net/publication/327499451
CITATIONS READS
0 2,033
1 author:
Mukhlis Mukhlis
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
24 PUBLICATIONS 50 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Mukhlis Mukhlis on 07 September 2018.
I. PENDAHULUAN
bangan sektor pertanian ini dilakukan terutama melalui peningkatan sub sektor
perkebunan dan sub sektor pangan yang telah berlangsung secara terus-menerus
terbuka dan menjadi lalu lintas perekonomian internasional, dalam artian bahwa
keadaan surflus.
dalam menuju tata baru dalam dunia perdagangan yaitu sedang menuju era
bangan komoditas pertanian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya laju
pertumbuhan ekspor nonmigas selama 5 tahun terakhir (1996 - 2000) yang selalu
meningkat yakni sebesar 3,89 % per tahun. Nilai tertinggi terjadi pada tahun 2000
yaitu mencapai US$ 47,757.4 juta atau berperan sebesar 76.87 % terhadap total
ekspor, berarti nilai ekspor nonmigas pada tahun 2000 mengalami kenaikan
sebesar 22.05 % dari tahun sebelumnya. Salah satu produk nonmigas yang
(Samah 2001).
yang cukup strategis, karena komoditas ini memiliki prospek yang cukup cerah
minyak kelapa sawit, disamping digunakan sebagai bahan mentah industri pangan
dapat pula digunakan sebagai bahan mentah industri nonpangan. Selain itu,
minyak kelapa sawit merupakan bahan utama minyak goreng yang banyak
stabilitas dari minyak kelapa sawit tersebut. Komoditas inipun mampu mencip-
(Risza, 1994). Ditambahkan oleh Tim Penulis Penebar Swadaya (1994), bahwa
tanaman lainnya, yakni bisa menghasilkan 3.14 ton minyak nabati per ha
sedangkan tanaman lain produktivitasnya 0.34 – 0.57 ton minyak nabati per
ha, kedua, kelapa sawit merupakan sosok tanaman yang cukup tangguh
sebagai bahan mentah industri pangan juga bisa sebagai bahan mentah industri
Sejalan dengan perkembangan luas areal, produksi minyak sawit dari tahun
ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini terbukti, bahwa pada tahun 1969
luas areal kelapa sawit hanya 121.040 ha dengan produksi minyak-nya sebesar
188.772 ton, lalu 10 tahun kemudian (1979) luas areal meningkat menjadi 260.939
1.964.654 ton dan pada tahun 2000 luas areal mengalami peningkatan menjadi
sawit bagi industri minyak goreng di Indonesia (BPS dan DIRJENDBUN, 2000).
tahun, maka pada tahun 2000 produksi minyak sawit Indonesia mencapai 7,5 juta
ton dimana Malaysia sebesar 9,6 juta ton, lalu pada tahun 2003 produksi minyak
sawit Indonesia mencapai 10,6 juta ton yang berbeda tipis dengan Malaysia yakni
sebesar 10,8 juta ton, kemudian pada tahun 2004 produksi minyak sawit
Indonesia mencapai 11,9 juta ton sedangkan Malaysia hanya mem-produksi 11,2
juta ton. Selanjutnya Indonesia akan terus memimpin menjadi produsen terbesar
cerah, hal ini didukung oleh adanya peningkatan industri minyak goreng sawit
masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Konsumsi
per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16,5 kg per tahun dimana konsumsi
per kapita minyak goreng sawit mencapai 12,7 kg per tahun. Berdasarkan
goreng untuk keperluan rumah tangga maupun industri, diperkirakan pada tahun
2001-2005 konsumsi akan minyak goreng sawit dalam negeri terus meningkat,
pada tahun 2005 diperkirakan total konsumsi minyak goreng dalam negeri
mencapai 6 juta ton dimana 83,3 % terdiri dari minyak goreng sawit (BPS, 2000).
Peluang ekspor CPO Indonesia juga cukup menjanjikan, berdasarkan data dari
tahun 1990 sampai tahun 1998 produksi CPO dunia bisa dikatakan tidak mampu
memenuhi konsumsi masyarakat dunia akan CPO. Kondisi ini dapat terlihat pada
tahun 1990-1992, 1994 dan 1998 yang produksi CPO-nya lebih kecil dibandingkan
permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia, maka dirasa perlu untuk meneliti
1.2. Permasalahan
Sesuai dengan latar belakang bahwa luas areal tanaman kelapa sawit dari
pada ekspor yang jika pada awalnya hampir semua minyak kelapa sawit
diperuntukkan bagi ekspor, dimana hal tersebut dapat dilihat pada priode tahun
namun pada tahun 1980-an minyak kelapa sawit hanya diekspor sebesar 43 %
yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan dalam negeri, hal ini terjadi
karena adanya krisis minyak kelapa yang produksinya terus menurun dan
negeri. Kondisi ini menyebabkan volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia
semakin tidak stabil yang mengakibatkan kedudukan minyak kelapa sawit dalam
padahal minyak kelapa sawit memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi
lahan yang cukup luas, dan secara geografis terbentang di daerah katulistiwa
menjadi produsen dan eksportir minyak kelapa sawit nomor satu dunia akan bisa
8
fluktuatif, dimana pada periode tahun 1978-1981 ekspor CPO mengalami penu-
runan dari 412,2 menjadi 361,3 ribu ton atau turun sebesar 12,3 %, lalu meningkat
dari 361,3 menjadi 502,9 ribu ton atau naik sebesar 39,2 %, kemudian turun
drastis sebesar 60,95 % yakni dari 502,9 menjadi 196,4 ribu ton. Pada periode
tahun 1983-1984 juga menurun sebesar 63,01 %, pada tahun 1994-1995 turun
sebesar 89,3 % pada tahun 1999. Hal ini terjadi karena adanya kampanye petani
kedelai Amerika dan negara MEE yang melarang untuk mengkonsumsi minyak
nabati tropika pada tahun 1980-an dan terjadinya perubahan yang menanjak nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika akibat krisis moneter yang melanda
Indonesia mulai tahun 1997 dan kondisi tersebut juga bisa disebabkan karena
Sebelum mencapai titik ekspor, minyak kelapa sawit terlebih dahulu harus
berhadapan dengan pasar dalam negeri yang diatur oleh pemerintah dimana dari
satu sisi minyak kelapa sawit harus mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri
sedangkan di sisi lain minyak kelapa sawit harus mampu menciptakan devisa bagi
perlindungan yakni dengan menjaga stabilitas pasokan dan harga minyak goreng
yang terjangkau, karena minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan
bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Kondisi ini tentu akan meng-
9
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat ada dua keinginan yang sangat
untuk menjadi produsen dan eksportir minyak kelapa sawit nomor satu dunia
dengan memanfaatkan peluang pasar CPO yang semakin luas, keinginan untuk
tetap melindungi konsumen domestik minyak goreng, dalam artian sejauh mana
produksi minyak sawit dapat memenuhi kebutuhan ekspor dan kebutuhan industri
maupun ekspor.
dalam penawaran dan permintaan minyak kelapa sawit Indonesia dapat di ambil
dari beberapa pustaka dan peneliti antara lain Tono Wijanarko pada tahun 1996,
Ahmad Rifai pada tahun 2001 dan Mustafa pada tahun 1990.
logaritma dengan asumsi Nerlove, pengujian model dengan uji F hitung. Untuk
dipengaruhi oleh luas lahan kelapa sawit, harga kelapa sawit domestik, harga
kelapa domestik, tingkat teknologi, sedangkan harga pupuk dan curah hujan tidak
oleh harga kelapa sawit domestik, harga kelapa domestik dan jumlah penduduk.
Sedangkan ekspor kelapa sawit indonesia dipengaruhi oleh luas lahan kelapa
sawit, harga kelapa sawit dunia, tingkat teknologi serta jumlah penduduk dan
Rifai, Ahmad (2001), meneliti tentang analisis ekspor dan tataniaga minyak
persamaan simultan, lalu dianalisis dengan Uji Collegram dan Uji Dickey-Fuller.
Penentuan model dengan sistem 2SLS, lalu menguji model dan validasi menggu-
nakan koefisien determinasi (R2) untuk ketepatan, uji F hitung untuk mengukur
pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap variabel terikat dan uji t hitung
12
dipengaruhi secara nyata oleh harga CPO domestik, harga ekspor CPO, luas
areal kelapa sawit, tingkat konsumsi CPO domestik dan produksi CPO tahun yang
lalu. Permintaan CPO dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO
Indonesia, tingkat impor CPO Indonesia, tingkat ekspor CPO Indonesia dan
tingkat konsumsi tahun yang lalu, tetapi variabel yang berpengaruh secara nyata
adalah tingkat produksi CPO dan tingkat ekspor CPO. Sedangkan ekspor CPO
Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO domestik, harga ekspor CPO, tingkat pajak
ekspor CPO, jumlah stok CPO dan jumlah ekspor CPO tahun yang lalu, dimana
variabel yang tidak berpengaruh secara nyata adalah harga CPO domestik, harga
harga minyak kelapa, harga minyak kelapa sawit, harga ikan segar, pendapatan
rumah tangga dan jumlah anggota rumah rangga. Berdasarkan hasil analisis
dependen. Harga minyak kelapa dan harga ikan segar menunjukkan pengaruh
negatif, sedangkan harga minyak sawit, pendapatan rumah tangga dan jumlah
ditawarkan pada konsumen pasar dengan harga tertentu. Jumlah komoditi yang
akan dijual oleh produsen sangat tergantung pada harga yang akan dibayarkan oleh
13
adalah jumlah komoditi yang ditawarkan pada suatu pasar dengan harga dan waktu
antara harga suatu barang tertentu dan jumlah barang yang ditawarkan (Sukirno,
(Marginal Cost) dengan kurva permintaan. Bila harga diasumsikan naik secara
perlahan-lahan, maka kurva permintaan akan bergeser ke atas secara perlahan pula.
