Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH EKOLOGI PANGAN DAN GIZI

ANALISIS KETAHANAN PANGAN KELAPA SAWIT INDONESIA

Oleh Kelompok 10

1. Putri Nia Mulyono 101511133033


2. Erini Meilina Bestari 101511133093
3. Hirda Ulis Fitriani 101511133172
4. Muhammad Bagus Fachrudin 101511133187

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dan bahari, dimana Indonesia merupakan
negara yang memiliki pertanian dan perkebunan terbesar di ASEAN. Perkebunan di
Indonesia sangat berperan penting baik di bidang ekonomi maupun sosial karena
menghasilkan devisa yang cukup besar untuk negara ini. Dari perkebunan dapat
dihasilkan komoditi ekspor terbesar setelah sub sektor pertambangan minyak dan gas
serta kehutanan. Salah satunya adalah produksi tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa
sawit merupakan tanaman yang banyak dikebunkan oleh perusahaan-perusahaan
besar, baik pemerintah maupun swasta. Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada
sub-sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang
pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an
sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat
pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun.
Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun.
Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing
10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Laju
yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit merupakan salah primadona
pada sub-sektor perkebunan.
Pesatnya perkembangan kelapa sawit di Indonesia didukung oleh kondisi
pedoagroklimatnya yang memang sangat sesuai untuk tanaman kelapa sawit, dan hal
ini menjadi salah satu keunggulan komparatif Indonesia di industri kelapa sawit.
Kelapa sawit juga memiliki keunggulan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak
sekitar 7 ton/ha, sedangkan kedelai menghasilkan minyak sebesar 3 ton/ha. Di
samping itu, kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah
lingkungan.
Kelapa sawit memiliki produk utama yaitu minyak sawit (CPO) dan minyak inti
sawit (KPO), kedua produk ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi salah
satu penyumbang devisa negara yang terbesar dibandingkan dengan komoditas
perkebunan lainnya. Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak

2
dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan
sangat stabil ini digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk
kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Pada saat
ini, Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit yang terbesar di seluruh
dunia. Pertumbuhan ini tampak dalam jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan
juga pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Didorong oleh permintaan global yang
terus meningkat dan keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit telah
ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di
Indonesia. Minyak sawit ini juga menghasilakn produk turunan yang kaya akan
manfaat sehingga dimanfaatkan oleh industri. Mulai dari industri makanan, farmasi,
sampai industri kosmetik. Bahkan limbah dari minyak sawit ini bisa dimanfaatkan
menjadi mebel, pakan ternak, dll. Sehingga,kelapa sawit memiliki arti penting dalam
perekonomian di Indonesia.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui jumlah produksi, ekspor-impor, dan ketersidiaan kelapa sawit
di Indonesia.
2. Untuk menganalisis permasalahan terkait produksi kelapa sawit berdasarkan
pendekatan sistem pangan dan gizi.
3. Untuk memberikan solusi dan strategi terhadap ketahanan pangan kelapa sawit.

3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Analisis Data
2.1.1 Data Produksi Kelapa Sawit di Indonesia
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia pada kurun waktu 1980-
2016 cenderung meningkat. Jika pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit
Indonesia sebesar 294,56 ribu hektar, maka pada tahun 2015 telah mencapai 11,30
juta hektar dan diprediksi menjadi 11,67 juta hektar pada tahun 2016.
Pertumbuhan rata-rata selama periode tersebut sebesar 10,99% per tahun.
Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit dibedakan menjadi
perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar
swasta (PBS). Dari ketiga jenis pengusahaan tersebut, PBS menguasai 50,77%
luas areal kelapa sawit Indonesia, PR 37,45%, dan PBN hanya 11,67%.

Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status Pengusahaan


di Indonesia,19802016.
Seiring dengan penambahan luas areal kelapa sawit serta berkembangnya
industri kelapa sawit di berbagai wilayah di Indonesia, maka produksi kelapa
sawit nasional dalam wujud minyak sawit (CPO) juga terus meningkat setiap
tahun. Pada tahun 1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721,17 ribu ton,
dan naik menjadi 33,50 juta ton pada tahun 2016 atau tumbuh rata-rata sebesar
11,50% per tahun. Peningkatan produksi CPO selama kurun waktu tersebut
terutama terjadi pada PR sebesar 54,47% dan PBS sebesar 13,93%, sedangkan
produksi dari PBN relatif lambat karena hanya naik sebesar 4,88%. Di awal tahun

4
1980 hingga tahun 1993 produksi CPO lebih didominasi oleh PBN. Perluasan
areal oleh PBS sekitar tahun 1990 mulai menunjukkan hasilnya setelah tahun
1993 dimana peningkatan produksi CPO dari PBS mampu melampaui produksi
CPO yang berasal dari PBN. Sementara itu PR mengikuti keberhasilan PBS
setelah tahun 1998. Berdasarkan kontribusinya selama tahun 2012-2016, PBS
menguasai 57,76% total produksi minyak sawit Indonesia, diikuti oleh PR sebesar
34,73% dan PBN sebesar 7,51%.

Gambar 2. Perkembangan Produksi Minyak Sawit Menurut Status


Pengusahaan di Indonesia, 1980-2016.

Gambar 3. Kontribusi Rata-Rata Produksi Minyak Sawit Menurut Status


Pengusahaan, Rata-rata 20122016.

