PAPER
Oleh:
Dengan kinerja dan daya saing yang cukup baik, prospek CPO di pasar
internasional, baik dilihat dari sisi peluang peningkatan konsumsi maupun ekspor
diperkirakan masih cukup baik. Hasil analisis yang dilakukan FAO (2001), Mielke
(2001), dan Susila (2002) menunjukkan peluang peningkatan konsumsi CPO masih
terbuka. Dari studi tersebut, peluang peningkatan konsumsi CPO untuk jangka 2agna
d sampai dengan 2005 diperkirakan akan mengalami 3 fase pertumbuhan. Pada fase
pertumbuhan pertama atau fase pertumbuhan cepat (2005-2010), konsumsi CPO
diperkirakan masih cukup tinggi, walaupun lebih rendah dari pertumbuhan pada
2agna terakhir. Fase kedua (2010-1017) dikenal sebagai fase pertumbuhan yang
lambat, namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan produk kompetitiornya yaitu
pertumbuhan konsumsi minyak kedele. Fase ketiga (2017-2025) dikenal sebagai
pertumbuhan yang alami (natural) yaitu pada saat pasar mulai jenuh dan
pertumbuhan konsumsi hanya sekitar 1.5% per tahun.
Denga pembagian fase tersebut, secara umum ada dua 2 agna da proyeksi
konsumsi CPO dunia. Skenario pertama adalah 2agna da aman/pesimistis. Skenario
ini dapat dinilai sebagai masukan yang aman bagi investor yang terjun ke bisnis
kelapa sawit atau tingkat konsumsi/peluang pasar yang minimal akan dapat
dimanfaatkan. Skenario ini memperkirakan bahwa konsumsi CPO akan tumbuh
dengan laju antara 1.5% - 3.5% sampai dengan tahun 2005. Pada fase pertama, 2agna
da ni memperkirakan pertumbuhan konsumsi sekitar 2agna da 4% per tahun sampai
dengan tahun 2010. Pada periode 2010 – 2017, konsumsi diperkirakan akan tumbuh
antara 1.5% - 3.5% per tahun. Ada fase ketiga konsumsi CPO akan mengalami
pertumbuhan natural sekitar 1.5%.
Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup
cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang
mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi
dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO
merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO 3 agna da
terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO
(Simeh 2004; Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan
untuk pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing
3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak.
Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di
negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk
minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001). Di
samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek
substitusi dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya
saing CPO yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung
mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah. Efek
pendapatan cukup signifikan karena pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi
di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak
yang 3agna da masih rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).
Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah
terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi
ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan
bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan
tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat,
dan Jepang
B. Perkembangan Ekspor Impor
Perkembangan harga produk crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit
belakangan ini terus bergerak naik menuju 5agna d positif. Pada periode Juni 2021
penetapan bea keluar (BK) adalah USD1.223,90/MT. Harga referensi tersebut
meningkat USD113,22 atau 9,25 persen dari periode Mei 2021, yaitu sebesar
USD1.110,68/MT.
Kemajuan hilirisasi yang terjadi dalam periode 2011-2016 tercermin dari hal-
hal berikut : Pertama, Konsumsi 6 agna da minyak sawit yakni untuk industri
oleofood, oleokimia, detergen/sabun dan biodiesel menunjukkan peningkatan yang
6agna da cepat khususnya setelah tahun 2011. Tahun 2011 konsumsi bahan baku
(CPO) untuk industri hilir 6agna da adalah 7,8 juta ton yakni untuk minyak goreng
dan margarin sebesar 6,2 juta ton, oleokimia dan detergen 1,2 juta ton dan biodiesel
0,4 juta ton. Konsumsi 6agna da meningkat cepat pada tahun 2016 yakni sebesar 13,5
juta ton yakni minyak goreng dan margarin sebesar 7,8 juta ton, oleokimia dan
detergen 1,7 juta ton dan biodiesel 4 juta ton.
Kedua, Selain tercermin dari konsumsi CPO 6agna da, hilirisasi minyak sawit
6agna da juga dapat dilihat dari produksi industri hilir. Produksi olein (RBD olein,
minyak goreng, margarin, dan lainnya) tahun 2016 sebesar 25 juta ton, produksi
oleokimia (oleokimi dasar, detergen dan sabun) sebesar 3,4 juta ton dan produksi
biodiesel sebesar 2,9 juta ton.
Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan
diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini
digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga
bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Kebanyakan minyak sawit
diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit
membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk
memaksimalkan produksinya.
Hanya beberapa industri di Indonesia yang menunjukkan perkembangan
secepat industri minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ini
tampak dalam jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan
luas area perkebunan sawit. Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia
diekspor. Negara-negara tujuan ekspor yang paling penting adalah RRT, India,
Pakistan, Malaysia, dan Belanda. Walaupun angkanya sangat tidak signifikan,
Indonesia juga mengimpor minyak sawit, terutama dari India.
(3) cuaca
Minyak sawit dalam bentuk Crude Palm Oil merupakan komoditi ekspor
unggulan Indonesia. Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit
terbesar di dunia. Sebagai produsen terbesar minyak sawit, Indonesia melihat
kebutuhan akan konsumsi dan pangsa pasar minyak sawit yang terus meningkat
sebagai peluang untuk melakukan ekspor. Nilai ekspor sawit Indonesia selama
periode 2007-2014 mengalami fluktuasi.Nilai ekspor minyak sawit terbesar pada
tahun 2011 dan terendah pada tahun 2007 (UN Comtrade, 2016).
Minyak sawit merupakan komoditi unggulan dari 8agna da8 perkebunan yang
kinerja ekspornya dipengaruhi daya saing dan perubahan pangsa pasar yang terjadi
di pasar 8agna da maupun pasar internasional. Sebagai komoditi ekspor, minyak
sawit menjadikan Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit terbesar di dunia
diikuti dengan Malaysia, Ekuador, Kolombia, dan Thailand dengan nilai ekspor yang
mencapai 4.2 milyar USD pada tahun 2014 (UNComtrade 2016).
Salah satu indicator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang
tingkat daya saing adalah Export Product Dynamics (EPD). Indikator ini mengukur
posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu.Selain itu, dengan
menggunakan EPD dinamis atau tidaknya performa suatu produk dapat
diketahui.Sebuah matriks EPD terdiri dari daya 9agna pasar dan informasi kekuatan
bisnis.Daya 9agna pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah
produk untuk tujuan pasar tertentu, dimana informasi kekuatan bisnis diukur
berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada
tujuan pasar tertentu.Kombinasi dari daya 9 agna pasar dan kekuatan bisnis ini
menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat
kategori. Keempat kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost
Opppotunity”, dan “Retreat”.
Minyak sawit memiliki umur simpan yang 10agna d dan solid pada suhu
kamar, menjadikannya sebagai bahan yang ideal dalam berbagai jenis
makanan. Minyak sawit sangat popular sejak tahun 1990an karena produsen
mencari alternatif dari lemak terhidrogenasi dan terhidrogenasi parsial yang
tidak sehat. Seperti kebanyakan minyak biji nabati alami, minyak kelapa sawit
mengandung kurang dari satu persen lemak trans sehingga berperan penting
dalam menciptakan makanan yang lebih sehat.
Kestabilannya pada suhu tinggi menjadikannya sangat ideal untuk digunakan
dalam memasak dan menggoreng, sementara titik lelehnya yang tinggi
membuatnya menjadi pengganti biaya yang efektif untuk lemak hewani dalam
produk seperti makanan panggang. Minyak kelapa sawit juga digunakan
untuk memproduksi natrium lauril sulfat, yang digunakan sebagai bahan
pembuat busa dalam banyak produk perawatan tubuh seperti sabun dan pasta
gigi, dan juga sering ditambahkan ke produk pembersih rumah tangga.
Cara menjaga kelapa sawit tergantung peran kita masing-masing yaitu:
Alatas, A. 2015. Trend Produksi dan Ekspor Minyak Sawit (CPO) INDONESIA.
AGRARIS: Journal of Agribusiness and Rural Development Research, 1(2):
114–124.
Bahari, Esdwin. 2014. Analisis Strategic Peningkatan Nilai Ekonomi Sawit di Provinsi
Lampung. Prosiding Seminar Bisnis & Teknologi, hal 280-290, Bandar
Lampung, 15-16 Desember 2014.
Febriyanthi, Sri Ana. 2008. Analisis Daya Saing Ekspor Teh Hitam Indonesia di Pasar
Internasional [skripsi]. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.