Pada kurva MC berslope positif, kurva permintaan yang memotong kurva MC yang
lebih tinggi akan menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hal
jangka pendek, maka perusahaan tidak akan menawar-kan produknya apabila harga
lebih rendah dari biaya variabel rata-rata, karena apabila harga di bawah biaya
variabel rata-rata perusahaan tidak dapat menutupi biaya produksinya. Bila titik-
titik perpotongan kurva permintaan dan biaya marjinal dihubungkan pada suatu
grafik, maka akan diperoleh kurva penawaran perusahaan yang identik dengan
kurva biaya marjinal perusahaan tersebut (Sudarman, 1999). Untuk lebih jelasnya
MC S
P
P2 P2
ATC
MC
P1 P1
AVC
Pw Pw
w
0 Qw Q1 Q 2 Q 0 QwQ1 Q2 Q
Variable Cost), dan ATC (Avarage Total Cost) berada di atas AVC karena ATC
merupakan akumulasi AVC dan AFC (Avarage Fixed Cost). Jumlah produksi
produsen tidak akan menawarkan produknya atau dikatakan berada pada kondisi
barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan, harga faktor produksi (harga
produksi atau penawaran dari barang tersebut, dengan harapan akan mendapat
dalam harga barang tersebut pada suatu waktu tertentu dinyatakan dengan
Q / Q Q P
Es X
P / P Q P
di mana :
ES = Elastisitas penawaran
Q = jumlah barang yang ditawarkan
P = harga barang tersebut
Q = Perubahan jumlah barang yang ditawarkan
P = Perubahan harga barang tersebut
Jika : Es > 1, dikatakan penawaran elastis
Es < 1, dikatakan penawaran tidak elastis
Es = 1, dikatakan penawaran elastis tetap (unitary elasticity)
Ada dua (2) faktor yang dapat mempengaruhi elastisitas penawaran, yaitu
kapasitas produksi dan kurun waktu perubahan harga terjadi. Semakin besar
penawaran relatif besar. Begitu pula apabila waktu yang diberikan kepada
produsen, untuk bereaksi setelah adanya perubahan harga, lebih panjang maka
elastisitas penawaran akan lebih besar pula (Samuelson dan Nordhaus, 1997).
Harga barang lain yang berkaitan, terutama barang yang saling bersubstitusi
satu dengan lainnya, dapat memberikan petunjuk apakah barang yang diproduksi
pada saat ini masih menguntungkan atau tidak, menunjukkan pula bagaimana
16
persaingan yang terjadi di pasar dan peluang barang tersebut. Hubungan harga
produk pengganti dengan jumlah output yang ditawarkan dapat ditunjukkan dengan
konsep elastisitas silang untuk penawaran, yaitu perubahan relatif output yang
QA PB
EAB X
QB PA
di mana :
EAB = Elastisitas silang untuk penawaran
Q A = Perubahan jumlah barang A yang ditawarkan
QB = Jumlah barang B yang ditawarkan
PA = Harga barang A
PB = Perubahan harga barang B yang ditawarkan
Harga input merupakan salah satu hal yang mempengaruhi besar kecilnya
biaya produksi. Apabila biaya produksi relatif lebih tinggi dari harga pasar, akibat
dari kenaikan harga input, maka jumlah penawaran akan menurun. Sebaliknya
apabila biaya produksi relatif lebih rendah dari harga pasar, maka produsen akan
meningkatkan penawaran dan keuntungan yang diperoleh akan lebih tinggi pula
banyaknya jumlah barang yang dapat ditawarkan. Dengan teknologi yang semakin
pada semua harga-harga alternatif yang mungkin dengan anggapan lain-lain hal
tetap sama. Banyaknya barang yang akan dibeli oleh konsumen akan dipenga-ruhi
oleh sejumlah keadaan diantaranya adalah : Harga barang itu, rasa dan preferensi
Kurva indeferen merupakan suatu kurva yang menunjukkan kombinasi dua produk
atau lebih sehingga kepuasan yang diperoleh konsumen tidak berubah. Kurva
indeferen yang berada lebih atas (semakin jauh dari titik nol) menunjukkan total
nilai guna yang lebih besar daripada kurva indeferen yang berada di bawahnya atau
lebih dekat dengan titik nol (Kusnadi., Rahardjo Kusdi., Zaedan Rudi, 1997)
18
Total nilai guna yang diperoleh konsumen akan maksimal apabila kurva
permintaan yang terjadi pada saat keseimbangan konsumen dimana garis anggaran
Q2 U1
U2
P
U3 D1
Q21 P1 D2
Q22 D3
P2
Q23 P3 D
barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan, tingkat pendapatan dan jumlah
penduduk.
Semakin tinggi harga barang tersebut yang berlaku di pasar, maka akan
berikut :
Q / Q Q P
ED = = x
P / P Q P
Dimana :
ED = Elastisitas permintaan
Q = jumlah barang yang diminta
P = harga barang tersebut
Q = Perubahan jumlah barang yang diminta
P = Perubahan harga barang tersebut
Jika : ED > 1 ; disebut permintaan elastis
sebenarnya tergantung pada apakah barang yang lain tersebut merupakan barang
(netral). Barang subtitusi adalah barang yang dapat memberi kepuasan penggunaan
yang kurang lebih sama dibanding barang yang semula diinginkan. Jika harga
suatu barang naik maka permintaan akan barang pengganti cenderung meningkat.
lain. Jika harga suatu barang naik maka permintaan akan barang komplementer
akan turun. Barang netral adalah barang yang permintaannya tidak dipengaruhi
oleh harga barang lain, sehingga naik turunnya harga salah satu barang tidak
perubahan harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut digunakan
Q X PY
EYX = x
PY Q X
Dimana :
EXY = Elastisitas silang untuk permintaan
Jika EXY bernilai positif, berarti hubungan antara kedua barang tersebut
bersifat subtitusi. Suatu kenaikan dalam harga barang X akan menaikkan konsumsi
atas barang Y. Jika EXY bernilai negatif, berarti hubungan kedua barang bersifat
Y.
ke kanan sehingga harga yang berlaku lebih mahal daripada sebelumnya. Untuk
Q I
EI = x
I Q
Dimana :
Sedangkan bila EI bernilai positif maka barang tersebut dikatakan barang normal.
Pada barang normal, apabila EI > 1 disebut barang mewah sedangkan bila E I <1
pendapatan meningkat dan daya beli konsumen akan meningkat pula, kondisi itulah
negara merupakan impor bagi negara lain. Dengan demikian ekspor dan impor
suatu negara sangat tergantung pada pendapatan atau output dari mitra dagang
negara tersebut. Selain itu jumlah dan nilai ekspor suatu negara akan dipenga-ruhi
22
oleh harga relatif antara barang luar negeri dengan dalam negeri, yang pada
gilirannya akan tergantung pada tingkat harga luar negeri (harga ekspor) dan nilai
Ekspor suatu negara akan cenderung meningkat apabila nilai mata uang
negara tersebut menurun terhadap nilai mata uang negara lain, atau apabila mata
uang negara lain mengalami apresiasi terhadap mata uang suatu negara sebagai
mitra dagangnya. Maka harga produk ekspor negara tersebut yang dinilai dengan
mata uang negara lain menjadi lebih murah, sehingga jika elastisitas permintaan
barang eskpor tinggi maka ekspor meningkat (Hady dan Hamdy, 1998).
perdagangan luar negeri yang lazim ditempuh antara penjual dan pembeli, dengan
cara ini kedua belah pihak memperoleh keuntungan masing-masing lewat transaksi
barang untuk konsumen yang terpisah oleh batas negara yang tidak hanya berarti
hubungan positif, yaitu semakin tinggi ekspor yang dipasarkan maka semakin
DA SA SB
P1
PE
P0
DB
Q 1 Q A Q 0 Q A Q1 Q2 QB Q 3 QB Q 2
Negara A Negara B
A adalah PO, dan harga barang di negara B adalah P1. Harga barang di negara A
lebih rendah dari pada negara B, jika produksi dengan keadaan constan cost maka
negara A dapat menjual barang dalam jumlah tidak terbatas ke negara B dan
sebaliknya negara B tidak dapat menjual satu unitpun pada harga yang lebih rendah
dari P1. Tetapi apabila terjadi increasing cost terhadap produksi maka produksi
produksi ini akan mengakibatkan naiknya biaya input per unit sehingga harga
karena lebih memilih impor dengan harga lebih murah, untuk menyeimbangkan
24
harga di negara B. Proses penyesuaian ini akan berlangsung sampai jumlah ekspor
negara A (QA) sama dengan jumlah yang di impor (QB) oleh negara B, dan
Jika biaya distribusi menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan akan
menyebabkan harga antara kedua negara akan berbeda sebesar biaya distribusi
tersebut. Dengan demikian ekspor suatu komoditi dari suatu negara adalah selisih
Se
P ($) Sd P ($)
Pd1 Pf
Dt
Pd0 Dd
Q
0 Qd1 Qd0 Qt 0 Qe
excess supply akan di di ekspor ke pasar internasional pada tingkat harga yang
lebih tinggi. Faktor lain yang sangat mempengaruhi kinerja ekspor adalah nilai
yang dibuat oleh negara pengekspor maupun pengimpor seperti tariff, kuota ekspor,
Realisasi ekspor atau daerah pemasaran CPO Indonesia dari tahun 1980–
1989 ditujukan kepada negara-negara Eropa, Amerika Tengah dan Rusia, yakni :
Belanda, Inggris, Kenya, Irak, Jerman Barat, India, Italia, Singapura, Jepang,
Arabia, Muangthai, Kuwait, Belgia, Taiwan, Rusia, Turki, Spanyol, RRC, Portugis,
(Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, 1989 dalam Tim Penulis Penebar
Swadaya, 1994).
Menurut Nadiar dan Hasan (1999), bahwa daerah pemasaran CPO dari
tahun 1994-1999 adalah negara Belanda, Jerman Barat, Spanyol, Italia, Perancis,
Polandia, Amerika Tengah, Inggris, Belgia, Denmark Swedia, Portugal dan Rusia.
Thailand, Papua Nugini dan negara-negara lain dalam jumlah kecil, sedangkan
Konsumen utama minyak sawit dunia adalah India, Indonesia, Nigeria, Malaysia,
MEE, Pantai gading, Papua Nugini, dan lain-lain dalam jumlah kecil. Sedangkan
Negara Importir utama minyak sawit dunia adalah 12 negara anggota MEE, RRC,
Singapura, India, Pakistan, Mesir, Jepang dan negara lain (sebanyak 25 negara).
Pemasaran CPO dalam negeri terdiri dari dua bentuk salura, yakni saluran
pemasaran CPO di Perusahaan Negara (PN) atau Perseroan Terbatas (PT) dan
Perkebunan Besar Swasta Asing (PBSA). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
KPB PT Perkebunan
Lelang
(Lelang atau kontrak
jangka panjang)
Lelang Agen Pembeli/
Representative
*)
PMS milik PBSN/PBSA Industri Pengolah CPO milik mereka
Standar mutu untuk pemasaran minyak sawit, minyak inti sawit dan inti sawit
Tabel 1. Standar mutu minyak sawit, minyak inti sawit dan inti sawit
Kelapa sawit merupakan suatu komoditas yang unik dipandang dari segi
proses yang harus ditempuh sebelum mampu meraih tempat dalam dunia perda-
Indonesia, komoditas kelapa sawit dalam hal ini minyaknya mempunyai peran
yang cukup strategis dalam. Pertama, minyak sawit merupakan bahan utama
minyak goreng, sehingga pasokan kontinyu akan ikut menjaga stabilitas harga dari
minyak goreng. Hal ini penting karena minyak goreng merupakan salah satu dari
sawit merupakan komoditas andalan ekspor non migas maka minyak sawit
merupakan prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa dan pajak.
Ketiga, dalam proses produksi dan pengolahan kelapa sawit mampu menciptakan
cenderung terus menurun akibatnya persediaan minyak kelapa tidak terjamin untuk
memenuhi kebutuhan industri minyak goreng dan industri pangan lainnya. Akan
tetapi, disisi lain produksi minyak sawit cenderung meningkat dari tahun ke tahun,
konsumsi akan minyak sawit dalam negeri untuk kebutuhan industri minyak
goreng diperlukan dalam jumlah yang relatif besar dan mengakibatkan terjadinya
kebutuhan minyak sawit dalam negeri, dalam artian ekspor minyak sawit hanya
penghasil minyak nabati dan lemak di negara mereka yang mulai terdesak oleh
kampanye yang didukung banyak pihak yang terkait, seperti : AHA (American
Center for Science in the Fublic Interest, (NSA) National Sun flower Association,
(PVFHP) Public Voice for Food and Health Policy dan (NCCA) National Cotton
Council of Amerika serta didukung kuat oleh senator yang mewakili daerah
penghasil kedelai Amerika, guna untuk menghentikan impor minyak nabati tropika,
seperti minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa sebagai bahan mentah
dan supaya beralih kepada minyak kedelai sebagai bahan mentah. Kampanye
tersebut juga mengisukan bahwa minyak nabati tropika itu dapat meningkatkan
kolesterol dalam darah yang dapat membuat manusia rawan terhadap penyakit
jantung dan menuduh impor minyak nabati tropika akan menggeser konsumsi
kedelai atau minyak kedelai dalam jumlah besar di Amerika. Selain itu, pihak
bea cukai tambahan atas impor minyak dan lemak, dimana impor minyak sawit
minyak nabati tropika terutama minyak sawit Indonesia mendapat persaingan yang
31
kuat dari komoditi kedelai, sehingga akan menyebabkan terjadinya fluktuasi jumlah
ekspor CPO dan akan memberikan dampak terhadap fluktuasi harga CPO domestik
perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terutama di awal
krisis ekonomi pada tahun 1997, juga menyebabkan terjadinya fluktuasi volume
teoritis, maka penawaran CPO di Indonesia akan dipengaruhi oleh harga CPO
domestik, harga minyak kelapa domestik, harga pupuk (input), Luas lahan kelapa
sawit, teknologi pertanian yang berkaitan dengan produktivitas kelapa sawit dan
harga CPO domestik, harga minyak kelapa domestik, jumlah penawaran CPO,
Indonesia akan dipengaruhi oleh harga CPO dunia, harga CPO domestik, jumlah
penawaran CPO, nilai tikar rupiah terhadap dollar dan Tingkat proteksi nominal
domestik akan dipengaruhi oleh harga dunia CPO, jumlah ekspor CPO, Jumlah
permintaan CPO, nilai tikar rupiah terhadap dollar, tingkat proteksi nominal dan
Indonesia, permintaan CPO di Indonesia, ekspor CPO Indonesia dan harga CPO
domestik. Dengan demikian output dari penelitian ini diharapkan dapat terciptanya
kondisi penawaran dan permintaan CPO di Indonesia bisa stabil atau optimal,
sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi produsen atau petani kelapa sawit,
dapat meningkatkan tambahan devisa bagi negara dan bisa memenuhi kebutuhan
CPO di Indonesia.
33
Perm
Jumlah
Penduduk intaan CPO
Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap penawaran, permintaan, ekspor dan harga CPO
Indonesia
3.2. Hipotesis
CPO Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan sejauh mana kemampuan
karena itu, berdasarkan teoritis dan hasil penelitian terdahulu hipotesis dari
domestik, harga minyak kelapa domestik, harga pupuk, luas lahan kelapa
dunia, harga CPO domestik, penawaran CPO, nilai tukar Rupiah dan tingkat
proteksi nominal.
harga CPO dunia , volume ekspor CPO, permintaan CPO, nilai tukar Rupiah,
model, dalam hal ini yang termasuk variabel endogen adalah penawaran CPO
domestik.
35
2. Variabel eksogen adalah variabel bebas yang ditentukan nilainya di luar model
dan telah diketahui besarnya (predetermined variables), dalam hal ini yang
termasuk variabel eksogen adalah variabel eksogen dan variabel lag endogen,
3. Minyak kelapa sawit adalah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO),
tidak termasuk minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO).
Indonesia yang ditawarkan, dalam penelitian ini diukur dengan total produksi
dalam penelitian ini diukur dengan total konsumsi CPO oleh industri domestik
Indonesia atau selisih antara jumlah produksi CPO dengan jumlah ekspor
yang diukur berdasarkan total volume ekspor CPO yang diekspor dengan
satuan ton.
8. Harga minyak kelapa domestik (PDMK) adalah harga minyak kelapa di ting-kat
9. Harga CPO dunia (PWCPO) adalah rata-rata harga CPO yang dihitung ber-
dasarkan harga ekspor CPO harga Cif Rotterdam dengan satuan US $ /ton.
36
10. Tingkat teknologi pertanian (TPER) dalam penelitian ini diukur berdasarkan
11. Harga input (PIN) hanya terbatas pada harga pupuk UREA (N), dengan
satuan Rp/kg
12. Luas areal (LLKS) dalam penelitian ini merupakan total luas areal perkebunan
13. Nilai tukar (ERI) diukur dengan satuan Rupiah per Dollar US$ berdasarkan
14. Jumlah penduduk (JP) adalah total penduduk Indonesia setiap tahun, dengan
satuan jiwa.
15. Pendapatan penduduk (I) adalah pendapatan per kapita penduduk Indonesia
dalam hal ini pendapatan per kapita riil, dengan satuan Rupiah.
16. Restriksi ekspor yang diukur dengan (NPR : Nominal Protection Rate), yakni
harga dunia CPO dikurangi dengan harga CPO domestik dan dikali dengan
yang banyak mendatangkan keuntungan bagi petani kelapa sawit dan bagi devisa
negara Indonesia.
Persamaan identitas
QDCPO = QSCPO – XCPO
Keterangan :
Variabel endogen :
QSCPO : Penawaran minyak kelapa sawit domestik (ton)
QDCPO : Permintaan minyak kelapa sawit (ton)
XCPO : Ekspor minyak kelapa sawit (ton)
PDCPO : Harga minyak kelapa sawit domestik (Rp/Kg)
diperoleh dengan cara unik (hanya satu-satunya nilai) atau dengan kata lain,
hanya ada satu nilai angka untuk menaksir satu parameter dari persamaan
struktural.
diperkirakan atau ditaksir karena jumlah variabel eksogen lebih sedikit dari
di mana :
M = banyaknya variabel endogen dalam model
m = banyaknya variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu
K = banyaknya variabel yang ditentukan nilainya predetermined variables di
dalam model
k = banyaknya variabel yang ditentukan nilainya dalam suatu persamaan
tertentu (Gujarati, 1997).
Hipotesis :
H0 : 1, 1, 1, 1 = 0 ; Hi : Paling tidak ada 1, 1, 1 dan 1 yang tidak sama
dengan nol.
Kaidah Pengujian :
Jika F hitung F tabel, maka terima H0 yang berarti tidak terdapat pengaruh
yang nyata ( signifikan ) antara variabel independen dengan variabel
dependennya. Jika F hitung F tabel, maka tolak H0 yang berarti terdapat
pengaruh yang nyata antara variabel independen dengan variabel dependennya.
Selanjutnya, berdasarkan uji F tersebut dilakukan uji statistik t hitung untuk
menguji seberapa besar pengaruh dari masing-masing variabel independen
tersebut. Rumus uji statistik t hitung adalah sebagai berikut :
bi bi
t hitung = =
se (bi) var bi
Hipotesis :
H0 : 1 = 0 ; Hi : 1 0
Kaidah pengujian :
Jika t hitung t tabel, maka terima H0 yang berarti tidak terdapat pengaruh yang
nyata (signifikan) antara variabel independen dengan variabel dependen. Jika t
hitung t tabel, maka tolak H0 yang berarti terdapat pengaruh yang nyata antara
variabel independen dengan variabel dependen.
42
(e e
t t 1 )2 ( e 2t et 12 2 et .et 1 )
d= ; d=
e t
2
e t
2
Hipotesis :
d dL : Menolak H0
d 4 - dL : Menolak H0
dU d 4 dU : Tidak menolak H0
Kelapa sawit merupakan tanaman yang diyakini berasal dari Afrika Barat,
yang kemudian menyebar ke benua Amerika dan Asia melalui perdagangan dan
kolonisasi. Namun Drude berpendapat bahwa kelapa sawit berasal dari benua
Amerika tepatnya Brazilia, dengan alasan bahwa Afrika hanya memiliki satu jenis
spesies dari marga (genus), yaitu Elaeis guineensis sedangkan di Amerika terda-
pat jenis lainnya yaitu Elaeis Melanococca. Dan seluruh kelompok Cocoineae
lainnya yang mempunyai 200 spesies. Pendapat Drude didukung oleh Cook pada
tahun 1942, yang menyatakan bahwa kelapa sawit tumbuh secara spontan di
pantai-pantai Amerika. Cook juga menyatakan bahwa semua genus kelapa sawit
yang ada di tempat-tempat lain termasuk Afrika berasal dari Brazilia yang terbawa
fosil-fosil dan perjalanan sejarah eksplorasi dunia. Pada tahun 1964 Zeven
menemukan fosil benang sari (pollen) di lapisan miocene maupun lapisan yang
lebih muda di Delta Nigeria, hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit sudah ada di
Afrika sejak dahulu kala. Tetapi Seward tidak menemukan fosil di lapisan
Marcopolo. Benua Amerika ditemukan oleh Colombus pada tahun 1489, kemudia
44
pelaut Spanyol dan Portugis menemukan Brazil pada tahun 1500. Eksplorasi
Portugis di Guinea pada taun 1434 dan 150 tahun kemudian oleh Belanda dan
Inggris. Laporan eksplorasi sampai pada saat itu tidak pernah menyebutkan
bahwa sampai pada pertengahan abad ke-16 tanaman kelapa sawit belum
menyebutkan adanya pohon palem dalam jumlah yang banyak. Kemudian Ca’da
Mosto tahun 1435-1460 menyebutkan secara jelas dan tegas adanya palem yang
diduga kuat tanaman kelapa sawit dalam laporan perjalanannya ke Afrika Barat.
adanya belukar palem di utara Liberia dan adanya perdagangan minyak kelapa
sawit dekat sungai Forcados, Nigeria. Kemudian Clusius pada tahun 1605 men-
catat bahwa kelapa sawit terdapat di pantai Guinea. Berdasarkan bukti penemu-
an fosil dan sejarah perjalanan eksplorasi dunia tersebut dapat disimpulkan bahwa
tanaman kelapa sawit yang berkembang dan menyebar di seluruh dunia pada
saat ini berasal dari benua Afrika (Soetrisno dan Winahyu, 1991).
kelapa sawit dunia meskipun kedua negara tersebut bukan negara asal mula
kelapa sawit dunia. Sejarah industri perkebunan kelapa sawit sangat unik karena
dua hal, yakni : (1) industri perkebunan kelapa sawit justru mula-mula muncul di
AsiaTenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia dan bukan di Afrika Barat yang
menjadi daerah asal tanaman kelapa sawit dan (2) tidak ada hubungan antara
kelapa sawit yang berasal dari Afrika dengan perkembangan industri kelapa sawit
45
di Asia Tenggara, dalam artian kelapa sawit yang ditanam di Indonesia dan
Indonesia pertama kalinya menerima empat batang bibit kelapa sawit dari
bibit kelapa sawit ini kemudian ditanam di Kebun Raya bogor pada tahu 1848.
Anakan dari empat batang kelapa sawit tersebut yang kemudian dipindahkan ke
Deli, Sumatera Utara. Selanjutnya dengan kelapa sawit Deli tersebut menjadi bibit
tanaman kelapa sawit yang digunakan oleh perkebunan kelapa sawit di Deli dan
tanaman kelapa sawit di Muara Enim dan pada tahun 1870 di Musi Hulu. Bapak
yang berasal dari Belgia, dimana pada tahun 1911 beliau telah membudidayakan
kelapa sawit secara komersial dalam bentuk perkebunan di Sungai Liput (Aceh)
sawit telah berjalan sangat cepat sehingga sangat menguntungkan bagi pereko-
tah Jepang meneruskan perkebunan kelapa sawit tersebut dan hasilnya dikirim ke
pada tahun 1943 sebagai akibat terjadinya serangan sekutu (Risza, 1994).
Pada tahun 1947 Pemerintah Belanda merebut kembali 2/3 dari perkebun-
an yang pernah dikuasai oleh kelaskaran, kemudian menjelang akhir tahun 1948
46
masing-masing dan menjadi milik mereka kembali. Pada tahun 1957 seluruh
Namun pada akhir Desember 1967 milik perusahaan Inggris, Perancis, Belgia dan
Pada masa Orde Lama perkebunan kelapa sawit relatif sangat terlantar,
karena tidak ada peremajaan dan rehabilitasi pabrik. Akibatnya produksi menu-
minyak sawit nomor satu di dunia sejak tahun 1966 telah digeser oleh Malaysia
hingga sekarang ini. Pada masa Orde Baru telah mulai membangun kembali
bangun perkebunan kelapa sawit dengan berbagai pola. Sejak tahun 1975
adalah pola Unit Pelaksana Proyek (UPP) dan Proyek Pengembangan Perke-
bunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU). Kemudian pada periode tahun 1977/
1978 dikembangkan pola proyek NES (Nucleous Estate Smallholder) atau PIR-
BUN (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan), antara lain : PIR Lokal, PIR Khusus,
PIR Berbantuan. Sejak tahun 1984 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Per-
dengan pola PIR. Selanjutnya pada tahun 1986 muncul lagi pola PIR-TRANS.
dengan pola PIR harus dikaitkan dengan program transmigrasi (Tim PS, 1994).
47
kontribusi yang berarti bagi perekonomian Indonesia, peran industri kelapa sawit
tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dalam pembangunan daerah,
sawit dari pola investasi pemerintah ke pola investasi gabungan pemerintah dan
pemerintah juga memberikan fasilitas dan kemudahan bagi investor swasta untuk
sarana (infrastruktur) pendukung dan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) paling
sedikit selama 35 tahun. Implikasi pola investasi ini mengakibatkan laju pening-
katan luas areal perkebunan kelapa sawit milik swasta dan swadaya meningkat
tajam.
kan dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) telah mengakibatkan penyebaran
tetapi juga pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Perkembangan luas areal
an, restoran dan lain-lain. Semakin luasnya areal perkebunan kelapa sawit dan
semakin tingginya harga minyak kelapa sawit di pasaran internasional telah men-
tahun terakhir ini. Harga minyak kelapa sawit yang tinggi akan berdampak pada
peningkatan harga TBS (Tandan Buah Segar) yang diterima petani peserta PIR
dan swadaya. Bila harga TBS meningkat maka pendapatan petani juga akan
semakin besar, sehingga secara umum pendapatan petani kelapa sawit menjadi
kelapa sawit mulai dari proses agronomis, penanganan pasca panen dan peng-
yang lebih ekonomis. Sehingga industri kelapa sawit menjadi sektor yang bersi-fat
labor intensive yang sangat penting peranannya sebagai peyedia lapangan kerja.
Sebagai salah satu komoditi ekspor nonmigas, industri kelapa sawit telah ikut
18,10 % per tahun dan terhadap ekspor nonmigas mencapai 8,08 % per tahun.
(Rifai, 2001)
kelapa sawit semakin penting, karena minyak goreng yang berasal dari minyak
terjadinya krisis minyak kelapa pada era tahun 1970-an. Sehingga stabilitas
49
pasokan minyak kelapa sawit untuk industri minyak goreng semakin penting
peranannya dalam menjaga stabilitas harga minyak goreng domestik. Maka untuk
menjaga stabilitas pasokan bahan baku industri minyak goreng, pemerintah telah
turut serta dalam pengaturan perdagangan kelapa sawit untuk pasar domestik dan
kelapa sawit (CPO) juga banyak digunakan oleh industri-industri hilir yang dapat
lotion, pomade, juga banyak menjadikan CPO sebagai bahan baku karena
mengandung vitamin A yang mudah diabsorbsi dan kaya vitamin E yang dike-
tahui sebagai oksidan yang bertindak sebagai proaktif. Pada industri ringan
minyak kelapa sawit banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun,
semir sepatu, lilin, detergen, tinta cetak dan lain-lain. Kemudian untuk industri
berat seperti industri tekstil, CPO digunakan sebagai bahan pelembut dan flek-
sibel karena mudah dihilangkan, pada industri otomotif CPO digunakan sebagai
bahan pelumas karena tahan pada tekanan dan suhu yang tinggi dan pada
indutsri kawat digunakan sebagai cold rolling dan fluxing agent, serta sebagai
bahan pemisah biji tembaga dan cobalt pada industri perak. Tandan kosong dan
serabut kelapa sawit dapat digunakan oleh industri kertas dan pupuk. Cairan
limbah dapat digunakan sebagai pupuk dan daun kelapa sawit digunakan sebagai
hijauan makanan ternak. Secara lebih jelas industri-industri dan produk yang
dihasilkan dari tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada pohon industri kelapa
berhubungan secara langsung dengan petani selaku pemilik lahan dan secara
bunan kelapa sawit. Begitu juga pada perkebunan pemerintah dan swasta yang
dalam hal ini petani berperan sebagai tenaga kerja dalam setiap tahap kegiatan
budidaya atau produksi kelapa sawit. Oleh karena itu petani merupakan salah
kelapa sawit, dan juga mempengaruhi peningkatan produksi kelapa sawit. Namun
sampai saat ini perlakuan yang kurang atau tidak adil masih merupakan problema
kebijakan pajak ekspor yang berpengaruh negatif atau buruk terhadap penda-
patan riil petani, dimana peningkatan pajak ekspor sebesar 1 juta Rupiah akan
berakibat pada penurunan pendapatan petani sebesar 0,1 ton yang hampir sama
dengan perkebunan besar negara. Ini tentunya menunjukkan kondisi yang tidak
adil bagi petani. Pendapatan antara petani perkebunan rakyat relatif lebih besar
bila dibandingkan dengan perkebunan besar negara (inti), hanya tahun 1998 lebih
kecil, yakni 46,56 % Namun mengingat lebih besarnya jumlah petani yang
51
melakukan usaha, dengan kata lain yang menggantungkan hidupnya pada kelapa
sawit lebih banyak daripada perkebunan besar dan juga terlihat dari tahun ke
suatu keadilan. Untuk lebih jelasnya kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3
berikut ini.
(%) (%)
kesejahteraan petani yang selama ini belum bisa menikmati keuntungan seba-
gaimana yang dinikmati oleh pemerintah dan pengusaha. Kebijakan yang seadil-
itu sendiri.
52
akan ditinjau dari beberapa aspek penting, yakni penyebaran perkebunan kelapa
1988 sebesar 96,27 % total produksi CPO perkebunan kelapa sawit Indonesia
Dan dapat juga dilihat bahwa pada tahun 1988 perkebunan kelapa sawit baru
masih tetap menjadi sentra utama produksi kelapa sawit Indonesia, dan pulau-
pulau lain juga telah menunjukkan perkembangan. Hal ini terlihat terjadinya
peningkatan produksi kelapa sawit di Kalimantan yang telah mencapai 8,13 % dari
53
total produksi CPO Indonesia, Sulawesi 1,69 %, Irian Jaya 0,95 % dan Jawa Barat
masih terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 luas areal perkebunan
kelapa sawit di pulau Sumatera sebesar 75,49 % dari total luas areal perkebunan
kelapa sawit Indonesia dengan pangsa produksi 87,98 % dari produksi nasional.
pergeseran dari propinsi Sumatera Utara kelapa sawit propinsi Riau, yang mana
dapat dilihat dari pangsa luas areal perkebunan kelapa sawit Riau yang mencapai
20,73 % dari luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia, sedangkan Sumatera
luas areal perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 18,97 %, disusul oleh
Sulawesi, Irian jaya dan Jawa masing-masing 3,87 %, 1,00 % dan 0,68 %
dimana kedua propinsi tersebut memiliki luas lahan yang berpotensi baik untuk
daerah lain. Hampir seluruh propinsi di Kalimantan memiliki arel berpotensi baik
untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kemudian Irian Jaya dan Riau.
Bengkulu 409 -
mendatang akan semakin pesat dan cenderung dikuasai oleh perkebunan swasta
dan rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh luas areal perkebunan kelapa sawit dengan
keadaan tanaman belum menghasilkan (TBM) untuk tahun 1998 mencapai 39,06
% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia pada berbagai pola
pengusahaan.
Perkebunan swasta nasional dan asing memiliki luas areal TBM 61,39 %
dari total luas areal TBM di Indonesia. Sementara itu, perkebunan rakyat baik
Sedangkan perkebunan pemerintah hanya memiliki 6,25 % luas areal TBM dari
luas areal TBM di Indonesia. Sehingga sesuai dengan sifat agronomis tanaman
55
kelapa sawit yang berproduksi 4-5 tahun setelah tanam, dapat diperkirakan
kelapa sawit di Indonesia. Untuk lebin jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Luas Areal
b. PRPTE - - - - -
c. UPP Perbantuan - - - - -
d. Partial - - - - -
b. Inti - - - - -
: TM : Tanaman Menghasilkan
sawit dengan pola perkebunan rakyat telah berkembang, tidak hanya perkebun-an
sebagai plasma dari pengembangan pola PIR tetapi juga telah berkembang
57
perkebunan rakyat dengan pola swadaya murni. Hal ini menunjukkan bahwa
petani Indonesia telah memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam memilih
Negara (PBN). Pada tahun 1988 terjadi pergeseran pola investasi menjadi
Trans, setelah tahun 1994 diberikan peluang bagi masyarakat untuk berusaha di
asing (PMA) di bidang perkebunan kelapa sawit. Pergeseran pola investasi ini
Pada tahun 1976, luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah
179.887 ha. Pemerintah melalui PBN menguasai 67,89 % dari luas areal terse-
but. Sampai pada tahun 1988 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia
masih dikuasai oleh pemerintah yakni sebesar 43,28 % dari total luas areal
bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka pada tahun 2000 perkebunan
kelapa sawit Indonesia telah dikuasai oleh perkebunan swasta dan perkebunan
rakyat, hal ini terlihat dari 3.174.726 Ha total luas areal perkebunan kelapa sawit
Sumber : Dirjend. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit), 2000
dalam menunjang perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dan terlihat
Perkembangan luas areal perkebunan rakyat dan swasta yang pesat merupakan
Unit Pelayanan Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan pola
60
dikembangkan pola perkebunan non PIR (HGU) dan pola inti-plasma (PIR).
meningkat sepuluh kali, yaitu dari 433.880 ton pada tahun 1976 menjadi
6.226.425 ton pada tahun 2000, dengan pertumbuhan rata-rata 11,87 % per
swasta dan rakyat yang dimulai dari tahun 1988, telah mengakibatkan pangsa
produksi CPO perkebunan swasta lebih besar dari pangsa produksi perkebunan
masih mendominasi produksi CPO di Indonesia dan pada tahun 1994 pangsa
produksi CPO swasta sebesar 39,01 % yang menggeser pangsa produksi CPO
sebesar 20,50 % dari total produksi CPO Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat
Sumber : Dirjend. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit), 2000
buhan produksi CPO perkebunan rakyat lebih besar dari perkebunan swasta dan
pemerintah, yakni masing-masing sebesar 82,8 % PR, 13,60% PBS dan 7,72 %
per tahun, dimana lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor CPO dunia yang hanya
8,29 % per tahun. Tingginya peningkatan ekspor CPO Indonesia selama periode
CPO Indonesia terhadap rata-rata ekspor CPO dunia sebesar 13,32 % per tahun.
Pada tahun 1976 pangsa ekspor CPO Indonesia sebesar 19,05 % terhadap total
era 1990-an mengalami perubahan atau peningkatan. Hal ini selain disebab-kan
63
oleh peningkatan produksi yang cukup tinggi juga disebabkan oleh dukung-an
bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan bahan baku industri minyak goreng,
maka pemerintah melakukan subtitusi dari bahan baku kelapa menjadi bahan
baku CPO. Dengan demikian ekspor CPO dibatasi dan lebih diorientasikan
juga disebabkan oleh peningkatan produksi CPO Indonesia pada periode yang
sama yang mengalami pertumbuhan rata-rata dari 12,94 % per tahun menjadi
19,16 % per tahun. Pencabutan kuota ekspor dan penjualan CPO domestik pada
tahun 1991 juga memicu peningkatan ekspor CPO Indonesia, maka untuk
produk turunannya pada tahun 1994. Kebijakan tersebut ternyata hanya mampu
menekan ekspor CPO Indonesia sampai pada tahun 1995, lalu pada tahun 1996
ekspor CPO Indonesia kembali meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kabijakan
pajak ekspor tidak memberikan respon yang berarti dalam membatasi ekspor
terjadinya kenaikan ekspor CPO Indonesia. Disamping itu juga, nilai tukar Rupiah
terhadap USD sebagai alat pembayaran dalam ekspor lebih menarik eksportir,
sehingga nilai tukar Rupiah terhadap USD yang terus meningkat secara parsial
64
lebih jelasnya tentang perkembangan produksi, ekspor CPO Indonesia, nilai tukar
Rupiah terhadap USD dan ekspor CPO di dunia tahun 1976-2000 dapat dilihat
14000.00
13000.00
12000.00
11000.00
10000.00
9000.00
8000.00
7000.00
6000.00
5000.00
4000.00
3000.00
2000.00
1000.00
0.00
1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Prod (000 Ton) Ekspor Indo (000 Ton) Ekspor Dunia (000 Ton) ERI Rp/USD
Secara agregat pada Gambar 8 di atas dapat dilihat bahwa volume ekspor
CPO Indonesia padat tahun 1976 sebesar 405,6 ribu ton yang kemudian
65
meningkat menjadi 3.700 ribu ton pada tahun 2000. Selama periode 1976-2000
nila tukar Rupiah terhadap USD mengalami pertumbuhan 15,66 % per tahun.
Terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap USD pada tahun 1998 sebagai
imbas dari krisis yang menimpa perekonomian Indonesia, seharusnya daya saing
ekspor CPO Indonesia dari sisi harga di pasaran internasional akan mengalami
penurunan yang cukup drastis, hal ini terjadi sebagai akibat dari pemerintah yang
melakukan kuota ekspor CPO Indonesia dan penetapan pajak ekspor tertinggi
guna untuk membatasi laju ekspor CPO yang dapat meng-ganggu stabilitas
nabati lainnya. Pada Gambar 9, dapat dilihat perkembagan harga CPO di pasar
domestik yang merupakan rata-rata dari harga tender KPB yang dilaku-kan setiap
minggu berfluktuasi setiap tahun, demikian juga dengan harga ekspor dan rata-
rata harga dunia. Antara tahun 1980-1984 harga CPO di pasar domes-tik dan
harga dunia cenderung meningkat dan tahun 1984 merupakan harga puncak CPO
Setelah melewati harga puncak tersebut, harga CPO baik di pasar domestik
oleh beberapa faktor penting yang berkaitan dengan situasi ekonomi dan politik
dunia. Antara lain adalah terjadinya booming produksi minyak kelapa sawit (CPO)
66
dan booming minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai dan minyak rape.
perkebunan kelapa sawit, sehingga pada tahun 1984-1985 luas areal perkebunan
Faktor lain yang mempengaruhi melemahnya harga CPO pada tahun 1985
adalah situasi politik dunia seperti krisis Timur Tengah, yang menuntut negara-
negara maju melakukan impor minyak bumi besar-besaran, sehingga impor CPO
proteksi pemerintah terhadap minyak kedelai dan minyak rape di Amerika dengan
meningkat terhadap pasokan minyak nabati dunia (Kosasih, 1990 dalam Rifai,
2001)
Pasar minyak kelapa sawit dunia semakin membaik setelah adanya upaya
pencabutan subsidi ekspor terhadap minyak kedelai dan minyak rape yang
banyak diproduksi oleh negara-negara Erofa dan Amerika. Sehingga pada tahun
1993 harga CPO mulai merangkak naik walaupun masih berfluktuasi pada tahun
1996. Perbaikan harga CPO ini semakin membuka peluang pasar CPO di
pasaran dunia, maka volume ekspor CPO Indonesia juga mengalami peningkatan.
Perkembangan harga CPO di pasar domestik dan harga dunia seperti pada
Selain tingkat harga dunia, harga ekspor CPO Indonesia juga akan
ditentukan oleh tingkat nilai tukar mata uang Rupiah terhadap USD. Sehingga
apabila nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah (terdepresiasi) dalam kondisi
harga yang tetap mengakibatkan harga ekspor yang dinilai dengan Rupiah
semakin tinggi. Kondisi seperti ini akan mendorong laju ekspor CPO Indonesia
juga berkorelasi positif secara parsial dengan harga CPO dunia, hal ini
menentukan tingkat harga CPO dunia. Demikian juga halnya dengan haga CPO
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya seperti
minyak kedelai, minyak rape, minyak kelapa dan minyak bunga matahari. Harga
yang lebih rendah ini menjadikan kemampuan daya saing minyak kelapa sawit
menjadi lebih tinggi dari minyak nabati lainnya, apalagi kemampuan subtitusinya
yang sama dengan minyak nabati lain. Kondisi inilah yang menja-dikan CPO
semakin baik. Perkembangan harga CPO domestik dan harga dunia CPO dilihat
Minyak kelapa sawit (CPO) yang dhasilkan oleh pabrik pengolahan kelapa
sawit dipasarkan pada pasar domestik dan pasar ekspor. Memperhatikan sistem
distribusi CPO pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa CPO produksi perkebunan
dalam pemasaran CPO, yakni : (1) produsen yang berkewajiban untuk memenuhi
dan petani pekebun peserta PIR, yang mana kelompok ini disebut juga dengan
memasok CPO bagi kebutuhan industru domestik, atau dikatakan juga dengan
Lebih jauh sistem distribusi CPO tersebut dapat dilihat bahwa KPB akan
pekebun peserta PIR baik untuk kebutuhan industri minyak goreng domestik milik
jasa perusahaan ekspor lokal (broker lokal) seperti PT. Indoham dan broker luar
oleh KPB biasanya dilakukan melalui tender yang dilakukan setiap minggu,
seperti industri minyak goreng milik perusahaan swasta baik yang memiliki kebun
dan pengolahan TBS, maupun industri yang tidak memiliki kebun kelapa sawit.
kebutuhan industri pemroses CPO perusahaan itu sendiri, atau dijual ke pasar
harga di pasar ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan harga CPO domestik.
peserta PIR mendapat beban yang lebih berat daripada perusahaan perkebunan
70
swasta, karena pada saat kondisi pasar domestik baik (harga CPO domestik
tinggi) atau pasar ekspor yang lesu, maka industri-industri pemroses yang
menggunakan bahan baku CPO akan menggunakan CPO produksi kebun sendiri,
sedangkan produksi CPO perkebunan pemerintah dan pekebun peserta PIR akan
menumpuk atau diekspor dengan kondisi pasar yang lebih buruk. Sedangkan
apabila pasar ekspor baik, maka pemroses CPO swasta akan membeli CPO
produksi perkebunan pemerintah dan pekebun peserta PIR melalui KPB dan
seiring dengan peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit, dimana terbukti
pada tahun 1976 hanya 433,88 ribu ton yang kemudian meningkat menjadi
6226,425 ribu ton pada tahun 2000. Peningkatan penawaran CPO tersebut tentu
penawaran CPO di Indonesia yang dianalisis dengan sistem 2SLS disajikan dalam
Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi penawaran CPO di
dimana F tabel (6,18) (0,05) adalah 2,59, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini
analisis sebesar 0,99906, artinya bahwa 99,906 % dari variabel penawaran CPO
di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam model.
itu dalam persamaan simultan tidak dilakukan uji multikolinieritas (Gujarati, 1997).
Nilai d diperoleh dari hasil analisis dari uji d-Durbin Watson adalah 1,900 (pada
taraf nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63) berarti nilai d statistik ini berada diantara
dU dan 4-dU (dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan tidak terjadinya serial korelasi.
Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model yang digunakan dalam fungsi penawaran CPO di Indonesia dapat
Harga CPO domestik secara jelas menunjukkan pengaruh yang tidak nyata
terhadap penawaran CPO di Indonesia. Hal ini berarti bahwa peningkatan atau-
pun penurunan jumlah penawaran CPO di Indonesia tidak dipengaruhi oleh besar
kecilnya penurunan maupun peningkatan harga CPO domestik Indonesia. Hal ini
wajar karena produsen CPO terutama perkebunan besar negara dan perkebunan
rakyat sudah terikat pada kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO bagi
CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi harga minyak kelapa domestik tidak akan menyebabkan turunnya jumlah
sebesar 407,54 ton. Hal ini terjadi karena minyak kelapa belum atau kurang
Harga pupuk dalam hal ini sebagai harga input menunjukkan pengaruh yang
penawaran CPO di Indonesia. Hal ini terjadi karena produsen kelapa sawit dalam
menawarkan atau memproduksi CPO tidak terpengaruh oleh naik turunnya harga
pupuk sebab mereka harus memenuhi pasokan CPO bagi industri domestik. Dan
peningkatkan produksi.
yang sangat nyata dan mempunyai hubungan positif terhadap penawaran CPO di
Indonesia pada taraf nyata 0,05, dimana koefisien regresinya sebesar 2,02.
Artinya adalah kenaikan luas lahan kelapa sawit seluas 1 ha akan meningkatkan
jumlah penawaran CPO di Indonesia sebesar 2,02 ton. Hal ini jelas bahwa tujuan
74
produsen dalam menambah luas lahan adalah untuk meningkatkan produksi dan
produsen menganggap bahwa luas lahan merupakan salah satu modal yang
terhadap penawaran CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05, dimana koefisien
regresinya 698,22. Hal ini berarti bahwa peningkatan produktivitas lahan sebesar
Indonesia sebesar 698,22 ton, karena semakin tinggi tingkat produktivitas lahan
semakin tinggi pula produksi yang dihasilkan dan dengan teknologi tinggi
kelapa sawit yang selalu mengadakan perluasan lahan kelapa sawit guna untuk
menggambarkan bahwa penawaran CPO akan meningkat sebesar 0,04 ton bila
penduduk Indonesia per kapita. Secara umum terlihat bahwa dari tahun 1976-
Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi permintaan CPO di
Nilai F hitung yang diperoleh sebesar 48,47675, dimana F tabel (5,19) (0,05) adalah
2,74, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa semua
Koefesien determinasi yang diperoleh dari hasil analisis sebesar 0,95698, artinya
bahwa 95,698 % dari variabel permintaan CPO di Indonesia dapat dijelaskan oleh
dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Nilai d
yang diperoleh dari hasil analisis dari uji d-Durbin Watson sebesar 1,953 (pada
taraf nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63), berarti nilai d ini berada diantara d U
dan 4-dU (dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan tidak terjadinya serial korelasi.
Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model yang digunakan dalam fungsi permintaan CPO di Indonesia dapat
negatif terhadap permintaan CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefisien
regresinya sebesar -1854,94, ini berarti bahwa semakin tinggi harga CPO
permintaan CPO di Indonesia sebesar 1854,94 ton. Secara teori jelas bahwa
dengan asumsi faktor-faktor lain tetap, maka kenaikan harga suatu barang akan
karena konsumen akan memilih barang subtitusi yang memiliki harga yang relatif
lebih rendah.
taan CPO di Indonesia. Ini berarti bahwa kenaikan maupun penurunan harga
maupun penurunan jumlah permintaan CPO di Indonesia, hal ini wajar karena
77
permintaan CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05, koefesien regresinya -0,40.
Hal ini menunjukkan bahwa naiknya penawaran CPO di Indonesia sebesar 1 ton
sebesar 0,40 ton. Kondisi ini terjadi karena jumlah penawaran produksi yang
harga CPO domestik akan meningkat sehingga permintaan akan CPO tersebut
yang tidak nyata terhadap jumlah permintaan CPO di Indonesia. Hal ini berarti
karena CPO pada umumnya dikonsumsi oleh industri minyak goreng yang
menggunakan bahan baku CPO dan perusahaan lain yang menggunakan bahan
5. Pendapatan (I)
dan mempunyai hubungan yang positif terhadap penawaran CPO di Indonesia pada
taraf nyata 0,05, dimana koefesien regresinya 11,05. Ini berarti bahwa peningkatan
Hal ini jelas bahwa pendapatan penduduk merupakan pertimbangan penting bagi
goreng.
lami peningkatan yang cukup pesat dengan pertumbuhan rata-rata 22,36 % per
Indonesia terhadap rata-rata ekspor CPO dunia sebesar 13,32 % per tahun.
Indonesia yang dianalisis dengan sistem 2SLS disajikan dalam Tabel 10.
79
Tabel 10. Hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi ekspor CPO Indonesia.
Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi ekspor CPO
Nilai F hitung yang diperoleh sebesar 37,93608, dimana F tabel (5,19) (0,05) adalah
2,74, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa semua
0,90901, artinya bahwa 90,90 % dari variabel ekspor CPO Indonesia dapat
sisanya 9,10 % dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam
model. Nilai d yang diperoleh dari uji d-Durbin Watson adalah 1,650 (pada taraf
nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63), berarti nilai d ini berada diantara d U dan 4-dU
(dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi serial korelasi.
Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model yang digunakan dalam fungsi ekspor CPO di Indonesia dapat
nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf
nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 2284,77, ini berarti bahwa semakin
tinggi harga dunia CPO akan menambah jumlah ekspor CPO Indonesia dalam
artian bahwa peningkatan harga dunia CPO sebesar US$ 1,- akan dapat
menambah jumlah ekspor CPO Indonesia sebesar 2284,77 ton. Secara teori jelas
pasaran dunia semakin tinggi. Hal ini juga sejalan dengan teori Kindleberger
(1982), bahwa kuantitatif suatu produk yang diekspor mempunyai hubungan yang
positif dengan harga dunia dari produk tersebut, dalam artian naik turunnya harga
sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO Indonesia pada
taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 3211,09 , ini berarti semakin tinggi
harga CPO domestik akan mempengaruhi naiknya jumlah ekspor CPO Indonesia
dalam artian bahwa peningkatan harga CPO domestik sebesar Rp 1,- akan dapat
meningkatkan jumlah ekspor CPO Indonesia sebesar 3211,09 ton. Hal ini terjadi
permintaan dunia.
berpengaruh sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO
Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 0,21, ini berarti
bahwa semakin tinggi jumlah penawaran atau produksi CPO di Indonesia akan
CPO di Indonesia sebesar 1 ton akan dapat meningkatkan jumlah ekspor CPO
Indonesia sebesar 0,21 ton. Hal ini jelas bahwa meningkatnya jumlah produksi
CPO di Indonesia tentunya kemampuan dan jumlah ekspor CPO akan semakin
meningkat. Kondisi ini sejalan dengan upaya pemeritah yang terus memacu laju
terhadap US$ berpengaruh sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap
ekspor CPO Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar
308,42, ini berarti bahwa semakin tinggi nilai tukar Rupiah nominal terhadap US$
maka akan semakin tinggi pula jumlah ekspor CPO Indonesia dalam artian bahwa
peningkatan nilai tukar Rupiah sebesar Rp 1,- akan dapat menambah jumlah
ekspor CPO Indonesia sebesar 308,42 ton. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
nilai tukar berpengaruh nyata terhadap ekspor suatu komoditi atau produk.
82
dan memiliki hubungan negatif terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf nyata
0,05. Koefesien regresinya sebesar -14964,04, ini berarti bahwa semakin tinggi
nilai proteksi nominal akan menurunkan jumlah ekspor CPO Indonesia dalam
mengurangi jumlah ekspor CPO Indonesia sebesar 14964,04 ton. Hal ini jelas,
karena nilai proteksi nominal ini oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi
konsumen CPO di Indonesia agar kebutuhannya akan CPO sebagai bahan baku
industri minyak goreng dapat terpenuhi dan menstabilkan harga CPO domestik.
Harga CPO di pasar domestik merupakan rata-rata dari harga tender KPB
yang dilakukan setiap minggu, pada tahun 1980-1984 harga CPO di pasar domestik
kondisi ini dipengaruhi oleh perkembangan harga CPO di pasaran dunia, jumlah
ekspor CPO, permintaan CPO domestik, nilai tukar Rupiah, tingkat proteksi
nominal dan harga CPO domestik tahun sebelumnya. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi harga CPO domestik yang dianalisis dengan sistem 2SLS disajikan
Tabel 11. Hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi harga CPO domestik Indonesia.
Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi harga CPO
Nilai F hitung yang diperoleh sebesar 362,02831, dimana F tabel (6,18) (0,05) adalah
2,66, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa semua
variabel bebas yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap harga CPO domestik
0,99178, artinya bahwa 99,178 % dari variabel harga CPO domestik Indonesia
dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam model. Sedangkan
dalam model. Nilai d yang diperoleh dari uji d-Durbin Watson adalah 1,444 (pada
taraf nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63), berarti nilai d statistik ini berada diluar d U
dan 4-dU (dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya serial korelasi, hal
ini wajar karena adanya faktor lag atau nilai keterlambatan namun hal tersebut
Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model yang digunakan dalam fungsi harga CPO domestik Indonesia dapat
nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf
nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 0,61, ini berarti bahwa semakin tinggi
harga dunia CPO akan meningkatkan harga CPO domestik dalam artian bahwa
peningkatan harga dunia CPO sebesar US$ 1,- akan dapat meningkatkan harga
CPO domestik Indonesia sebesar Rp 0,61,-. Secara teori jelas, apabila harga
suatu produk di pasaran dunia semakin tinggi maka kecenderungan harga produk
domestik akan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena produsen dalam melakukan
sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap harga CPO domestik
Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 8,53, ini berarti
bahwa semakin tinggi ekspor CPO Indonesia akan menyebabkan naiknya harga
CPO domestik Indonesia dalam artian bahwa peningkatan jumlah ekspor CPO
Indonesia sebesar 1 ton, maka akan dapat menaikkan harga CPO domestik
meningkat sebagai akibat jumlah CPO di dalam negeri sedikit atau berkurang.
pengaruh yang tidak nyata terhadap harga CPO domestik Indonesia. Hal ini
Indonesia. Hal ini wajar karena produsen atau pengusaha kelapa sawit di dalam
adanya perubahan dari permintaan akan CPO, sebab konsumen CPO itu sendiri
Dari hasil analisis jelas bahwa nilai tukar Rupiah nominal menunjukkan
pengaruh yang tidak nyata terhadap harga CPO domestik Indonesia. Hal ini
Indonesia dalam artian walaupun nilai tukar Rupiah nominal terhadap US$
penurunan nilai uang dalam negeri (Rupiah) tidak akan mempengaruhi harga CPO
di pasar internasional.
sangat nyata dan memiliki hubungan negatif terhadap harga CPO domestik
Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar –3,26, ini berarti
bahwa semakin tinggi nilai proteksi nominal akan menurunkan harga CPO domesti
akan dapat menurunkan harga CPO domestik Indonesia sebesar Rp 3,26. Hal
dikarenakan nilai proteksi nominal ini oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi
berpengaruh nyata dan memiliki hubungan negatif terhadap harga CPO domestik
Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar -0,12, ini berarti
bahwa semakin tinggi harga CPO domestik tahun sebelumnya maka akan
harga CPO domestik tahun sebelumnya sebesar Rp 1,- akan dapat menurunkan
Perdagangan CPO baik di dalam negeri maupun di luar negeri secara umum
Hal ini jelas, karena perdagangan CPO dapat memberikan sumbangan devisa bagi
pemerintah dan keuntungan bagi pengusaha perkebunan besar swasta. Akan tetapi,
keuntungan tersebut sampai saat ini belum bisa dirasakan suatu dampak yang
berarti bagi kehidupan petani, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Walaupun sebagian kecil petani yang bisa menikmati keuntungan dari adanya
petani yang memiliki lahan yang luas sebagai produsen yang langsung
luas lahan perkebunan kelapa sawit yang sejalan dengan peningkat-an produktivitas
Di sisi lain, dampak kebijakan perdagangan dalam hal ini pemberian pajak
ekspor yang terlalu tinggi, bisa berakibat terjadinya penyelundupan CPO itu
sendiri. Hal ini terjadi karena pengusaha lebih memiliki keuntungan yang berlipat
ganda dengan melakukan praktek ekspor gelap ini, sehingga bisa dikatakan bahwa
pengenaan pajak ekspor tersebut tidak berjalan efektif karena pengusaha lebih mau
memilih jalan pintas untuk menyelundup CPO ke luar negeri dan pengusaha sangat
pajak ekspor dalam perdagangan CPO dan turunannya merupakan suatu dampak
yang buruk bagi petani, hal ini dilihat sebagai suatu perampokan terhadap rezeki
yang semestinya dinikmati oleh petani. Pada saat pajak ekspor CPO sebesar 60 %
mengakibatkan kerugian ekonomis yang mencapai 11,8 triliun bagi petani dan
Selama ini petani kelapa sawit tidak atau belum pernah merasakan rezeki dari
naiknya harga produk kelapa sawit di pasaran internasional. Adanya pajak ekspor
yang tinggi, berujung pada pembebanan pada petani dimana harga pem-belian
Tandan Buah Segar (TBS) dari petani oleh pengusaha tetap rendah atau tidak ada
11,8 triliun yang ditarik dari pajak ekspor minyak sawit tersebut kepada petani
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui penerapan perusahaan inti
rakyat perkebunan secara lebih spesifik untuk pengembangan kelapa sawit. Pola
PIR-BUN ini dibiayai oleh Bank Dunia atau dana dari pemerintah. Kemudian
untuk lebih menunjang pemberdayaan petani ini pemerintah menerapkan pola PIR-
TRANS berupa sistem inti-plasma atau yang dikaitkan dengan pelaksanan program
dahulu oleh Perusahaan Inti. Kemudian pada saat kebun plasma tersebut
alih oleh Bank Pemerintah dan bank-bank lainnya yang telah disetujui oleh Bank
Indonesia. Kondisi ini dapat dibuktikan dari perkembangan luas lahan yang pesat
dari perkebunan rakyat, dimana pada tahun 2000 petani menguasai lahan kelapa
sawit sebesar 33,16 % terhadap total luas lahan kelapa sawit Indonesia dengan total
luas areal petani atau perkebunan rakyat mencapai 1.052.796 hektar dari 3.174.726
hektar. Akan tetapi, produksi CPO perkebunan rakyat pada tahun 2000 masih
pengolahan kelapa sawit, sehingga petani yang selama ini hanya bisa memproduksi
tandan buah segar (TBS) berubah menjadi petani yang mampu menghasilkan CPO.
Dan diharapkan kebijakan harga TBS juga merupakan perhatian yang besar
89
disamping kebijakan harga CPO. Sehingga petani bisa ikut merasakan dampak
7.1. Kesimpulan
nyata adalah harga minya kelapa domestik, luas lahan kelapa sawit dan tingkat
teknologi pertanian. Sedangkan harga CPO domestik, harga input (pupuk) dan
nyata adalah harga CPO domestik, jumlah penawaran CPO dan pendapatan
penduduk per kapita. Sedangkan harga minyak kelapa domestik dan jumlah
adalah harga dunia CPO, harga CPO domestik, jumlah penawaran CPO, nilai
tukar Rupiah terhadap USD dan tingkat proteksi nominal (semua faktor
harga dunia CPO, jumlah ekspor CPO Indonesia, tingkat proteksi nominal dan
dan nilai tukar Rupiah terhadap USD tidak berpengaruh secara nyata.
91
7.2. Saran-saran
1. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan CPO baik di dalam negeri
efisiensi berproduksi dan produktivitas lahan akan lebih meningkat. Hal ini
merupakan salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan produksi kelapa
sawit.
produsen dan eksportir minyak kelapa sawit (CPO) nomor satu di dunia, maka
diarahkan pada pulau Kalimantan dan Irian Jaya, karena kedua pulau ini
memiliki luas areal yang berpotensi besar/ baik dan sangat luas untuk
No Propinsi Tahun
1987 1988 1989 1990 1997 1998 1999 2000
120.26 131.94 162.03 328.30 36.107 376.97 395.50
1 D.I Aceh 92.434 6 2 3 9 0 6 3
Sumatera 1.100.2 1.217.1 1.432.3 1.701.6 2.281.4 2.330.1 2.393.5 2.443.9
2 Utara 92 35 86 62 23 18 94 55
Sumatera 218.27 259.32 369.61 387.47
3 Barat 15.291 27.830 30.839 43.968 9 3 8 4
172.38 206.32 176.27 234.04 1.185.9 1.184.0 1.272.4 1.307.2
4 Riau 9 7 9 2 49 81 67 86
255.50 289.26 314.39 326.66
5 Jambi 777 21.557 12.686 32.479 2 6 3 0
Sumatera 353.58 376.09 402.72 432.72
6 Selatan 25.239 29.473 50.132 72.041 2 3 4 8
7 Bengkulu - 459 531 925 78.908 85.730 79.299 97.782
8 Lampung 43.038 26.591 34.160 37.340 65.882 63.986 73.825 86.727
1.449.4 1.649.6 1.868.9 2.284.4 4.767.8 4.949.6 5.282.8 5.478.1
SUMATERA 60 38 55 90 34 67 96 15
9 Jawa Barat 14.824 15.204 20.213 22.058 33.378 31.924 23.851 26.569
JAWA 14.824 15.204 20.213 22.058 33.378 31.924 23.851 26.569
Kalimantan 295.44 352.03 396.53 409.05
10 Barat 40.175 42.332 62.024 72.200 7 6 9 9
Kalimantan
11 Selatan - - 2.623 2.683 32.646 32.873 28.991 30.207
Kalimantan
12 Tengah 17 16 181 18 37.198 37.239 33.515 45.052
Kalimantan
13 Timur 1.579 4.308 3.903 16.979 71.877 68.696 72.178 76.494
437.16 490.84 531.22 560.81
KALIMANTAN 41.771 46.656 68.731 91.880 8 4 3 2
Sulawesi
14 Tengah - - - - 19.739 20.239 20.573 26.901
Sulawesi
15 Selatan - 1649 6353 8.201 71.086 99.131 77.221 81.257
119.37 108.15
SULAWESI - 1649 6353 8.201 90.825 0 97.794 8
16 IRIAN JAYA 188 702 5.983 51.242 48.349 53.419 52.771
1.506.0 1.713.3 1.964.9 2.412.6 5.380.4 5.640.1 5.989.1 6.226.4
INDONESIA 55 35 54 12 47 54 83 25
Sumber : Dirjen. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia -
Kelapa Sawit), 2000
93
Lampiran 10. Data Penelitian Analisis Penawaran dan Permintaan Minyak Kelapa
Sawit Di Indonesia
TAH TPE PDM PDC PWC NP PDCP
UN LLKS QSCPO JP PIN R K ERI QDCPO XCPO PO PO I R QCPOL OL
179887, 433880, 135200 74,0 2412, 225,0 415,0 28280,0 405600, 346,0 397,3 15035, 12, 411389, 352,0
1976 00 00 ,00 0 00 0 0 0 00 0 3 00 92 00 0
181741, 497438, 138300 71,0 2370, 242,0 625,0 92840,0 404598, 343,0 530,0 18332, 35, 433880, 346,0
1977 00 00 ,00 0 00 0 0 0 00 0 8 00 29 00 0
206577, 524956, 141580 72,0 2541, 263,0 627,0 112960, 411996, 278,0 600,3 21854, 53, 497438, 343,0
1978 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 3 00 69 00 0
260939, 641420, 144900 76,0 2458, 298,0 626,8 280120, 361300, 329,0 653,8 30541, 49, 524956, 278,0
1979 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 3 00 68 00 0
294560, 721172, 148350 70,0 2448, 341,0 644,0 218270, 502902, 352,0 583,0 43435, 39, 641420, 329,0
1980 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 8 00 63 00 0
318957, 800060, 154200 70,0 2508, 383,0 692,5 603660, 196400, 380,0 570,6 56197, 33, 721172, 352,0
1981 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 7 00 41 00 0
329901, 886820, 157500 70,0 2688, 430,0 994,0 627320, 259500, 357,0 445,0 60496, 19, 800060, 380,0
1982 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 8 00 79 00 0
405646, 982987, 160800 90,0 2423, 449,0 1074, 637190, 345797, 283,0 501,4 74340, 43, 886820, 357,0
1983 00 00 ,00 0 00 0 00 00 00 0 2 00 56 00 0
512021, 114719 164100 90,0 2241, 535,0 1125, 101929 127900, 396,0 728,8 85702, 45, 982987, 283,0
1984 00 0,00 ,00 0 00 0 00 0,00 00 0 3 00 67 00 0
597362, 124343 167300 100, 2082, 872,0 1641, 724630, 518800, 375,0 500,9 93056, 25, 114719 396,0
1985 00 0,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 2 00 14 0,00 0
606780, 135072 168342 125, 2226, 827,0 1650, 783830, 566899, 259,0 257,0 98490, 44, 124343 375,0
1986 00 9,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 0 00 35 0,00 0
728662, 150605 172009 125, 2067, 823,0 1731, 954960, 551095, 257,0 342,5 118795 24, 135072 259,0
1987 00 5,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 0 ,00 96 9,00 0
862859, 171333 175588 135, 1986, 943,0 1797, 982240, 731095, 289,0 437,1 135183 33, 150605 257,0
1988 00 5,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 7 ,00 89 5,00 0
973528, 196495 179136 165, 2018, 1167, 1901, 118315 781804, 306,0 350,4 159111 12, 171333 289,0
1989 00 4,00 ,00 00 00 00 00 0,00 00 0 2 ,00 68 5,00 0
112667 241261 179379 185, 2141, 1211, 1992, 159761 815002, 276,0 289,8 185982 4,7 196495 306,0
1990 7,00 2,00 ,00 00 00 00 00 0,00 00 0 3 ,00 7 4,00 0
131099 265760 182940 210, 2027, 1137, 2026, 157120 108640 287,0 339,0 216551 15, 241261 276,0
1991 6,00 0,00 ,00 00 00 00 00 0,00 0,00 0 0 ,00 34 2,00 0
146747 326625 186043 220, 2226, 1198, 2110, 223595 103030 351,0 393,6 247437 10, 265760 287,0
1992 0,00 0,00 ,00 00 00 00 00 0,00 0,00 0 9 ,00 84 0,00 0
161318 342144 189136 240, 2121, 1403, 2200, 204935 137209 328,0 377,7 317223 13, 326625 351,0
1993 7,00 9,00 ,00 00 00 00 00 0,00 9,00 0 3 ,00 17 0,00 0
180414 409448 192217 260, 2269, 1740, 2308, 246328 163120 414,0 529,1 364933 21, 342144 328,0
1994 9,00 3,00 ,00 00 00 00 00 0,00 3,00 0 5 ,00 76 9,00 0
202498 447967 195283 260, 2212, 1780, 2383, 321467 126500 442,0 628,5 366295 29, 409448 414,0
1995 6,00 0,00 ,00 00 00 00 00 0,00 0,00 0 8 ,00 68 3,00 0
224951 489865 198343 330, 2178, 1815, 2391, 322666 167199 453,0 579,4 376385 21, 447967 442,0
1996 4,00 8,00 ,00 00 00 00 00 0,00 8,00 0 8 ,00 83 0,00 0
251607 538044 201390 400, 2138, 1975, 4650, 241285 296759 1105, 1371, 248885 19, 489865 453,0
1997 9,00 7,00 ,00 00 00 00 00 0,00 7,00 00 00 ,43 43 8,00 0
278878 564015 204423 450, 2022, 2025, 8025, 416085 147930 1850, 3317, 257584 44, 538044 1105,
1998 3,00 4,00 ,00 00 00 00 00 0,00 4,00 00 00 ,17 23 7,00 00
297512 598918 207500 457, 2013, 2010, 7100, 318918 280000 1470, 2583, 266282 43, 564015 1850,
1999 0,00 3,00 ,00 00 00 00 00 0,00 3,00 00 00 ,91 10 4,00 00
317472 622642 208950 525, 1960, 1995, 9530, 252642 370000 1350, 2325, 285725 41, 598918 1470,
2000 6,00 5,00 ,00 00 00 00 00 5,00 0,00 00 00 ,50 95 3,00 00
Sumber : Biro Pusat Statistik Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 2000.