5
Sementara itu perkembangan produktivitas kelapa sawit di Indonesia selama
tahun 1995-2016 menunjukkan pola yang berfluktuasi. Selama periode tersebut
rata-rata pertumbuhan produktivitas kelapa sawit Indonesia mengalami sedikit
peningkatan sebesar 0,64% per tahun, dimana penurunan produktivitas umumnya
terjadi pada saat krisis moneter hingga masa pemulihan krisis. Produktivitas
tertinggi dicapai pada tahun 2016 sebesar 3,82 ton/ha dan terendah tahun 2004
sebesar 2,83 ton/ha.

Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia, 19952016


Sentra produksi minyak sawit Indonesia terutama berasal dari 6 (enam)
provinsi yang memberikan kontribusi sebesar 73,69% terhadap total produksi
minyak sawit Indonesia. Provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan provinsi
sentra produksi CPO terbesar di Indonesia dengan kontribusi masing-masing
sebesar 23,75% dan 16,24%, peringkat berikutnya berturut-turut adalah Provinsi
Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan Barat dengan
kontribusi masing-masing sebesar 10,96%, 9,76%, 6,39%, dan 6,60%.

6
Gambar 5. Provinsi Sentra Produksi Minyak Sawit di Indonesia, Rata-rata 2012-
2016.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa semakin tahun luas
wilayah kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat mulai dari PR, PBS, dan
PBN. Semakin meningkatnya luas wilayah kelapa sawit juga semakin
meningkatnya produktivitas setiap tahunnya. Sempat menurun produktivitasnya
saat krisis moneter, namun setelah krisis moneter berakhir produktivitas
meningkat sampai 2016.
2.1.2 Data Ekspor dan Impor Kelapa Sawit di Indonesia
1. Ekspor Kelapa Sawit di Indonesia
Ekspor- impor kelapa sawit Indonesia dilakukan dalam wujud minyak
sawit, minyak sawit lainnya, minyak inti sawit dan minyak inti lainnya.
Perkembangan volume ekspor kelapa sawit pada tahun 19812015 cenderung
terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 25,35% per tahun. Jika
pada tahun 1981 volume ekspor kelapa sawit Indonesia hanya sebesar 201,25
ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 108,85 juta, maka tahun 2015
meningkat menjadi 32,54 juta ton senilai US$ 17,36 milyar.

7
Gambar 6. Perkembangan Volume Ekspor Kelapa Sawit Indonesia, 19812015.
2. Impor Kelapa Sawit di Indonesia
Sebagai negara eksportir utama kelapa sawit di dunia, maka impor kelapa
sawit sangat kecil dibandingkan ekspornya. Realisasi volume impor kelapa sawit
dari tahun 1981-2015 sangat berfluktuasi namun terjadi peningkatan volume
sebesar 1.555,49% per tahun. Besarnya laju pertumbuhan volume impor kelapa
sawit disebabkan oleh peningkatan impor yang sangat signifikan pada tahun
1984 dan 1987. Volume impor tertinggi sebesar 412,45 ribu ton terjadi pada
tahun 1989. Setelah periode tersebut volume impor cenderung menurun. Untuk
tahun 2015 volume impor kelapa sawit ke Indonesia tercatat sebesar 11,10 ribu
ton dengan nilai impor mencapai US$ 10,60 juta.

Gambar 7. Perkembangan Volume Impor Kelapa Sawit Indonesia, 19812015.


2.1.3 Proyeksi Ketersediaan Kelapa Sawit 2020

8
Pemodelan produksi kelapa sawit Indonesia dalam analisis ini dalam wujud
produksi minyak sawit (CPO). Data yang digunakan pada proyeksi ini bersumber
dari Direktorat Jenderal Perkebunan dengan menggunakan data series tahun 1967-
2016, adapun data tahun 2015 adalah data Angka Sementara dan data tahun 2016
adalah data Angka Estimasi. Dari hasil penelusuran model estimasi maka model
Double Exponential Smoothing (DES) adalah model yang terbaik. Berdasarkan
model tersebut di atas, penawaran kelapa sawit Indonesia selama periode 2017-
2020 diperkirakan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,39 % per
tahun.

Gambar 8. Proyeksi ketersediaan Kelpa Sawit Indonesia


2.2 Analisis Potensi dan Masalah Kelapa Sawit di Indonesia
1. Subsistem Produksi
Sub-sistem produksi dipengaruhi secara langsung oleh kekuatan supply
sumberdaya alam, manusia, dan teknologi. Semakin besar supply yang
didapatkan, maka akan semakin lancar sub-sistem produksi berjalan. Kelapa
sawit merupaka komoditas andalan dan strategis Indonesia. Saat ini Indonesia
merupakan salah satu produsen dan eksportir kelapa sawit dan minyak kelapa
sawit terbesar didunia. Industri minyak sawit di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung meningkat.
Potensi yang mendukung industri kelapa sawit Indonesia sebagai
eksportir terbesar yaitu luas lahan dan produksi yang terus meningkat.
Pertumbuhan rata-rata luas area kelapa sawit selama periode 1980-2016 sebesar
10,99% per tahun. Hal ini juga diikuti oleh meningkatnya jumlah produksi

