Anda di halaman 1dari 17

UJIAN AKHIR SEMESTER PSIKOLOGI PENDIDIKAN

KEMANDIRIAN BELAJAR (SELF REGULATED LEARNING) DAN CARA


PENGEMBANGANNYA

Dosen pengampuh:

ZULFIKRI S.pd. M.pd

Nama : Nurwahidah

Nim : 220404502036

Kelas : 1D

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat llah Swt karena berkat dan rahmat-Nya kami
bisa menyelesaikan makalah Kemandirian Belajar ( self Regulated) dan cara
Pengembanganyya Makalah ini diajukan guna memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) mata
kuliahPsikologi Pendidikan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zulfikri S.pd, M.pd selaku dosen
mata kuliah Psikologi Pendidkan dan semua pihak yang telah membantu sehingga makalah
ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Makassar 8 Desember 20

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………..2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….3

BAB 1………………………………………………………………………………………….4

PENDAHULUAN …………………………………………………………………………….4

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..4


B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..4
C. Manfaat Penulisan……………………………………………………………………..5

BAB 2…………………………………………………………………………………………..

PEMBAHASAN

A. Hubungan metakognisi………………………………………………………………
B. Pengatur Diri dan Belajar ……………………………………………………………..
 Pengaturan Diri Tingkah Laku ………………………………………………………..
 Pengaturan diri dalam Belajar Menurut Pintich dan De Groot ………………………..
 Pengaturan diri dalam Belajar Menurut Zimmeman …………………………………..
 Pengaturan diri dalam Belajar menurut Vermunt………………………………………
 Pengaturan diri dalam Belajar Menurut Purdie, Hatiie ,Douglas………………………
C. Aspek-Aspek Self-Legulated Learning………………………………………………
D. Self- Regulated Learnimg dan Capaian Prestasi Akademis …………………………..
E. Peranan Budaya dalam Pengembangan Keterampilan Metakognisi …………………..

BAB 3………………………………………………………………………………………..

A. PENUTUP…………………………………………………………………………
B. SARAN ……………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kemandirian belajar merupakan salah satu hal penting dalam suatu proses
pembelajaran. Kemandirian dalam belajar adalah aktivitas belajar yang berlangsung
lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari
pembelajaran. Kemandirian diartikan sebagai suatu hal atau keadaan tanpa dapat
berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Selain itu, kemandirian yang
dimiliki oleh seorang siswa juga dapat menumbuhkan kepercayaan diri. Siswa yang
mempunyai kemandirian yang tinggi, siswa tersebut akan memiliki rasa tanggung
jawab tinggi dalam belajar. Sehingga aktivitas belajar siswa akan lebih didorong oleh
kemauannya sendiri tanpa dorongan atau paksaan dari orang lain. Siswa yang
mempunyai kesadaran untuk belajar mandiri akan lebih mudah menerima informasi
guru dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki kesadaran untuk belajar mandiri
akan kesulitan menerima informasi dari guru dibandingkan dengan siswa yang
memiliki kesadaran untuk belajar mandiri. Sehingga hal tersebut akan berdampak
pada tinggi rendahnya hasil belajar.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hubungan metakognisi dengan self regulated learning ?
2. Bagaimana pengaturan diri dalam belajar?
3. Apa aspek self regulated learning?
4. Bagaimana hubungan self regulated learning dan capaian prestasi akademik?
5. Bagimana peranan budaya dalam pengembangan keterampilan metakognisi?
C. MANFAAT PENULISAN
1. Untuk mengetahui hubungan metakognisi dengan self regulated learning
2. Untuk mengetahui pengaturan diri dalam belajar
3. Untuk mengetahui aspek self regulated learning
4. Untuk mengetahui self regulated learning dan capaian prestasi akademik
5. Untuk mengetahui peranan budaya dalam pengembangan keterampilan
metakognisi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Metakognisi dengan Self Regulated Learning

SRL merupakan salah satu aspek dari Metakognisi, yaitu merupakan strategi pemanfaatan
kognisi untuk mengatur perencanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Agar didapatkan pemahaman keterkaitan antara SRL dengan
Metakognisi kita akan melihat pandangan Flavel dalam Mulyadi ( 2016 ) : konsep
metakognisi meliputi dua aspek pengetahuan tentang kognisi ( knowledge about cognition )
atau metacognative knowledge dan regulasi kognisi atau SRL. Aspek pengetahuan kognisi
mengacu pada pengetahuan individu tentang pemahaman kognitifnya sendiri. Pengetahuan
tentang kognisi ini akan berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari siswa, oleh
karena itu relatif stabil. Hal ini tidak akan menjadi garansi bahwa siswa akan aktif dan
menjadi pembelajar yang memiliki strategi.

