Disusun Oleh:
Devanty Kamila Maulidiya (2107016045)
Laela Aldellisa (2107016063)
Mirsa Masitoh (2107016080)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kami Nabi
Muhammad SAW. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nikmah Rochmawati,
M.Si. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah membimbing
kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “ Self Efficacy dan Self Regulation
Learning” tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
berkontribusi dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah yang kami
susun masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik maupun saran yang bersifat
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Psikologi Pendidikan. Dengan disusunnya makalah ini kami berharap dapat menambah
wawasan dan bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi saat ini, pembelajaran hampir menjadi suatu keharusan
bagi setiap individu. Prawira (2014) mengartikan pembelajaran sebagai usaha yang
disengaja untuk meningkatkan kualitas kemampuan atau perilaku dengan menguasai
berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Perubahan dalam kualitas
kemampuan ini bersifat permanen. Selain itu, Fudyartanto (2002) juga membedakan
pembelajaran menjadi dua jenis, yaitu pembelajaran formal dan pembelajaran mandiri.
Zimmerman (1990) mengemukakan sebuah kerangka konseptual mengenai
akademik self-regulated yang mencakup enam proses kunci dalam pembelajaran. Salah
satu dari proses tersebut adalah self-efficacy, yang memiliki peran yang signifikan
karena berkaitan dengan kesadaran individu terhadap pemahaman dan keyakinan dalam
kemampuan mereka untuk belajar (Jagad, 2018). Menurut Bandura (1997), self-efficacy
adalah pandangan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang mengenai kemampuan
mereka untuk mengekspresikan perilaku tertentu, yang berkaitan dengan kepercayaan
individu dalam menentukan tingkat upaya yang diperlukan dan kemampuan mereka
untuk mengatasi hambatan yang mungkin mereka hadapi.
Menurut Abicondro (2011), ketika seseorang memiliki self-efficacy dan
kemampuan self-regulated learning yang baik, mereka akan dapat mengelola
pengalaman belajarnya dengan efektif melalui berbagai metode, sehingga mencapai
hasil belajar yang optimal. Sebaliknya, individu dengan tingkat self-efficacy yang
rendah akan memiliki dampak yang signifikan pada upaya mereka untuk mencapai hasil
tertentu. Berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan survei menunjukkan
bahwa dalam proses pembelajaran, mahasiswa cenderung berdiskusi dengan teman saat
mengerjakan tugas atau ujian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan self-efficacy?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi self-efficacy?
3. Apa saja dimensi dari self-efficacy?
4. Apa saja dampak self-efficacy bagi pembelajaran?
5. Bagaimana proses pembentukan self-efficacy?
6. Apa yang dimaksud dengan Self-Regulated Learning?
1
7. Apa saja proses Self-Regulated Learning?
8. Apa saja fase-fase Self-Regulated Learning?
9. Apa Unity Of Science yang terdapat pada self-efficacy dan Self-Regulated
Learning?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian self-efficacy.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi self-efficacy.
3. Untuk mengetahui apa saja dimensi self-efficacy.
4. Untuk mengetahui dampak self-efficacy bagi pembelajaran.
5. Untuk mengetahui proses pembentukan self-efficacy.
6. Untuk mengetahui pengertian Self-Regulated Learning.
7. Untuk mengetahui proses Self-Regulated Learning.
8. Untuk mengetahui fase-fase Self-Regulated Learning.
9. Untuk mengetahui Unity Of Science yang terdapat pada self-efficacy dan Self-
Regulated Learning.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. SELF-EFFICACY
1. Definisi Self Efficacy
Self-Efficacy adalah salah satu aspek pengetahuan mengenai diri yang memiliki
dampak besar dalam kehidupan sehari-hari manusia. Hal ini dikarenakan efikasi diri
memengaruhi bagaimana individu dalam membuat keputusan dan tindakan mereka
untuk mencapai tujuan, termasuk bagaimana mereka meramalkan berbagai situasi
yang akan mereka hadapi (Ghufron dan Risnawati dalam (Noviandari & Kawakib,
2016). Seorang psikolog yang memfokuskan perhatiannya pada aspek kognitif,
pemahaman, dan evaluasi yaitu Albert Bandura yang terkenal dengan teori
pembelajaran sosial. Dia dikenal karena konsep efikasi diri, yang merupakan suatu
konsep yang terbilang baru dalam penelitian akademik. Meskipun efikasi diri sering
dikaji dalam konteks terapi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa konsep ini
memiliki pengaruh besar dalam memprediksi dan menjelaskan kinerja akademik di
berbagai bidang.
Bandura dalam (Noviandari & Kawakib, 2016) mendefinisikan efikasi diri sebagai
keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengendalikan diri dan
mengatasi peristiwa di sekitarnya. Dia meyakini bahwa efikasi diri adalah dasar dari
agensi manusia. Menurut pendapat Bandura (dikutip dalam (Noviandari & Kawakib,
2016), individu dengan efikasi diri yang tinggi cenderung lebih berani dalam
menghadapi tantangan, tanpa ragu-ragu karena mereka memiliki keyakinan dalam
kemampuan mereka. Mereka juga cenderung lebih cepat mengatasi masalah dan
pulih dari kegagalan. Sedangkan, menurut Friedman dan Schustack (dikutip dalam
(TEORI-TEORI KEPRIBADIAN (Jaenudin Dan Hambali 2015).Pdf, n.d.), efikasi diri
adalah harapan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu perilaku
dalam situasi tertentu. Efikasi diri yang positif adalah keyakinan bahwa mereka
mampu melakukan perilaku yang diinginkan.
Efikasi diri merupakan penilaian terhadap diri, yang mana seseorang akan
melakukan perilaku yang baik atau buruk, benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai
dengan yang telah dipersyaratkan (Alwisol dalam (TEORI-TEORI KEPRIBADIAN
(Jaenudin Dan Hambali 2015).Pdf, n.d.). Sedangkan, menurut Baron dan Byrne dalam
(Ghufron et al., 2017) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian
3
individu seseorang terhadap kemampuan atau keterampilan pribadinya dalam
menjalankan suatu tugas, mencapai target, dan mengatasi kendala. Dari beberapa
penjelasan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa efikasi diri merupakan
keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas,
mencapai tujuan, mengatasi hambatan, dan mempertahankan semangat untuk tidak
menyerah.
4
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience). Melihat keberhasilan atau kegagalan
orang lain dalam melakukan tugas dan kegiatan yang sama serta mempunyai
kemampuan yang sebanding bisa memengaruhi tingkat Self-Efficacy seseorang.
Keberhasilan orang lain bisa meningkatkan Self-Efficacy, sementara kegagalan bisa
menurunkannya.
c. Persuasi sosial (social persuation). Self-efficacy dapat juga diraih atau dilemahkan
melalui persuasi sosial. Efek-efek dari sumber ini agak terbatas, tetapi dalam kondisi
yang tepat, persuasi orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan self-efficacy
(Bandura dalam (Noviandari & Kawakib, 2016).
d. Kondisi fisiologis dan emosional (physiological and emotional states), seperti sakit,
kelelahan, suasana hati, stres, dan lainnya, dapat memengaruhi keyakinan seseorang
dalam menghadapi tugas. Kondisi negatif, seperti kelelahan atau cemas, akan
mengurangi self-efficacy, sementara kondisi yang baik akan berkontribusi positif pada
perkembangan self-efficacy.
5
tantangan. Mereka mungkin tidak mudah menyerah meskipun mengalami
kendala atau hambatan. Sebaliknya, individu dengan self-efficacy yang
lemah lebih rentan terhadap pengaruh negatif dari rintangan kecil, dan ini
dapat menghambat kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas atau
mencapai tujuan.
c. Generality
Dimensi ini berkaitan dengan sejauh mana self-efficacy seseorang
berlaku dalam berbagai situasi atau aktivitas. Beberapa individu mungkin
memiliki self-efficacy yang sangat spesifik, artinya mereka merasa percaya
diri hanya dalam konteks tertentu atau aktivitas tertentu. Di sisi lain,
individu dengan self-efficacy yang umum merasa percaya diri dalam
berbagai situasi dan aktivitas yang beragam. Self-efficacy yang lebih umum
dapat memengaruhi berbagai aspek perilaku, seperti pengambilan
keputusan, ketekunan, dan respons emosional terhadap berbagai tantangan.
6
kuat, baik dari diri sendiri ataupun dari faktor eksternal, efikasi diri ini menjadi
salah satu faktor pendorong internal pada seseorang. Efikasi diri dapat
mempengaruhi pilihan, tujuan, pengatasan masalah, dan kegigihan dalam berusaha.
Seseorang yang memiliki efikasi diri akan percaya bahwa dirinya mampu
melakukan sesuatu untuk mengubah ataupun mencapai tujuan-tujuan yang ingin ia
capai. Dengan adanya kepercayaan pada diri sendiri akan mampu membangkitkan
motivasi serta mampu mengatasi permasalahan ataupun tantangan yang ada.
5. Proses Pembentukan Self-Efficacy
Pembentukan efikasi diri terdiri dari beberapa proses psikologis (Bandura
dalam (Zagoto, 2019) yakni sebagai berikut:
a. Proses Kognitif
Meliputi kemampuan untuk merancang tindakan mengenai tujuan yang
ingin dicapai. Ketika seseorang telah menentukan tujuan yang diharapkan
maka langkah pada proses ini dibutuhkan untuk membuat langkah-langkah
yang harus dilakukan untuk mencapai hal yang diinginkan tersebut.
b. Proses Motivasi
Suatu dorongan dari dalam diri melalui pikiran seorang individu ini
bertujuan untuk memunculkan tindakan serta keputusan yang diharapkan.
Motivasi ini juga memunculkan pemikiran yang positif sehingga dalam
merealisasikan rencana yang sudah disusun akan terlaksana dengan lebih
baik
c. Proses Afeksi
Perasaan emosi yang terjadi dalam suatu proses harus dapat
dikendalikan intensitasnya, sehingga kecemasan serta perasaan emosi yang
muncul tidak menghalangi seseorang dalam berproses.
d. Proses Seleksi
Yakni mampu memilah dan memilih tingkah laku yang dilakukan serta
lingkungan yang tepat. Tingkah laku disini berkaitan dengan perkembangan
personal (secara individu).
B. SELF-REGULATED LEARNING
1. Definisi Self-Regulated Learning
Konsep self merujuk pada proses internal yang terjadi di dalam pikiran individu
(Herman & Konopka dalam (I Nyoman Paska & Laka, 2020), sedangkan regulation
7
adalah tentang menjaga sesuatu secara teratur (Vancouver dalam (I Nyoman Paska
& Laka, 2020). Oleh karena itu, dalam pandangan Shapiro dan Schwartz dalam
Paska & Laka (2020), Self-Regulation (SR) adalah sebuah sistem konsep yang
melibatkan individu mengatur diri mereka sendiri untuk mencapai tujuan tertentu.
Salah satu contoh Self-Regulation, seperti yang dijelaskan oleh Garner dalam (I
Nyoman Paska & Laka, 2020), adalah self-regulated learning (SRL). Menurut Kuo
dalam (I Nyoman Paska & Laka, 2020), kedua istilah tersebut sering kali dapat
dipertukarkan (interchangeable) karena memiliki arti yang serupa dalam konteks
pendidikan.
Beberapa tokoh yang berperan dalam self-regulated learning seperti Pintrich,
Winne & Hadwin, dan Zimmerman, seperti yang dijelaskan oleh Valle et al., dalam
(I Nyoman Paska & Laka, 2020), mengartikan self-regulated learning sebagai sebuah
proses konstruktif di mana peserta didik menetapkan tujuan belajar mereka sendiri
dan berupaya mengawasi, mengatur, serta mengendalikan kognisi, motivasi, dan
perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Seorang siswa
dianggap sebagai pelajar yang mengatur dirinya sendiri jika dia memiliki kebebasan
untuk menentukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana dia belajar (Weinert dalam
(I Nyoman Paska & Laka, 2020). Secara lebih rinci, Zimmerman dalam (I Nyoman
Paska & Laka, 2020) merumuskan SRL sebagai kemampuan siswa untuk secara aktif
terlibat dalam proses belajarnya sendiri melalui metakognisi, motivasi, dan perilaku
mereka.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Self-
Regulated Learning (SRL) adalah suatu proses yang terstruktur di mana siswa
secara aktif terlibat dalam proses belajarnya, baik melalui aspek metakognitif,
motivasional, maupun perilaku, dengan tujuan mencapai hasil belajar yang
diinginkan. Seseorang dapat disebut sebagai siswa yang mengatur dirinya sendiri
ketika mereka bertanggung jawab atas perencanaan, pengorganisiran, instruksi diri,
pemantauan diri, dan evaluasi diri pada berbagai tahapan selama proses belajar.
2. Proses Self-Regulated Learning
Proses yang berkaitan dengan mengaktifkan danpemanfaatan kognisi, afeksi,
dan perilaku secara terstruktur untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah elemen
utama dari konsep Self-Regulated Learning (SRL) seperti yang dikemukakan oleh
(Zimmerman dalam (Koro et al., 2017). Bandura dalam (Koro et al., 2017) dalam
8
kerangka teori sosial kognitif menjelaskan self-regulation sebagai tiga subproses,
diantaranya yaitu pengawasan diri (self-observation), penilaian diri (self-
judgement), dan reaksi diri (self-reaction). Ketiga subproses ini adalah bagian
integral dari suatu proses yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.
Proses-proses yang berkaitan dengan pengaktifan dan pemanfaatan kognisi,
afeksi, dan perilaku yang tertata secara sistemasi untuk mencapai tujuan belajar
merupakan bagian dalam self-regulated learning (Zimmerman dalam (Koro et al.,
2017). Bandura dalam (Koro et al., 2017) tentang teori sosial kognitif mengartikan
self-regulation sebagai tiga subproses yang meliputi observasi diri (self-
observation), keputusan diri (self-judgement), dan reaksi diri (self-reaction).
Sebagai bagian dari suatu proses ketiga sub-proses tersebut saling berhubungan dan
mempengaruhi.
a. Observasi diri adalah lamgkah dalam proses dimana seseorang mengawasi
dan mengevaluasi perilakunya sendiri selama proses belajar, dengan fokus
pada sejauh mana perilaku tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
telah mereka tetapkan atau dengan standar yang mungkin telah ditetapkan
oleh guru atau teman melalui contoh-contoh dari rang lain.
b. Keputusan diri (self-judgment) adalah proses di mana seseorang
membandingkan kinerja mereka saat ini dengan tujuan-tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Dalam self-regulation, terdapat dua faktor penting,
yaitu keputusan (decision) yang melibatkan perbandingan antara kemajuan
seseorang dengan standar sosial atau standar internal (tujuan pribadi).
Perbandingan antara tujuan pribadi dan tujuan normatif (eksternal)
memberikan kontribusi berharga dalam proses pemahaman diri atau
perbandingan internal (Bandura dalam (Koro et al., 2017). Setelah siswa
membuat keputusan diri yang terkait dengan pencapaian tujuan mereka,
mereka akan mengaitkan (atribusi) keberhasilan atau kegagalan dengan
penerapan strategi, faktor keberuntungan, kemampuan, dan upaya yang
telah mereka lakukan. Atribusi adalah proses keputusan diri yang
menghubungkan proses pemantauan dan penggunaan strategi dalam
pembelajaran.
c. Reaksi diri (self-reaction) adalah kemampuan untuk melakukan introspeksi
diri (self-reflect) atau mengevaluasi diri terkait dengan efek yang timbul
setelah proses pembelajaran. Proses self-reaction ini mencakup bagaimana
9
seseorang merespons hasil pencapaian tujuan pembelajaran,
mempertimbangkan konsekuensi dari keberhasilan atau kegagalan, serta
melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran berikutnya.
10
d. Fase keempat adalah refleksi atau evaluasi diri, di mana siswa
mempertimbangkan dan mengambil keputusan terkait dengan pelaksanaan
pembelajarannya. Mereka mengevaluasi bagaimana mereka telah mengikuti
proses pembelajaran, membandingkannya dengan kriteria atau standar yang
telah ditetapkan, baik oleh diri sendiri maupun oleh guru. Mereka juga
merenungkan tentang keberhasilan dan kegagalan yang mungkin terjadi
selama proses pembelajaran, membuat konsekuensi dari kegagalan tersebut,
dan merencanakan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran di masa
depan.
C. UNITY OF SCIENCE
1. Self-Efficacy:
Qs. Ar-Ra’d:11
Bermakna bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi
tujuan serta dalam bertindak untuk mencapai hal tersebut.
11
BAB III
KESIMPULAN
Self-Efficacy adalah salah satu aspek pengetahuan mengenai diri yang memiliki
dampak besar dalam kehidupan sehari-hari manusia. Efikasi diri merupakan penilaian
individu seseorang terhadap kemampuan atau keterampilan pribadinya dalam
menjalankan suatu tugas, mencapai target, dan mengatasi kendala. Faktor yang dapat
mempengaruhi self-efficacy yakni pengalaman keberhasilan, pengalaman orang lain,
persuasi sosial, dan kondisi fisiologis. Dimensi self-efficacy ini sendiri terdiri dari
Magnitude (Tingkat Kesulitan), Strength (Kekuatan), dan Generality. Efikasi diri
memberikan pengaruh atau dampak terhadap berbagai hal yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, efikasi diri dapat mempengaruhi pilihan, tujuan, pengatasan
masalah, dan kegigihan dalam berusaha. Proses pembentukan self-efficacy terdiri dari
4 proses, yakni proses kognitif, motivasi, afeksi serta seleksi.
Self-Regulated Learning (SRL) adalah suatu proses yang terstruktur di mana
siswa secara aktif terlibat dalam proses belajarnya, baik melalui aspek metakognitif,
motivasional, maupun perilaku, dengan tujuan mencapai hasil belajar yang diinginkan.
Dalam proses pembentukan self regulated learning terdiri dari observasi diri, keputusan
diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction), kemudian terdapat beberapa fase
dalam terjadinya self regulated learning Fase pertama, perencanaan yakni penetapan
tujuan umum dan tujuan khusus dalam proses pemberlajaran, Fase kedua monitoring
diri, siswa menjadi lebih sadar terhadap kemampuan mereka dalam aspek kognitif,
motivasional/afektif, pengelolaan waktu dan usaha, serta situasi dan konteks saat itu,
Fase ketiga adalah kontrol,fase ini mencakup langkah-langkah dalam pemilihan serta
penggunaan strategi untuk mengelola pikiran, melibatkan strategi dalam aspek kognitif
dan metakognitif, motivasi dan emosi (seperti strategi motivasional dan pengendalian
emosi) yang efektif, serta berkaitan dengan manajemen waktu dan usaha dan fase
terakhir refleksi atau evaluasi diri, di mana siswa mempertimbangkan dan mengambil
keputusan terkait dengan pelaksanaan pembelajarannya
12
DAFTAR PUSTAKA
Ghufron, M. N., Suminta, R. R., & Psikologi, P. S. (2017). Efikasi Diri dan Hasil Belajar Matematika:
Meta-analisis. Buletin Psikologi, 21(1), 20–30.
I Nyoman Paska, P. E., & Laka, L. (2020). Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Self-Regulated
Learning Siswa. SAPA - Jurnal Kateketik Dan Pastoral, 5(2), 39–54.
https://doi.org/10.53544/sapa.v5i2.133
Koro, M., Djamika, E. T., & Ramli, M. (2017). Self-Regulated Learning Sebagai Strategi. Prosiding
TEP & PDs Transformasi Pendidikan Abad 21, 6(29), 788–795.
Noviandari, H., & Kawakib, J. (2016). Teknik cognitive restructuring untuk meningkatkan self efficacy
belajar siswa. Jurnal Psikologi, 3(2), 76–86.
Oktariani. (2018). Peranan Self Efficacy dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Kognisi,
3(1), 45–54.
Subaidi, A. (2016). Self-Efficacy Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika. ∑Igma, 1(2), 64–68.
Tarumasely, Y. (2021). Pengaruh Self Regulated Learning Dan Self Efficacy Terhadap Prestasi
Akademik Mahasiswa. JPE (Jurnal Pendidikan Edutama, 8(1).
http://ejurnal.ikippgribojonegoro.ac.id/index.php/JPE
TEORI-TEORI KEPRIBADIAN (jaenudin dan hambali 2015).pdf. (n.d.).
Zagoto, S. F. L. (2019). Efikasi Diri Dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Review Pendidikan Dan
Pengajaran, 2(2), 386–391. https://doi.org/10.31004/jrpp.v2i2.667
13