9
kelapa sawit nasional dalam wujud minyak sawit (CPO). Pada tahun 1980
produksi CPO Indonesia hanya sebesar 21,17 ribu ton, dan naik menjadi 33,50
juta ton pada tahun 2016 atau tumbuh rata-rata sebesar 11,50% per tahun.
Pertumbuhan ini didorong oleh permintaan global yang terus meningkat
dan keuntungan yang naik serta adanya kebijakan pemerintah untuk
mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai altenatif bahan bakar
minyak (BBM). BBN ini berbasis minyak sawit atau dikenal sebagai biodiesel.
Untuk itu diperlukan tambahan pasokan atau peningkatan produksi kelapa sawit
dalam jumlah besar sehingga kebijakan ini memberi peluang besar bagi industri
kelapa sawit untuk lebih berkembang.
Dalam Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sebagai produsen
CPO terbesar dunia, Indonesia menghadapi tantangan yang makin kompleks.
Berbagai perubahan terkait industri minyak sawit akan terjadi baik di pasar
domestik maupun pasar global, yang diantaranya sebagai berikut.
Pertama, ketersediaan lahan untuk perluasan kebun sawit di Indonesia
makin terbatas kedepan. Keterbatasan lahan ini memiliki implikasi penting bagi
upaya peningkatan produksi CPO kedepan. Cara-cara lama peningkatan
produksi CPO melalui perluasan areal perkebunan kelapa sawit seperti selama
ini, harus beralih kepada cara-cara baru yang makin berkualitas yakni melalui
peningkatan produktivitas CPO dari lahan yang telah ada.
Kedua, ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global sangat tinggi dan
berisiko tinggi. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia sebagian besar
(70 persen) CPO yang dihasilkan, dipasarkan ke pasar internasional dan hanya
30 persen diserap didalam negeri. Ketergantungan pada pasar CPO dunia yang
demikian memiliki risiko tinggi dan tidak berkelanjutan, karena dengan mudah
dipermainkan pasar internasional. Oleh karena itu pengembangan pasar CPO
dalam negeri melalui hilirisasi perlu dipercepat agar sebagian besar produksi
CPO diserap didalam negeri baik untuk kebutuhan domestik dan diekspor
dalam bentuk olahan/produk jadi.
Selain beberapa potensi besar yang dimiliki, dalam proses produksi juga
terdapat beberapa permasalahan seperti
a. Kerusakan lingkungan

10
Budidaya tanaman kelapa sawit menerapkan sistem monokultur yang
mensyaratkan pembersihan awal pada lahan yang akan digunakan (land
clearing). Secara ekologis, pola monokultur lebih banyak merugikan karena
akan berdampak pada hilangnya tanaman lain. Jika lahan baru yang dibuka
berupa hutan, maka akan berdampak pada berkurangnya keanekaragaman
hayati yang sudah ada sebelumnya. Keanekaragaman hayati membentuk
ekosistem yang kompleks dan saling melengkapi, gangguan atas ekosistem
tentu akan mengganggu keseimbangan alam.
Pembukaan lahan hutan diikuti dengan pembakaran untuk mempercepat
proses land clearing berdampak pada timbulnya asap yang berdampak pada
kesehatan. Adapun untuk lahan yang sudah beroperasi, kegiatan pertanian
dan perkebunan, seperti aktivitas pemupukan, pengangkutan hasil,
pengolahan tanah secara kumulatif telah mengakibatkan tanah mengalami
penurunan kualitas (terdegradasi) yang mengakibatkan tanah menjadi
bertekstur keras, tidak mampu menyerap dan menyimpan air. Penggunaan
herbisida dan pestisida dalam kegiatan perkebunan akan menimbun residu
di dalam tanah.
Tanaman kelapa sawit juga merupakan tanaman yang rakus air.
Ketersediaan air tanah pada lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit
tersebut akan semakin berkurang. Hal ini akan mengganggu ketersediaan
air, tidak hanya bagi manusia namun bagi tanaman itu sendiri. Dengan
berkurangnya kuantitas air pada tanah dapat menyebabkan para petani akan
sulit mengembangkan lahan pertanian pasca lahan perkebunan kelapa sawit
ini beroperasi. Jika dibiarkan tanpa antisipasi atas dampak jangka panjang,
maka lahan demikian akan menjadi terlantar dan pada akhirnya akan
menjadi lahan kering juga gersang yang terbengkalai.
b. Ancaman Ketahanan pangan
Jika lahan yang akan digunakan bukan hutan dan merupakan lahan
produktif pertanian tanaman pangan maka konversi lahan ini pasti akan
berdampak pada ketahanan pangan. Pola perubahan lahan bergeser dari
pertanian dengan komoditas tanaman pangan ke komoditas kelapa sawit.

11
Pergeseran lahan untuk kelapa sawit oleh masyarakat didorong oleh harga
kelapa sawit yang relatif lebih tinggi dan stabil.
Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan kelapa sawit bisa
memicu semakin tingginya harga pangan. Pasalnya, luas lahan pertanian
semakin menyusut dan berakibat pada penurunan produksi atau hilangnya
komoditas pangan di daerah tersebut. Dalam konteks ketahanan pangan,
kondisi ini akan mendorong masuknya produk impor untuk komoditas
pangan. Sehingga akan berdampak pada naiknya harga kebutuhan pangan
dan ketergantungan atas pangan dari luar.
c. Tingkat efisiensi pengolahan yang rendah
Masalah ini merupakan msalah utama yang dialami oleh industri kelapa
sawit di Indonesia. Hal ini disebabkan kerena Indonesia masih
menggunakan cara manua dan sangat tergantung pada operator. Sehingga
terjadi keterlambatan (delay time) yang besar dan berakibat pada turunnya
kualitas dan kuantitas produksi CPO crude palm oil. Selain itu rendahnya
produktivitas disebabkan karena petani menggunakan bibit yang tidak
berkualitas dan tidak bersertifikat, teknik budidaya yang kurang tepat
terutama untuk tanaman yang belum menghasilkan, sumber daya manusia
petani belum optimal sehingga masih perlu pemberdayaan yang lebih
intensif. (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2008).
2. Subsistem Distribusi
Permasalahan rantai pasok dan distrubusi pemasaran minyak sawit tidak
terlepas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait
dengan pemasaran minyak sawit. Hal ini dikarenakan minyak sawit merupakan
komoditas strategis sebagai penyumbang devisa terbesar di sektor pertanian dan
sebagai bahan minyak goreng yang merupakan salah satu komoditas pangan
utama masyarakat luas.
Distribusi pemasaran minyak sawit pada awalnya diatur melalui SKB 3
Menteri Nomor 275/KPB/XII/78 yang mengatur alokasi pasokan dan
pemasaran produksi minyak sawit dalam negeri. SKB tersebut mengatur jumlah
produksi dan rencana ekspor, pengawasan distribusi minyak sawit ke industri
pengolahan serta penetapan harga. Namun liberalisasi perdagangan menuntut

12
dilepasnya intervensi yang berlebihan oleh pemerintah sehingga pemasaran
komoditas diarahkan mengikuti mekanisme pasar. Oleh karenanya pemerintah
melakukan deregulasi melalui Pakjun 1991 yang menghapus SKB 3 Menteri
sebelumnya, pakjun 1991 melonggarkan semua ketentuan tataniaga yang ada
untuk memacu ekspor dan mendorong investasi minyak goreng dalam negeri.
Melalui deregulasi tersebut alokasi produksi dan harga perdaganagn minyak
sawit dalam negeri tidak lagi ditentukan oleh pemerintah.
Setiap perkebunan dan perusahaan minyak sawit bebas melakukan
penjualan produk mereka masing-masing tanpa melalui Kantor Pemasaran
Bersama. Saluran distribusi dan pemasaran menjadi lebih pendek dan
kesepakatan harga ditentukan melalui mekanisme pasar mengacu pada harga
minyak sawit internasional pada bursa berjangka Kuala Lumpur (MDEX)
sementara mekanisme pemasaran minyak sawit Perkebunan Negara tetap
melalui Kantor Pemasaran Bersama sesuai dengan Surat Keputusan Direksi
seluruh PTPN. Penentuan harga ditentukan melalui system lelang yang
dilakukan 2 kali seminggu. Berikut ini mekanisme rantai pasok kelapa sawit.

Gambar 9. Mekanisme Distribusi Kelapa Sawit

13
Namun, perdagangan kelapa sawit sempat mengalami kendala yaitu
produk sawit Indonesia tengah dipersoalkan Eropa. Parlemen Uni Eropa
mengeluarkan resolusi yang menyatakan sawit Indonesia terkait erat dengan isu
pelanggaran HAM, korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat
adat. Kondisi ini belum berdampak pada penurunan ekspor sawit untuk jangka
pendek. Namun dalam jangka menengah dan panjang, resolusi tersebut akan
membawa konsekuensi yang cukup merugikan.
3. Subsistem Konsumsi
Perkembangan konsumsi kelapa sawit di Indonesia mengalami
kecenderungan meningkat. Konsumsi minyak sawit/crude palm oil (CPO) di
Indonesia diperoleh dari konsumsi minyak goreng sawit (kg/kapita/tahun) yang
bersumber dari hasil SUSENAS BPS dikalikan dengan jumlah penduduk
sehingga dihasilkan konsumsi nasional minyak goreng sawit. Konsumsi CPO
dihitung menggunakan angka konversi nasional yang digunakan pada
perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM) sebesar 68,28%. Secara umum
konsumsi CPO di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada
tahun 2002 konsumsi minyak sawit hanya sebesar 1,69 juta ton, dan meningkat
cukup tajam menjadi 4,2 juta ton pada tahun 2015 dengan rata-rata
pertumbuhan mencapai 7,52% per tahun.

Gambar 10. Konsumsi Minyak Kelapa Sawit Indonesia


2.3 Solusi dan strategi Ketahanan Pangan Kelapa Sawit di Indonesia

14
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menurut UU No.18 tahun 2012
tentang Pangan, dinyatakan bahwa krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan
yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh
kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan,
dan konflik sosial, termasuk akibat perang. Krisis pangan pada dasarnya tidak hanya
sebagai akibat dari kelangkaan pangan, tetapi juga ketidakmampuan masyarakat
dalam mengakses pangan, yang pada akhirnya ketahanan pangan masyarakat
terganggu.
Menurut FAO (2006), ketahanan pangan (food security) mencakup 3 aspek yaitu
ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan stabilitas (stability).
Berdasarkan data BPS, sampai saat ini terdapat beberapa komoditas pangan yang
selalu diimpor antara lain beras, gandum, jagung, kedelai, dan lain-lain. Pengadaan
impor bahan pangan tidak semata-mata disebabkan adanya defisit produksi pangan
di dalam negeri, namun lebih karena telah terjadi transformasi sistem perdagangan
pertanian secara global. Hal ini dapat dibuktikan oleh adanya suatu kenyataan bahwa
walaupun Indonesia merupakan penghasil kopi terbesar ketiga dunia, kenyataannya
Indonesia tetap mengimpor kopi dari negara lain. Untuk produk kelapa sawit sendiri,
saat ini Indonesia merupakan salah satu Negara produsen dan eksportir kelapa sawit
terbesar sehingga sangat kecil kemungkinan untuk mengimpor kelapa sawit dari
Negara lain, meskipun masih ada daerah yang masih mengimpor kelapa sawit. Oleh
karena itu, diperlukan solusi nyata dan strategi agar Indonesia dapat meningkatkan
ketahanan pangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang sangat kaya
yang dimiliki Indonesia.
2.3.1 Cara Meningkatkan Kemampuan Produksi Kelapa Sawit dalam Negeri
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan
tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Industri minyak sawit
merupakan kontributor penting dalam produksi di Indonesia dan memiliki
prospek pengembangan yang cerah serta dapat digunakan untuk meningkatkan

15
lapangan pekerjaan dan menurunkan angka kemiskinan. Perkembangan industri
kelapa sawit di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat, terutama
peningkatan luas lahan dan produksi kelapa sawit. Perkembangan luas lahan
kelapa sawit di Indonesia pada kurun waktu 1980 2016 cenderung meningkat.
Jika pada tahun 1980 luas lahan kelapa sawit Indonesia sebesar 294,56 ribu
hektar, maka pada tahun 2015 telah mencapai 11,30 juta hektar dan menjadi
kurang lebih 11,67 juta hektar pada tahun 2016. Pertumbuhan rata-rata selama
periode tersebut sebesar 10,99% per tahun. Berdasarkan status pengusahaannya,
perkebunan kelapa sawit dibedakan menjadi perkebunan rakyat (PR),
perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS). Dari
ketiga jenis pengusahaan tersebut, PBS menguasai 50,77% luas areal kelapa
sawit Indonesia, PR 37,45%, dan PBN hanya 11,67%. Seiring dengan
penambahan luas lahan kelapa sawit serta berkembangnya industri kelapa sawit
di berbagai wilayah di Indonesia, maka produksi kelapa sawit nasional dalam
wujud minyak sawit (CPO) juga terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 1980
produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721,17 ribu ton, kemudian terus naik
menjadi 33,50 juta ton pada tahun 2016 atau tumbuh rata-rata sebesar 11,50%
per tahun. Peningkatan produksi CPO selama kurun waktu tersebut terutama
terjadi pada PR sebesar 54,47% dan PBS sebesar 13,93%, sedangkan produksi
dari PBN relatif lambat karena hanya naik sebesar 4,88%.
Dalam proses produksi kelapa sawit, seringkali terjadi hal-hal yang dapat
menurunkan produktivitas dari tanaman kelapa sawit yang akan berdampak
langsung pada penurunan produksi dari kelapa sawit itu sendiri. Produktivitas
tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan,
faktor genetik, dan teknik budidaya tanaman. Faktor lingkungan (enforce) yang
mempengaruhi produktivitas kelapa sawit meliputi faktor abiotik (curah hujan,
hari hujan, tanah, topografi) dan faktor biotik (gulma, hama, jumlah populasi
tanaman/ha). Faktor genetik (innate) meliputi varietas bibit yang digunakan dan
umur tanaman kelapa sawit. Faktor teknik budidaya (induce) meliputi
pemupukan, konservasi tanah dan air, pengendalian gulma, hama, dan penyakit
tanaman, serta kegiatan pemeliharaan lainnya. Faktor-faktor tersebut saling
berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

16
Agar produksi kelapa sawit di Indonesia yang sudah relatif tinggi dapat
terjaga kestabilannya dan dapat meningkat setiap tahunnya, maka dapat
dilakukan perbaikan-perbaikan dan peningkatan produksi kelapa sawit baik dari
perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit, masyarakat yang memiliki
perkebunan kelapa sawit, maupun dari pemerintah. Tanaman kelapa sawit
merupakan tanaman yang memiliki kebutuhan air yang sangat tinggi, sehingga
penanaman kelapa sawit harus memperhatikan lokasi atau daerah yang memiliki
curah hujan tinggi serta pemilik perkebunan harus memperhatikan ketersediaan
air untuk tanaman kelapa sawit agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman
lain disekitarnya dan produksi kelapa sawit tidak terganggu. Umur tanaman
kelapa sawit juga berpengaruh pada produksi kelapa sawit. Rata-rata
produktivitas dari tanaman kelapa sawit antara 8 sampai 12 tahun kemudian
produksi akan menurun seiring bertambahnya umur tanaman. Sehingga perlu
dilakukan pendataan dan pengecekan terhadap umur tanaman kelapa sawit dan
dapat dilakukan penebangan pada tanaman yang sudah terlalu tua dan
produksinya semakin berkurang, kemudian digantikan dengan bibit tanaman
baru atau regenerasi. Pemilihan bibit unggul dan pemupukan yang baik dan
benar akan meningkatkan produksi dari kelapa sawit. Selain itu, gulma dan hama
tentu akan menghambat produksi kelapa sawit dengan merusak tanaman dan
menyerap zat-zat yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Sehingga
perlu dilakukan penyemprotan pestisida dengan jumlah yang tidak terlalu
banyak agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Faktor lain
yaitu tenaga kerja, tenaga kerja yang terlatih dan berpengalaman dalam
pemeliharaan tanaman kelapa sawit dan pemanenan kelapa sawit akan
meningkatkan produksi dari kelapa sawit. Cara meningkatkan produksi olahan
kelapa sawit yang dapat dilakukan, antara lain inovasi produk yang akan
dihasilkan dari kelapa sawit seperti untuk bahan bakar alternatif biodiesel.
Dengan adanya hal tersebut, maka dapat mengurangi penggunaan bahan bakar
yang kurang ramah lingkungan dan impor bahan bakar. Permintaan pun
dimungkinkan juga akan tinggi karena harga kelapa sawit yang masih relatif
murah, sehingga produksi kelapa sawit akan meningkat. Kemudian, sebagai obat
herbal, bahan kosmetik, dan industri makanan.

17
2.3.2 Cara Mengurangi Ketergantungan Impor Kelapa Sawit
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara
eksportir utama kelapa sawit di dunia, sehingga impor kelapa sawit sangat kecil
dibandingkan ekspornya. Realisasi volume impor kelapa sawit dari tahun 1981-
2015 sangat berfluktuasi namun terjadi peningkatan volume sebesar 1.555,49%
per tahun. Besarnya laju pertumbuhan volume impor kelapa sawit disebabkan
oleh peningkatan impor yang sangat signifikan pada tahun 1984 dan 1987.
Volume impor tertinggi sebesar 412,45 ribu ton terjadi pada tahun 1989. Setelah
periode tersebut volume impor cenderung menurun. Untuk tahun 2015 volume
impor kelapa sawit ke Indonesia tercatat sebesar 11,10 ribu ton dengan nilai
impor mencapai US$ 10,60 juta.

Gambar 11. Perkembangan Volume Impor Kelapa Sawit Indonesia, 19812015


Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa meskipun Indonesia merupakan
Negara eksportir dan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, namun masih
terdapat impor kelapa sawit yang dilakukan. Seharusnya pihak yang melakukan
impor tersebut lebih percaya pada kualitas produk dalam negeri sehingga
produksi dapat maksimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia
sendiri. Pemerintah seharusnya membatasi impor untuk produk yang
ketersediaannya di dalam negeri telah melimpah dan harganya cukup terjangkau
sehingga kegiatan impor dari luar negeri dapat menurun. Kemudian, produsen
kelapa sawit maupun produsen produk olahan kelapa sawit harus meningkatkan
pemasaran dan promosi produk kelapa sawit dalam negeri sehingga masyarakat

18
mengetahui bahwa Negara kita memiliki produksi kelapa sawit yang bagus dan
berlimpah.
2.3.3 Cara Menjaga Keseimbangan Produksi Dan Konsumsi Kelapa Sawit
Seiring dengan meningkatnya produksi kelapa sawit setiap tahunnya,
konsumsi kelapa sawit di Indonesia juga mengalami pengingkatan dari tahun ke
tahun. Konsumsi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di Indonesia diperoleh
dari konsumsi minyak goreng sawit (kg/kapita/tahun) yang bersumber dari hasil
SUSENAS BPS dikalikan dengan jumlah penduduk sehingga dihasilkan
konsumsi nasional minyak goreng sawit. Secara umum konsumsi CPO di
Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2002 konsumsi
minyak sawit hanya sebesar 1,69 juta ton dan meningkat cukup tajam menjadi
4,2 juta ton pada tahun 2015 dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 7,52% per
tahun. Kenaikan konsumsi minyak sawit tertinggi terjadi pada tahun 2007
sebesar 25,08% yang menyebabkan konsumsi minyak sawit pada tahun tersebut
naik menjadi 2,44 juta ton.
Agar produksi dan konsumsi kelapa sawit di Indonesia tetap seimbang,
maka perlu perhatian dari berbagai pihak terutama produsen dan konsumen.
Produsen harus selalu menjaga dan memelihara produktivitas tanaman kelapa
sawit agar produksiya selalu maksimal dan berjalan dengan baik. Selain itu,
produsen harus mengamati permintaan pasar agar tahu produk yang diinginkan
konsumen. Pemerintah juga harus membantu dalam pemetaan wilayah yang
berpotensi untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, pihak
konsumen dalam negeri juga harus menyadari agar mencintai produk dalam
negeri dan tidak mudah tergiur dengan barang-barang impor yang bermerek
terkenal, padahal di dalam negeri sendiri produksi barang tersebut telah
berlimpah.
2.3.4 Cara Meningkatkan Daya Saing dan Nilai Tambah Produksi Kelapa Sawit
Minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk utama dari
perkebunan kelapa sawit yang mengalami pertumbuhan produksi signifikan,
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 10,13% selama 3 dasawarsa terakhir.
Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditas
ekspor. Namun, Indonesia masih belum mampu bersaing di pasar globar dalam

19
industri hilir minyak sawit. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2011)
menunjukkan bahwa 57,97% ekspor minyak sawit Indonesia masih berupa CPO,
dan 42,03% dalam bentuk produk olahan sederhana yang berupa olein/ minyak
goreng dan oleokimia dasar.
Saat ini, Indonesia baru menghasilkan 23 jenis produk hilir minyak sawit
dari sekitar 100 produk hilir minyak sawit yang berupa pangan maupun
nonpangan. Selain itu, sebagian besar CPO yang diolah di dalam negeri masih
berupa produk bernilai tambah rendah yakni minyak goreng (Departemen
Perindustrian, 2007). Semakin kompetitifnya persaingan di pasar global dan
program peningkatan nilai tambah maka penting untuk mengetahui daya saing
minyak sawit di Indonesia dan rumusan strategi yang mampu meningkatkan
daya saing tersebut.
Daya saing komoditas dilihat dari 2 indikator, yaitu keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif. Keunggulan kompetitif (competitive advantage)
merupakan alat yang digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas
berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Menurut Porter (1990), terdapat
4 faktor utama yang menentukan daya saing suatu industri, yaitu 1) faktor
sumber daya, 2) permintaan, 3) industri pendukung dan industri terkait serta 4)
struktur, persaingan dan strategi perusahaan.Sementara itu, konsep keunggulan
komparatif (the law of comparative advantage) menyatakan bahwa suatu negara
yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor
pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut kecil.
Berbagai penelitian yang terkait dengan analisis daya saing dan strategi
pengembangan minyak sawit telah dilakukan oleh Ririn (2009) yang mengkaji
daya saing kompetitif ekspor minyak sawit Indonesia menggunakan dua tahap.
Pertama, menghitung market share ekspor minyak sawit Indonesia. Kedua,
menganalisis pertumbuhan ekspor minyak sawit menggunakan Constant Market
Share Analysis (CMSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun
waktu 19992001 dan 2005 2007, Indonesia mengalami peningkatan ekspor
dan market share pada CPO dan produk turunannya di pasar internasional.
Untuk mempertahankan daya saing minyak sawit, Indonesia harus
melakukan penetrasi pasar pada suatu negara yang memiliki market share

20
rendah. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi perusahaan eksportir minyak
sawit di Indonesia. Selain itu juga dapat dilakukan Langkah operasional
diantaranya adalah pembentukan klaster industri kelapa sawit sesuai dengan
potensi produksi kelapa sawit yang telah ada dan yang akan dikembangkan.
Klaster industri kelapa sawit dibentuk bergantung pada keterkaitan industri inti,
industri terkait dan industri pendukung. Dengan pengertian ini maka
kerjasama/koordinasi tanpa hirarki antar stakeholders (swasta, pemerintah,
lembaga keuangan, LSM, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan lainnya)
sangat diperlukan dalam rangka pengembangan klaster.
Langkah operasional lain diantaranya adalah memberikan berbagai
insentif terkait pelaksanaan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan
berkeadilan, seperti pengembangan jaringan infrastruktur secara terintegrasi,
pemberian subsidi, bea masuk (BM) untuk peralatan dan mesin-mesin,
pemberian subsidi bunga kredit investasi dan modal kerja, memprioritaskan
alokasi kredit untuk pengembangan industri hilir, insentif bea keluar untuk
ekspor produk hilir dan samping dan disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan
mentah dengan tetap memperhatikan keberadaan industri hulu.
Langkah operasional di atas perlu didukung dengan penelitian dan
pengembangan (litbang) produk dan nilai tambah. Untuk itu diperlukan beberapa
perhatian terhadap litbang, seperti peningkatan investasi untuk litbang melalui
peningkatan proporsi anggaran yang signifikan guna pelaksanaan litbang,
menentukan agenda riset yang bisa dikerjasamakan dengan lembaga riset dan
PT. Pemberian insentif berupa keringanan pajak diberikan bagi swasta yang
bekerjasama dengan lembaga litbang dalam pengembangan dan peningkatan
nilai tambah produk turunan kelapa sawit, penelitian pengembangan komoditas
kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan pangan (minyak goreng), pakan, bahan
bakar dan serat, dan pengembangan rantai nilai industri pengolahan CPO dan
turunannya untuk peningkatan daya saing dan peningkatan pangsa pasar.
2.3.5 Strategi Akselerasi Mewujudkan Kemandirian Pangan Kelapa Sawit
Menurut Rachmat, Muchjidin2015 strategi pencapaian ketahanan pangan yang
mandiri dan berdaulat adalah :
1. Peningkatan Produksi Pangan yang Lebih Menyebar dan Beragam

21
Ketersediaan pangan yang cukup atau melimpah merupakan persyaratan
terbangunnya ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Ketersediaan
pangan tersebut harus dibangun atas dasar kemampuan produksi dalam negeri
melalui optimalisasi seluruh potensi sumber daya produksi untuk
menghasilkan produk pangan yang lebih beragam. Sehingga perlu dilakukan
identifikasi lahan baru sebagai sumber produksi, tidak hanya kawasan atau
daerah penghasil kelapa sawit saja melainkan daerah lain yang terdapat lahan
kosong bisa dimanfaatkan. Sehingga produksi kelapa sawit meningkat dan
menyebar di berbagai daerah.
2. Pengembangan Produk Lokal
Dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan diamanatkan bahwa dalam
membangun kemandirian pangan harus mengacu kepada pemenuhan
kebutuhan pangan yang beragam yang bersumber dari dalam negeri melalui
pendayagunaan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal. Pengembangan
produk lokal akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat dan
wilayah. Strategi pengembangan produk lokal harus memperhatikan
preferensi konsumen melalui penciptaan produk pangan yang bergengsi,
bermutu, bergizi, aman, dan lezat sesuai selera masyarakat, dengan didukung
oleh bentuk penyajian, kemasan, dan promosi berstandar global. Untuk itu,
muatan teknologi pengolahan pangan harus berada di depan. Pengembangan
teknologi pangan akan menjadi faktor penentu berkembangnya diversifikasi
pangan dan peningkatan permintaan akan pangan.
3. Modernisasi Sistem Produksi Pangan
Konsumen pangan juga semakin menuntut jaminan agar produk pangan
bermutu, bergizi, dan aman dikonsumsi serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Untuk itu, produksi pangan harus
menerapkan sistem mutu pangan, standardisasi, dan sertifikasi mutu pangan.
Usaha agribisnis pangan harus berlandaskan kepada praktik agribisnis yang
baik dan benar, baik dalam usaha budi daya (Good Agricultural Practices
GAP), penanganan hasil produksi (Good Handling Practices GHP),
pengolahan hasil (Good Manufacturing PracticesGMP), dan pemasaran
(Good Trading PracticesGTP). Kepentingan akan sistem jaminan mutu juga

22
berkaitan dengan keterbukaan pasar global. Globalisasi pasar yang
menghapus semua hambatan tarif dan nontarif menjadikan sistem standar dan
sertifikasi sebagai alat daya saing dan sekaligus proteksi produk pada era
perdagangan bebas dunia (Bahri, 2002; Rachmat dan Nuryanti, 2014).

23
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Industri kelapa sawit ter kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang
pertumbuhannya paling pesat. Saat ini Indonesia menjadi negara eksportir terbesar
kelapa sawit ke seluruh dunia. Pertumbuhan pesat sejalan dengan perluasan areal,
peiningkatan produksi dan konsumsi domestik dan permintaan pasar global.
Disisilain, pertumbuhan kelapa sawit juga memiliki beberapa masalah yaitu
perluasan lahan kelapa sawit mempengaruhi keseimbangan lingkungan,
menimbulkan ancaman ketahanan pangan dan masih perlu upaya peningkatan
kualitas dan mutu kelapa sawit melalui pengembangan teknologi. Selain itu industri
kelapa sawit Indonesia perlu menerapakan strategi sebagi upaya kemandirian pangan
di masa depan melalui peningkatan produksi pangan yang lebih menyebar dan
beragam, pengembangan produk lokal dan modernisasi sistem produksi pangan.
3.2 Rekomendasi
Perdagangan kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang devisa negara
karena ekspornya yang besar dan produksinya di Indonesia terus mengalami
peningkatan. Potensi ekonomi tanaman kelapa sawit sangat besar. Menurut Jefri
Saragih dalam Masykur (2013), sumbangan kelapa sawit terhadap APBN bisa
mencapai 9,11 miliar dollar. Ekspor kelapa sawit dari Indonesia pun mencapai 23
juta ton pada 2010 dan sekitar 35% dai pemasukan keuntungan kelapa sawit berasal
dari petani kecil yang hidup di sektor tersebut. Namun, persebaran perkebunan
kelapa sawit masih terpusat di Pulau Sumatera dan Kalimantan seperti Riau,
Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Dari analisis yang telah dilakukan,
maka strategi yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan wilayah perkebunan kelapa sawit di daerah lain di Indonesia yang
dapat digunakan oleh petani-petani kecil dan dapat membuka lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat sehingga angka pengangguran dan kemiskinan dapat
menurun.
2. Mengembangkan berbagai macam produk olahan dari bahan kelapa sawit, seperti
obat herbal, kosmetik, sabun, dan lain sebagainya kemudian dikemas secara

24
menarik dan dipromosikan ke masyarakat melalui berbagai media komunikasi dan
informasi.
3. Pelatihan kepada petani kelapa sawit tentang cara memelihara tanaman kelapa
sawit yang baik dan benar, cara memanen, faktor-faktor yang dapat menurunkan
produksi, dan lain sebagainya dan juga memberikan informasi mengenai
kebijakan-kebijakan tentang pembukaan lahan agar tidak merusak lingkungan
seperti dengan pembakaran hutan yang akan merusak tanaman, menurunkan
kesuburan tanah, dan dapat membunuh hewan-hewan yang ada di hutan tersebut.
4. Memberikan subsidi kepada petani kecil agar keberlangsungan usahanya tetap
berjalan, karena produksi kelapa sawit dari petani kecil juga berpengaruh pada
jumlah produksi kelapa sawit nasional.
5. Pemerintah hendaknya lebih fokus dalam mengembangkan industri hilir minyak
sawit agar dapat tercipta peningkatan nilai tambah.
6. Menjaga dan meningkatkan mutu minyak sawit dan turunannya agar dapat
meningkatkan nilai ekspor dan keunggulan yang dimiliki.
7. Stakeholder sebaiknya lebih memperhatikan isu nasional dan internasional yang
berpengaruh negatif pada daya saing industri minyak sawit.
8. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui daya saing minyak
sawit dan turunannya di Indonesia dimasa yang akan datang.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ichwandi, Iin. 2014. Membumikan Kebijakan Ketahanan Pangan. Bogor: kskp.ipb.ac.id.


Diakses pada tanggal 18 September 2017 pukul 18.00
Masykur. 2013. Pengembangan Industri Kelapa Sawit sebagai Penghasil Energi Bahan
Bakar Alternatif dan Mengurangi Pemanasan Global (Studi di Riau sebagai
Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia). Malang: jurnal.unitri.ac.id.
Diakses pada tanggal 18 September 2017 pukul 20.00
Outlook Kelapa Sawit Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal
Kementerian Pertanian Tahun 2016.
Rachmat, Muchjidin. 2015. Percepatan Pembangunan Pangan Menuju Pencapaian
Ketahanan Pangan yang Mandiri dan
Bedaulat. https://media.neliti.com/media/publications/63604-ID-percepatan-
pembangunan-pangan-menuju-pen.pdf. Diakses pada 20 September 2017 pukul
18.00
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan Dan
Pertanian 2015-2019
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Yohansyah, Willy, dan Lubis. 2014. Analisis Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di PT. Perdana Inti Sawit Perkasa I, Riau. Bogor. Diakses pada
tanggal 10 September 2017 pukul 15.00

26

Anda mungkin juga menyukai