Menurut Wolfers dalam Mulyadi ( 2016 ) Sisi atau aspek lain dari metakognisi adalah
regulasi kognisi yang mengarah pada mekanisme pengaturan diri, seperti mengecek,
merencanakan, memonitor, mengetes, merevisi, dan mengevaluasi dari aktivitas pembelajar
atau dalam pemecahan masalah. SRL terjadi ketika pembelajar secara sistematis mengatur
perilaku dan kognisinya mencapai tujuan belajar.

Dalam penelitian yang dilakukan Borkowski dan Turner dalam Mulyadi ( 2016 ) terdapat
perbedaan keterampilan metakognisi antara anak penderita gangguan mental, siswa reguler
dan siswa berbakat (gifted). Siswa dengan gangguan mental tidak memiliki strategi atau
aktivitas pengaturan dalam proses belajar mereka. Siswa berbakat menunjukkan proses
menentukan secara unggul dalam pengaturan kognisinya. Dan merealisasikan efejtivitas dari
strategi dan menerapkan secara tepat. Dan mereka juga memodifikasi strategi terhadap
perubahan tuntutan tugas.
B. Pengaturan Diri dalam Belajar

Sebelum menguraikan tentang SRL terlebih dahulu diuraikan tentang pengaturan diri
tingkah laku (self-regulation of behavior).

1. Pengaturan Diri Tingkah Laku

Teori pengaturan diri berasal dari teori kognisi sosial tentang tingkah laku (social-
cognitive theories of behavior). Menurut Bandura dalam Mulyadi ( 2016 ) pengaturan diri
meliputi tiga proses yaitu :

a. Observasi diri. Sebelum mengubah tingkah laku, terlebih dahulu dilakukan penyadaran
tingkah laku dengan memantau tingkah laku dirinya. Semakin sistematis memantau
tingkah lakunya, semakin cepat invidu sadar akan apa yang dilakukannya.
b. Evaluasi diri. Langkah selanjutnya yang dilakukan dengan menilai tindakan yang
dilakukan sesuai dengan yang diinginkan, yaitu sesuai standar pribadi individu tersebut.
Standar ini berasal dariinformasi yang diperoleh dari orang lain. Dengan melakukan ini
ia akan menetukan tindakannya berada pada jalur yang benar atau salah.
c. Reaksi diri. Penilaian diri selalu diikuti dengan reaksi diri. Reaksi diri ini dapat
mengarahkan individu apakah harus menetapkan tujuan yang lebih tinggi atau harus
mengganti tujuan. Untuk mencapai tujuan, individu perlu menerapkan tahapan tindakan
yang menghasilkan reaksi diri positif dan menghindari tahapan yang berakibat
menyalahkan diri sendiri. Saat individu mengaitkan kepuasan dengan pencapaian hasil
terntentu, individu akan memotivasi diri sendiri untuk mengoptimalkan energi yang
diperlukan guna mencapai tujuan.
2. Pengaturan diri dalam Belajar Menurut Pintrich & de Groot

Pengaturan diri tingkah laku mencakup diantaranya SRL. Selanjutnya akan dikemukakan
tentang SRL dan perannya dalam mengatur belajar sehingga tercapai tujuan yaitu adanya
peningkatan prestasi akademik.

Pintrich dan de Groot dalam Mulyadi ( 2016 ) menjelaskan terdapat berbagai macam
deifini SRL, namun terdapat tiga komponen penting yang berkaitan dengan kegiatan belajar
di kelas yaitu :

a. Strategi metakognisi siswa untuk merencanakan, memantau dan memodifikasi kognisi


mereka.
b. Cara siswa mengelola dan mengontrol usaha mereka dalam tugas-tugas akademik.
Contoh siswa yang mampu menekuni atau tidak menyerah pada tugas yang sukar atau
mampu menghindari gangguan-gangguan, akan dapat mempertahankan dorongan untuk
menyelesaikan tugas sehingga memungkinkan mereka berprestasi lebih baik.
c. Aspek SRL yang sangat penting yang diajukan para peneliti dalam konseptualisasi
mereka adalah strategi kognisi yang secara nyata digunakan siswa untuk belajar,
mengingat dan memahami materi bidang studi. Strategi kognisi yang lebih baik seperti,
mengulang, mengelaborasi dan mengorganisasikan materi bidang studi mampu
mendorong kegiatan kognisi dan menghasilkan prestasi yang lebih tinggi dalam belajar.

Ketiga komponen tersebut digunakan sebagai definisi kerja (working definition) dalam
penelitiannya.

Hasil penelitian Paris, Lipson & Wixson (1983), Pintrich (1988,1989), Pintrich, Cross,
Kozma & McKeachie (1986), dalam Mulyadi (2016) menunjukkan pengetahuan mengenai
strategi kognisi dan metakognisi tidak cukup berguna untuk meningkatkan prestasi akademik,
tetapi siswa juga harus termotivasi untuk menggunakan strategi.

3. Pengaturan diri dalam Belajar Menurut Zimmerman

Menurut Zimmerman dalam Mulyadi ( 2016 ), siswa dikatakan menggunakan SRL bila
memiliki strategi untuk mengaktifkan metakognisi, motivasi dan tingkah laku dalam proses
belajar mereka sendiri. Definisi SRL tersebut mengasumsikan pentingnya tiga elemen berikut
ini :

a. Strategi SRL merupakan tindakan dan proses yang diarahkan untuk menguasi informasi
atau keterampilan yang meliputi cara, tujuan, dan persepsi siswa yang bersifat
instrumental. Yang memanfaatkan metode seperti mengatur dan mengubah informasi,
self-consequating, pengulangan informasi serta penggunaan bantuan memori.
b. Self-efficacymengacu tentang kemampuan seseorang dalam mengatur dan melakukan
tindakan yang dibutuhkan guna meraih kinerja keterampilan yang telah direncanakan
untuk tugas tertentu. Hal ini memfokuskan kesadaran akan kemampuan siswa sendiri
untuk menampilkan tindakan dan strategi dalam meraih tujuan.
c. Tujuan-tujuan akademik, misalnya nilai-nilai sosial, kesempatan-kesempatan kerja
setelah lulus yang sangat bervariasi.
Jadi dapat sisimpulkan menurut Zimmerman dalam Mulyadi ( 2016 ) agar suatu strategi
siswa dapat dikatakan sebagai self-regulated, jika siswa memiliki strategi untuk
mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar mereka sendiri.
Dengan demikian SRL berfungsi sebagai pengaturan dari hal tersebut.

4. Pengaturan Diri dalm Belajar Menurut Vermunt

Vermunt mensinyalir belum banyak studi yang berkaitan dengan SRL, faktor-faktor yang
berkaitan, dan dampak yang ditimbulkan. Studi sebelumnya berkisar tentang keterkaitan
antara strategi pemrosesankognisi dan motivasi. Untuk itu Vermunt dalam penelitiannya
menguji keterkaitan antara 4 komponen belajar ( strategi pengaturan belajar, strategi
pemrosesan kognisi, model belajar secara mental, dan orientasi belajar ). Namun sebelum itu
akan dijelaskan keempat hal tersebut.

a. Strategi pemrosesan kognisi ( cognitive processing strategius) adalah aktivitas berpikir


yang digunakan untuk memproses isi materi yang dipelajari dan untuk mencapai tujuan
belajar dengan kegiatan belajarnya ( Vermunt dalam Mulyadi, 2016 ). Contoh berpikir
mencari hubungan di antara bagian-bagian materi pelajaran, mengingat dan mengulang
materi yang dipelajari, memikirkan contoh, menyeleksi hal utama.
b. Strategi mengatur metakognisi yang diarahkan pada strategi pengaturan belajar demi
terwujudnya kondisi sehingga tujuan belajar dapat tercapai, jadi tidak diarahkan secara
langsung pada hasil belajar. Contoh merencanakan suatu proses belajar, memonitor
kemajuan belajar, mendiagnosis sebab-sebab terjadinya kesulitan yang muncul selama
proses belajar.
c. Model belajar secara mental merupakan konsepsi yang utuh menyeluruh yakni konsepsi
dan miskonsepsi mengenai proses-proses belajar. Ini melibatkan konsepsi mengenai
belajar, kegiatan berpikir, konsepsi mengenai tujuan belajar dan tugas belajar, konsepsi
mengenai belajar pada umumnya dan konsepsi mengenai pembagian tugas antara diri
sendiri dan orang lain.
d. Orientasi belajar merujuk kepada seluruh aspek dari tujuan-tujuan pribadi yang ingin
dicapai, intensi, sikap, kekhawatiran dan keraguan siswa yang berkaitan dengan kegiatan
belajarnya.

Kajian Vermunt dalam penelitian tersebut di atas mempunyai empat tujuan :


a. Untuk meningkatkan integrasi konseptualisasi komponen-komponen belajar siswa dan
mengkaitkan aspek-aspek metakognisi belajar siswa dengan strategi pemrosesan kognisi
siswa dan motivasi.
b. Untuk memperoleh pemahaman gejala, siswa memproses materi pelajaran hampir selalu
ditentukan secara langsung oleh pengaturan yang mereka gunakan. Model belajar dan
orientasi belajar memengaruhi strategi pemrosesan, namun berpengaruh tidak langsung,
tetapi melalui strategi pengaturan. Cara siswa mengatur pada tingkat sederhana saja yang
dipengaruhi oleh model belajar secara mental dan orientasi belajar mereka.
c. Generalisasi fenomena ini telah diuji dengan melakukan penelitian silang konteks dengan
menggunakan dua macam lingkungan belajar yang berbeda yaitu lingkungan pendidikan
jarak jauh ( Universitas Terbuka ) dan pendidikan reguler ( Universitas Reguler ).
d. Menguji stabilitas dari model belajar secara mental.

SRL akan menyebabkan materi pelajaran dapat berlangsung secara efektif dan efisien,
karena dengan SRL proses belajar dapat direncanakan secara sistematis, kemajuan belajar
selalu di monitor dan bila tidak terdapat kemajuan belajar, akan dilakukan diagnosis apa yang
menjadi penyebab dan kemudian di cari pemecahannya, sehingga kesulitan belajar dapat
diatasi dan akhirnya tujuan belajar dapat tercapai

5. Pengaturan Diri dalam Belajar Menurut Purdie, Hatiie, Douglas

Purdie dkk. meneliti perbedaan konsepsi siswa SMP Australia dan Jepang tentang belajar
dan SRL. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat perbedaan, namun strategi dalam
konteks belajar yang digunakan keduanya sama. Hasil penelitian ini menghasilkan deskripsi
jelas tentang karakteristik jelas SRL. Siswa yang menggunakan SRL memiliki kemampuan
untuk mengevaluasi kemajuan mereka sendiri. Mereka memiliki insiatif sendiri dengan
menjalankan pilihan pribadi dan mengontrol cara yang diinginkan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan untuk diri mereka sendiri.

Kesimpulan di bawah ini merupakan persamaan esensi dari pandangan teoritikus yang
berbeda mengenai pengertian SRL dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Persamaannya
adalah :

a. Adanya proses metakognisi yang mengatur proses kognisi, dalam hal ini adalah
mengatur perencanaan, mengontrol dan mengevaluasi proses belajar. Dengan ini dalam
proses belajar terdapat usaha untuk merencanakan tujuan belajar, memonitor proses
belajar agar terarah pada tujuan belajar, serta mengevaluasi untuk mengidentifikasi
adanya kendala yang dihadapi dan menemukan cara untuk mengatasi kendala tersebut.
b. Adanya motivasi yang tercermin dari adanya keyakinan akan kemampuan sendiri untuk
menyelesaikan tugas-tugas akademis.
c. Adanya komitmen pencapaian tujuan belajar atau tugas-tugas akademis.

Dengan demikian pengertian SRL dalam buku ini( Mulyadi, 2016 )adalah proses
metakognisi yang mengatur proses perencanaan, pemantauan dan evaluasi dalam aktivitas
belajar. Proses tersebut dilandasi oleh keyakinan kemampuan sendiri ( self-efficacy beliefs )
dan oleh komitmen pencapaian tugas belajar atau tugas-tugas akademis, sehingga tujuan
belajar yaitu penguasaan pengetahuan dan keterampilan dapat tercapai.

C. Aspek-Aspek Self-Regulated Learning

Struktur wawancara yang dipergunakan untuk mengukur strategi yang digunakan oleh
siswa dalam belajar yang disusun oleh Zimmerman dan Martinez-Pons 1986 (dalam
Mulyadi, S. 2016) adalah sebagai berikut:

1. Evaluasi diri (self-evaluation), yaitu pernyataan yang mengindikasikan siswa untuk


menilai kualitas tugas yang telah diselesaikan, pemahaman tentang lingkup kerja, atau
usaha dalam kaitan dengan tuntutan tugas.
Misalnya: “Saya mengecek semua tugas untuk memastikan bahwa saya melakukannya
dengan benar”; “Saya meminta ibu menguji saya untuk melihat apakah saya memahami
subjek itu”; “Saya berintropeksi terhadap tindakan saya, berusaha dan memikirkan
mengapa tugas saya tidak selesai tepat waktu”.
2. Mengatur dan mengubah (organizing and transforming), yaitu pernyataan yang
mengindikasikan keinginan siswa baik secara terus terang atau diam-diam dalam
mengatur ulang materi petunjuk untuk mengembangkan proses belajar.
Misalnya: “Saya membuat kerangka karangan sebelum menulis sebuah karangan”; “Saya
menggunakan spidol berwarna untuk menandai bagian yang penting dri buku”; “Saya
merangkum poin-poin penting suatu bab dari buku pelajaran”.
3. Menetapkan tujuan dan perencanaan (goal setting and planning), yaitu pernyataan yang
mengindikasikan perencanaan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan atau sub tujuan
dan rencana untuk menyusun urutan prioritas, menentukan waktu dan menyelesaikan
rencana semua aktivitas yang terkait dengan tujuan tersebut.
Misalnya: “Saya mulai membuat revisi atas rangkuman buku pelajaran sebelum tes
diadakan”; “Saya meninggalkan mengerjakan pertanyaan sulit sampai bagian terakhir
lalu kembali mengerjakannya”.
4. Mencari informasi (seeking information), yaitu pernyataan yang mengindikasikan upaya
untuk mencari informasi yang berkaitan dengan tugas dari sumber-sumber lain saat
mengerjakan tugas.
Misalnya: “Saya meminjam buku-buku dari perpustakaan tentang subjek-subjek
tertentu”.
5. Menyimpan catatan dan memantau (keeping records and monitoring), yaitu pernyataan
yang mengindikasikan upaya siswa untuk mencatat hal-hal penting dalam pelajaran atau
diskusi.
Misalnya: “Saya membuat catatan hasil diskusi kelas”; “Saya mencatat kata yang tidak
saya ketahui dan membuat kartu untuk mencatatnya”.
6. Mengatur lingkungan (environment structuring), yaitu pernyataan yang mengindikasikan
upaya siswa untuk mengatur lingkungan belajar agar membuat belajar lebih nyaman,
dengan mengatur lingkungan fisik maupun psikologis.
Misalnya: “Saya membuat meja bersih dan rapi dan mengatur semua buku agar mudah
dicari bila diperlukan”; “Saya mandi sebelum memulai pekerjaan rumah”.
7. Konsekuensi diri (self-consequences), yaitu pernyataan yang mengindikasikan upaya
siswa dalam mempersiapkan atau membayangkan dan melaksanakan ganjaran atau
hukuman untuk kesuksesan dan kegagalan.
Misalnya: “Saya memberikan diri saya sendiri ganjaran yang menyenangkan setelah
menyelesaikan tugas belajar dengan menonton acara tv”;”Saya membayangkan
kegagalan, untuk menghindarinya saya merencanakan akan belajar sebaik mungkin”.
8. Mengulang dan mengingat (rehearsing and memorizing), yaitu pernyataan yang
mengindikasikan upaya siswa untuk mengingat-ingat materi bidang studi dengan diam
atau dengan suara keras.
Misalnya: “Saya mengerjakan soal yang sama berulang-ulang sehingga dapat mengingat
bagaimana mengerjakan soal yang sama dalam tes”.
9. Mencari dukungan sosial (seeking social assistance), yaitu pernyataan yang
mengindikasikan upaya siswa untuk mencari bantuan dari rekan-rekan sebaya, dari guru
dan dari orang dewasa.
Misalnya: “Saya mendiskusikan tugas dengan teman sekelas sepanjang perjalanan
kerumah di kereta api”; ”Jika saya menemui hal yang tidak dipahami, saya akan
mengatur jadwal bertemu guru untuk menanyakannya setelah selesai sekolah”; “Saya
meminta bantuan ayah untuk menjelaskan bagaimana mengerjakan soal yang tidak dapat
dikerjakan”.
10. Memeriksa catatan (reviewing records), yaitu pernyataan yang mengindikasikan upaya
siswa untuk membaca kembali catatan ulang atau buku teks.
Misalnya: “Saya memeriksa atau membaca kembali semua catatan tentang suatu pokok
bahasan”; “Saya membaca kembali tugas-tugas dan tes-tes yang pernah saya lakukan”;
“Saya membaca kembali buku pelajaran beberapa kali”
11. Lain-lain (other), yaitu pernyataan yang mengindikasikan tingkah laku belajar yang
dicontohkan oleh orang lain seperti guru dan orang tua, pernyataan keinginan yang kuat
atau mengekspresikan secara lisan atau secara tulisan hal-hal yang belum jelas.
Misalnya: “Saya mencoba melakukan apa yang diharapkan oleh guru terhadap diri saya,
saya melakukan apa yang terbaik”; “Saya melupakan waktu dan memaksa diri untuk
melakukan apa yang seharusnya dilakukan”; “Saya bertanya kepada teman untuk
memperlihatkan jawaban-jawaban mereka”. (Zimmerman & Martinez-Pons, dalam
Mulyadi, S. 2016).

Dalam penelitian ini aspek-aspek SRL menurut Zimmerman dan Martiniez-Pons sebagai
tersebut di atas tidak semua digunakan untuk menyusun instrumen pengukuran SRL siswa
SMU Negeri di Jakarta, tetapi yang digunakan adalah aspek-aspek sebagai berikut ini.

a. Penilaian diri sendiri (self-evaluation)


b. Menetapkan tujuan dan perencanaan (goal setting and planning)
c. Mencari informasi (seeking information)
d. Menyimpan catatan dan mengawasi (keeping record and monitoring)
e. Konsekuensi diri (self-consequence)
f. Mencari dukungan sosial (seeking social assistance)
g. Memeriksa catatan (reviewing record)
h. Mengatur lingkungan (environmental structuring)

Terdapat 3 aspek SRL menurut Zimmerman dan Martinez-Ponsyang tidak digunakan


dalam penyusunan instrumen penelitian ini yaitu:

a. Mengulang dan mengingat (rehearsing and memorizing)


b. Mengatur dan mengubah (organizing and transforming)
c. Lain-lain (other)
Ketiga aspek tersebut menurut penulis sudah tercakup dalam aspek-aspek belajar yang
bermakna (meaning of learning), sehingga tidak dimasukkan dalam pengukuran aspek-aspek
SRL.

D. Self-Regulated Learning dan Capaian Prestasi Akademis


Self-regulated learning merupakan salah satu hal yang sangat berperan terhadap capaian
prestasi siwa. Banyak studi telah membuktikan bahwa self-regulated learning memiliki peran
krusial dalam prestasi akademik dimana semakin bagus kemampuan self-regulated learning
yang dimiliki maka akan semakin bagus pula prestasi akademis yang diraih oleh siswa
(Benarjee & Kumar, 2014; Eilam, Zeidner & Aharon, 2009: ocak & Yamac, 2013; Sadi &
Uyar,2013).
Pengaruh positif self-regulated learning tidak hanya tampak pada hasil belajar di sekolah
untuk mata pelajaran yang konvensional, tetapi juga pada hasil belajar keterampilan-
keterampilan tertentu. Studi Tsai, Lee, dan Shen (2013) misalnya, menentukan bahwa siswa
dengan prestasi yang rendah cenderung dapat memiliki keterampilan berhitung yang baik
dalam jangka panjang ketika self-regulated learning mereka ditingkatkan. Di sini tampak
bahwa self-regulated learning sangat membantu berbagai macam siswa dengan apapun latar
belakangnya untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih maksimal.
Siswa sangat terbantu dengan menyelesaikan tugas-tugas yang memiliki keterampilan
yang sifatnya kompleks. Studi Belski dan Belksi (2013) menjelaskan bahwa ada perbedaan
perfomansi penyelesaian tugas yang membutuhkan keterampilan yang kompleks pada siswa
sebelum dan sesudah siswa mendapatkan arahan untuk meningkatkan self-regulated learning
yang mereka miliki. Performansi pengerjaan tugas oleh siswa setelah diberi arahan menjadi
lebih baik sebelum diberi arahan.
Temuan lain milik studi Patel dkk. (2015) menjelaskan bahwa siswa-siswa yang berjuang
lebih keras dalam belajar ternyata ternyata tidak menerapkan prinsip self-regulated learning
di dalam proses belajarnya. Hal ini membuat siswa gagal memiliki solusi yang sesuai dengan
kesulitan belajarnya, dan cenderung menerapkan strategi pengatasan masalah yang
maladaptif terhadap kegagalannya dalam belajar. Sementara itu menurut sadi dan uyar
(2013), self-regulated learning juga mengatur cara belajar dan sikap siswa dimana
didalamnya termasuk manajemen waktu terkait dengan segala aktivitas belajar siswa di
sekolah dan di rumah. Self-regulated learning akan memengaruhi ketepatan waktu kehadiran
siswa di kelas serta jumlah kehadiran di kelas itu sendiri (Ocak & Yamac, 2013; Torenbeek,
Jansen, & Suhre, 2013). Siswa yang memiliki disiplin belajar yang baik dalam hal ketepatan
kehadiran dan jumlah kehadiran di kelas cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih
baik (Torenbeek, Jansen, & Suhre, 2013).
Self-regulated learning juga diperlukan terhadap proses pembelajaran yang memang
membutuhkan kemandirian yang besar. Studi Hu dan Driscoll (2013) menemukan bahwa
pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan internet merupakan pembelajaran yang
meminimalisasi keberadaan mentor dan fasilitator. Sebagai konsekuensinya, monitoring
terhadap sikap dan perilaku siswa dalam belajar juga nyaris tidak ada. Siswa harus memiliki
self-regulated learning yang baik untuk membantunya tetap fokus dan mandiri dalam belajar
sehingga mendapatkan hasil belajar yang maksimal.
E. Peranan Budaya dalam Pengembangan Keterampilan Metakognisi
Menurut Best dan Ruther (1994) perbedaan individu dalam perkembangan metakognitif
dapat diterangkan dari hasil interaksi manusia dalam konteks sosial dan budaya. Masyarakat
yang satu dengan yang lain memiliki budaya masing-masing dan budaya tersebut
memengaruhi perilaku individu. Bagaimana individu belajar berpikir, memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh penyesuaian terhadap nilai-nilai kepercayaan
yang berkembang dalam masyarakat yang dan budaya mereka. Hal ini terlihat dari proses
pengembangan sistem nilai yang dilaksanakan oleh masyarakat dan sistem nilai tersebut
memerlukan tingkat perkembangan kognitif (Alltarriba, 1993).
Sedang Gauvain (1998) menyatakan “ human being learn to thing about and solves
problems in their everyday lives through the appropriation, use and adaptation of practices,
artifacts, and values developed by their culture overtime”. Manusia belajar berpikir dan
memecahkan masalah kehidupan mereka sehari-hari melalui peruntukan, penggunaan dan
penyesuaian dalam praktik kehidupan, benda (artefak) dan nilai-nilai yang berkembang oleh
budaya masa lalu mereka”. Oleh karena itu untuk memahami perkembangan kognitif sangat
penting menguji bagaimana perkembangan mental diorganisasikan sesuai keadaan sekitar,
budaya dan sejarah yang terintegrasi dengan pengembangan kemampuan manusia.
Penelitian lintas budaya dengan jelas menyatakan bahwa faktor kebudayaan
memengaruhi perkembangan dan proses bekerjanya kognisi. Sebagai contoh penelitian
Agarwal (1993) menemukan bahwa budaya dan sistem kepercayaan memenuhi mental
masyarakat Indian. Demikian juga kehidupan sehari-hari orang Indian ditentukan oleh filsafat
dan ajaran agamanya. Penelitian lintas budaya yang lain melaporkan bahwa pengaruh budaya
juga terjadi pada proses penggunaan bahasa dan proses belajar.
Penjelasan keterkaitan antara budaya dan perkembangan metakognisi memberikan ciri
peranan penting orang tua dan lembaga sosial yang lain dalam susunan yang harmonis
(orkestra) untuk mengarahkan pengembangan kognitif. Kenyataannya siswa yang berlaku
dalam keluarga, organisasi sosial dan organisasi Pembina anak mengikuti perubahan budaya.
Mengacu pandanganVygotsky (1978) fungsi mental yang lebih tinggi dilakukan dengan
berdasarkan kehidupan sosial seperti interaksi anak-anak dengan mereka yang sudah
berpengalaman lebih banyak dalam budaya mereka. Penelitian menunjukkan proses
kebudayaan berperan dalam pengembangan kognisi. Penelitian-penelitian oleh Fellocia dan
Berdacini (1993) dan Blount dan Schwanefluge (1993) mendapatkan bahwa persepsi
berdasarkan pendengaran ditentukan oleh interaksi antara kemampuan bawaan dan
pengalaman dalam suatu budaya tertentu. Feloccia dan Berdacini (1993) mendapatkan bayi
belajar bicara awal sesuai bahasa dari lingkungan mereka sama seperti untuk menjelaskan
perkembangan keterampilan metakognisi ternyata juga berdsarkan interaksi anak dan
lingkungan sosial mereka. Ini terlihat dengan jelas interaksi ibu-anak merupakan hubungan
sosial yang sangat relevan untuk mengembangkan keterampilan dan strategi kognisi.
Penelitian Kontas (1993) melaporkan bahwa anak-anak belajar mengatur diri melalui cara
orang tua berperilaku dalam memecahkan masalah. Lebih lanjut ditemukan bahwa tipe
bantuan orangtua dipengaruhi oleh umur anak-anak dan pola metakognitif yang berbeda
antara ayah dengan ibu. Ibu lebih suka menggunakan berbagai macam pengetahuan yang
merupakan isi metakognisi. Penelitian Laosa dan Gutierrez dan Sameraff (seperti pernyataan
Gauvain, 1998) mendapatkan bahwa kemampuan kognitif ibu membantu anak-anak mereka
terkait dengan kepercayaan, pendidikan, kelas sosial dan strategi mengajar ibu.
Pengembangan strategi dan keterampilan metakognisi tidak hanya ditentukan oleh
hubungan ibu-anak, tetapi juga berdasarkan konteks sosial yang lain seperti sekolah.
Kehadiran teman sebaya, instruksi teknik melalui aturan dari orang dewasa dan
penggunaannya dalam komunikasi, merupakan beberapa faktor yang membatasi dan
membentuk proses belajar anak-anak. Pantercarao (1992) berargumen bahwa dialog dalam
kelas dengan guru dan teman sebaya dapat dapat membantu usaha anak-anak mendalami
makna, menyusun argumentasi dan mengklarifikasi informasi. Seperti halnya Schoenfield
(1989) menguji peranan interaksi kelompok dan pengarah budaya dapat membantu siswa
mempercepat apa yang mereka kerjakan dan membantu menggunakan pengetahuan mereka
secara efektif. Ia menyimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan komponen sentral dari
belajar seorang individu. Ide masing-masing siswa dibentuk oleh ide-ide dengan siapa
mereka berinteraksi.
Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya memengaruhi proses metakognitif. Ini
berarti budaya memengarugi kognisi dan strategi pengaturan kognisi atau disebut self
regulation atau self-regulation learning dalam konteks belajar. Budaya memengaruhi proses
belajar, berpikir, memecahkan masalah kehidupan sehari-hari,perkembangan penguasaan dan
penggunaan bahasa. Ini dapat dilihat dari kebudayaan pada suatu bangsa mempunyai
pengaruh terhadap proses metakognisi yang berbeda pada bangsa yang lain. Guru-guru
bangsa Indian lebih menekankan belajar mengingat (rote-learning), dan tidak mengarahkan
siswa menggunakan strategi metakognitif Perkembangan metakognisi ternyata juga
dipengaruhi interaksi anak dan lungkungan sosial mereka. Ini terlihat jelas bahwa interaksi
ibu-anak merupakan hubungan sosial yang relevan untuk mengembangkan keterampilan dan
strategi kognisi. Anak-anak belajar mengatur diri melalui cara orang tua berperilaku
memecahkan masalah.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Self Regulated Learning tidak hanya aspek yang sangat menarik dan penting dari
metakognisi, tetapi juga merupakan pusat dari intelegensi dan memainkan peranan dalam
banyak macam aktivitas kognitif.
Adanya proses metakognisi yang mengatur proses kognisi dalam hal ini adalah
mengatur perencanaan, mengontrol atau memonitor, dan mengevaluasi proses belajar.
Dengan pengaturan ini dalam proses belajar terdapat usaha untuk merencanakan tujuan
belajar, serta mengevaluasi untuk mengidentifikasi adanya kendala yang dihadapi dan
menemukan kendala tersebut.
Siswa harus memiliki SLR yang baik untuk membantunya tetap fokus dan mandiri
dalam belajar sehingga mendapatkan hasil belajar yang maksimal.
B. SARAN
Siswa dengan tingkat kemandirian rendah dan sedang diharapkan dapat meningkatkan
kemandiriannya dengan mengembangkan self-regulated learning (SRL) melalui
latihan dalam menetapkan tujuan belajar, memilih strategi belajar yang tepat, serta
membuat danmelaksanakan jadwal belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai