Anda di halaman 1dari 96

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327499451

Analisis Penawaran Dan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia

Thesis · September 2018

CITATIONS READS

0 2,033

1 author:

Mukhlis Mukhlis
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
24 PUBLICATIONS 50 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Mukhlis Mukhlis on 07 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


2
3

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya

bermata pencaharian di bidang pertanian, dengan situasi dan kondisi yang

demikian memungkinkan pengembangan usaha di sektor pertanian. Pengem-

bangan sektor pertanian ini dilakukan terutama melalui peningkatan sub sektor

perkebunan dan sub sektor pangan yang telah berlangsung secara terus-menerus

mulai dari REPELITA I.

Ciri penting dari perekonomian Indonesia adalah sistem perekonomian

terbuka dan menjadi lalu lintas perekonomian internasional, dalam artian bahwa

secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perekonomian dan

pembangunan nasional serta perekonomian negara lain. Pada prinsipnya pem-

bangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dengan cara meningkatkan pendapatan yang merata. Keberhasilan pem-

bangunan nasional diantaranya dapat dicapai dengan memperkecil nilai neraca

pembayaran dan mengusahakan agar perdagangan luar negeri berada dalam

keadaan surflus.

Pada posisi ekonomi Indonesia yang kurang menguntungkan saat ini,

diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pencarian sumber-sumber devisa

negara dengan meningkatkan transaksi ekspor, terutama produk yang memiliki

keunggulan komparatif dan mengurangi pengeluaran devisa dengan membatasi

aktivitas-aktivitas impor. Sementara itu, perekonomian dunia bergerak dinamis

dalam menuju tata baru dalam dunia perdagangan yaitu sedang menuju era

globalisasi dan liberalisasi dimana perdagangan bebas dicanangkan. Untuk

mengantisipasi keadaan tersebut, maka kebijakan ekspor Indonesia diarahkan


4

pada pemanfaatan produk-produk non migas salah satunya adalah pengem-

bangan komoditas pertanian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya laju

pertumbuhan ekspor nonmigas selama 5 tahun terakhir (1996 - 2000) yang selalu

meningkat yakni sebesar 3,89 % per tahun. Nilai tertinggi terjadi pada tahun 2000

yaitu mencapai US$ 47,757.4 juta atau berperan sebesar 76.87 % terhadap total

ekspor, berarti nilai ekspor nonmigas pada tahun 2000 mengalami kenaikan

sebesar 22.05 % dari tahun sebelumnya. Salah satu produk nonmigas yang

memberikan sumbangan terbesar diantaranya adalah minyak kelapa sawit

(Samah 2001).

Komoditas kelapa sawit dalam perekonomian Indonesia memegang peranan

yang cukup strategis, karena komoditas ini memiliki prospek yang cukup cerah

sebagai sumber devisa. Potensi tersebut terletak pada keragaman kegunaan

minyak kelapa sawit, disamping digunakan sebagai bahan mentah industri pangan

dapat pula digunakan sebagai bahan mentah industri nonpangan. Selain itu,

minyak kelapa sawit merupakan bahan utama minyak goreng yang banyak

dikonsumsi di seluruh dunia, sehingga secara terus-menerus mampu menjaga

stabilitas dari minyak kelapa sawit tersebut. Komoditas inipun mampu mencip-

takan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

(Risza, 1994). Ditambahkan oleh Tim Penulis Penebar Swadaya (1994), bahwa

tanaman kelapa sawit memiliki tiga keunggulan dibandingkan dengan tanaman

penghasil minyak nabati lainnya. Pertama, produktivitasnya paling tinggi dian-tara

tanaman lainnya, yakni bisa menghasilkan 3.14 ton minyak nabati per ha

sedangkan tanaman lain produktivitasnya 0.34 – 0.57 ton minyak nabati per

ha, kedua, kelapa sawit merupakan sosok tanaman yang cukup tangguh

terutama terhadap perubahan musim dan ketiga, disamping bisa digunakan


5

sebagai bahan mentah industri pangan juga bisa sebagai bahan mentah industri

nonpangan. Sehingga ketiga keunggulan tersebut mampu menjamin daya saing

minyak sawit di pasaran baik domestik maupun internasional.

Sejalan dengan perkembangan luas areal, produksi minyak sawit dari tahun

ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini terbukti, bahwa pada tahun 1969

luas areal kelapa sawit hanya 121.040 ha dengan produksi minyak-nya sebesar

188.772 ton, lalu 10 tahun kemudian (1979) luas areal meningkat menjadi 260.939

ha dengan produksi minyaknya sebesar 641.240 ton, 10 tahun kemudian (1989)

luas areal meningkat menjadi 973.528 ha dengan produksi minyaknya sebesar

1.964.654 ton dan pada tahun 2000 luas areal mengalami peningkatan menjadi

3.174.726 ha dengan produksi minyaknya sebesar 6.217.425 ton. Kondisi ini

sangat mendukung bagi pengembangan ekspor minyak sawit dalam artian

pemenuhan konsumsi minyak sawit dunia dan pemenuhan kebutuhan minyak

sawit bagi industri minyak goreng di Indonesia (BPS dan DIRJENDBUN, 2000).

Diperkirakan pada tahun 2004, Indonesia akan menjadi produsen minyak

sawit terbesar di dunia. Dengan asumsi pertumbuhan rata-rata 6,5 – 7% per

tahun, maka pada tahun 2000 produksi minyak sawit Indonesia mencapai 7,5 juta

ton dimana Malaysia sebesar 9,6 juta ton, lalu pada tahun 2003 produksi minyak

sawit Indonesia mencapai 10,6 juta ton yang berbeda tipis dengan Malaysia yakni

sebesar 10,8 juta ton, kemudian pada tahun 2004 produksi minyak sawit

Indonesia mencapai 11,9 juta ton sedangkan Malaysia hanya mem-produksi 11,2

juta ton. Selanjutnya Indonesia akan terus memimpin menjadi produsen terbesar

di dunia (PDBI, 1998 dalam Basyar, 1999).


6

Prospek minyak sawit (CPO) Indonesia di masa-masa mendatang cukup

cerah, hal ini didukung oleh adanya peningkatan industri minyak goreng sawit

pada dasawarsa terakhir yang sejalan dengan beralihnya pola konsumsi

masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Konsumsi

per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16,5 kg per tahun dimana konsumsi

per kapita minyak goreng sawit mencapai 12,7 kg per tahun. Berdasarkan

perkembangan berbagai variabel terkait seperti peningkatan konsumsi minyak

goreng untuk keperluan rumah tangga maupun industri, diperkirakan pada tahun

2001-2005 konsumsi akan minyak goreng sawit dalam negeri terus meningkat,

pada tahun 2005 diperkirakan total konsumsi minyak goreng dalam negeri

mencapai 6 juta ton dimana 83,3 % terdiri dari minyak goreng sawit (BPS, 2000).

Peluang ekspor CPO Indonesia juga cukup menjanjikan, berdasarkan data dari

tahun 1990 sampai tahun 1998 produksi CPO dunia bisa dikatakan tidak mampu

memenuhi konsumsi masyarakat dunia akan CPO. Kondisi ini dapat terlihat pada

tahun 1990-1992, 1994 dan 1998 yang produksi CPO-nya lebih kecil dibandingkan

dengan konsumsi masyarakat dunia akan CPO (Oil World, 2000).

Untuk mendukung pengembangan ekspor dan pengadaan penawaran dan

permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia, maka dirasa perlu untuk meneliti

tentang analisis penawaran dan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia.


7

1.2. Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang bahwa luas areal tanaman kelapa sawit dari

tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya produksi minyak

kelapa sawit nasional. Ditambah lagi adanya pergeseran-pergeseran yang terjadi

pada ekspor yang jika pada awalnya hampir semua minyak kelapa sawit

diperuntukkan bagi ekspor, dimana hal tersebut dapat dilihat pada priode tahun

1960-an hampir 75 % produksi minyak kelapa sawit diperuntukkan bagi ekspor,

namun pada tahun 1980-an minyak kelapa sawit hanya diekspor sebesar 43 %

yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan dalam negeri, hal ini terjadi

karena adanya krisis minyak kelapa yang produksinya terus menurun dan

berkurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dalam

negeri. Kondisi ini menyebabkan volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia

semakin tidak stabil yang mengakibatkan kedudukan minyak kelapa sawit dalam

memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional tidak begitu mantap,

padahal minyak kelapa sawit memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi

penambahan devisa negara (Soetrisno dan Winahyu, 1991)

Prospek pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia masih cukup

potensial, apalagi memperhatikan konsentrasi perkebunan kelapa sawit saat ini

masih terdapat di wilayah Indonesia bahagian Barat terutama Sumatera.

Sedangkan wilayah bahagian Timur Indonesia dan Kalimantan memiliki potensi

lahan yang cukup luas, dan secara geografis terbentang di daerah katulistiwa

yang cocok untuk mendukung pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Sehingga

apabila pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia diarahkan ke wilayah

tersebut pada masa-masa mendatang maka kemungkinan Indonesia untuk

menjadi produsen dan eksportir minyak kelapa sawit nomor satu dunia akan bisa
8

terwujud. Maka untuk dapat mewujudkan impian tersebut, pemerintah Indonesia

berupaya untuk menarik investor asing agar menanamkan modal di bidang

perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Rifai, 2001).

Perkembangan ekspor CPO Indonesia selama 25 tahun terakhir sangat

fluktuatif, dimana pada periode tahun 1978-1981 ekspor CPO mengalami penu-

runan dari 412,2 menjadi 361,3 ribu ton atau turun sebesar 12,3 %, lalu meningkat

dari 361,3 menjadi 502,9 ribu ton atau naik sebesar 39,2 %, kemudian turun

drastis sebesar 60,95 % yakni dari 502,9 menjadi 196,4 ribu ton. Pada periode

tahun 1983-1984 juga menurun sebesar 63,01 %, pada tahun 1994-1995 turun

sebesar 22,5 %. Pada periode tahun 1996-1999 mengalami kenaikan sebesar

77,5 %, lalu menurun sebesar 50,2 % dan mengalami peningkatan kembali

sebesar 89,3 % pada tahun 1999. Hal ini terjadi karena adanya kampanye petani

kedelai Amerika dan negara MEE yang melarang untuk mengkonsumsi minyak

nabati tropika pada tahun 1980-an dan terjadinya perubahan yang menanjak nilai

tukar rupiah terhadap dollar Amerika akibat krisis moneter yang melanda

Indonesia mulai tahun 1997 dan kondisi tersebut juga bisa disebabkan karena

adanya perubahan atau fluktuasi dari harga CPO dunia.

Sebelum mencapai titik ekspor, minyak kelapa sawit terlebih dahulu harus

berhadapan dengan pasar dalam negeri yang diatur oleh pemerintah dimana dari

satu sisi minyak kelapa sawit harus mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri

sedangkan di sisi lain minyak kelapa sawit harus mampu menciptakan devisa bagi

negara. Khususnya konsumen minyak goreng juga perlu mandapatkan

perlindungan yakni dengan menjaga stabilitas pasokan dan harga minyak goreng

yang terjangkau, karena minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan

bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Kondisi ini tentu akan meng-
9

hambat laju peningkatan ekspor dan bisa mengakibatkan terjadinya fluktuasi

volume ekspor CPO Indonesia di pasaran Internasional.

Mengingat cukup besarnya peranan dan potensi minyak kelapa sawit

sebagai penghasil devisa dalam perekonomian Indonesia, maka strategi

pengembangan kelapa sawit Indonesia haruslah mengacu pada potensi

keragaman penggunaan minyak sawit Indonesia melalui pengembangan

diversifikasi vertikal ke arah industri hilir dan meningkatkan kegiatan ekspor

minyak sawit tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat ada dua keinginan yang sangat

dilematis dalam perdagangan minyak kelapa sawit Indonesia, yaitu keinginan

untuk menjadi produsen dan eksportir minyak kelapa sawit nomor satu dunia

dengan memanfaatkan peluang pasar CPO yang semakin luas, keinginan untuk

tetap melindungi konsumen domestik minyak goreng, dalam artian sejauh mana

produksi minyak sawit dapat memenuhi kebutuhan ekspor dan kebutuhan industri

minyak goreng di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu

dilakukan analisis penawaran dan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia.

Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran CPO di Indonesia ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan CPO di Indonesia ?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia ?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga CPO Domestik ?


10

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian tentang analisis penawaran dan permintaan

minyak kelapa sawit di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO di Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan CPO di Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO Domestik.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam rangka pengambilan

kebijaksanaan yang berkaitan dengan perdagangan minyak kelapa sawit

(CPO), baik dalam hal produksi (penawaran), konsumsi (permintaan), harga

maupun ekspor.

2. Sebagai bahan informasi bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.


11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian yang digunakan sebagai pendekatan permasalahan

dalam penawaran dan permintaan minyak kelapa sawit Indonesia dapat di ambil

dari beberapa pustaka dan peneliti antara lain Tono Wijanarko pada tahun 1996,

Ahmad Rifai pada tahun 2001 dan Mustafa pada tahun 1990.

Wijanarko, Tono (1996), meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap penawaran, permintaan dan ekspor kelapa sawit di Indonesia dengan

menggunakan data rangkai masa, menggunakan analisis regresi linier berganda

logaritma dengan asumsi Nerlove, pengujian model dengan uji F hitung. Untuk

menguji parameternya digunakan uji t hitung dan menguji autokorelasi digunakan

uji d-Durbin Watson. Kesimpulannya adalah penawaran kelapa sawit di Indonesia

dipengaruhi oleh luas lahan kelapa sawit, harga kelapa sawit domestik, harga

kelapa domestik, tingkat teknologi, sedangkan harga pupuk dan curah hujan tidak

berpengaruh secara nyata. Permintaan kelapa sawit di Indonesia dipengaruhi

oleh harga kelapa sawit domestik, harga kelapa domestik dan jumlah penduduk.

Sedangkan ekspor kelapa sawit indonesia dipengaruhi oleh luas lahan kelapa

sawit, harga kelapa sawit dunia, tingkat teknologi serta jumlah penduduk dan

harga kelapa domestik tidak berpengaruh secara nyata.

Rifai, Ahmad (2001), meneliti tentang analisis ekspor dan tataniaga minyak

kelapa sawit Indonesia dengan menggunakan data time series, menggunakan

persamaan simultan, lalu dianalisis dengan Uji Collegram dan Uji Dickey-Fuller.

Penentuan model dengan sistem 2SLS, lalu menguji model dan validasi menggu-

nakan koefisien determinasi (R2) untuk ketepatan, uji F hitung untuk mengukur

pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap variabel terikat dan uji t hitung
12

untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel

terikat. Kesimpulan yang diperoleh adalah penawaran CPO Indonesia

dipengaruhi secara nyata oleh harga CPO domestik, harga ekspor CPO, luas

areal kelapa sawit, tingkat konsumsi CPO domestik dan produksi CPO tahun yang

lalu. Permintaan CPO dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO

Indonesia, tingkat impor CPO Indonesia, tingkat ekspor CPO Indonesia dan

tingkat konsumsi tahun yang lalu, tetapi variabel yang berpengaruh secara nyata

adalah tingkat produksi CPO dan tingkat ekspor CPO. Sedangkan ekspor CPO

Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO domestik, harga ekspor CPO, tingkat pajak

ekspor CPO, jumlah stok CPO dan jumlah ekspor CPO tahun yang lalu, dimana

variabel yang tidak berpengaruh secara nyata adalah harga CPO domestik, harga

ekspor CPO dan tingkat pajak ekspor CPO.

Mustafa (1990), meneliti tentang analisis penawaran dan permintaan dan

perkiraan kebutuhan minyak kelapa di Daerah Istimewa Aceh. Disimpulkan

bahwa permintaan minyak kelapa di Daerah Istimewa Aceh dipengaruhi oleh

harga minyak kelapa, harga minyak kelapa sawit, harga ikan segar, pendapatan

rumah tangga dan jumlah anggota rumah rangga. Berdasarkan hasil analisis

semua variabel independen menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap variabel

dependen. Harga minyak kelapa dan harga ikan segar menunjukkan pengaruh

negatif, sedangkan harga minyak sawit, pendapatan rumah tangga dan jumlah

anggota rumah tangga menunjukkan pengaruh yang positif.

2.2. Teori Penawaran

Penawaran merupakan suatu kegiatan dimana sejumlah barang dan jasa

ditawarkan pada konsumen pasar dengan harga tertentu. Jumlah komoditi yang

akan dijual oleh produsen sangat tergantung pada harga yang akan dibayarkan oleh
13

konsumen, dimana produsen berusaha untuk mendapatkan harga yang setinggi-

tingginya (Saefuddin, 1981 dalam Hanani, 1986). Penawaran suatu komoditi

adalah jumlah komoditi yang ditawarkan pada suatu pasar dengan harga dan waktu

tertentu. Harga komoditi dan penawaran mempunyai hubungan positif, dimana

dengan semakin tingginya harga di pasar merangsang produsen untuk menawarkan

komoditinya lebih banyak, demikian pula sebaliknya (Teken, 1977).

Kurva penawaran merupakan suatu kurva yang menunjukkan hubungan

antara harga suatu barang tertentu dan jumlah barang yang ditawarkan (Sukirno,

2000). Kurva penawaran perusahaan diturunkan dari titik perpotongan kurva MC

(Marginal Cost) dengan kurva permintaan. Bila harga diasumsikan naik secara

perlahan-lahan, maka kurva permintaan akan bergeser ke atas secara perlahan pula.

Pada kurva MC berslope positif, kurva permintaan yang memotong kurva MC yang

lebih tinggi akan menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hal

ini menunjukkan bahwa jumlah penawaran perusahaan akan meningkat apabila

harga naik. Apabila perusahaan menetapkan struktur biaya produksinya pada

jangka pendek, maka perusahaan tidak akan menawar-kan produknya apabila harga

lebih rendah dari biaya variabel rata-rata, karena apabila harga di bawah biaya

variabel rata-rata perusahaan tidak dapat menutupi biaya produksinya. Bila titik-

titik perpotongan kurva permintaan dan biaya marjinal dihubungkan pada suatu

grafik, maka akan diperoleh kurva penawaran perusahaan yang identik dengan

kurva biaya marjinal perusahaan tersebut (Sudarman, 1999). Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.


14

MC S
P

P2 P2
ATC
MC
P1 P1
AVC
Pw Pw
w

0 Qw Q1 Q 2 Q 0 QwQ1 Q2 Q

Gambar 1. Penurunan Kurva Penawaran

Pada Gambar 1, titik w adalah perpotongan MC dengan AVC (Avarage

Variable Cost), dan ATC (Avarage Total Cost) berada di atas AVC karena ATC

merupakan akumulasi AVC dan AFC (Avarage Fixed Cost). Jumlah produksi

(yang ditawarkan) pada tingkat harga PW merupakan harga terendah yang

ditawarkan produsen sejumlah QW . Apabila harga berada di bawah PW maka

produsen tidak akan menawarkan produknya atau dikatakan berada pada kondisi

tutup usaha (shutdown point).

Penawaran suatu barang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : harga

barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan, harga faktor produksi (harga

input), dan tingkat teknologi.

2.2.1. Harga barang itu sendiri

Apabila diasumsikan faktor-faktor lain (biaya produksi) adalah tetap, maka

kenaikan harga suatu barang akan menyebabkan produsen menaikkan jumlah


15

produksi atau penawaran dari barang tersebut, dengan harapan akan mendapat

keuntungan yang lebih tinggi.

Perubahan relatif dalam jumlah penawaran yang disebabkan perubahan relatif

dalam harga barang tersebut pada suatu waktu tertentu dinyatakan dengan

elastisitas penawaran. Secara matematis dapat ditulis :

Q / Q Q P
Es   X
P / P Q P
di mana :
ES = Elastisitas penawaran
Q = jumlah barang yang ditawarkan
P = harga barang tersebut
Q = Perubahan jumlah barang yang ditawarkan
P = Perubahan harga barang tersebut
Jika : Es > 1, dikatakan penawaran elastis
Es < 1, dikatakan penawaran tidak elastis
Es = 1, dikatakan penawaran elastis tetap (unitary elasticity)

Ada dua (2) faktor yang dapat mempengaruhi elastisitas penawaran, yaitu

kapasitas produksi dan kurun waktu perubahan harga terjadi. Semakin besar

kapasitas produksi, karena kemudahan mendapatkan input, maka elastisitas

penawaran relatif besar. Begitu pula apabila waktu yang diberikan kepada

produsen, untuk bereaksi setelah adanya perubahan harga, lebih panjang maka

elastisitas penawaran akan lebih besar pula (Samuelson dan Nordhaus, 1997).

2.2.2. Harga barang lain yang berkaitan

Harga barang lain yang berkaitan, terutama barang yang saling bersubstitusi

satu dengan lainnya, dapat memberikan petunjuk apakah barang yang diproduksi

pada saat ini masih menguntungkan atau tidak, menunjukkan pula bagaimana
16

persaingan yang terjadi di pasar dan peluang barang tersebut. Hubungan harga

produk pengganti dengan jumlah output yang ditawarkan dapat ditunjukkan dengan

konsep elastisitas silang untuk penawaran, yaitu perubahan relatif output yang

ditawarkan akibat perubahan relatif harga produk pengganti, seperti dituliskan

dalam rumus berikut ini :

QA PB
EAB  X
QB PA
di mana :
EAB = Elastisitas silang untuk penawaran
Q A = Perubahan jumlah barang A yang ditawarkan
QB = Jumlah barang B yang ditawarkan
PA = Harga barang A
PB = Perubahan harga barang B yang ditawarkan

Jika EAB positif, hubungan kedua barang bersifat komplementer. Sedangkan

jika EAB negatif, hubungan kedua barang bersifat substitusi.

2.2.3. Harga Faktor Produksi (Harga input)

Harga input merupakan salah satu hal yang mempengaruhi besar kecilnya

biaya produksi. Apabila biaya produksi relatif lebih tinggi dari harga pasar, akibat

dari kenaikan harga input, maka jumlah penawaran akan menurun. Sebaliknya

apabila biaya produksi relatif lebih rendah dari harga pasar, maka produsen akan

meningkatkan penawaran dan keuntungan yang diperoleh akan lebih tinggi pula

(Lipsey, Richard G., Steiner, Peter O., Purvis, Douglas D 1997).


17

2.2.4. Tingkat Teknologi yang digunakan

Tingkat teknologi memegang peranan penting dalam menentukan

banyaknya jumlah barang yang dapat ditawarkan. Dengan teknologi yang semakin

tinggi akan meningkatkan penawaran suatu barang. Suatu perubahan teknologi

yang dapat mengurangi biaya produksi akan meningkatkan keuntungan,

keuntungan yang meningkat akan mendorong produsen untuk meningkatkan

produksinya (Samuelson dan Nordhaus, 1997).

2.3. Teori Permintaan

Menurut Sitohang, P (1961), permintaan terhadap suatu barang adalah

berbagai jumlah barang yang diinginkan konsumen untuk membelinya di pasar

pada semua harga-harga alternatif yang mungkin dengan anggapan lain-lain hal

tetap sama. Banyaknya barang yang akan dibeli oleh konsumen akan dipenga-ruhi

oleh sejumlah keadaan diantaranya adalah : Harga barang itu, rasa dan preferensi

konsumen, banyaknya konsumen, pendapatan, harga barang-barang lainnya,

banyaknya barang yang tersedia bagi konsumen.

Kurva permintaan terbentuk dari perubahan harga yang akan mem-

pengaruhi kurva indeferen konsumen, dengan menganggap hal lainnya konstan.

Kurva indeferen merupakan suatu kurva yang menunjukkan kombinasi dua produk

atau lebih sehingga kepuasan yang diperoleh konsumen tidak berubah. Kurva

indeferen yang berada lebih atas (semakin jauh dari titik nol) menunjukkan total

nilai guna yang lebih besar daripada kurva indeferen yang berada di bawahnya atau

lebih dekat dengan titik nol (Kusnadi., Rahardjo Kusdi., Zaedan Rudi, 1997)
18

Total nilai guna yang diperoleh konsumen akan maksimal apabila kurva

indiferen berpotongan dengan garis anggaran. Garis anggaran menunjukkan

kombinasi antara barang-barang yang tersedia bagi konsumen dengan

pendapatannya jika ia membelanjakan uangnya itu (Lipsey et al, 1997).

Gambar 2 berikut ini akan menjelaskan secara grafis penurunan kurva

permintaan yang terjadi pada saat keseimbangan konsumen dimana garis anggaran

(BL) bersinggungan dengan kurva indiferen (U).

Q2 U1
U2
P
U3 D1
Q21 P1 D2
Q22 D3
P2
Q23 P3 D

BL1 BL2 BL3

0 Q11 Q12 Q13 Q1 0 Q11 Q12 Q13 Q

Gambar 2. Penurunan Kurva Permintaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang adalah harga

barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan, tingkat pendapatan dan jumlah

penduduk.

2.3.1. Harga barang itu sendiri

Semakin tinggi harga barang tersebut yang berlaku di pasar, maka akan

mengurangi permintaan, semakin rendah harga barang tersebut maka akan

meningkatkan permintaan, dengan catatan faktor lain yang mempengaruhi jumlah

permintaan dianggap tetap (Sukirno, 2000). Perubahan permintaan yang


19

disebabkan karena perubahan harga dinyatakan dengan elastisitas harga untuk

permintaan. Secara matetmatis elastisitas permintaan dapat dituliskan sebagai

berikut :

Q / Q Q P
ED = = x
P / P Q P

Dimana :

ED = Elastisitas permintaan
Q = jumlah barang yang diminta
P = harga barang tersebut
Q = Perubahan jumlah barang yang diminta
P = Perubahan harga barang tersebut
Jika : ED > 1 ; disebut permintaan elastis

ED < 1 ; disebut permintaan tidak elastis

ED = 1 ; disebut permintaan elastis tetap (unitary elaticity)

2.3.2. Harga barang lain yang berkaitan

Perubahan harga barang lain yang berkaitan terhadap permintaan

sebenarnya tergantung pada apakah barang yang lain tersebut merupakan barang

subtitusi (pengganti), barang komplementer (melengkapi) atau barang independen

(netral). Barang subtitusi adalah barang yang dapat memberi kepuasan penggunaan

yang kurang lebih sama dibanding barang yang semula diinginkan. Jika harga

suatu barang naik maka permintaan akan barang pengganti cenderung meningkat.

Barang komplementer adalah barang yang digunakan bersama-sama dengan barang

lain. Jika harga suatu barang naik maka permintaan akan barang komplementer

akan turun. Barang netral adalah barang yang permintaannya tidak dipengaruhi

oleh harga barang lain, sehingga naik turunnya harga salah satu barang tidak

mempengaruhi perubahan besarnya konsumsi barang yang lain (Sukirno, 2000).


20

Untuk menunjukkan perubahan suatu barang yang diminta terhadap

perubahan harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut digunakan

elastisitas silang. Secara matematis elastisitas silang dapat ditulis :

Q X PY
EYX = x
PY Q X

Dimana :
EXY = Elastisitas silang untuk permintaan

QX = Perubahan jumlah barang X yang diminta


QX = Jumlah barang X yang diminta
PY = Harga barang Y

PY = Perubahan harga barang Y yang diminta

Jika EXY bernilai positif, berarti hubungan antara kedua barang tersebut

bersifat subtitusi. Suatu kenaikan dalam harga barang X akan menaikkan konsumsi

atas barang Y. Jika EXY bernilai negatif, berarti hubungan kedua barang bersifat

komplementer. Kenaikan harga barang X akan menurunkan konsumsi atas barang

Y.

2.3.3. Tingkat Pendapatan

Pada saat pendapatan meningkat, maka kemampuan konsumen untuk

membeli barang tersebut juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya.

Peningkatan terhadap permintaan suatu barang akan menggeser kurva permintaan

ke kanan sehingga harga yang berlaku lebih mahal daripada sebelumnya. Untuk

mengukur kepekaan konsumen perubahan jumlah yang diminta terhadap perubahan

dalam pendapatan konsumen digunakan elastisitas pendapatan dari permintaan.

Secara matematis dapat dirumuskan sebagai bderikut :


21

Q I
EI = x
I Q

Dimana :

EI = Elastisitas pendapatan dari permintaan


Q = jumlah barang yang diminta
I = Tingkat Pendapatan

Q = Perubahan jumlah barang yang diminta


I = Perubahan tingkat pendapatan

Jika EI bernilai negatif maka barang tersebut dikatakan barang inferior.

Sedangkan bila EI bernilai positif maka barang tersebut dikatakan barang normal.

Pada barang normal, apabila EI > 1 disebut barang mewah sedangkan bila E I <1

maka disebut barang yang mempunya keharusan untuk dibeli.

2.3.4. Jumlah penduduk

Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu yang menentukan

permintaan. Pertambahan jumlah penduduk tidak dengan sendirinya dapat

menyebabkan pertambahan permintaan. Hal ini disebabkan karena pertambah-an

jumlah penduduk diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja, sehingga

pendapatan meningkat dan daya beli konsumen akan meningkat pula, kondisi itulah

yang akan meningkatkan permintaan (Sukirno, 2000).

2.4. Teori Ekspor

Ekspor merupakan cerminan terbalik dari impor, artinya ekspor suatu

negara merupakan impor bagi negara lain. Dengan demikian ekspor dan impor

suatu negara sangat tergantung pada pendapatan atau output dari mitra dagang

negara tersebut. Selain itu jumlah dan nilai ekspor suatu negara akan dipenga-ruhi
22

oleh harga relatif antara barang luar negeri dengan dalam negeri, yang pada

gilirannya akan tergantung pada tingkat harga luar negeri (harga ekspor) dan nilai

tukar mata uang di pasar internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1997).

Ekspor suatu negara akan cenderung meningkat apabila nilai mata uang

negara tersebut menurun terhadap nilai mata uang negara lain, atau apabila mata

uang negara lain mengalami apresiasi terhadap mata uang suatu negara sebagai

mitra dagangnya. Maka harga produk ekspor negara tersebut yang dinilai dengan

mata uang negara lain menjadi lebih murah, sehingga jika elastisitas permintaan

barang eskpor tinggi maka ekspor meningkat (Hady dan Hamdy, 1998).

Nazruddin (1993), mengatakan secara umum ekspor adalah cara

perdagangan luar negeri yang lazim ditempuh antara penjual dan pembeli, dengan

cara ini kedua belah pihak memperoleh keuntungan masing-masing lewat transaksi

jual-beli yang disepakati. Secara kasar perdagangan lokal dapat diartikan

menyediakan barang untuk pembeli di sekitar kita, sedangkan ekspor menyediakan

barang untuk konsumen yang terpisah oleh batas negara yang tidak hanya berarti

berbeda letak geografis tapi juga wilayah, budaya dan politik.

2.5. Teori Perdagangan Antar Negara

Pada prinsipnya perdagangan antara dua negara timbul karena adanya

perbedaan dalam penawaran dan permintaan. Permintaan ini akan berbeda

misalnya karena perbedaan pendapatan dan selera konsumen, sedang yang

membedakan penawaran misalnya dikarenakan perbedaan jumlah dan kualitas

faktor-faktor produksi, tingkat teknologi, dan eksternalitas (Kindlebergen dan

Lindert, 1982). Hubungan ekspor dengan harga internasional mempunyai


23

hubungan positif, yaitu semakin tinggi ekspor yang dipasarkan maka semakin

tinggi harga internasional.

DA SA SB

P1
PE

P0
DB

Q 1 Q A Q 0 Q A Q1 Q2 QB Q 3 QB Q 2

Negara A Negara B

Gambar 3. Kurva Perdagangan Antara Dua Negara

Sebelum terjadinya perdagangan internasional harga suatu barang di negara

A adalah PO, dan harga barang di negara B adalah P1. Harga barang di negara A

lebih rendah dari pada negara B, jika produksi dengan keadaan constan cost maka

negara A dapat menjual barang dalam jumlah tidak terbatas ke negara B dan

sebaliknya negara B tidak dapat menjual satu unitpun pada harga yang lebih rendah

dari P1. Tetapi apabila terjadi increasing cost terhadap produksi maka produksi

negara A akan naik untuk memenuhi permintaan dari negara B. Keanaikan

produksi ini akan mengakibatkan naiknya biaya input per unit sehingga harga

mengalami kenaikan juga. Sebaliknya bagi negara B, dapat menurunkan produksi

karena lebih memilih impor dengan harga lebih murah, untuk menyeimbangkan
24

harga di negara B. Proses penyesuaian ini akan berlangsung sampai jumlah ekspor

negara A (QA) sama dengan jumlah yang di impor (QB) oleh negara B, dan

membentuk harga PE.

Jika biaya distribusi menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan akan

menyebabkan harga antara kedua negara akan berbeda sebesar biaya distribusi

tersebut. Dengan demikian ekspor suatu komoditi dari suatu negara adalah selisih

antara penawaran domestik (supply) dengan permintaan domestik (demand) atau

merupakan excess supply. Hubungan antara excess supply dengan permintaan

ekspor diterangkan dalam Gambar 4 berikut ini.

Pasar Domestik Pasar Internasional

Se
P ($) Sd P ($)

Pd1 Pf

Dt

Pd0 Dd
Q
0 Qd1 Qd0 Qt 0 Qe

Gambar 4. Fungsi Permintaan dan Penawaran domestik serta Fungsi


Ekspor
Keterangan :
Pd0 : Harga keseimbangan barang domestik tanpa adanya perdagangan
internasional
Pd1 : Harga Internasional, sama dengan harga domestik setalah dikoreksi dengan
biaya angkut dan pajak (Pf)
0-Qd1 : Jumlah permintaan domestik tanpa adanya perdagangan internasional
0-Qd0 : Jumlah permintaan domestik setelah perdagangan internasional
0-Qt : Jumlah total penwaran domestik (jumlah permintaan demestik dan ekspor).
Qd1-Qt : Jumlah ekspor (0-Qe).
25

Dengan adanya perbedaan harga antara domestik dan internasional maka

excess supply akan di di ekspor ke pasar internasional pada tingkat harga yang

lebih tinggi. Faktor lain yang sangat mempengaruhi kinerja ekspor adalah nilai

tukar : Kebijakan ekspor suatu negara pengekspor berkaitan dengan kebijakan

devaluasi, untuk memperbaiki neraca pembayaran yang defisit yaitu melalui

peningkatan ekspor. Selain itu ekspor dipengaruhi oleh rintangan perdagangan

yang dibuat oleh negara pengekspor maupun pengimpor seperti tariff, kuota ekspor,

kuota impor dan pajak.

2.6. Daerah Pemasaran CPO

Realisasi ekspor atau daerah pemasaran CPO Indonesia dari tahun 1980–

1989 ditujukan kepada negara-negara Eropa, Amerika Tengah dan Rusia, yakni :

Belanda, Inggris, Kenya, Irak, Jerman Barat, India, Italia, Singapura, Jepang,

Perancis, Amerika Serikat, Kanada, Pakistan, Jordania, Brasil, Nigeria, Saudi

Arabia, Muangthai, Kuwait, Belgia, Taiwan, Rusia, Turki, Spanyol, RRC, Portugis,

Polandia, Bangladesh, Korea Selatan, Denmark, Swedia, Tunisia dan Maroko.

(Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, 1989 dalam Tim Penulis Penebar

Swadaya, 1994).

Menurut Nadiar dan Hasan (1999), bahwa daerah pemasaran CPO dari

tahun 1994-1999 adalah negara Belanda, Jerman Barat, Spanyol, Italia, Perancis,

Polandia, Amerika Tengah, Inggris, Belgia, Denmark Swedia, Portugal dan Rusia.

2.7. Produsen, Konsumen, Eksportir dan Importir Minyak Sawit Dunia

Menurut Tim Penulis Penebar Swadaya (1994), produsen utama minyak

sawit dunia adalah Malaysia, Indonesia, Nigeria, Pantai Gading, Kolumbia,


26

Thailand, Papua Nugini dan negara-negara lain dalam jumlah kecil, sedangkan

Konsumen utama minyak sawit dunia adalah India, Indonesia, Nigeria, Malaysia,

RRC, Pakistan, Jepang, Korea Selatan, Kolombia, Thailand, Rusia, Amerika

Serikat dan negara-negara MEE (sebanyak 12 negara). Negara Eksportir utama

minyak sawit dunia adalah Malaysia, Indonesia, Singapura, 12 negara anggota

MEE, Pantai gading, Papua Nugini, dan lain-lain dalam jumlah kecil. Sedangkan

Negara Importir utama minyak sawit dunia adalah 12 negara anggota MEE, RRC,

Singapura, India, Pakistan, Mesir, Jepang dan negara lain (sebanyak 25 negara).

2.8. Saluran Pemasaran CPO dalam negeri

Pemasaran CPO dalam negeri terdiri dari dua bentuk salura, yakni saluran

pemasaran CPO di Perusahaan Negara (PN) atau Perseroan Terbatas (PT) dan

saluran pemasaran CPO di Perkebunan Besar Swasta Negara (PBSN) atau

Perkebunan Besar Swasta Asing (PBSA). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Gambar 5 dan Gambar 6 berikut ini.

PMS milik PN/PT

KPB PT Perkebunan

Lelang
(Lelang atau kontrak
jangka panjang)
Lelang Agen Pembeli/
Representative

Rekanan Ekspor (Industri Peng- Rekanan Lokal (Industri Peng-


olah CPO di luar Negeri) olah CPO di dalam Negeri)

Gambar 5. Saluran Pemasaran Minyak Sawit di PN/ PT


27

*)
PMS milik PBSN/PBSA Industri Pengolah CPO milik mereka

sendiri atau merupakan usaha patung-an

dengan pihak lain

Industri Pengolah CPO di dalam negeri

(terutama industri minyak goreng)

minyak pihak lain


Keterangan :
* ) Dalam volume besar, CPO mereka lebih diperioritaskan untuk ini.

