak berharga, kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang dulunya
disukainya, atau menyalahkan diri sendiri. Hal tersebut terjadi sepanjang hari
dan berlangsung paling tidak selama 2 minggu. Depresi berbeda dengan
perasaan tidak bahagia yang berlangsung sementara. Namun karena pemahaman
yang salah dan dianggap sama dengan rasa sedih biasa, penyakit ini seringkali
dianggap sepele. Padahal, depresi merupakan penyakit serius yang dapat
mendorong penderitanya untuk bunuh diri.

Dalam penggolongannya, selain gangguan depresi mayor, terdapat


beberapa bentuk lain dari depresi yang sedikit berbeda dari segi waktu,
kemungkinan penyebabnya, atau gejala lain yang menyertai, yaitu:
 Disruptive mood dysregulation disorder. Sering disebut sebagai gangguan
bipolar pada anak-anak, karena gangguan ini terjadi pada anak-anak (kurang
dari 18 tahun) dengan gejala cepat marah dan sering melakukan perbuatan
ekstrim di luar kontrol.
 Persistent depressive disorder. Bentuk ringan tapi kronis dari depresi.
Dikatakan kronis karena gejala depresi dapat bertahan selama 2 tahun.

12
 Premenstrual dysphoric disorder. Timbulnya gejala perubahan mood, cepat
marah, dan gejala depresi yang terjadi selama minggu terakhir sebelum haid
dan berkurang saat haid, kemudian menghilang setelah haid.
 Depresi perinatal. Bentuk lebih serius dari baby blues yang dialami oleh
wanita setelah melahirkan. Depresi perinatal dapat terjadi selama kehamilan
atau setelah melahirkan. Keadaan ini mengakibatkan ibu sulit untuk
melakukan aktivitas baik untuk dirinya atau untuk anaknya.
 Depresi disertai gejala psikosis.
 Gangguan bipolar.

Depresi adalah kondisi yang bisa disebabkan karena beberapa faktor,


antara lain:

 Genetik – orang dengan riwayat keluarga depresi lebih cenderung depresi


dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga depresi.

 Kimia otak – orang dengan depresi memiliki kimia otak yang berbeda dari
yang tidak depresi.

 Stres – kehilangan orang yang dicintai, hubungan yang bermasalah, atau


situasi yang dapat membuat stres, dapat memicu terjadinya depresi.

2.4 Orang Tua Dan Perannya

Pada umumnya orang tua tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa
anaknya dinyatakan mengalami autis. Sikap mental yang belum/tidak bisa
menerima kenyataan ini seringkali berdampak pada kemampuan orang tua untuk
menyesuaikan diri dengan kekhususan keadaan anaknya. Di satu sisi autism
membutuhkan penanganan yang sangat komplek dan membutuhkan partisipasi
dan peran aktif orang tua dalam banyak hal terkait dalam proses terapi. Terdapat
hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri orang tua dan peran mereka
dalam terapi anak autism. Sehingga perhatian terhadap orang tua dengan anak
autism sangatlah penting, karena dengan penerimaan dan penyesuaian diri yang
baik diharapkan peran aktif mereka semakin baik dalam berbagai upaya
penanganan autism untuk menunjang keberhasilan terapi.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Instrumen Pengukuran Self Efficacy

Identitas responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. Umur :
4. Pendidikan Terakhir :

Petunjuk Pengisian:
a) Bacalah pernyataan kuesioner dengan cermat dan teliti.
b) Berilah tanda (√) pada jawaban yang Anda anggap paling sesuai, dimana
setiap responden hanya diperbolehkan memilih satu jawaban.
c) Dimohon responden untuk mengisi seluruh pernyataan yang tersedia.

Sangat
Sangat Tidak
Setuju Netral Tidak
No. Pernyataan Setuju Setuju
(S) (N) Setuju
(SS) (TS)
(STS)

Saya merasa percaya diri dapat


1 merawat anak saya yang berkebutuhan
khusus

Saya mampu memenuhi kebutuhan


2
anak saya yang berkebutuhan khusus

Saya dapat mengontrol perilaku anak


3
saya

Jika saya tidak memberikan perlakuan


4
khusus pada anak berkebutuhan

14
khusus, mereka masih dapat
berkembang dengan baik.

Saya merasa puas saat dapat


5 memenuhi kebutuhan anak saya yang
berkebutuhan khusus.

Ketika saya berjuang dalam


6 memenuhi kebutuhan anak saya, saya
focus pada perkembangan anak saya.

Saya percaya perlakuan yang saya


7 berikan akan berdampak pada anak
saya.

Saat merawat anak berkebutuhan


8 khusus dengan baik, maka anak itu
akan berkembang dengan baik

Saya tidak merasa kesulitan saat


9
merawat anak berkebutuhan khusus

Saya perduli dengan perkembangan


10 mental anak saya yang berkebutuhan
khusus

3.2 Cara Pengukuran

Penelitian ini merupakan survey yang menunjukkan motivasi seseorang


untuk berhenti merokok dengan menggunakan sampel yang dipilih secara
random. Pengukuran dilakukan dengan cara:
a. jawaban tiap responden dan melakukan penilaian pada setiap jawaban
yang dipilih.
b. Menjumlahkan seluruh poin yang didapat pada tiap responden.
c. Jumlah poin minimal = 1, Jumlah poin maksimal = 5.
d. Menentukan kategori berdasarkan pola distribusi normal dengan cara:

15
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 − 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
Kategori
e. Hasil tersebut dapat digunakan untuk menilai motivasi responden,
dengan ketentuan:
1) Skor 75-100 : Sangat Mendukung
2) Skor 50-74 : Sedang
3) Skor 5-49 : Kurang mendukung
*skor minimal = 5
*skor maksimal = 100

3.3 Anaalisis

Pengukuran self-efficacy dalam tugas ini menggunakan kuesioner dengan


skala likert. Hasil analisis dari kuesioner di atas mengenai self-efficacy pada
orang tua yang memiliki anak autis di hitung dengan menjumlahkan seluruh
hasil jawaban yang diberikan. Pertanyaan yang diajukan kepada responden
yang merupakan ayah dan ibu dari anak yang berkebutuhan khusus (Autis)
mengenai bagaimana mereka menangani masalah perilaku mereka.
Hasil dari penelitian yang kami gunakan mengungkapkan jika self-efficacy
pada orang tua berpengaruh pada perilaku yang bermasalah. Pertanyaan yang
di tuliskan dalam kuesioneri ini berdasarkan factor-faktor yang mempengaruhi
afeksi, yaitu: Pengalaman Menguasai Sesuatu (Mastey Experience), Modeling
Sosial, Persuasi Sosial dan Kondisi Fisik dan Emosional.

16
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Autisme merupakan gangguan ada proses perkembangan anak yang


mengakibatkan anak tidak dapat berinteraksi dan berkomunikasi baik
dengan orang yang ada di sekitarnya.
pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak yang autisme
membutuhkan kehidupan yang sederhana dari orangtua tidak mengurangi
kebersamaan dan komunikasi yang saling mendukung antar anggota
keluarga.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berkebutuhn khusus itu
diharapkan dapat membantu keberhasilan akademik dan non akademik anak
autisme. Dengan dukungan dan penerimaan dari orang tua dan perlu adanya
memberikan self efficacy pada anak untuk lebih berusaha mempelajari dan
mencoba hal-hal baru yang terkait dengan keterampilan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Autisme- Pengertian, Penyebab, Gejala, Ciri & Terapi (online).
Available at https://www.jevuska.com/2012/12/29/autisme-pengertian-
penyebab-gejala-ciri-terapi/. Accessed 22 April 2018 pukul 3.35 WIB.

Joseph, Novita. 2018. Apa Itu Depresi? (online). Available at


https://hellosehat.com/penyakit/depresi/. Accessed 22 April 2018 pukul
5.10 WIB.

Marianti, dr. 2006. Autisme (online). Available at


https://www.alodokter.com/autisme. Accessed 22 April 2018 pukul 3.14
WIB.

Maulana, Robi. 2016. Definisi Self Efficacy (Efikasi Diri) Menurut Pada Ahli
(online). Available at https://psikologihore.com/self-efficacy-efikasi-diri/.
Accessed 22 April 2018 pukul 2.37 WIB.

18

Anda mungkin juga menyukai