Gambar 6. Saluran Pemasaran Minyak Sawit di PBSN/ PBSA


28

2.9. Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit

Standar mutu untuk pemasaran minyak sawit, minyak inti sawit dan inti sawit

secara lebih terinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Standar mutu minyak sawit, minyak inti sawit dan inti sawit

Karakteristik Minyak Minya Inti Ketera


Sawit k Inti Sawit ngan
(CPO) Sawit
(PKO)

Asam Lemak Bebas 5% 3,5 % 3,5 % Maksi


(ALB) 0,5 % 0,02 % 0,02 % mal
Kadar kotoran 0,5 % 7,5 % 0,2 % Maksi
Kadar zat menguap 6 meq - 2,2 meq mal
Bilangan peroksida 44-58 - 10,5-18,5 Maksi
Bilangan Iodine mg/gr - mg/gr mal
Kadar Logam (Fe, 10 ppm - - Maksi
Cu) 3-4 R 47 % - mal
Lovibond - 6% - -
Kadar minyak - 15 % - -
Kontaminasi - - -
Kadar pecah minima
l
maksi
mal
maksi
mal

Sumber : DIRJENDBUN, 1989 (dalam Tim Penebar Swadaya, 1994)


29

III. Kerangka Konsep Penelitian

3.1. Kerangka Pemikiran

Kelapa sawit merupakan suatu komoditas yang unik dipandang dari segi

proses yang harus ditempuh sebelum mampu meraih tempat dalam dunia perda-

gangan internasional sebagai komoditi yang penting. Dalam perekonomian

Indonesia, komoditas kelapa sawit dalam hal ini minyaknya mempunyai peran

yang cukup strategis dalam. Pertama, minyak sawit merupakan bahan utama

minyak goreng, sehingga pasokan kontinyu akan ikut menjaga stabilitas harga dari

minyak goreng. Hal ini penting karena minyak goreng merupakan salah satu dari

sembilan bahan pokok masyarakat Indonesia. Kedua, berkaitan dengan minyak

sawit merupakan komoditas andalan ekspor non migas maka minyak sawit

merupakan prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa dan pajak.

Ketiga, dalam proses produksi dan pengolahan kelapa sawit mampu menciptakan

kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Adanya krisis minyak kelapa pada tahun 1970-an, dimana produksinya

cenderung terus menurun akibatnya persediaan minyak kelapa tidak terjamin untuk

memenuhi kebutuhan industri minyak goreng dan industri pangan lainnya. Akan

tetapi, disisi lain produksi minyak sawit cenderung meningkat dari tahun ke tahun,

sehingga minyak sawit dapat menggantikan kedudukan minyak kelapa sebagai

pasokan industri minyak goreng. Dengan demikian situasi tersebut menyebabkan

konsumsi akan minyak sawit dalam negeri untuk kebutuhan industri minyak

goreng diperlukan dalam jumlah yang relatif besar dan mengakibatkan terjadinya

fluktuasi jumlah ekspor minyak sawit Indonesia dalam rangka pemenuhan


30

kebutuhan minyak sawit dalam negeri, dalam artian ekspor minyak sawit hanya

sisa dari pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Kebijaksanaan negara-negara penghasil minyak nabati non sawit yang

bersifat diskriminatif terhadap minyak sawit, yang bertujuan untuk melindungi

penghasil minyak nabati dan lemak di negara mereka yang mulai terdesak oleh

kehadiran minyak sawit di pasaran dunia. Petani-petani kedelai Amerika yang

tergabung dalam ASA (American Soybean Association) yang mengadakan

kampanye yang didukung banyak pihak yang terkait, seperti : AHA (American

Heart Association), (CFAC) Citizens for Fublic Action on Cholesterol, (CSFI)

Center for Science in the Fublic Interest, (NSA) National Sun flower Association,

(PVFHP) Public Voice for Food and Health Policy dan (NCCA) National Cotton

Council of Amerika serta didukung kuat oleh senator yang mewakili daerah

penghasil kedelai Amerika, guna untuk menghentikan impor minyak nabati tropika,

seperti minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa sebagai bahan mentah

dan supaya beralih kepada minyak kedelai sebagai bahan mentah. Kampanye

tersebut juga mengisukan bahwa minyak nabati tropika itu dapat meningkatkan

kolesterol dalam darah yang dapat membuat manusia rawan terhadap penyakit

jantung dan menuduh impor minyak nabati tropika akan menggeser konsumsi

kedelai atau minyak kedelai dalam jumlah besar di Amerika. Selain itu, pihak

Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) mengambil kebijaksanaan untuk mengenakan

bea cukai tambahan atas impor minyak dan lemak, dimana impor minyak sawit

(CPO) dikenakan pajak impor tambahan sebesar 4 %. Kondisi ini menyebabkan

minyak nabati tropika terutama minyak sawit Indonesia mendapat persaingan yang
31

kuat dari komoditi kedelai, sehingga akan menyebabkan terjadinya fluktuasi jumlah

ekspor CPO dan akan memberikan dampak terhadap fluktuasi harga CPO domestik

sebagai akibat bertambahnya biaya ekspor dan menumpuknya jumlah pasokan

CPO di dalam negeri.

Disamping itu, fluktuasi harga CPO di pasaran Internasional dan adanya

perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terutama di awal

krisis ekonomi pada tahun 1997, juga menyebabkan terjadinya fluktuasi volume

ekspor CPO dan fluktuasi harga CPO Domestik.

Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan adanya penelitian tentang

analisis penawaran dan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia, dengan

tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran

CPO, permintaan CPO, ekspor CPO dan harga CPO domestik.

Penawaran CPO di Indonesia akan dijelaskan oleh produksi CPO di

Indonesia, maka faktor-faktor yang mempengaruhi produksi juga merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO. Berdasarkan pendekatan

teoritis, maka penawaran CPO di Indonesia akan dipengaruhi oleh harga CPO

domestik, harga minyak kelapa domestik, harga pupuk (input), Luas lahan kelapa

sawit, teknologi pertanian yang berkaitan dengan produktivitas kelapa sawit dan

penawaran CPO tahun sebelumnya.

Permintaan CPO di indonesia akan dijelaskan oleh konsumsi CPO di

Indonesia, maka faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi juga merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan CPO di Indonesia. Berdasarkan

pendekatan teoritis, maka permintaan CPO di Indonesia akan dipengaruhi oleh


32

harga CPO domestik, harga minyak kelapa domestik, jumlah penawaran CPO,

jumlah penduduk Indonesia dan pendapatan penduduk per kapita.

Ekspor CPO Indonesia akan dijelaskan oleh variabel-variabel independen

yang mempengaruhinya. Berdasarkan pendekatan teoritis, maka ekspor CPO

Indonesia akan dipengaruhi oleh harga CPO dunia, harga CPO domestik, jumlah

penawaran CPO, nilai tikar rupiah terhadap dollar dan Tingkat proteksi nominal

Harga CPO domestik akan dijelaskan oleh variabel-variabel independen

yang mempengaruhinya. Berdasarkan pendekatan teoritis, maka harga CPO

domestik akan dipengaruhi oleh harga dunia CPO, jumlah ekspor CPO, Jumlah

permintaan CPO, nilai tikar rupiah terhadap dollar, tingkat proteksi nominal dan

harga CPO domestik tahun sebelumnya.

Setelah dilaksanakan analisis dalam penelitian ini, sehingga diperoleh

faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap penawaran CPO di

Indonesia, permintaan CPO di Indonesia, ekspor CPO Indonesia dan harga CPO

domestik. Dengan demikian output dari penelitian ini diharapkan dapat terciptanya

kondisi penawaran dan permintaan CPO di Indonesia bisa stabil atau optimal,

sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi produsen atau petani kelapa sawit,

dapat meningkatkan tambahan devisa bagi negara dan bisa memenuhi kebutuhan

CPO di Indonesia.
33

Permasalahan CPO :  Krisis minyak kelapa berkaitan dengan konsumsi


CPO domestik
 Fluktuasi Harga CPO  Persaingan dengan minyak kedele (lainnya)
 Fluktuasi Ekspor CPO  Perubahan Harga CPO dunia dan Nilai Tukar

Luas Lahan Harga


Kelapa sawit Pupuk

Teknologi Pena Harga


waran CPO Minyak Kelapa
Pertanian

Penawaran CPO Harga CPO Domestik


Tahun Sebelumnya
Tahun Sebelumnya

Ekspor Harga CPO


CPO
Domestik
Pendapatan

Perm
Jumlah
Penduduk intaan CPO

Tingkat proteksi Nominal

Harga CPO Dunia

Nilai Tukar Rupiah

Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap penawaran, permintaan, ekspor dan harga CPO
Indonesia

Penawaran dan Permintaan diharapkan stabil (optimal) :

 Meningkatkan keuntungan dan pendapatan petani/produsen CPO


 Meningkatkan sumbangan devisa bagi negara
 Pemenuhan konsumsi/permintaan CPO di Indonesia dan dunia
Keterangan :

: Variabel endogen : Hubungan antar variabel endogen

: Hubungan variabel eksogen ke endogen


: Variabel eksogen

Gambar 7. Skematis Kerangka Pemikiran Analisis Penawaran dan Permintaan


Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
34

3.2. Hipotesis

Penelitian tentang analisis penawaran dan permintaan minyak kelapa sawit

di Indonesia ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan produksi

CPO Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan sejauh mana kemampuan

CPO Indonesia dapat memenuhi kebutuhan industri domestik Indonesia. Oleh

karena itu, berdasarkan teoritis dan hasil penelitian terdahulu hipotesis dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran CPO adalah harga CPO

domestik, harga minyak kelapa domestik, harga pupuk, luas lahan kelapa

sawit, teknologi pertanian dan penawaran CPO tahun sebelumnya.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan CPO adalah harga CPO

domestik, harga minyak kelapa domestik, penawaran CPO, jumlah penduduk

dan pendapatan penduduk.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor CPO adalah harga CPO

dunia, harga CPO domestik, penawaran CPO, nilai tukar Rupiah dan tingkat

proteksi nominal.

4. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap Harga CPO domestik adalah

harga CPO dunia , volume ekspor CPO, permintaan CPO, nilai tukar Rupiah,

tingkat proteksi nominal dan harga CPO domestik tahun sebelumnya.

3.3. Definisi dan Pengukuran Variabel

1. Variabel endogen adalah variabel terikat yang ditentukan nilainya di dalam

model, dalam hal ini yang termasuk variabel endogen adalah penawaran CPO

(produksi), permintaan CPO (konsumsi), ekspor CPO dan harga CPO

domestik.
35

2. Variabel eksogen adalah variabel bebas yang ditentukan nilainya di luar model

dan telah diketahui besarnya (predetermined variables), dalam hal ini yang

termasuk variabel eksogen adalah variabel eksogen dan variabel lag endogen,

seperti : penawaran dan harga CPO domestik tahun sebelumnya, harga

minyak kelapa domestik, luas lahan kelapa sawit, teknologi pertanian

(produktivitas), harga pupuk (input), harga CPO dunia, pendapatan pendu-duk,

jumlah penduduk, nilai tukar Rupiah dan tingkat proteksi nominal.

3. Minyak kelapa sawit adalah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO),

tidak termasuk minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO).

4. Penawaran CPO di Indonesia (QSCPO) adalah jumlah produksi CPO

Indonesia yang ditawarkan, dalam penelitian ini diukur dengan total produksi

CPO di Indonesia, dengan satuan ton.

5. Permintaan CPO di Indonesia (QDCPO) adalah jumlah produksi yang diminta,

dalam penelitian ini diukur dengan total konsumsi CPO oleh industri domestik

Indonesia atau selisih antara jumlah produksi CPO dengan jumlah ekspor

CPO, dengan satuan ton.

6. Ekspor CPO (XCPO) adalah jumlah penawaran CPO di pasar Internasional

yang diukur berdasarkan total volume ekspor CPO yang diekspor dengan

satuan ton.

7. Harga CPO domestik (PDCPO) adalah harga yang dihitung berdasarkan

harga rata-rata tender CPO yang dilakukan di KPB-PTPN (Rp/Kg).

8. Harga minyak kelapa domestik (PDMK) adalah harga minyak kelapa di ting-kat

konsumen dalam negeri, dengan satuan Rp/Kg.

9. Harga CPO dunia (PWCPO) adalah rata-rata harga CPO yang dihitung ber-

dasarkan harga ekspor CPO harga Cif Rotterdam dengan satuan US $ /ton.
36

10. Tingkat teknologi pertanian (TPER) dalam penelitian ini diukur berdasarkan

tingkat produktivitas kelapa sawit Indonesia, dengan satuan Kg/Ha.

11. Harga input (PIN) hanya terbatas pada harga pupuk UREA (N), dengan

satuan Rp/kg

12. Luas areal (LLKS) dalam penelitian ini merupakan total luas areal perkebunan

kelapa sawit di Indonesia, dengan satuan Ha.

13. Nilai tukar (ERI) diukur dengan satuan Rupiah per Dollar US$ berdasarkan

rata-rata tiap tahun.

14. Jumlah penduduk (JP) adalah total penduduk Indonesia setiap tahun, dengan

satuan jiwa.

15. Pendapatan penduduk (I) adalah pendapatan per kapita penduduk Indonesia

dalam hal ini pendapatan per kapita riil, dengan satuan Rupiah.

16. Restriksi ekspor yang diukur dengan (NPR : Nominal Protection Rate), yakni

harga dunia CPO dikurangi dengan harga CPO domestik dan dikali dengan

100 %, dengan satuan persen.


37

III. IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan berdasarkan keadaan kelapa sawit secara nasional,

dengan pertimbangan bahwa komoditi kelapa sawit merupakan komoditi ekspor

yang banyak mendatangkan keuntungan bagi petani kelapa sawit dan bagi devisa

negara Indonesia.

4.1. Jenis Data yang Digunakan

Data yang digunakan untuk menganalisis penawaran dan permintaan


minyak kelapa sawit di Indonesia adalah data rangkai masa (time series) data
yang menggambarkan perkembangan minyak kelapa sawit, yakni data dari tahun
1976 sampai tahun 2000, agar diperoleh tingkat validitas yang diharapkan dari
penelitian ini. Data-data ini diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat
Jenderal Perkebunan (DIRJENDBUN), Departemen Perindustrian dan Perda-
gangan (DEPPERINDAG), Oil World dan lembaga lain yang terkait dengan
penelitian ini. Data-data yang dikumpulkan meliputi : Data produksi CPO, harga
CPO domestik, luas areal tanaman kelapa sawit, tingkat teknologi (produktivitas),
harga pupuk, volume ekspor CPO, harga CPO dunia, harga minyak kelapa
domestik, Nilai tukar Rupiah, jumlah penduduk Indonesia, pendapatan penduduk
dan tingkat proteksi nominal.

4.2. Metode Analisis data


4.2.1. Penentuan Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pendekatan sistem
dengan menggunakan model ekonometrika sistem persamaan simultan dinamis,
sebagai berikut :
Persamaan penawaran CPO di Indonesia
QSCPO = 0+1PDCPO+2PDMK+3PIN+4LLKS+5TPER+6QSCPOL+ U1t …….. (1)
Persamaan permintaan CPO di Indonesia
QDCPO = 0+1PDCPO+2PDMK+3QSCPO+4JP+5I +U2t ……….........…………… (2)
Persamaan ekspor CPO Indonesia
XCPO = 0+1PWCPO+2PDCPO+3QSCPO+4ERI+5NPR+ U3t ………………… (3)
Persamaan harga CPO domestik
38

PDCPO = 0+1PWCPO+2XCPO+3QDCPO+4ERI +5NPR+6PDCPOL+ U4t ………. (4)

Persamaan identitas
QDCPO = QSCPO – XCPO
Keterangan :
Variabel endogen :
QSCPO : Penawaran minyak kelapa sawit domestik (ton)
QDCPO : Permintaan minyak kelapa sawit (ton)
XCPO : Ekspor minyak kelapa sawit (ton)
PDCPO : Harga minyak kelapa sawit domestik (Rp/Kg)

Variabel eksogen adalah :


PDMK : Harga CPO domestik (Rp/Kg)
PIN : Harga pupuk (Rp/Kg)
LLKS : Luas lahan kelapa sawit (Ha)
TPER : Teknologi pertanian/ Produktivitas lahan (Kg/ha)
PWCPO : Harga dunia CPO (US $/ton)
JP : Jumlah penduduk Indonesia (jiwa)
ERI : Nilai tukar Rupiah (Rp/US$)
I : Pendapatan penduduk (Rp)
NPR : Tingkat proteksi nominal (%)
QCPOL : Penawaran CPO satu tahun sebelumnya (ton)
PDCPOL : Harga CPO domestik satu tahun sebelumnya (Rp/Kg)

0,  0, 0, 0 : Intersep


1,2,3,4,5,6,7, 1, 2, 3, 4,5,1,2,3,4,5,1,2,3, 4,5,6 : Koefesien regresi
U1t, U2t , U3t , U4t : Kesalahan pendugaan
Untuk dapat mengetahui apakah suatu persamaan dapat diidentifikasikan
atau tidak, diterapkan prosedur berikut ini :
1. Jika K – k > m – 1, maka persamaan tersebut menjadi teridentifikasi secara

berlebih (overidentified), maksudnya diperoleh lebih dari satu nilai angka

untuk menaksir satu atau beberapa parameter dari persamaan struktural.

2. Jika K – k = m – 1, maka persamaan tersebut tepat diidentifikasikan

(exactly/just identified), maksudnya nilai parameter dari persamaan struktural


39

diperoleh dengan cara unik (hanya satu-satunya nilai) atau dengan kata lain,

hanya ada satu nilai angka untuk menaksir satu parameter dari persamaan

struktural.

3. Jika K – k < m – 1, maka persamaan tersebut tidak dapat diidentifikasikan

(unidentified), maksudnya parameter dalam persamaan tersebut tidak dapat

diperkirakan atau ditaksir karena jumlah variabel eksogen lebih sedikit dari

jumlah variabel endogen dikurangi satu (Gujarati, 1997).

di mana :
M = banyaknya variabel endogen dalam model
m = banyaknya variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu
K = banyaknya variabel yang ditentukan nilainya predetermined variables di
dalam model
k = banyaknya variabel yang ditentukan nilainya dalam suatu persamaan
tertentu (Gujarati, 1997).

Model persamaan yang digunakan memiliki variabel endogen (M) sebanyak


4 buah dan variabel bebas dalam model (K) sebanyak 15 buah. Persamaan
produksi (penawaran) CPO memiliki variabel endogen (m) sebanyak 2 buah dan
variabel bebas dalam persamaan (k) sebanyak 7 buah, sehingga dengan
menggunakan rumus K – k  m – 1 maka diperoleh :
K–km–1
15 – 6 > 2 - 1
9 > 1 (overidentified)

Persamaan permintaan CPO memiliki variabel endogen (m) sebanyak 3


buah dan variabel bebas dalam persamaan (k) sebanyak 5 buah, sehingga
dengan menggunakan rumus yang sama diperoleh :
K–km–1
15 – 5 > 3 - 1
10 > 2 (overidentified)
40

Persamaan ekspor CPO memiliki variabel endogen (m) sebanyak 3 buah


dan variabel bebas dalam persamaan (k) sebanyak 5 buah, sehingga dengan
menggunakan rumus yang sama diperoleh :
K–km–1
15 – 5 > 3 - 1
10 > 2 (overidentified)

Sedangkan persamaan harga CPO domestik memiliki variabel endogen


(m) sebanyak 3 buah dan variabel bebas dalam persamaan (k) sebanyak 6 buah,
sehingga dengan menggunakan rumus yang sama diperoleh :
K–km–1
15 – 6 > 3 - 1
9 > 2 (overidentified)

Untuk menaksir persamaan yang overidentified digunakan metode kuadrat


terkecil dua tahap (2SLS) (Gujarati, 1997).
4.2.2. Metode Analisis Kuadrat Terkecil Dua Tahap ( 2SLS )
Penaksiran dengan menggunakan metode 2SLS meliputi tiga tahapan
sebagai berikut :
1. Melakukan regresi variabel endogen atas semua variabel yang ditetapkan

terlebih dahulu predetermined variables dalam model keseluruhan, agar tidak

terjadi korelasi antara variabel endogen dengan unsur gangguan.

2. Menggantikan persamaan semula dengan persamaan hasil regresi pada tahap

pertama dan kemudian menerapkan metode kuadrat terkecil biasa untuk

menaksirkan parameter persamaan.

3. Melakukan penaksiran parameter persamaan tersebut.

4.2.3. Pengujian Parameter


Untuk melihat pengaruh dari masing-masing variabel independen, apakah
cukup berarti dalam mempengaruhi variabel dependennya, maka digunakan uji
statistik F hitung dengan menggunakan analisis sidik ragam sebagai berikut :
41

Tabel 2. Analisis Sidik Ragam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Kuadrat
Keragaman Bebas ( JK ) Tengah F hitung
( SK ) ( db ) ( KT )
Regresi ( XiY - XiY ) JKR KTR
K n K KTG
Galat (n-K)-1 JKT – JKR JKG
( n-K) – 1
Total n-1 Yi2 – (Yi )2
n

Hipotesis :
H0 : 1,  1, 1, 1 = 0 ; Hi : Paling tidak ada 1,  1, 1 dan 1 yang tidak sama
dengan nol.

Kaidah Pengujian :
Jika F hitung  F tabel, maka terima H0 yang berarti tidak terdapat pengaruh
yang nyata ( signifikan ) antara variabel independen dengan variabel
dependennya. Jika F hitung  F tabel, maka tolak H0 yang berarti terdapat
pengaruh yang nyata antara variabel independen dengan variabel dependennya.
Selanjutnya, berdasarkan uji F tersebut dilakukan uji statistik t hitung untuk
menguji seberapa besar pengaruh dari masing-masing variabel independen
tersebut. Rumus uji statistik t hitung adalah sebagai berikut :
 bi   bi 
t hitung =   =  
 se (bi)   var bi 
Hipotesis :
H0 : 1 = 0 ; Hi : 1  0
Kaidah pengujian :
Jika t hitung  t tabel, maka terima H0 yang berarti tidak terdapat pengaruh yang
nyata (signifikan) antara variabel independen dengan variabel dependen. Jika t
hitung  t tabel, maka tolak H0 yang berarti terdapat pengaruh yang nyata antara
variabel independen dengan variabel dependen.
42

4.2.4. Metode Pengujian Autokorelasi


Oleh karena data yang digunakan data time series dalam analisis dimana
data sering terjadinya korelasi antara data yang saling berdekatan, maka untuk
mendeteksinya dapat dilakukan dengan uji d-Durbin Watson dengan mengguna-
kan rumus sebagai berikut :

 (e  e
t t 1 )2 ( e 2t   et 12  2 et .et 1 )
d= ; d=
e t
2
e t
2

Hipotesis :
d  dL : Menolak H0
d  4 - dL : Menolak H0

dU  d  4 dU : Tidak menolak H0

dL  d  dU : Pengujian tidak meyakinkan

4 – dU  d  4 - dL : Pengujian tidak meyakinkan

4.2.5. Metode Pengujian Multikolinieritas

Secara teoritis ada tidaknya multikolinieritas dapat diketahui melalui ada


tidaknya korelasi antar peubah eksogenus. Dalam analisis ini pengujian
multikolinieritas ini tidak dilakukan, karena data yang digunakan adalah data time
series dan digunakan metode persamaan simultan, dimana hubungan antar
peubah eksogenus maupun peubah endogenus yang digunakan dalam model
adalah saling terkait atau berhubungan secara simultan antara satu variabel
dengan variabel lainnya.
43

IV. V. GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT INDONESIA

5.1. Asal usul Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan tanaman yang diyakini berasal dari Afrika Barat,

yang kemudian menyebar ke benua Amerika dan Asia melalui perdagangan dan

kolonisasi. Namun Drude berpendapat bahwa kelapa sawit berasal dari benua

Amerika tepatnya Brazilia, dengan alasan bahwa Afrika hanya memiliki satu jenis

spesies dari marga (genus), yaitu Elaeis guineensis sedangkan di Amerika terda-

pat jenis lainnya yaitu Elaeis Melanococca. Dan seluruh kelompok Cocoineae

mempunyai hubungan fisiologis genetis dengan marga Elaeis dan 20 marga

lainnya yang mempunyai 200 spesies. Pendapat Drude didukung oleh Cook pada

tahun 1942, yang menyatakan bahwa kelapa sawit tumbuh secara spontan di

pantai-pantai Amerika. Cook juga menyatakan bahwa semua genus kelapa sawit

yang ada di tempat-tempat lain termasuk Afrika berasal dari Brazilia yang terbawa

oleh orang-orang Portugis (Soetrisno dan Winahyu, 1991).

Penyebaran tanaman kelapa sawit di dunia dapat ditinjau dari penemuan

fosil-fosil dan perjalanan sejarah eksplorasi dunia. Pada tahun 1964 Zeven

menemukan fosil benang sari (pollen) di lapisan miocene maupun lapisan yang

lebih muda di Delta Nigeria, hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit sudah ada di

Afrika sejak dahulu kala. Tetapi Seward tidak menemukan fosil di lapisan

cretaceous di Nigeria (Soetrisno dan Winahyu, 1991).

Catatan sejarah menjelaskan bahwa perkembangan tanaman kelapa sawit

banyak dihubungkan dengan kejadian-kejadian pelayaran eksplorasi dunia yang

menonjol, seperti eksplorasi Colombus, pelaut-pelaut Spanyol, Portugis, Arab dan

Marcopolo. Benua Amerika ditemukan oleh Colombus pada tahun 1489, kemudia
44

pelaut Spanyol dan Portugis menemukan Brazil pada tahun 1500. Eksplorasi

Portugis di Guinea pada taun 1434 dan 150 tahun kemudian oleh Belanda dan

Inggris. Laporan eksplorasi sampai pada saat itu tidak pernah menyebutkan

ditemukannya tanaman kelapa sawit di benua tersebut, sehingga dapat dikataka

bahwa sampai pada pertengahan abad ke-16 tanaman kelapa sawit belum

tersebar di Benua Amerika (Soetrisno dan Winahyu, 1991).

Pada tahun 1456/1457 Diogo Gomes dalam laporan perjalanannya ke Afrika

menyebutkan adanya pohon palem dalam jumlah yang banyak. Kemudian Ca’da

Mosto tahun 1435-1460 menyebutkan secara jelas dan tegas adanya palem yang

diduga kuat tanaman kelapa sawit dalam laporan perjalanannya ke Afrika Barat.

Duerte Pacheco Pareira dalam pelayarannya tahun 1506-1508 menyebutkan

adanya belukar palem di utara Liberia dan adanya perdagangan minyak kelapa

sawit dekat sungai Forcados, Nigeria. Kemudian Clusius pada tahun 1605 men-

catat bahwa kelapa sawit terdapat di pantai Guinea. Berdasarkan bukti penemu-

an fosil dan sejarah perjalanan eksplorasi dunia tersebut dapat disimpulkan bahwa

tanaman kelapa sawit yang berkembang dan menyebar di seluruh dunia pada

saat ini berasal dari benua Afrika (Soetrisno dan Winahyu, 1991).

Dewasa ini Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen utama

kelapa sawit dunia meskipun kedua negara tersebut bukan negara asal mula

kelapa sawit dunia. Sejarah industri perkebunan kelapa sawit sangat unik karena

dua hal, yakni : (1) industri perkebunan kelapa sawit justru mula-mula muncul di

AsiaTenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia dan bukan di Afrika Barat yang

menjadi daerah asal tanaman kelapa sawit dan (2) tidak ada hubungan antara

kelapa sawit yang berasal dari Afrika dengan perkembangan industri kelapa sawit
45

di Asia Tenggara, dalam artian kelapa sawit yang ditanam di Indonesia dan

Malaysia tidak berasal dari Afrika (Soetrisno dan Winahyu, 1991).

Indonesia pertama kalinya menerima empat batang bibit kelapa sawit dari

Bourbon (Mauritius) dan Amsterdam masing-masing dua batang. Empat batang

bibit kelapa sawit ini kemudian ditanam di Kebun Raya bogor pada tahu 1848.

Anakan dari empat batang kelapa sawit tersebut yang kemudian dipindahkan ke

Deli, Sumatera Utara. Selanjutnya dengan kelapa sawit Deli tersebut menjadi bibit

tanaman kelapa sawit yang digunakan oleh perkebunan kelapa sawit di Deli dan

Malaysia (Tim PS , 1994).

5.2. Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia

Pada tahun 1869 pemerintah kolonial Belanda telah mengembangkan

tanaman kelapa sawit di Muara Enim dan pada tahun 1870 di Musi Hulu. Bapak

kelahiran industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Andrien Hallet

yang berasal dari Belgia, dimana pada tahun 1911 beliau telah membudidayakan

kelapa sawit secara komersial dalam bentuk perkebunan di Sungai Liput (Aceh)

dan Pulu Raja (Asahan) (Tim PS, 1994)

Pada masa pendudukan Belanda pertumbuhan perkebunan besar kelapa

sawit telah berjalan sangat cepat sehingga sangat menguntungkan bagi pereko-

nomian pemerintah Belanda. Pada masa pendudukan Jepang (1942), pemerin-

tah Jepang meneruskan perkebunan kelapa sawit tersebut dan hasilnya dikirim ke

Jepang sebagai bahan mentah industri perang. Kemudian semuanya terhenti

pada tahun 1943 sebagai akibat terjadinya serangan sekutu (Risza, 1994).

Pada tahun 1947 Pemerintah Belanda merebut kembali 2/3 dari perkebun-

an yang pernah dikuasai oleh kelaskaran, kemudian menjelang akhir tahun 1948
46

maskapai-maskapai perkebunan asing hampir memperoleh perkebunan mereka

masing-masing dan menjadi milik mereka kembali. Pada tahun 1957 seluruh

perusahaan milik maskapai Belanda diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.

Namun pada akhir Desember 1967 milik perusahaan Inggris, Perancis, Belgia dan

Amerika dikembalikan lagi kepada pemiliknya (Risza, 1994).

Pada masa Orde Lama perkebunan kelapa sawit relatif sangat terlantar,

karena tidak ada peremajaan dan rehabilitasi pabrik. Akibatnya produksi menu-

run drastis dan kedudukan Indonesia di pasaran internasional sebagai pemasok

minyak sawit nomor satu di dunia sejak tahun 1966 telah digeser oleh Malaysia

hingga sekarang ini. Pada masa Orde Baru telah mulai membangun kembali

perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dengan mengadakan peremaja-

an dan penanaman baru. Selanjutnya pemerintah telah bertekad pula mem-

bangun perkebunan kelapa sawit dengan berbagai pola. Sejak tahun 1975

muncul berbagai pola pengembangan perkebunan kelapa sawit diantaranya

adalah pola Unit Pelaksana Proyek (UPP) dan Proyek Pengembangan Perke-

bunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU). Kemudian pada periode tahun 1977/

1978 dikembangkan pola proyek NES (Nucleous Estate Smallholder) atau PIR-

BUN (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan), antara lain : PIR Lokal, PIR Khusus,

PIR Berbantuan. Sejak tahun 1984 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Per-

tanian No.853/1984, pengembangan perkebunan besar kelapa sawit dilakukan

dengan pola PIR. Selanjutnya pada tahun 1986 muncul lagi pola PIR-TRANS.

Kemudian sejak tahun 1986 sesuai dengan Instruksi Presiden (INPRES)

No.1/1986 telah ditetapkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit

dengan pola PIR harus dikaitkan dengan program transmigrasi (Tim PS, 1994).
47

5.3. Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia

Kehadiran industri kelapa sawit di Indonesia telah memberikan manfaat dan

kontribusi yang berarti bagi perekonomian Indonesia, peran industri kelapa sawit

tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dalam pembangunan daerah,

peningkatan pendapatan petani dan penyediaan lapangan kerja, kontribusinya

terhadap pendapatan nasional dan peranannya sebagai pemasok bahan baku

industri minyak goreng domestik serta mendukung pengembangan industri hilir

domestik lainnya. Peranan industri kelapa sawit dalam pembangunan daerah

didukung oleh pergeseran pola kebijakan investasi di bidang perkebunan kelapa

sawit dari pola investasi pemerintah ke pola investasi gabungan pemerintah dan

swasta serta pemberian modal kepada masyarakat melalui kredit untuk

pengembangan perkebunan pola swadaya. Untuk mendukung pola investasi ini,

pemerintah juga memberikan fasilitas dan kemudahan bagi investor swasta untuk

menanamkan modalnya di bidang perkebunan kelapa sawit, seperti penyediaan

sarana (infrastruktur) pendukung dan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) paling

sedikit selama 35 tahun. Implikasi pola investasi ini mengakibatkan laju pening-

katan luas areal perkebunan kelapa sawit milik swasta dan swadaya meningkat

tajam.

Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit swasta yang dikembang-

kan dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) telah mengakibatkan penyebaran

luas areal semakin terdistribusi di 16 propinsi di Indonesia, tidak hanya Sumatera

tetapi juga pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Perkembangan luas areal

ini semakin tersebar, ini telah menimbulkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi

dan kegiatan-kegiatan ekonomi baru di daerah pengembangan sebagai efek


48

ganda (multiflier effect), seperti transportasi, perdagangan, agrowisata, perhotel-

an, restoran dan lain-lain. Semakin luasnya areal perkebunan kelapa sawit dan

semakin tingginya harga minyak kelapa sawit di pasaran internasional telah men-

jadikan kelapa sawit sebagai “komoditas primadona Indonesia” pada beberapa

tahun terakhir ini. Harga minyak kelapa sawit yang tinggi akan berdampak pada

peningkatan harga TBS (Tandan Buah Segar) yang diterima petani peserta PIR

dan swadaya. Bila harga TBS meningkat maka pendapatan petani juga akan

semakin besar, sehingga secara umum pendapatan petani kelapa sawit menjadi

relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan petani komoditi lain.

Sementara itu, apabila dilihat dari sisi keterpaduan industri perkebunan

kelapa sawit mulai dari proses agronomis, penanganan pasca panen dan peng-

olahannya, telah menyebabkan terjadinya penggunaan sistem produksi manual

yang lebih ekonomis. Sehingga industri kelapa sawit menjadi sektor yang bersi-fat

labor intensive yang sangat penting peranannya sebagai peyedia lapangan kerja.

Sebagai salah satu komoditi ekspor nonmigas, industri kelapa sawit telah ikut

serta meningkatkan pendapatan negara. Kontribusi sektor kelapa sawit ter-hadap

total ekspor Indonesia pada periode 1980-1998 mengalami pertumbuhan sebesar

18,10 % per tahun dan terhadap ekspor nonmigas mencapai 8,08 % per tahun.

Dengan demikian peran sektor perkebunan kelapa sawit terhadap per-olehan

devisa negara semakin penting untuk diperhitungkan di masa-masa mendatang

(Rifai, 2001)

Sebagai pemasok bahan baku industri minyak goreng peran perkebunan

kelapa sawit semakin penting, karena minyak goreng yang berasal dari minyak

kelapa sawit banyak digunakan masyarakat daripada minyak kelapa sejak

terjadinya krisis minyak kelapa pada era tahun 1970-an. Sehingga stabilitas
49

pasokan minyak kelapa sawit untuk industri minyak goreng semakin penting

peranannya dalam menjaga stabilitas harga minyak goreng domestik. Maka untuk

menjaga stabilitas pasokan bahan baku industri minyak goreng, pemerintah telah

turut serta dalam pengaturan perdagangan kelapa sawit untuk pasar domestik dan

ekspor melalui pengaturan sistem distribusi dan penerapan pajak ekspor.

Selain digunakan sebagai bahan baku industri minyak goreng, minyak

kelapa sawit (CPO) juga banyak digunakan oleh industri-industri hilir yang dapat

dikembangkan misalnya : Industri makanan seperti mentega, lemak untuk masak

(shortening), bahan additif, pembuatan es krim, makanan ternak dan industri

makanan lainnya. Industri kosmetika dan obat-obatan seperti cream, shampoo,

lotion, pomade, juga banyak menjadikan CPO sebagai bahan baku karena

mengandung vitamin A yang mudah diabsorbsi dan kaya vitamin E yang dike-

tahui sebagai oksidan yang bertindak sebagai proaktif. Pada industri ringan

minyak kelapa sawit banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun,

semir sepatu, lilin, detergen, tinta cetak dan lain-lain. Kemudian untuk industri

berat seperti industri tekstil, CPO digunakan sebagai bahan pelembut dan flek-

sibel karena mudah dihilangkan, pada industri otomotif CPO digunakan sebagai

bahan pelumas karena tahan pada tekanan dan suhu yang tinggi dan pada

indutsri kawat digunakan sebagai cold rolling dan fluxing agent, serta sebagai

bahan pemisah biji tembaga dan cobalt pada industri perak. Tandan kosong dan

serabut kelapa sawit dapat digunakan oleh industri kertas dan pupuk. Cairan

limbah dapat digunakan sebagai pupuk dan daun kelapa sawit digunakan sebagai

hijauan makanan ternak. Secara lebih jelas industri-industri dan produk yang

dihasilkan dari tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada pohon industri kelapa

sawit (Lampiran 1).


50

5.4. Kondisi Petani Dalam Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Petani dalam perkembangan perkebunan kelapa sawit merupakan faktor

yang sangat penting, karena dalam memperoleh lahan tentunya pengusaha

berhubungan secara langsung dengan petani selaku pemilik lahan dan secara

tidak langsung berhubungan dengan petani atau masyarakat yang berada di

sekitar lahan pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut. Terutama

perkebunan rakyat, dimana petani berperan langsung sebagai pengelola perke-

bunan kelapa sawit. Begitu juga pada perkebunan pemerintah dan swasta yang

dalam hal ini petani berperan sebagai tenaga kerja dalam setiap tahap kegiatan

budidaya atau produksi kelapa sawit. Oleh karena itu petani merupakan salah

satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan pengusahaan perkebunan

kelapa sawit, dan juga mempengaruhi peningkatan produksi kelapa sawit. Namun

sampai saat ini perlakuan yang kurang atau tidak adil masih merupakan problema

besar dan berkepanjangan dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia, baik

dalam hal ketenagakerjaan (upah), lahan maupun masalah kesejahteraan petani.

Kebijakan pemerintah dalam perdagangan kelapa sawit yang terlihat tidak

mendukung peningkatan kesejahteraan petani. Hal ini dapat dibuktikan, adanya

kebijakan pajak ekspor yang berpengaruh negatif atau buruk terhadap penda-

patan riil petani, dimana peningkatan pajak ekspor sebesar 1 juta Rupiah akan

berakibat pada penurunan pendapatan petani sebesar 0,1 ton yang hampir sama

dengan perkebunan besar negara. Ini tentunya menunjukkan kondisi yang tidak

adil bagi petani. Pendapatan antara petani perkebunan rakyat relatif lebih besar

bila dibandingkan dengan perkebunan besar negara (inti), hanya tahun 1998 lebih

kecil, yakni 46,56 % Namun mengingat lebih besarnya jumlah petani yang
51

melakukan usaha, dengan kata lain yang menggantungkan hidupnya pada kelapa

sawit lebih banyak daripada perkebunan besar dan juga terlihat dari tahun ke

tahun perkembangan pendapatan petani yang kian menurun, maka kondisi

tersebut menunjukkan perlakuan proporsi pembagian yang belum mencerminkan

suatu keadilan. Untuk lebih jelasnya kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3

berikut ini.

Tabel 3. Proporsi Pembagian Pendapatan Antara Petani

dengan Perkebunan Besar (inti)

Tahun Petani Perkebunan Besar (inti)

(%) (%)

1994 63,45 36,55

1995 61,79 38,21

1996 60,13 39,87

1997 55,31 44,69

1998 46,56 53,44

1999 50,16 49,84

Sumber : Dirjend. Perkebunan, 1999 (dalam Sunarjo, 2001)

Dengan demikian, berdasarkan problema di atas untuk masa-masa men-

datang diharapkan pemerintah untuk lebih memokuskan diri pada peningkatan

kesejahteraan petani yang selama ini belum bisa menikmati keuntungan seba-

gaimana yang dinikmati oleh pemerintah dan pengusaha. Kebijakan yang seadil-

adilnya sangat diharapkan oleh petani bagi peningkatan pendapatannya, bukanlah

kebijakan-kebijakan yang malah menguntungkan bagi pengusaha dan pemerintah

itu sendiri.
52

5.5. Perkembangan Luas Areal Dan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia

Perkembangan luas areal dan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia

akan ditinjau dari beberapa aspek penting, yakni penyebaran perkebunan kelapa

sawit, pola pengusahaan perkebunan kelapa sawit, perkembangan luas areal

kelapa sawit, dan perkembangan produksi minyak kelapa sawit (CPO).

5.5.1. Penyebaran Perkebunan Kelapa sawit di Indonesia

Penyebaran Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia juga mengalami per-

kembangan, dimana daerah-daerah sekitar garis katulistiwa di Indonesia yang

secara klimatologis merupakan daerah potensial bagi pertumbuhan kelapa sawit

terus berbenah diri dengan membuka peluang investor agar menanamkan

modalnya di bidang perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut. Pada tahun

1988 sebesar 96,27 % total produksi CPO perkebunan kelapa sawit Indonesia

disumbangkan oleh perkebunan kelapa sawit yang tersebar di pulau Sumatera.

Dan dapat juga dilihat bahwa pada tahun 1988 perkebunan kelapa sawit baru

tersebar di 14 propinsi di Indonesia. Pada tahun 1997 perkebunan kelapa sawit

telah tersebar di 16 propinsi di Indonesia. Walaupun demikian Pulau Sumatera

masih tetap menjadi sentra utama produksi kelapa sawit Indonesia, dan pulau-

pulau lain juga telah menunjukkan perkembangan. Hal ini terlihat terjadinya

peningkatan produksi kelapa sawit di Kalimantan yang telah mencapai 8,13 % dari
53

total produksi CPO Indonesia, Sulawesi 1,69 %, Irian Jaya 0,95 % dan Jawa Barat

0,62 % (Lampiran 2).

Luas Areal Perkebunan kelapa sawit pada daerah pengembangan tersebut

masih terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 luas areal perkebunan

kelapa sawit di pulau Sumatera sebesar 75,49 % dari total luas areal perkebunan

kelapa sawit Indonesia dengan pangsa produksi 87,98 % dari produksi nasional.

Distribusi areal perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatera mengalami

pergeseran dari propinsi Sumatera Utara kelapa sawit propinsi Riau, yang mana

dapat dilihat dari pangsa luas areal perkebunan kelapa sawit Riau yang mencapai

20,73 % dari luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia, sedangkan Sumatera

Utara hanya 19,75 %. Sementara itu, pulau Kalimantan mampu meningkatkan

luas areal perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 18,97 %, disusul oleh

Sulawesi, Irian jaya dan Jawa masing-masing 3,87 %, 1,00 % dan 0,68 %

(Lampiran 3 dan Lampiran 4).

Pulau Kalimantan dan Irian Jaya merupakan daerah potensial untuk

pengembangan perkebunan kelapa sawit, hal ini ditunjukkan pada Tabel 4,

dimana kedua propinsi tersebut memiliki luas lahan yang berpotensi baik untuk

pengembangan perkebunan kelapa sawit terluas dibandingkan dengan daerah-

daerah lain. Hampir seluruh propinsi di Kalimantan memiliki arel berpotensi baik

untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kemudian Irian Jaya dan Riau.

Tabel 4. Potensi luas areal pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Propinsi Luas areal (000 Ha)

Berpotensi Baik Berpotensi Sedang

Sumatera Utara 334 96


54

Riau 973 223

Bengkulu 409 -

Kalimantan Barat 3,283 292

Kalimantan Tengan 3,198 1,250

Kalimantan Timur 4,221 305

Sulawesi Tengah 164 136

Sulawesi Selatan 197 78

Irian Jaya 5,957 588

Total 18,736 2,968

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa sawit, 2000 (dalam Rifai, 2001)

5.5.2. Pola Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

Perkembangan luas areal kelapa sawit menurut keadaan tanaman

mengindikasikan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia untuk tahun-tahun

mendatang akan semakin pesat dan cenderung dikuasai oleh perkebunan swasta

dan rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh luas areal perkebunan kelapa sawit dengan

keadaan tanaman belum menghasilkan (TBM) untuk tahun 1998 mencapai 39,06

% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia pada berbagai pola

pengusahaan.

Perkebunan swasta nasional dan asing memiliki luas areal TBM 61,39 %

dari total luas areal TBM di Indonesia. Sementara itu, perkebunan rakyat baik

sebagai plasma, swadaya perbantuan maupun swadaya murni memiliki 32,09 %.

Sedangkan perkebunan pemerintah hanya memiliki 6,25 % luas areal TBM dari

luas areal TBM di Indonesia. Sehingga sesuai dengan sifat agronomis tanaman
55

kelapa sawit yang berproduksi 4-5 tahun setelah tanam, dapat diperkirakan

produksi perkebunan swasta san rakyat akan semakin mendominasi produksi

kelapa sawit di Indonesia. Untuk lebin jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Status

Pengusahaan, Pola Pengembangan dan Keadaan Tanaman, 1998

Luas Areal

Uraian TBM Pangsa TBM Pangsa Jumlah


56

(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha)

Perkebunan Rakyat (PR) 349.604 32.09 540.902 31.83 890.506

a. Plasma 221.584 20.34 421.005 24.77 642.589

b. PRPTE - - - - -

c. UPP Perbantuan - - - - -

d. Partial - - - - -

e. Swadaya Perbantuan 2.500 0.23 2.590 0.15 5.090

f. Swadaya Murni 125.520 11.52 117.307 6.90 242.827

Perkebunan Besar Negara (PBN) 70.990 6.52 418.153 24.60 489.143

a. Inti 12.556 1.15 85.086 5.01 97.642

b. Non inti 58.434 5.36 333.067 19.60 391.501

Perkebunan Besar Swasta (PBS) 668.711 61.39 740.423 43.57 1.409.134

1). PBS Nasional 654.830 60.11 660.627 38.87 1.315.457

a. Program 182.184 16.72 195.606 11.51 377.790

b. Inti - - - - -

c. Non Program 472.646 43.39 465.021 27.36 937.667

2). PBS Asing 13.881 1.27 79.796 4.70 93.677

Indonesia (PR+PBN+PBS) 1.089.305 39.06 1.699.478 60.94 2.788.783

Sumber : Dirjen. Perkebunan (Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa Sawit), 2000

Keterangan : TBM : Tanaman Belum Menghasilkan

: TM : Tanaman Menghasilkan

Berdasarkan Tabel 5 di atas dapat diperhatikan bahwa perkebunan kelapa

sawit dengan pola perkebunan rakyat telah berkembang, tidak hanya perkebun-an

sebagai plasma dari pengembangan pola PIR tetapi juga telah berkembang
57

perkebunan rakyat dengan pola swadaya murni. Hal ini menunjukkan bahwa

petani Indonesia telah memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam memilih

komoditi yang memiliki prospek perkembangan ke depan yang akan memberikan

penghasilan yang lebih besar.

5.5.3. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa sawit Indonesia

Pola investasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk periode

1968-1998 merupakan pola investasi pemerintah melalui Perkebunan Besar

Negara (PBN). Pada tahun 1988 terjadi pergeseran pola investasi menjadi

investasi gabungan pemerintah dengan swasta yang mengembangkan pola PIR-

Trans, setelah tahun 1994 diberikan peluang bagi masyarakat untuk berusaha di

bidang perkebunan kelapa sawit melalui pemberian kredit investasi kepada

masyarakat oleh pemerintah serta memberikan peluang bagi penanaman modal

asing (PMA) di bidang perkebunan kelapa sawit. Pergeseran pola investasi ini

menunjukkan suatu dampak yang berarti bagi perkembangan perkebunan kelapa

sawit Indonesia, khususnya pada pola pengusahaan perkebunan kelapa sawit di

Indonesia (Rifai, 2001).

Pada tahun 1976, luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah

179.887 ha. Pemerintah melalui PBN menguasai 67,89 % dari luas areal terse-

but. Sampai pada tahun 1988 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia

masih dikuasai oleh pemerintah yakni sebesar 43,28 % dari total luas areal

perkebunan kelapa sawit Indonesia. Dengan adanya pergeseran pola investasi di


58

bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka pada tahun 2000 perkebunan

kelapa sawit Indonesia telah dikuasai oleh perkebunan swasta dan perkebunan

rakyat, hal ini terlihat dari 3.174.726 Ha total luas areal perkebunan kelapa sawit

Indonesia, 51,05 % dikuasai oleh perkebunan besar swasta, 33,16 % dikuasai

oleh perkebunan rakyat dan 15,79 % dikuasai oleh perkebunan pemerintah.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Berdasarkan

Pola Pengusahaan, 1976-2000

PR PBN PBS Total

Tahun Luas Pangsa Luas Pangsa Luas Pangsa Luas Pert

(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)

1976 1.426 1,34 122.127 67,89 55.342 30,76 179.887 -

1977 2.759 0,82 123.965 68,21 56.285 30,97 181.741 1,03

1978 2.910 1,41 140.121 67,83 63.543 30,76 206.577 13,67

1979 3.125 1,20 176.408 67,61 81.406 31,20 260.939 26,32

1980 6.175 2,10 199.538 67,74 88.847 30,16 294.580 12,89

1981 5.695 1,79 213.264 66,86 100.008 31,35 318.967 8,28

1982 8.537 2,59 224.440 68,03 96.924 29,38 329.901 3,43

1983 37.043 9,13 261.339 64,42 107.264 26,44 405.665 22,97

1984 40.552 7,92 340.511 66,50 130.958 25,58 512.021 26,22

1985 118.564 19,85 335.195 56,11 143.603 24,04 597.362 16,67

1986 129.904 21,41 332.694 54,83 144.182 23,76 606.780 1,58

1987 203.047 27,87 365.575 50,17 160.040 21,96 728.662 20,09

1988 196.279 22,75 373.409 43,28 293.171 33,98 862.859 18,42


59

1989 223.832 22,99 366.028 37,60 383.668 39,41 973.528 12,83

1990 291.338 25,86 372.246 33,04 463.093 41,10 1126.677 15,73

1991 384.594 29,34 395.183 30,14 531.219 40,52 1310.996 16,36

1992 439.468 29,95 389.761 26,56 638.241 43,49 1467.470 11,94

1993 502.332 31,14 380.746 23,60 730.109 45,26 1613.187 9,93

1994 572.544 31,73 386.309 21,41 845.296 46,85 1804.149 11,84

1995 658.536 32,52 404.732 19,99 961.718 47,49 2024.986 12,24

1996 738.887 32,85 426.804 18,97 1083.823 48,18 2249.514 11,09

1997 813.175 32,32 448.735 17,83 1254.169 49,85 2516.079 11,85

1998 890.506 31,93 489.143 17,54 1409.134 50,53 2788.783 10,84

1999 972.395 32,68 494.143 16,61 1508.582 50,71 2975.120 6,68

2000 1052.796 33,16 501.143 15,79 1620.787 51,05 3174.726 6,71

Sumber : Dirjend. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit), 2000

Keterangan : PR : Perkebunan Rakyat

PBN : Perkebunan Besar Negara

PBS : Perkebunan Besar Swasta

Berdasarkan Tabel 6 di atas, pola investasi oleh pemerintah terbukti efektif

dalam menunjang perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dan terlihat

adanya upaya untuk mengurangi dominasi pemerintah dan memberikan peluang

kepada masyarakat untuk berusaha di bidang perkebunan kelapa sawit.

Perkembangan luas areal perkebunan rakyat dan swasta yang pesat merupakan

konsekuensi dari pola investasi gabungan pemerintah dan swasta yang

menciptakan berbagai pola pengembangan perkebunan kelapa sawit, seperti pola

Unit Pelayanan Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan pola
60

swadaya/parsial. Sedangkan untuk perkebunan pemerintah dan swasta

dikembangkan pola perkebunan non PIR (HGU) dan pola inti-plasma (PIR).

5.5.4. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

Seiring dengan perkembangan luas areal, produksi minyak kelapa sawit

(CPO) di Indonesia juga mengalami kenaikan yang pesat. Produksi CPO

meningkat sepuluh kali, yaitu dari 433.880 ton pada tahun 1976 menjadi

6.226.425 ton pada tahun 2000, dengan pertumbuhan rata-rata 11,87 % per

tahun. Sesuai dengan pergeseran pola pengusahaan areal perkebunan kelapa

sawit, penguasaan produksi CPO juga mengalami pergeseran secara propor-

sional terhadap total produksi CPO di Indonesia.

Pembukaan peluang investasi di bidang perkebunan kelapa sawit kepada

swasta dan rakyat yang dimulai dari tahun 1988, telah mengakibatkan pangsa

produksi CPO perkebunan swasta lebih besar dari pangsa produksi perkebunan

pemerintah pada tahun 1994. Selama periode 1976-1993 perkebunan pemerintah

masih mendominasi produksi CPO di Indonesia dan pada tahun 1994 pangsa

produksi CPO swasta sebesar 39,01 % yang menggeser pangsa produksi CPO

perkebunan pemerintah yang hanya 38,38 %, sedangkan perkebunan rakyat

sebesar 20,50 % dari total produksi CPO Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Tabel 7 berikut ini.


61

Tabel 7. Perkembangan Produksi CPO Indonesia Berdasarkan Pola Pengusa-

haan Perkebunan 1976-2000

PR PBN PBS Total

Tahun Prod Pangsa Prod Pangsa Prod Pangsa Prod Pert

(Ton) (%) (Ton) (%) (Ton) (%) (Ton) (%)

1976 582 0,13 298.596 68,82 134.702 31,05 433.880

1977 619 0,12 347.769 69,91 149.050 29,96 497.438 14,65

1978 695 0,13 361.065 68,78 163.196 31,09 524.956 5,53

1979 760 0,12 438.756 68,40 201.724 31,45 641.420 22,19

1980 770 0,11 498.858 69,17 221.544 30,72 721.172 12,43

1981 1.045 0,13 533.399 66,67 265.616 33,20 800.060 10,94

1982 2.955 0,33 598.653 67,51 285.212 32,16 886.820 10,84

1983 3.454 0,35 710.431 72,27 269.102 27,38 982.987 10,84

1984 4.031 0,35 814.015 70,96 329.144 28,69 1147.190 16,70

1985 43.016 3,46 861.173 69,26 339.241 27,28 1243.430 8,39

1986 53.504 3,96 912.306 67,54 384.919 28,50 1350.729 8,63

1987 165.162 10,97 988.480 65,63 352.413 23,40 1506.055 11,50

1988 156.148 9,11 1102.692 64,36 454.495 26,53 1713.335 13,76

1989 183.689 9,35 1184.226 60,27 597.039 30,38 1964.954 14,69

1990 376.950 15,62 1247.156 51,69 788.506 32,68 2412.612 22,78

1991 413.319 15,55 1360.363 51,19 883.918 33,26 2657.600 10,15

1992 699.605 21,42 1489.745 45,61 1076.900 32,97 3266.250 22,90

1993 582.021 17,01 1469.156 42,94 1370.272 40,05 3421.449 4,75

1994 839.334 20,50 1571.501 38,38 1597.227 39,01 4094.483 19,67

1995 1001.443 22,36 1613.848 36,03 1864.379 41,62 4479.670 9,41


62

1996 1133.547 23,14 1706.852 34,84 2058.259 42,02 4898.658 9,35

1997 1292.829 24,03 1800.252 33,46 2287.366 42,51 5380.447 9,84

1998 1348.163 23,90 1857.089 32,93 2434.902 43,17 5640.154 4,83

1999 1441.319 24,07 1995.122 33,31 2552.742 42,62 5989.183 6,19

2000 1503.395 24,15 2065.519 33,17 2657.511 42,68 6226.425 3,96

Sumber : Dirjend. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit), 2000

Keterangan : PR : Perkebunan Rakyat

PBN : Perkebunan Besar Negara

PBS : Perkebunan Besar Swasta

Berdasarkan Tabel 7 di atas, selama priode 1976-2000 rata-rata pertum-

buhan produksi CPO perkebunan rakyat lebih besar dari perkebunan swasta dan

pemerintah, yakni masing-masing sebesar 82,8 % PR, 13,60% PBS dan 7,72 %

PBN. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan

peluang kepada masyarakat untuk melakukan usaha perkebunan kelapa sawit

yang diyakini mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia.

5.6. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia

Perkembangan ekspor CPO Indonesia selama periode 1976-2000

mengalami peningkatan yang cukup pesat dengan pertumbuhan rata-rata 22,36 %

per tahun, dimana lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor CPO dunia yang hanya

8,29 % per tahun. Tingginya peningkatan ekspor CPO Indonesia selama periode

tersebut seiring dengan pertumbuhan produksi CPO Indonesia. Pangsa ekspor

CPO Indonesia terhadap rata-rata ekspor CPO dunia sebesar 13,32 % per tahun.

Pada tahun 1976 pangsa ekspor CPO Indonesia sebesar 19,05 % terhadap total

ekspor CPO dunia dan pada tahun 2000 mencapai 26,77 %.

Dibandingkan dengan era tahun 1980-an, pangsa ekspor CPO Indonesia di

era 1990-an mengalami perubahan atau peningkatan. Hal ini selain disebab-kan
63

oleh peningkatan produksi yang cukup tinggi juga disebabkan oleh dukung-an

kebijakan yang mengatur tataniaga CPO di Indonesia. Pada tahun 1978

pemerintah mengeluarkan kebijakan kuota ekspor dan penjualan domestik yang

bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan bahan baku industri minyak goreng,

maka pemerintah melakukan subtitusi dari bahan baku kelapa menjadi bahan

baku CPO. Dengan demikian ekspor CPO dibatasi dan lebih diorientasikan

kepada pemenuhan kebutuhan industri minyak goreng domestik.

Pada tahun 1991, pemerintah melakukan pencabutan kuota ekspor dan

penjualan CPO domestik yang mengakibatkan rata-rata pangsa ekspor terhadap

produksi CPO Indonesia meningkat dari 50,23 % untuk periode 1976-1991

menjadi 50,79 % periode 1991-1994. Peningkatan volume ekspor ini kemungkinan

juga disebabkan oleh peningkatan produksi CPO Indonesia pada periode yang

sama yang mengalami pertumbuhan rata-rata dari 12,94 % per tahun menjadi

19,16 % per tahun. Pencabutan kuota ekspor dan penjualan CPO domestik pada

tahun 1991 juga memicu peningkatan ekspor CPO Indonesia, maka untuk

membatasi volume ekspor akibat kekurangan pasokan CPO untuk kebutuhan

industri domestik pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor CPO dan

produk turunannya pada tahun 1994. Kebijakan tersebut ternyata hanya mampu

menekan ekspor CPO Indonesia sampai pada tahun 1995, lalu pada tahun 1996

ekspor CPO Indonesia kembali meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kabijakan

pajak ekspor tidak memberikan respon yang berarti dalam membatasi ekspor

CPO Indonesia, karena kenaikan produksi CPO cenderung lebih mendorong

terjadinya kenaikan ekspor CPO Indonesia. Disamping itu juga, nilai tukar Rupiah

terhadap USD sebagai alat pembayaran dalam ekspor lebih menarik eksportir,

sehingga nilai tukar Rupiah terhadap USD yang terus meningkat secara parsial
64

mengakibatkan peningkatan ekspor CPO Indonesia yang terus meningkat. Untuk

lebih jelasnya tentang perkembangan produksi, ekspor CPO Indonesia, nilai tukar

Rupiah terhadap USD dan ekspor CPO di dunia tahun 1976-2000 dapat dilihat

pada Gambar 8 berikut ini.

14000.00

13000.00

12000.00

11000.00

10000.00

9000.00

8000.00

7000.00

6000.00

5000.00

4000.00

3000.00

2000.00

1000.00

0.00
1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Prod (000 Ton) Ekspor Indo (000 Ton) Ekspor Dunia (000 Ton) ERI Rp/USD

Gambar 8. Perkembangan Produksi, Ekspor CPO Indonesia, Nilai Tukar Rupiah

dan Ekspor CPO Dunia, tahun 1976-2000

Secara agregat pada Gambar 8 di atas dapat dilihat bahwa volume ekspor

CPO Indonesia padat tahun 1976 sebesar 405,6 ribu ton yang kemudian
65

meningkat menjadi 3.700 ribu ton pada tahun 2000. Selama periode 1976-2000

nila tukar Rupiah terhadap USD mengalami pertumbuhan 15,66 % per tahun.

Terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap USD pada tahun 1998 sebagai

imbas dari krisis yang menimpa perekonomian Indonesia, seharusnya daya saing

ekspor CPO Indonesia dari sisi harga di pasaran internasional akan mengalami

peningkatan. Namun ekspor CPO pada tahun tersebut justru mengalami

penurunan yang cukup drastis, hal ini terjadi sebagai akibat dari pemerintah yang

melakukan kuota ekspor CPO Indonesia dan penetapan pajak ekspor tertinggi

guna untuk membatasi laju ekspor CPO yang dapat meng-ganggu stabilitas

pasokan CPO bagi industri domestik.

5.7. Perkembangan Harga CPO Indonesia

Secara umum perkembangan harga CPO baik di pasaran domestik mau-pun

di pasar internasional mengalami fluktuasi yang tinggi mengikuti perkem-bangan

ekonomi negara-negara importir dan perkembangan produksi dan harga minyak

nabati lainnya. Pada Gambar 9, dapat dilihat perkembagan harga CPO di pasar

domestik yang merupakan rata-rata dari harga tender KPB yang dilaku-kan setiap

minggu berfluktuasi setiap tahun, demikian juga dengan harga ekspor dan rata-

rata harga dunia. Antara tahun 1980-1984 harga CPO di pasar domes-tik dan

harga dunia cenderung meningkat dan tahun 1984 merupakan harga puncak CPO

yang terjadi pada era 1980-an.

Setelah melewati harga puncak tersebut, harga CPO baik di pasar domestik

maupun di pasar internasional mengalami penurunan. Penurunan ini diakibatkan

oleh beberapa faktor penting yang berkaitan dengan situasi ekonomi dan politik

dunia. Antara lain adalah terjadinya booming produksi minyak kelapa sawit (CPO)
66

dan booming minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai dan minyak rape.

Terjadinya booming minyak kelapa sawit khususnya di Indonesia pada

pertengahan tahun 1980-an merupaka implikasi dari perubahan pola kebijakan

investasi di bidang perkebunan kelapa sawit, dengan membuka peluang kepada

perkebunan swasta dan perkebunan rakyat (swadaya) untuk membuka

perkebunan kelapa sawit, sehingga pada tahun 1984-1985 luas areal perkebunan

kelapa sawit yang berproduksi meningkat pesat (Tropis, 2001)

Faktor lain yang mempengaruhi melemahnya harga CPO pada tahun 1985

adalah situasi politik dunia seperti krisis Timur Tengah, yang menuntut negara-

negara maju melakukan impor minyak bumi besar-besaran, sehingga impor CPO

oleh negara-negara maju tersebut mengalami penurunan. Selain itu upaya

proteksi pemerintah terhadap minyak kedelai dan minyak rape di Amerika dengan

menerapkan subsidi ekspor, mengakibatkan pasokan kedua jenis minyak ini

meningkat terhadap pasokan minyak nabati dunia (Kosasih, 1990 dalam Rifai,

2001)

Pasar minyak kelapa sawit dunia semakin membaik setelah adanya upaya

pencabutan subsidi ekspor terhadap minyak kedelai dan minyak rape yang

banyak diproduksi oleh negara-negara Erofa dan Amerika. Sehingga pada tahun

1993 harga CPO mulai merangkak naik walaupun masih berfluktuasi pada tahun

1996. Perbaikan harga CPO ini semakin membuka peluang pasar CPO di

pasaran dunia, maka volume ekspor CPO Indonesia juga mengalami peningkatan.

Perkembangan harga CPO di pasar domestik dan harga dunia seperti pada

Gambar 9 sangat berfluktuatif. Penomena harga yang perkembangannya terlihat

bahwa ekspor CPO Indonesia mengikuti perkembangan harga dunia. Sementara


67

itu, perkembangan harga domestik cenderung mengikuti perkem-bangan harga

dunia dan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap USD.

Selain tingkat harga dunia, harga ekspor CPO Indonesia juga akan

ditentukan oleh tingkat nilai tukar mata uang Rupiah terhadap USD. Sehingga

apabila nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah (terdepresiasi) dalam kondisi

harga yang tetap mengakibatkan harga ekspor yang dinilai dengan Rupiah

semakin tinggi. Kondisi seperti ini akan mendorong laju ekspor CPO Indonesia

juga berkorelasi positif secara parsial dengan harga CPO dunia, hal ini

mengindikasikan bahwa tingkat harga ekspor CPO Indonesia ikut serta

menentukan tingkat harga CPO dunia. Demikian juga halnya dengan haga CPO

domestik yang mengikuti perkembangan harga ekspor CPO Indonesia.

Dalam perdagangan minyak nabati dunia, harga minyak kelapa sawit

cenderung lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya seperti

minyak kedelai, minyak rape, minyak kelapa dan minyak bunga matahari. Harga

yang lebih rendah ini menjadikan kemampuan daya saing minyak kelapa sawit

menjadi lebih tinggi dari minyak nabati lainnya, apalagi kemampuan subtitusinya

yang sama dengan minyak nabati lain. Kondisi inilah yang menja-dikan CPO

sebagai komoditas yang banyak diperdagangkan di dunia, dengan prospek yang

semakin baik. Perkembangan harga CPO domestik dan harga dunia CPO dilihat

pada Gambar 9 berikut ini.


68

Gambar 9. Perkembangan Harga CPO Domestik dan Dunia.

5.8. Pemasaran Minyak Kelapa Sawit (CPO) di Indonesia

Minyak kelapa sawit (CPO) yang dhasilkan oleh pabrik pengolahan kelapa

sawit dipasarkan pada pasar domestik dan pasar ekspor. Memperhatikan sistem

distribusi CPO pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa CPO produksi perkebunan

pemerintah (PTPN) dipasarkan oleh Kantor Pemasaran Bersama PT. Perkebun-

an Nusantara (KPB-PTPN), sedangkan CPO produksi perkebunan swasta

dipasarkan oleh perusahaan itu sendiri. Mencermati struktur distribusi tersebut,


69

menurut Soetrisno dan Winahyu (1991), terdapat dua kelompok perusahaan

dalam pemasaran CPO, yakni : (1) produsen yang berkewajiban untuk memenuhi

kebutuhan CPO industri domestik, yaitu kelompok perkebunan negara (PTPN)

dan petani pekebun peserta PIR, yang mana kelompok ini disebut juga dengan

kelompok “terkendali,” sedangkan (2) perusahaan yang tidak berkewajiban untuk

memasok CPO bagi kebutuhan industru domestik, atau dikatakan juga dengan

kelompok “tidak terkendali,” yang termasuk dalam kelompok ini adalah

perusahaan perkebunan swasta.

Lebih jauh sistem distribusi CPO tersebut dapat dilihat bahwa KPB akan

memasarkan CPO produksi perusahaan perkebunan milik pemerintah dan petani

pekebun peserta PIR baik untuk kebutuhan industri minyak goreng domestik milik

pemerintah maupun swasta. Kemudian untuk pasar ekspor KPB menggunakan

jasa perusahaan ekspor lokal (broker lokal) seperti PT. Indoham dan broker luar

negeri sebagai pedagang perantara. Penjualan CPO untuk kebutuhan domestik

oleh KPB biasanya dilakukan melalui tender yang dilakukan setiap minggu,

dengan peserta indutsri-industri yang menggunakan CPO sebagai bahan bau

seperti industri minyak goreng milik perusahaan swasta baik yang memiliki kebun

dan pengolahan TBS, maupun industri yang tidak memiliki kebun kelapa sawit.

Sedangkan CPO produksi perkebunan swasta akan dialokasikan untuk

kebutuhan industri pemroses CPO perusahaan itu sendiri, atau dijual ke pasar

ekspor. Ada kemungkinan perkebunan swasta melakukan ekspor CPO, apabila

terdapat kelebihan kebutuhan pemroses milik perusahaan tersebut dan apabila

harga di pasar ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan harga CPO domestik.

Dengan demikian perusahaan perkebunan negara (PTPN) dan petani pekebun

peserta PIR mendapat beban yang lebih berat daripada perusahaan perkebunan
70

swasta, karena pada saat kondisi pasar domestik baik (harga CPO domestik

tinggi) atau pasar ekspor yang lesu, maka industri-industri pemroses yang

menggunakan bahan baku CPO akan menggunakan CPO produksi kebun sendiri,

sedangkan produksi CPO perkebunan pemerintah dan pekebun peserta PIR akan

menumpuk atau diekspor dengan kondisi pasar yang lebih buruk. Sedangkan

apabila pasar ekspor baik, maka pemroses CPO swasta akan membeli CPO

produksi perkebunan pemerintah dan pekebun peserta PIR melalui KPB dan

menjual CPO produksi sendiri di pasar ekspor.


71

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penawaran CPO di Indonesia

Penawaran CPO di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat yang

seiring dengan peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit, dimana terbukti

pada tahun 1976 hanya 433,88 ribu ton yang kemudian meningkat menjadi

6226,425 ribu ton pada tahun 2000. Peningkatan penawaran CPO tersebut tentu

saja dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

penawaran CPO di Indonesia yang dianalisis dengan sistem 2SLS disajikan dalam

Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi penawaran CPO di Indonesia.

NO Variabel db Parameter Standar t hitung


Dugaan Kesalahan
1 PDCPO 1 -112,597949 76,393651 -1,474
2 PDMK 1 407,537411* 132,558060 3,074
3 PIN 1 -1674,157031 1161,670377 -1,441
4 LLKS 1 2,017545* 0,408084 4,944
5 TPER 1 698,221321* 130,400316 5,354
6 QSCPOL 1 0,059046 0,162615 0,363
7 KONSTANTA 1 -1599997,4253 329818,7974 -4,851

R2 = 0,99906 F hitung = 3200,49355, d-Durbin Watson = 1,900

Keterangan : Variabel terikat : Penawaran CPO (000 ton)


F tabel (0,05) : 2,59
t tabel (0,05) : 1,734
* nyata pada  : 0,05

Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi penawaran CPO di

Indonesia secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil analisis menunjukkan nilai F hitung yang diperoleh sebesar 3200,49355,

dimana F tabel (6,18) (0,05) adalah 2,59, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa semua variabel bebas yang dianalisis berpengaruh nyata


72

terhadap penawaran CPO. Koefesien determinasi yang diperoleh dari hasil

analisis sebesar 0,99906, artinya bahwa 99,906 % dari variabel penawaran CPO

di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam model.

Sedangkan sisanya 0,094 % dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak

dimasukkan dalam model. Tingginya nilai R 2 dilkarenakan variabel-variabel yang

digunakan dalam fungsi penawaran CPO di Indonesia saling terkait (hubungan

secara simultan), sehingga multikolinieritasnya akan sangat tinggi. Oleh karena

itu dalam persamaan simultan tidak dilakukan uji multikolinieritas (Gujarati, 1997).

Nilai d diperoleh dari hasil analisis dari uji d-Durbin Watson adalah 1,900 (pada

taraf nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63) berarti nilai d statistik ini berada diantara

dU dan 4-dU (dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan tidak terjadinya serial korelasi.

Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa model yang digunakan dalam fungsi penawaran CPO di Indonesia dapat

diterima sebagai model yang baik.

Berdasarkan hasil uji t, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO di

Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Harga CPO Domestik (PDCPO)

Harga CPO domestik secara jelas menunjukkan pengaruh yang tidak nyata

terhadap penawaran CPO di Indonesia. Hal ini berarti bahwa peningkatan atau-

pun penurunan jumlah penawaran CPO di Indonesia tidak dipengaruhi oleh besar

kecilnya penurunan maupun peningkatan harga CPO domestik Indonesia. Hal ini

wajar karena produsen CPO terutama perkebunan besar negara dan perkebunan

rakyat sudah terikat pada kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO bagi

industri domestik, sehingga produsen CPO menawarkan produksinya tidak lagi

memperhatikan naik turunnya harga.


73

2. Harga Minyak Kelapa Domestik (PDMK)

Harga minyak kelapa domestik berpengaruh nyata terhadap penawaran

CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi harga minyak kelapa domestik tidak akan menyebabkan turunnya jumlah

penawaran CPO di Indonesia oleh produsen. Akan tetapi, dengan koefisien

regresi sebesar 407,54 memperjelas bahwa naiknya harga minyak kelapa

domestik sebesar Rp 1,- akan meningkatkan jumlah penawaran CPO di Indonesia

sebesar 407,54 ton. Hal ini terjadi karena minyak kelapa belum atau kurang

mampu bersaing dengan CPO di pasaran Domestik, terutama dalam memenuhi

kebutuhan industri domestik.

3. Harga Pupuk (PIN)

Harga pupuk dalam hal ini sebagai harga input menunjukkan pengaruh yang

tidak nyata terhadap penawaran CPO di Indonesia, dalam artian bahwa

peningkatan maupun penurunan harga pupuk tidak akan berpengaruh terhadap

penawaran CPO di Indonesia. Hal ini terjadi karena produsen kelapa sawit dalam

menawarkan atau memproduksi CPO tidak terpengaruh oleh naik turunnya harga

pupuk sebab mereka harus memenuhi pasokan CPO bagi industri domestik. Dan

produsen beranggapan bahwa pupuk merupakan input yang penting dalam

peningkatkan produksi.

4. Luas Lahan Kelapa Sawit (LLKS)

Variabel luas lahan kelapa sawit setelah dianalisis menunjukkan pengaruh

yang sangat nyata dan mempunyai hubungan positif terhadap penawaran CPO di

Indonesia pada taraf nyata 0,05, dimana koefisien regresinya sebesar 2,02.

Artinya adalah kenaikan luas lahan kelapa sawit seluas 1 ha akan meningkatkan

jumlah penawaran CPO di Indonesia sebesar 2,02 ton. Hal ini jelas bahwa tujuan
74

produsen dalam menambah luas lahan adalah untuk meningkatkan produksi dan

produsen menganggap bahwa luas lahan merupakan salah satu modal yang

sangat berpengaruh dalam meningkatkan produksi dan penambahan luas lahan

merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan produksi CPO.

5. Teknologi Pertanian (TPER)

Teknologi pertanian dalam hal ini adalah tingkat produktivitas lahan

menunjukkan pengaruh yang sangat nyata dan mempunyai hubungan positif

terhadap penawaran CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05, dimana koefisien

regresinya 698,22. Hal ini berarti bahwa peningkatan produktivitas lahan sebesar

1 kg/ha akan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penawaran CPO di

Indonesia sebesar 698,22 ton, karena semakin tinggi tingkat produktivitas lahan

semakin tinggi pula produksi yang dihasilkan dan dengan teknologi tinggi

diharapkan menurunkan biaya rata-rata produksi.

6. Penawaran CPO Tahun Sebelumnya (QSCPOL)

Penawaran CPO tahun sebelumnya menunjukkan pengaruh yang tidak

nyata terhadap penawaran CPO di Indonesia, artinya bahwa meningkat maupun

menurunnya penawaran CPO tahun sebelumnya tidak mempengaruhi penawar-an

CPO di Indonesia. Hal in disebabkan karena upaya pemerintah dan produsen

kelapa sawit yang selalu mengadakan perluasan lahan kelapa sawit guna untuk

meningkatkan produksi CPO, dengan harapan mendapatkan keuntungan dan

tambahan devisa bagi negara tanpa memperhatikan adanya peningkatan maupun

penurunan jumlah penawaran CPO tahun sebelumnya. Dengan koefisien 0,04

menggambarkan bahwa penawaran CPO akan meningkat sebesar 0,04 ton bila

penawaran tahun sebelumnya meningkat 1 ton.


75

6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan CPO di Indonesia

Perkembangan permintaan CPO di Indonesia dipengaruhi oleh perkem-

bangan harga CPO domestik, perkembangan harga minyak kelapa domestik,

penawaran CPO di Indonesia, jumlah penduduk Indonesia dan pendapatan

penduduk Indonesia per kapita. Secara umum terlihat bahwa dari tahun 1976-

2000 permintaan CPO di Indonesia mengalami fluktuasi. Adapun faktor-faktor

yang mempengaruhi permintaan CPO di Indonesia yang dinalisis dengan sistem

2SLS disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi permintaan CPO di Indonesia.

NO Variabel db Parameter Standar t hitung


Dugaan Kesalahan
1 PDCPO 1 -1854,937658* 442,492627 -4,192
2 PDMK 1 200,789156 611,536207 0,328
3 QSCPO 1 -0,401956* 0,215457 -1,866
4 JP 1 11,012977 11,339058 0,971
5 I 1 11,049044* 2,314874 4.773
6 KONSTANTA 1 -2008278,6839 1583847,463 -1,268

R2 = 0,95698, F hitung = 84,53247, d-Durbin Watson = 1,953


Keterangan : Variabel terikat : permintaan CPO (000 ton)
F tabel (0,05) : 2,74
t tabel (0,05) : 1,729
* nyata pada  = 0,05

Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi permintaan CPO di

Indonesia secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 7.

Nilai F hitung yang diperoleh sebesar 48,47675, dimana F tabel (5,19) (0,05) adalah

2,74, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa semua

variabel bebas yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap permintaan CPO.

Koefesien determinasi yang diperoleh dari hasil analisis sebesar 0,95698, artinya

bahwa 95,698 % dari variabel permintaan CPO di Indonesia dapat dijelaskan oleh

variabel-variabel bebas yang ada dalam model. Sedangkan sisanya 4,302 %


76

dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Nilai d

yang diperoleh dari hasil analisis dari uji d-Durbin Watson sebesar 1,953 (pada

taraf nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63), berarti nilai d ini berada diantara d U

dan 4-dU (dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan tidak terjadinya serial korelasi.

Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa model yang digunakan dalam fungsi permintaan CPO di Indonesia dapat

diterima sebagai model yang baik.

Berdasarkan hasil uji t, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan CPO di

Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Harga CPO Domestik (PDCPO)

Harga CPO domestik berpengaruh sangat nyata dan memiliki hubungan

negatif terhadap permintaan CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefisien

regresinya sebesar -1854,94, ini berarti bahwa semakin tinggi harga CPO

domestik akan menurunkan permintaan CPO di Indonesia dalam artian bahwa

peningkatan harga CPO domestik Rp 1,- akan dapat mengurangi jumlah

permintaan CPO di Indonesia sebesar 1854,94 ton. Secara teori jelas bahwa

dengan asumsi faktor-faktor lain tetap, maka kenaikan harga suatu barang akan

menyebabkan konsumen kurang bergairah untuk mengkonsumsi barang tersebut,

karena konsumen akan memilih barang subtitusi yang memiliki harga yang relatif

lebih rendah.

2. Harga Minyak Kelapa Domestik (PDMK)

Harga minyak kelapa domestik tidak berpengaruh nyata terhadap permin-

taan CPO di Indonesia. Ini berarti bahwa kenaikan maupun penurunan harga

minyak kelapa domestik tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya peningkatan

maupun penurunan jumlah permintaan CPO di Indonesia, hal ini wajar karena
77

minyak kelapa kurang mampu bersaing dalam memenuhi permintaan industri

domestik. Dengan koefisien 200,79 menggambarkan naiknya harga minyak

kelapa domestik sebesar Rp 1,- akan meningkatkan jumlah permintaan CPO di

Indonesia sebesar 200,79 ton.

3. Penawaran CPO (QSCPO)

Berdasarkan hasil analisis terlihat jelas bahwa penawaran CPO di Indonesia

menunjukkan pengaruh nyata dan memiliki hubungan yang negatif terhadap

permintaan CPO di Indonesia pada taraf nyata 0,05, koefesien regresinya -0,40.

Hal ini menunjukkan bahwa naiknya penawaran CPO di Indonesia sebesar 1 ton

akan bisa berakibat pada menurunnya jumlah permintaan CPO di Indonesia

sebesar 0,40 ton. Kondisi ini terjadi karena jumlah penawaran produksi yang

semakin tinggi memungkinkan terjadinya peningkatan jumlah ekspor, akibatnya

harga CPO domestik akan meningkat sehingga permintaan akan CPO tersebut

akan mengalami penurunan.

4. Jumlah Penduduk (JP)

Dari hasil analisis jelas bahwa jumlah penduduk menunjukkan pengaruh

yang tidak nyata terhadap jumlah permintaan CPO di Indonesia. Hal ini berarti

bahwa peningkatan dan penurunan jumlah penduduk Indonesia tidak akan

berpengaruh terhadap jumlah permintaan CPO di Indonesia. Hal ini disebabkan

karena CPO pada umumnya dikonsumsi oleh industri minyak goreng yang

menggunakan bahan baku CPO dan perusahaan lain yang menggunakan bahan

baku CPO. Sehingga perubahan jumlah penduduk tidak mempengaruhi

permintaan CPO di Indonesia.


78

5. Pendapatan (I)

Pendapatan penduduk per kapita menunjukkan pengaruh yang sangat nyata

dan mempunyai hubungan yang positif terhadap penawaran CPO di Indonesia pada

taraf nyata 0,05, dimana koefesien regresinya 11,05. Ini berarti bahwa peningkatan

pendapatan penduduk per kapita akan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah

permintaan CPO di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya

pendapatan per kapita penduduk Indonesia sebesar Rp 1,- akan berpengaruh

terhadap meningkatnya jumlah permintaan CPO di Indonesia sebesar 11,05 ton.

Hal ini jelas bahwa pendapatan penduduk merupakan pertimbangan penting bagi

pengusaha dalam mengkonsumsi CPO terutama sebagai bahan baku minyak

goreng.

6.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia

Perkembangan ekspor CPO Indonesia selama periode 1976-2000 menga-

lami peningkatan yang cukup pesat dengan pertumbuhan rata-rata 22,36 % per

tahun. Tingginya peningkatan ekspor CPO Indonesia selama periode tersebut

seiring dengan pertumbuhan produksi CPO Indonesia. Pangsa ekspor CPO

Indonesia terhadap rata-rata ekspor CPO dunia sebesar 13,32 % per tahun.

Perkembangan ekspor CPO tersebut tidak lepas dari faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO

Indonesia yang dianalisis dengan sistem 2SLS disajikan dalam Tabel 10.
79

Tabel 10. Hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi ekspor CPO Indonesia.

NO Variabel db Parameter Standar t hitung


Dugaan Kesalahan
1 PWCPO 1 2284,766578* 724,874471 3.152
2 PDCPO 1 3211,085783* 1283,237726 2.502
3 QSCPO 1 0,210195* 0,077840 2,700
4 ERI 1 308,414842* 94,133683 3,276
5 NPR 1 -14964,816838* 7259,264430 -2,061
6 KONSTANTA 1 -535594,28638 277655,3274 -1,929

R2 = 0,90901, F hitung = 37,96466, d-Durbin Watson = 1,650

Keterangan : Variabel terikat : ekspor CPO (000 ton)


F tabel (0,05) : 2,74
t tabel (0,05) : 1,729
* nyata pada  = 0,05

Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi ekspor CPO

Indonesia secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 8.

Nilai F hitung yang diperoleh sebesar 37,93608, dimana F tabel (5,19) (0,05) adalah

2,74, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa semua

variabel bebas yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO

Indonesia. Koefesien determinasi yang diperoleh dari hasil analisis sebesar

0,90901, artinya bahwa 90,90 % dari variabel ekspor CPO Indonesia dapat

dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam model. Sedangkan

sisanya 9,10 % dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam

model. Nilai d yang diperoleh dari uji d-Durbin Watson adalah 1,650 (pada taraf

nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63), berarti nilai d ini berada diantara d U dan 4-dU

(dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi serial korelasi.

Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa model yang digunakan dalam fungsi ekspor CPO di Indonesia dapat

diterima sebagai model yang baik.


80

Berdasarkan hasil uji t, faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO

Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Harga Dunia CPO (PWCPO)

Hasil analisis menunjukkan bahwa harga dunia CPO berpengaruh sangat

nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf

nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 2284,77, ini berarti bahwa semakin

tinggi harga dunia CPO akan menambah jumlah ekspor CPO Indonesia dalam

artian bahwa peningkatan harga dunia CPO sebesar US$ 1,- akan dapat

menambah jumlah ekspor CPO Indonesia sebesar 2284,77 ton. Secara teori jelas

bahwa produsen akan termotivasi untuk mengekspor produknya apabila harga di

pasaran dunia semakin tinggi. Hal ini juga sejalan dengan teori Kindleberger

(1982), bahwa kuantitatif suatu produk yang diekspor mempunyai hubungan yang

positif dengan harga dunia dari produk tersebut, dalam artian naik turunnya harga

CPO di pasaran internasional sangat berpengaruh terhadap naik turunnya jumlah

ekspor CPO Indonesia.

2. Harga CPO Domestik (PDCPO)

Hasil analisis menunjukkan bahwa harga CPO domestik berpengaruh

sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO Indonesia pada

taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 3211,09 , ini berarti semakin tinggi

harga CPO domestik akan mempengaruhi naiknya jumlah ekspor CPO Indonesia

dalam artian bahwa peningkatan harga CPO domestik sebesar Rp 1,- akan dapat

meningkatkan jumlah ekspor CPO Indonesia sebesar 3211,09 ton. Hal ini terjadi

karena dalam pelaksanaan kegiatan ekspor pengusaha tidak terpengaruh oleh

besar kecilnya peningkatan harga CPO domestik, karena pengusaha terutama


81

perusahaan swasta lebih berminat untuk mengekspor CPO guna memenuhi

permintaan dunia.

3. Penawaran CPO (QSCPO)

Hasil analisis menunjukkan bahwa penawaran CPO di Indonesia

berpengaruh sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO

Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 0,21, ini berarti

bahwa semakin tinggi jumlah penawaran atau produksi CPO di Indonesia akan

meningkatkan jumlah ekspor CPO dalam artian bahwa peningkatan penawaran

CPO di Indonesia sebesar 1 ton akan dapat meningkatkan jumlah ekspor CPO

Indonesia sebesar 0,21 ton. Hal ini jelas bahwa meningkatnya jumlah produksi

CPO di Indonesia tentunya kemampuan dan jumlah ekspor CPO akan semakin

meningkat. Kondisi ini sejalan dengan upaya pemeritah yang terus memacu laju

pertumbuhan ekspor guna meningkatkan devisa yang diperoleh dengan jalan

meningkatkan produksi CPO.

4. Nilai Tukar Rupiah (ERI)

Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya nilai tukar Rupiah nominal

terhadap US$ berpengaruh sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap

ekspor CPO Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar

308,42, ini berarti bahwa semakin tinggi nilai tukar Rupiah nominal terhadap US$

maka akan semakin tinggi pula jumlah ekspor CPO Indonesia dalam artian bahwa

peningkatan nilai tukar Rupiah sebesar Rp 1,- akan dapat menambah jumlah

ekspor CPO Indonesia sebesar 308,42 ton. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

nilai tukar berpengaruh nyata terhadap ekspor suatu komoditi atau produk.
82

5. Nilai Proteksi Nominal (NPR)

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai proteksi nominal berpengaruh nyata

dan memiliki hubungan negatif terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf nyata

0,05. Koefesien regresinya sebesar -14964,04, ini berarti bahwa semakin tinggi

nilai proteksi nominal akan menurunkan jumlah ekspor CPO Indonesia dalam

artian bahwa peningkatan nilai proteksi nominal sebesar 1 % akan dapat

mengurangi jumlah ekspor CPO Indonesia sebesar 14964,04 ton. Hal ini jelas,

karena nilai proteksi nominal ini oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi

konsumen CPO di Indonesia agar kebutuhannya akan CPO sebagai bahan baku

industri minyak goreng dapat terpenuhi dan menstabilkan harga CPO domestik.

6.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Harga CPO Domestik

Harga CPO di pasar domestik merupakan rata-rata dari harga tender KPB

yang dilakukan setiap minggu, pada tahun 1980-1984 harga CPO di pasar domestik

cenderung meningkat. Perkembangan harga CPO domestik mengalami fluktuasi,

kondisi ini dipengaruhi oleh perkembangan harga CPO di pasaran dunia, jumlah

ekspor CPO, permintaan CPO domestik, nilai tukar Rupiah, tingkat proteksi

nominal dan harga CPO domestik tahun sebelumnya. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi harga CPO domestik yang dianalisis dengan sistem 2SLS disajikan

dalam Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi harga CPO domestik Indonesia.

NO Variabel db Parameter Standar t hitung


Dugaan Kesalahan
1 PWCPO 1 0,607106* 0,039968 15,190
2 XCPO 1 8,52654943E-05* 2,4043E -05 3,546
3 QDCPO 1 -8,93740120E –05 1,3578E -05 -0,658
4 ERI 1 -0,017271 ,016521 -1,045
5 NPR 1 -3,260706* 0,895179 -3,643
6 PDCOPOL 1 -0,115084* 0,57313 -2,008
7 KONSTANTA 1 155,735276 30,635979 5,083
83

R2 = 0,99178, F hitung = 362,02831, d-Durbin Watson = 1,444


Keterangan : Variabel terikat : harga CPO domestik (Rp/ kg)
F tabel (0,05) : 2,66
t tabel (0,05) : 1,734
* nyata pada  = 0,05

Print out komputer hasil analisis 2SLS pendugaan fungsi harga CPO

domestik Indonesia secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 9.

Nilai F hitung yang diperoleh sebesar 362,02831, dimana F tabel (6,18) (0,05) adalah

2,66, artinya bahwa nilai F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa semua

variabel bebas yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap harga CPO domestik

Indonesia. Koefesien determinasi yang diperoleh dari hasil analisis sebesar

0,99178, artinya bahwa 99,178 % dari variabel harga CPO domestik Indonesia

dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam model. Sedangkan

sisanya 0,882 % dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan

dalam model. Nilai d yang diperoleh dari uji d-Durbin Watson adalah 1,444 (pada

taraf nyata 5 % dL = 0,81 dan dU = 1,63), berarti nilai d statistik ini berada diluar d U

dan 4-dU (dU <d<4-dU). Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya serial korelasi, hal

ini wajar karena adanya faktor lag atau nilai keterlambatan namun hal tersebut

tidak mengganggu parameter yang diteliti.

Dari hasil pengujian model yang dipakai di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa model yang digunakan dalam fungsi harga CPO domestik Indonesia dapat

diterima sebagai model yang baik.

Berdasarkan hasil uji t, faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO

domestik Indonesia adalah sebagai berikut :


84

1. Harga Dunia CPO (PWCPO)

Hasil analisis menunjukkan bahwa harga dunia CPO berpengaruh sangat

nyata dan memiliki hubungan positif terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf

nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 0,61, ini berarti bahwa semakin tinggi

harga dunia CPO akan meningkatkan harga CPO domestik dalam artian bahwa

peningkatan harga dunia CPO sebesar US$ 1,- akan dapat meningkatkan harga

CPO domestik Indonesia sebesar Rp 0,61,-. Secara teori jelas, apabila harga

suatu produk di pasaran dunia semakin tinggi maka kecenderungan harga produk

domestik akan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena produsen dalam melakukan

perdagangan suatu produk ekspor selalu memperhatikan perkembangan harga

produk tersebut di pasar internasional.

2. Ekspor CPO (XCPO)

Hasil analisis menunjukkan bahwa ekspor CPO Indonesia berpengaruh

sangat nyata dan memiliki hubungan positif terhadap harga CPO domestik

Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar 8,53, ini berarti

bahwa semakin tinggi ekspor CPO Indonesia akan menyebabkan naiknya harga

CPO domestik Indonesia dalam artian bahwa peningkatan jumlah ekspor CPO

Indonesia sebesar 1 ton, maka akan dapat menaikkan harga CPO domestik

Indonesia sebesar Rp 8,53,-. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya jumlah

penawaran CPO di Indonesia, sehingga harga CPO domestik cenderung akan

meningkat sebagai akibat jumlah CPO di dalam negeri sedikit atau berkurang.

3. Permintaan CPO (QDCPO)

Dari hasil analisis jelas bahwa permintaan CPO di Indonesia menunjukkan

pengaruh yang tidak nyata terhadap harga CPO domestik Indonesia. Hal ini

berarti bahwa peningkatan maupun penurunan jumlah permintaan CPO di


85

Indonesia tidak berpengaruh terhadap naik turunnya harga CPO domestik

Indonesia. Hal ini wajar karena produsen atau pengusaha kelapa sawit di dalam

menaikkan atau menurunkan harga produk CPO mereka tanpa memperhatikan

adanya perubahan dari permintaan akan CPO, sebab konsumen CPO itu sendiri

pada umumnya berupa perusahaan atau industri domestik.

4. Nilai Tukar Rupiah (ERI)

Dari hasil analisis jelas bahwa nilai tukar Rupiah nominal menunjukkan

pengaruh yang tidak nyata terhadap harga CPO domestik Indonesia. Hal ini

berarti bahwa peningkatan maupun penurunan nilai tukar Rupiah nominal

ndonesia tidak berpengaruh terhadap naik turunnya harga CPO domestik

Indonesia dalam artian walaupun nilai tukar Rupiah nominal terhadap US$

terdefresiatif tidak akan mempengaruhi nilai CPO di pasar internasional, karena

penurunan nilai uang dalam negeri (Rupiah) tidak akan mempengaruhi harga CPO

di pasar internasional.

5. Nilai Proteksi nominal (NPR)

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai proteksi nominal berpengaruh

sangat nyata dan memiliki hubungan negatif terhadap harga CPO domestik

Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar –3,26, ini berarti

bahwa semakin tinggi nilai proteksi nominal akan menurunkan harga CPO domesti

Indonesia dalam artian bahwa peningkatan nilai proteksi nominal sebesar 1 %

akan dapat menurunkan harga CPO domestik Indonesia sebesar Rp 3,26. Hal

dikarenakan nilai proteksi nominal ini oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi

konsumen CPO di Indonesia dari tingginya harga CPO domestik Indonesia,

sehingga konsumen memiliki kemampuan untuk membeli CPO dalam memenuhi

kebutuhannya akan CPO.


86

6. Harga CPO Domestik Tahun Sebelumnya (PDCPOL)

Hasil analisis menunjukkan bahwa harga CPO domestik tahun sebelumnya

berpengaruh nyata dan memiliki hubungan negatif terhadap harga CPO domestik

Indonesia pada taraf nyata 0,05. Koefesien regresinya sebesar -0,12, ini berarti

bahwa semakin tinggi harga CPO domestik tahun sebelumnya maka akan

menurunkan harga CPO domestik Indonesia dalam artian bahwa peningkatan

harga CPO domestik tahun sebelumnya sebesar Rp 1,- akan dapat menurunkan

harga CPO domestik sebesar Rp 0,12.

6.5. Dampak Perdagangan CPO Terhadap Petani

Perdagangan CPO baik di dalam negeri maupun di luar negeri secara umum

bisa memberikan dampak yang positif terhadap kondisi perekonomian nasional.

Hal ini jelas, karena perdagangan CPO dapat memberikan sumbangan devisa bagi

pemerintah dan keuntungan bagi pengusaha perkebunan besar swasta. Akan tetapi,

keuntungan tersebut sampai saat ini belum bisa dirasakan suatu dampak yang

berarti bagi kehidupan petani, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Walaupun sebagian kecil petani yang bisa menikmati keuntungan dari adanya

perdagangan CPO tersebut, yakni meningkatnya taraf hidup mereka, terutama

petani yang memiliki lahan yang luas sebagai produsen yang langsung

berhubungan dengan CPO.

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa luas lahan dan tingkat

produktivitas memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap perkembangan jumlah

penawaran CPO di Indonesia. Kondisi ini menggambarkan bahwa peningkatan

luas lahan perkebunan kelapa sawit yang sejalan dengan peningkat-an produktivitas

dari lahan tersebut akan menyebabkab terjadinya peningkatan jumlah penawaran


87

CPO di Indonesia. Sehingga kondisi ini akan mendukung kelancaran proses

perdagangan CPO yang sekaligus dapat menciptakan perubahan perekonomian dan

kemajuan bagi daerah tempat pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut.

Di sisi lain, dampak kebijakan perdagangan dalam hal ini pemberian pajak

ekspor yang terlalu tinggi, bisa berakibat terjadinya penyelundupan CPO itu

sendiri. Hal ini terjadi karena pengusaha lebih memiliki keuntungan yang berlipat

ganda dengan melakukan praktek ekspor gelap ini, sehingga bisa dikatakan bahwa

pengenaan pajak ekspor tersebut tidak berjalan efektif karena pengusaha lebih mau

memilih jalan pintas untuk menyelundup CPO ke luar negeri dan pengusaha sangat

peka terhadap pasokan dan permintaan CPO di pasar internasional. Pengenaan

pajak ekspor dalam perdagangan CPO dan turunannya merupakan suatu dampak

yang buruk bagi petani, hal ini dilihat sebagai suatu perampokan terhadap rezeki

yang semestinya dinikmati oleh petani. Pada saat pajak ekspor CPO sebesar 60 %

mengakibatkan kerugian ekonomis yang mencapai 11,8 triliun bagi petani dan

perkebunan kelapa sawit (Basyar, 1999).

Selama ini petani kelapa sawit tidak atau belum pernah merasakan rezeki dari

naiknya harga produk kelapa sawit di pasaran internasional. Adanya pajak ekspor

yang tinggi, berujung pada pembebanan pada petani dimana harga pem-belian

Tandan Buah Segar (TBS) dari petani oleh pengusaha tetap rendah atau tidak ada

penyesuaian harga. Semestinya pemerintah harus mengembalikan dana sebesar Rp

11,8 triliun yang ditarik dari pajak ekspor minyak sawit tersebut kepada petani

yang nasibnya tidak pernah beranjak membaik (Basyar, 1999).


88

Berkaitan dengan perdagangan CPO baik di pasaran domestik maupun

pasaran internasional, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya kearah

pemberdayaan petani kelapa sawit guna mendukung proses perdagangan CPO.

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui penerapan perusahaan inti

rakyat perkebunan secara lebih spesifik untuk pengembangan kelapa sawit. Pola

PIR-BUN ini dibiayai oleh Bank Dunia atau dana dari pemerintah. Kemudian

untuk lebih menunjang pemberdayaan petani ini pemerintah menerapkan pola PIR-

TRANS berupa sistem inti-plasma atau yang dikaitkan dengan pelaksanan program

transmigrasi, dimana dana awal pembangunan kebun plasma disediakan terlebih

dahulu oleh Perusahaan Inti. Kemudian pada saat kebun plasma tersebut

dikonversikan atau diserahkan kepada petani peserta proyek, pembiayaan diambil

alih oleh Bank Pemerintah dan bank-bank lainnya yang telah disetujui oleh Bank

Indonesia. Kondisi ini dapat dibuktikan dari perkembangan luas lahan yang pesat

dari perkebunan rakyat, dimana pada tahun 2000 petani menguasai lahan kelapa

sawit sebesar 33,16 % terhadap total luas lahan kelapa sawit Indonesia dengan total

luas areal petani atau perkebunan rakyat mencapai 1.052.796 hektar dari 3.174.726

hektar. Akan tetapi, produksi CPO perkebunan rakyat pada tahun 2000 masih

rendah daripada perkebunan swasta dan perkebunan negara.

Memperhatikan dilema di atas, pemerintah diharapkan memberikan bantuan

bagi perkebunan rakyat (petani) terutama dalam hal pembangunan pabrik

pengolahan kelapa sawit, sehingga petani yang selama ini hanya bisa memproduksi

tandan buah segar (TBS) berubah menjadi petani yang mampu menghasilkan CPO.

Dan diharapkan kebijakan harga TBS juga merupakan perhatian yang besar
89

disamping kebijakan harga CPO. Sehingga petani bisa ikut merasakan dampak

positif dari perdagangan CPO tersebut.


90

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka

dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran CPO di Indonesia secara

nyata adalah harga minya kelapa domestik, luas lahan kelapa sawit dan tingkat

teknologi pertanian. Sedangkan harga CPO domestik, harga input (pupuk) dan

jumlah penawaran CPO tahun sebelumnya tidak berpengaruh secara nyata.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan CPO di Indonesia secara

nyata adalah harga CPO domestik, jumlah penawaran CPO dan pendapatan

penduduk per kapita. Sedangkan harga minyak kelapa domestik dan jumlah

penduduk Indonesia tidak berpengaruh secara nyata.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah ekspor CPO Indonesia secara nyata

adalah harga dunia CPO, harga CPO domestik, jumlah penawaran CPO, nilai

tukar Rupiah terhadap USD dan tingkat proteksi nominal (semua faktor

berpengaruh secara nyata).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO domestik secara nyata adalah

harga dunia CPO, jumlah ekspor CPO Indonesia, tingkat proteksi nominal dan

harga CPO domestik tahun sebelumnya. Sedangkan jumlah permintaan CPO

dan nilai tukar Rupiah terhadap USD tidak berpengaruh secara nyata.
91

7.2. Saran-saran

1. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan CPO baik di dalam negeri

maupun di luar negeri, maka diperlukan adanya peningkatan produksi CPO

dengan jalan mengadakan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dan

peningkatan penggunaan teknologi pertanian dalam proses produksi sehingga

efisiensi berproduksi dan produktivitas lahan akan lebih meningkat. Hal ini

disebabkan luas lahan dan produktivitas berdasarkan hasil analisa sangat

berpengaruh terhadap peningkatan produksi CPO di Indonesia dan lahan juga

merupakan salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan produksi kelapa

sawit.

2. Dalam rangka pemerintah Indonesia ingin mewujudkan impiannya menjadi

produsen dan eksportir minyak kelapa sawit (CPO) nomor satu di dunia, maka

perluasan lahan perkebunan kelapa sawit sangat diperlukan terutama

diarahkan pada pulau Kalimantan dan Irian Jaya, karena kedua pulau ini

memiliki luas areal yang berpotensi besar/ baik dan sangat luas untuk

pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.


92

Lampiran 2. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit (CPO) di


Beberapa Propinsi di Indonesia, Tahun 1987-1990, 1997-2000

No Propinsi Tahun
1987 1988 1989 1990 1997 1998 1999 2000
120.26 131.94 162.03 328.30 36.107 376.97 395.50
1 D.I Aceh 92.434 6 2 3 9 0 6 3
Sumatera 1.100.2 1.217.1 1.432.3 1.701.6 2.281.4 2.330.1 2.393.5 2.443.9
2 Utara 92 35 86 62 23 18 94 55
Sumatera 218.27 259.32 369.61 387.47
3 Barat 15.291 27.830 30.839 43.968 9 3 8 4
172.38 206.32 176.27 234.04 1.185.9 1.184.0 1.272.4 1.307.2
4 Riau 9 7 9 2 49 81 67 86
255.50 289.26 314.39 326.66
5 Jambi 777 21.557 12.686 32.479 2 6 3 0
Sumatera 353.58 376.09 402.72 432.72
6 Selatan 25.239 29.473 50.132 72.041 2 3 4 8
7 Bengkulu - 459 531 925 78.908 85.730 79.299 97.782
8 Lampung 43.038 26.591 34.160 37.340 65.882 63.986 73.825 86.727
1.449.4 1.649.6 1.868.9 2.284.4 4.767.8 4.949.6 5.282.8 5.478.1
SUMATERA 60 38 55 90 34 67 96 15
9 Jawa Barat 14.824 15.204 20.213 22.058 33.378 31.924 23.851 26.569
JAWA 14.824 15.204 20.213 22.058 33.378 31.924 23.851 26.569
Kalimantan 295.44 352.03 396.53 409.05
10 Barat 40.175 42.332 62.024 72.200 7 6 9 9
Kalimantan
11 Selatan - - 2.623 2.683 32.646 32.873 28.991 30.207
Kalimantan
12 Tengah 17 16 181 18 37.198 37.239 33.515 45.052
Kalimantan
13 Timur 1.579 4.308 3.903 16.979 71.877 68.696 72.178 76.494
437.16 490.84 531.22 560.81
KALIMANTAN 41.771 46.656 68.731 91.880 8 4 3 2
Sulawesi
14 Tengah - - - - 19.739 20.239 20.573 26.901
Sulawesi
15 Selatan - 1649 6353 8.201 71.086 99.131 77.221 81.257
119.37 108.15
SULAWESI - 1649 6353 8.201 90.825 0 97.794 8
16 IRIAN JAYA 188 702 5.983 51.242 48.349 53.419 52.771
1.506.0 1.713.3 1.964.9 2.412.6 5.380.4 5.640.1 5.989.1 6.226.4
INDONESIA 55 35 54 12 47 54 83 25
Sumber : Dirjen. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia -
Kelapa Sawit), 2000
93

Lampiran 3. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Menurut


Status Pengusahaan, Tahun 2000

N Perk Besar Perk. Besar


o Propinsi Perk. Rakyat Negara Swasta Total
Luas Pangsa Luas Pangsa Luas Pangsa Luas Pangsa
(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)
117.54 219.38
1 D.I. Aceh 60.188 27.44 41.645 18.98 9 53.58 2 6.91
Sumatera 105.33 257.43 264.21 626.98
2 Utara 0 16.80 4 41.06 8 42.14 2 19.75
Sumatera 147.18
3 Barat 51.599 35.06 3.256 2.21 92.331 62.73 6 4.64
205.36 389.69 658.13
4 Riau 1 31.20 63.088 9.59 0 59.21 9 20.73
159.94 259.11
5 Jambi 7 61.73 8.326 3.21 90.842 35.06 5 8.16
Sumatera 154.01 157.54 338.76
6 Selatan 2 45.46 27.209 8.03 1 46.50 2 10.67
7 Bengkulu 24.529 37.96 4.345 6.72 35.739 55.31 64.613 2.04
8 Lampung 31.537 38.39 12.996 15.82 37.626 45.80 82.159 2.59
792.50 418.29 1.185.5 2.396.3
SUMATERA 3 33.07 9 17.46 36 49.47 38 75.48
9 Jawa Barat 6.296 29.28 11.071 51.49 4.135 19.23 21.502 0.68
JAWA 6.296 29.28 11.071 51.49 4.135 19.23 21.502 0.68
1 Kalimantan 143.69 105.69 292.35
0 Barat 5 49.15 42.960 14.69 7 36.15 2 9.21
1 Kalimantan 120.41
1 Tengah 22.642 18.80 - - 97.771 81.20 3 3.79
1 Kalimantan 103.55 103.55
2 Selatan - 0.00 - - 7 100.00 7 3.26
1 Kalimantan
3 Timur 32.816 38.23 9.360 10.91 43.653 50.86 85.829 2.70
199.15 350.67 602.15
KALIMANTAN 3 33.07 52.320 8.69 8 58.24 1 18.97
1 Sulawesi
4 Tengah 10.638 27.68 4.349 11.32 23.440 61.00 38.427 1.21
1 Sulawesi
5 Selatan 27.206 32.21 9.887 11.71 47.360 56.08 84.453 2.66
122.88
SULAWESI 37.844 30.80 14.236 11.59 70.800 57.62 0 3.87
1
6 Irian Jaya 17.000 53.37 5.217 16.38 9.638 30.26 31.855 1.00
IRIAN JAYA 17.000 53.37 5.217 16.38 9.638 30.26 31.855 1.00

1.052.7 501.14 1.620.7 3.174.7


INDONESIA 96 33.16 3 15.79 87 51.05 26 100.00
Sumber : Dirjen. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia - Kelapa
Sawit), 2000
94

Lampiran 4. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Menurut


Status dan Pengusahaan, Tahun 2000

N Perk. Besar Perk. Besar


o Propinsi Perk. Rakyat Negara Swasta Total
Prod Pangsa Prod Pangsa Prod Pangsa Prod Pangsa
(Ton) (%) (Ton) (%) (Ton) (%) (Ton) (%)
263.20 395.50
1 D.I. Aceh 48.759 12.33 83.541 21.12 3 66.55 3 6.35
Sumatera 256.96 1.268.6 918.37 2.443.9
2 Utara 8 10.51 15 51.91 2 37.58 55 39.25
Sumatera 116.20 252.69 387.47
3 Barat 1 29.99 18.579 4.79 4 65.22 4 6.22
361.96 642.01 1.307.2
4 Riau 2 27.69 303.307 23.20 7 49.11 86 21.00
185.36 104.18 326.66
5 Jambi 7 56.75 37.105 11.36 8 31.89 0 5.25
Sumatera 154.50 170.20 432.72
6 Selatan 1 35.70 108.021 24.96 6 39.33 8 6.95
7 Bengkulu 37.693 38.55 1.754 1.79 58.335 59.66 97.782 1.57
8 Lampung 11.141 12.85 57.209 65.96 18.377 21.19 86.727 1.39
1.172.5 1.878.1 2.427.3 5.478.1
SUMATERA 92 21.41 31 34.28 92 44.31 15 87.98
9 Jawa Barat 12.587 47.37 6.068 22.84 7.914 29.79 26.569 0.43
JAWA 12.587 47.37 6.068 22.84 7.914 29.79 26.569 0.43
1 Kalimantan 202.08 409.05
0 Barat 3 49.40 113.923 27.85 93.053 22.75 9 6.57
1 Kalimantan
1 Tengah 4.210 13.94 - - 25.997 86.06 30.207 0.49
1 Kalimantan 100.0
2 Selatan - - - 45.052 0 45.052 0.72
1 Kalimantan
3 Timur 40.848 53.40 19.736 25.80 15.910 20.80 76.494 1.23
KALIMANTA 247.14 180.01 560.81
N 1 44.07 133.659 23.83 2 32.10 2 9.01
1 Sulawesi
4 Tengah 13.643 50.72 - 13.258 49.28 26.901 0.43
1 Sulawesi
5 Selatan 30.476 37.51 21.846 26.89 28.935 35.61 81.257 1.31
108.15
SULAWESI 44.119 40.79 21.846 20.20 42.193 39.01 8 1.74
1
6 Irian Jaya 26.956 51.08 25.815 48.92 - - 52.771 0.85
IRIAN JAYA 26.956 51.08 25.815 48.92 - - 52.771 0.85

1.503.3 2.065.5 2.657.5 6.226.4


INDONESIA 95 24.15 19 33.17 11 42.68 25 100.00
Sumber : Dirjen. Perkebunan (BPS - Statistik Perkebunan Indonesia - Kelapa
Sawit), 2000
95

Lampiran 10. Data Penelitian Analisis Penawaran dan Permintaan Minyak Kelapa
Sawit Di Indonesia
TAH TPE PDM PDC PWC NP PDCP
UN LLKS QSCPO JP PIN R K ERI QDCPO XCPO PO PO I R QCPOL OL
179887, 433880, 135200 74,0 2412, 225,0 415,0 28280,0 405600, 346,0 397,3 15035, 12, 411389, 352,0
1976 00 00 ,00 0 00 0 0 0 00 0 3 00 92 00 0
181741, 497438, 138300 71,0 2370, 242,0 625,0 92840,0 404598, 343,0 530,0 18332, 35, 433880, 346,0
1977 00 00 ,00 0 00 0 0 0 00 0 8 00 29 00 0
206577, 524956, 141580 72,0 2541, 263,0 627,0 112960, 411996, 278,0 600,3 21854, 53, 497438, 343,0
1978 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 3 00 69 00 0
260939, 641420, 144900 76,0 2458, 298,0 626,8 280120, 361300, 329,0 653,8 30541, 49, 524956, 278,0
1979 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 3 00 68 00 0
294560, 721172, 148350 70,0 2448, 341,0 644,0 218270, 502902, 352,0 583,0 43435, 39, 641420, 329,0
1980 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 8 00 63 00 0
318957, 800060, 154200 70,0 2508, 383,0 692,5 603660, 196400, 380,0 570,6 56197, 33, 721172, 352,0
1981 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 7 00 41 00 0
329901, 886820, 157500 70,0 2688, 430,0 994,0 627320, 259500, 357,0 445,0 60496, 19, 800060, 380,0
1982 00 00 ,00 0 00 0 0 00 00 0 8 00 79 00 0
405646, 982987, 160800 90,0 2423, 449,0 1074, 637190, 345797, 283,0 501,4 74340, 43, 886820, 357,0
1983 00 00 ,00 0 00 0 00 00 00 0 2 00 56 00 0
512021, 114719 164100 90,0 2241, 535,0 1125, 101929 127900, 396,0 728,8 85702, 45, 982987, 283,0
1984 00 0,00 ,00 0 00 0 00 0,00 00 0 3 00 67 00 0
597362, 124343 167300 100, 2082, 872,0 1641, 724630, 518800, 375,0 500,9 93056, 25, 114719 396,0
1985 00 0,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 2 00 14 0,00 0
606780, 135072 168342 125, 2226, 827,0 1650, 783830, 566899, 259,0 257,0 98490, 44, 124343 375,0
1986 00 9,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 0 00 35 0,00 0
728662, 150605 172009 125, 2067, 823,0 1731, 954960, 551095, 257,0 342,5 118795 24, 135072 259,0
1987 00 5,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 0 ,00 96 9,00 0
862859, 171333 175588 135, 1986, 943,0 1797, 982240, 731095, 289,0 437,1 135183 33, 150605 257,0
1988 00 5,00 ,00 00 00 0 00 00 00 0 7 ,00 89 5,00 0
973528, 196495 179136 165, 2018, 1167, 1901, 118315 781804, 306,0 350,4 159111 12, 171333 289,0
1989 00 4,00 ,00 00 00 00 00 0,00 00 0 2 ,00 68 5,00 0
112667 241261 179379 185, 2141, 1211, 1992, 159761 815002, 276,0 289,8 185982 4,7 196495 306,0
1990 7,00 2,00 ,00 00 00 00 00 0,00 00 0 3 ,00 7 4,00 0
131099 265760 182940 210, 2027, 1137, 2026, 157120 108640 287,0 339,0 216551 15, 241261 276,0
1991 6,00 0,00 ,00 00 00 00 00 0,00 0,00 0 0 ,00 34 2,00 0
146747 326625 186043 220, 2226, 1198, 2110, 223595 103030 351,0 393,6 247437 10, 265760 287,0
1992 0,00 0,00 ,00 00 00 00 00 0,00 0,00 0 9 ,00 84 0,00 0
161318 342144 189136 240, 2121, 1403, 2200, 204935 137209 328,0 377,7 317223 13, 326625 351,0
1993 7,00 9,00 ,00 00 00 00 00 0,00 9,00 0 3 ,00 17 0,00 0
180414 409448 192217 260, 2269, 1740, 2308, 246328 163120 414,0 529,1 364933 21, 342144 328,0
1994 9,00 3,00 ,00 00 00 00 00 0,00 3,00 0 5 ,00 76 9,00 0
202498 447967 195283 260, 2212, 1780, 2383, 321467 126500 442,0 628,5 366295 29, 409448 414,0
1995 6,00 0,00 ,00 00 00 00 00 0,00 0,00 0 8 ,00 68 3,00 0
224951 489865 198343 330, 2178, 1815, 2391, 322666 167199 453,0 579,4 376385 21, 447967 442,0
1996 4,00 8,00 ,00 00 00 00 00 0,00 8,00 0 8 ,00 83 0,00 0
251607 538044 201390 400, 2138, 1975, 4650, 241285 296759 1105, 1371, 248885 19, 489865 453,0
1997 9,00 7,00 ,00 00 00 00 00 0,00 7,00 00 00 ,43 43 8,00 0
278878 564015 204423 450, 2022, 2025, 8025, 416085 147930 1850, 3317, 257584 44, 538044 1105,
1998 3,00 4,00 ,00 00 00 00 00 0,00 4,00 00 00 ,17 23 7,00 00
297512 598918 207500 457, 2013, 2010, 7100, 318918 280000 1470, 2583, 266282 43, 564015 1850,
1999 0,00 3,00 ,00 00 00 00 00 0,00 3,00 00 00 ,91 10 4,00 00
317472 622642 208950 525, 1960, 1995, 9530, 252642 370000 1350, 2325, 285725 41, 598918 1470,
2000 6,00 5,00 ,00 00 00 00 00 5,00 0,00 00 00 ,50 95 3,00 00
Sumber : Biro Pusat Statistik Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 2000.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai