Anda di halaman 1dari 20

Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Produksi Crude

Palm Oil (CPO) Di Indonesia Pada Tahun 2019 – 2021

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro


Dosen Pengampu: Tiara Widya Antikasari, M.M.

Oleh:

Dzikri Alif Hudatulloh


(402210068)/ PS C.

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONOROGO
2022/2023
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN
PRODUKSI CRUDE PALM OIL (CPO) DI INDONESIA PADA
TAHUN 2019 - 2021
Dzikri Alif Hudatulloh
Perbankkan Syariah C
IAIN Ponorogo
Email : maminealip@gmail.com

Abstrak: CPO (Crude Palm Oil) is crude palm oil extracted from the mesocarp of palm
fruit and has never been purified. The industry/plantation of palm oil as one of
Indonesia's leading sectors has a significant contribution to national non-oil and gas
exports and continues to increase every year.
Problems Related to the Sustainable Palm Oil Industry There are at least five problems
related to the sustainable palm oil industry, namely negative campaigns about palm oil
Negative campaigns related to the palm oil industry are not new Problems applying the
principles of sustainability or sustainability Efforts to carry out certification require
funds, time and effort which is not small for a large scale Perkelsman company, carrying
out RSPO certification can be quite easy.
Indonesia's CPO exports each year also show an increasing trend with an average
increase of 12.97 percent. The productivity level of palm oil is still relatively large
because most of it is from smallholder plantations. Despite experiencing several
obstacles, the CPO industry in Indonesia from 2019 to 2021 continues to increase.

Keywords: Crude palm oil in Indonesia

Abstrak:
CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak sawit kasar yang diekstrak dari mesocarp buah
sawit dan belum mengalami pemurnian. Industri/perkebunan minyak kelapa sawit sebagai
salah satu sektor unggulan Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap
ekspor nonmigas nasional dan setiap tahun cenderung terus mengalami peningkatan..
Permasalahan Terkait dengan Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan. Sedikitnya
terdapat lima masalah yang terkait dengan industri minyak kelapa sawit berkelanjutan,
yaitu Kampanye negatif tentang minyak sawit, Kampanye negatif terkait industri sawit
bukan hal baru. Masalah penerapan prinsip berkelanjutan atau sustainability.Upaya
melakukan sertifikasi membutuhkan dana, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit bagi
perusahaan perkebunan skala besar, melakukan sertifikasi RSPO bisa jadi cukup mudah.
Ekspor CPO Indonesia setiap tahunnya juga menunjukkan tren meningkat dengan
rata-rata peningkatan adalah 12,97 persen. Tingkat produktivitas minyak kelapa sawit relatif
masih rendah, karena sebagian besar bersumber dari perkebunan rakyat, Cukup luasnya lahan
perkebunan sawit yang sudah kurang produktif. Meski mengalami bebrapa hambatan industry
CPO di Indonesia dari tahun 2019 sampai 2021 terus mengalami peningkatan.
Kata Kunci: Crude palm oil Di indonesia
A. Pendahuluan
CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak sawit kasar yang diekstrak dari mesocarp
buah sawit dan belum mengalami pemurnian. Minyak kelapa sawit memiliki komponen
penyusun minyak sawit yakni, trigliserida 95,62%, asam lemak bebas 4,00%, air 0,20%,
phosphatida 0,07%, karoten 0,03%, dan aldehid 0,07%. Proses pengolahan CPO (Crude
1

Palm Oil) memerlukan pengontrolan yang sangat teliti untuk mendapatkan hasil minyak
nabati yang berkualitas. Lemak yang terkandung pada kelapa sawit dapat dimanfaatkan
dengan melakukan pengektrakan sehingga menghasilkan minyak kelapa sawit murni
dengan beberapa proses pengolahan yang akan menghasilkan lesitin sebagai hasil
sampingnya.2
Indonesia merupakan salah satu negara yang perekonomiannya bergantung pada peranan
ekspor. Ekspor merupakan salah satu komponen yang menjadi perhatian penting dalam
ekonomi suatu negara. Semakin tinggi kinerja ekspor negara, semakin besar pula dampak
positifnya terhadap perekonomian negara. Dalam rangka upaya meningkatkan ekspor, pada
dasarnya Indonesia memiliki banyak pilihan produk yang potensial untuk dikembangkan.
Pergeseran ekspor dari sektor migas ke non migas terjadi secara dominan di Indonesia.3
Indonesia sebagai Negara produsen sawit terbesar di dunia, luas areal perkebunan sawit
di Indonesia pada tahun 1980 hanya 295 ribu hektare, pada 2019 naik menjadi 14,68 juta
hektare bertambah hampir 50 kali lipat, dengan produksi tahun 2019 bisa mencapai 43 juta
ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai Negara produsen terbesar sawit di dunia di
ikuti oleh Malaysia dengan volume produksi 18,5 juta ton pertahun dan Thailand 2,8 juta
ton pertahun. Luas lahan sawit dan volume produksi sawit Indonesia naik setiap tahunnya.4
Industri/perkebunan minyak kelapa sawit sebagai salah satu sektor unggulan Indonesia
memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap ekspor nonmigas nasional dan setiap tahun
cenderung terus mengalami peningkatan (Tryfino, 2006). Ekspor CPO Indonesia setiap
tahunnya juga menunjukkan tren meningkat dengan rata-rata peningkatan adalah 12,97
persen (Tryfino, 2006). Walaupun pemerintah menerapkan tarif pungutan ekspor/pajak
ekspor (PE) dan pengenaan kuota untuk komoditas minyak kelapa sawit mentah untuk
mendorong industri hilir, namun sejauh ini sawit tetap menjadi primadona di industri
1
Amzul Rifin, Efisiensi Perusahaan Crude Palm Oil (Cpo) Di Indonesia, Jurnal Manajemen &
Agribisnis, Vol. 14 No. 2, Juli 2017, Hal 104
2
Ibid., hal 104
3
Carina D. Patone1, Robby J. Kumaat2, Dennij Mandeij3, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Analisis
Daya Saing Ekspor Sawit Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor Tiongkok Dan India, Volume 20 No. 03 Tahun
2020, Hal 23
4
Ibid., Hal 23
perkebunan, disamping isu kartel yang dihembuskan beberapa negara, rencana pembatasan
lahan untuk holding company, kenaikan harga patokan ekspor (HPE) hingga soal pabrik
pengolahan tanpa kebun.5
B. Kajian Teori
1. Produksi Crude Palm Oil (Cpo)
CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak sawit kasar yang diekstrak dari
mesocarp buah sawit dan belum mengalami pemurnian. Minyak kelapa sawit
memiliki komponen penyusun minyak sawit yakni, trigliserida 95,62%, asam lemak
bebas 4,00%, air 0,20%, phosphatida 0,07%, karoten 0,03%, dan aldehid 0,07%. 6
Industri/perkebunan minyak kelapa sawit sebagai salah satu sektor unggulan
Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap ekspor nonmigas nasional
dan setiap tahun cenderung terus mengalami peningkatan.
Sementara itu data dari Direktorat Jenderal Perkebunan–Kementerian Pertanian
menunjukkan bahwa pada tahun 2019 produksi minyak kelapa sawit mencapai
sekitar 48,4 juta ton, dimana penghasil terbesar adalah Perkebunan Besar Swasta
dengan produksi sebesar 30,1 juta ton atau sebesar 62% dari total produksi minyak
kelapa sawit Indonesia. Kemudian sekitar 34% atau sebanyak 16,2 juta ton dihasilkan
oleh Perkebunan Rakyat, dan sisanya sekitar 4% atau sebesar 2,1 juta ton dihasilkan
dari Perkebunan Besar Negara. Dan kalau dilihat menurut Provinsi, penghasil minyak
kelapa sawit terbesar adalah Provinsi Riau yang mencapai 20% dari total produksi
nasional pada tahun 2019. Kemudian diikuti oleh Provinsi Kalimantan Tengah
sebesar 15% dan Provinsi Sumatera Utara sebesar 14%.
2. Perkembangan Produksi Crude Palm Oil (CPO)
Meski pandemi belum berakhir, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI), memprediksi produksi minyak sawit pada tahun 2021 bisa
mencapai sekitar 49 juta ton untuk Crude Palm Oil (CPO), dan sekitar 4,65 juta ton
untuk Palm Kernel Oil (PKO), sehingga totalnya mencapai sekitar 53,65 juta ton.
Sementara itu data dari Direktorat Jenderal Perkebunan–Kementerian Pertanian
menunjukkan bahwa pada tahun 2019 produksi minyak kelapa sawit mencapai sekitar
48,4 juta ton, dimana penghasil terbesar adalah Perkebunan Besar Swasta dengan
produksi sebesar 30,1 juta ton atau sebesar 62% dari total produksi minyak kelapa
sawit Indonesia. Kemudian sekitar 34% atau sebanyak 16,2 juta ton dihasilkan oleh
5
Debby Olivia Putri - Jurnal Industri Pertanian – Volume 01. Nomor 03. Tahun 2019. Hal 88 – 89
6
Amzul Rifin, Efisiensi Perusahaan Crude Palm Oil (Cpo) Di Indonesia, Jurnal Manajemen &
Agribisnis, Vol. 14 No. 2, Juli 2017, Hal 104
Perkebunan Rakyat, dan sisanya sekitar 4% atau sebesar 2,1 juta ton dihasilkan dari
Perkebunan Besar Negara. Dan kalau dilihat menurut Provinsi, penghasil minyak
kelapa sawit terbesar adalah Provinsi Riau yang mencapai 20% dari total produksi
nasional pada tahun 2019.
Kemudian diikuti oleh Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 15% dan Provinsi
Sumatera Utara sebesar 14%. Dicapainya produksi minyak kelapa sawit sekitar 48,4
juta ton pada tahun 2019 diperoleh dari luas areal tanam sebesar 14,6 juta Ha, dimana
sekitar 54,42% merupakan luas areal Perkebunan Besar dan sekitar 41,35%
merupakan luas areal tanam Perkebunan Rakyat. Luas areal tanam pada tahun 2019
merupakan peningkatan dari luar areal tanam pada tahun 2018 yang tercatat sebesar
14,33 juta Ha, yang juga terus meningkat pada tahun 2020 dan juga tahun 2021. Luas
Perkebunan Rakyat diperkirakan akan terus meningkat dan mendominasi luas areal
perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 60%. Sehingga peranan Perkebunan
Rakyat memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perkebunan kelapa
sawit di Indonesia. Meskipun diperkirakan akan mendominasi luas areal perkebunan
kelapa sawit Indonesia, namun produktivitas Perkebunan Rakyat masih rendah yaitu
3,43 ton per hektar pada tahun 2020, yang masih di bawah produktivitas rata-rata
nasional yang mencapai 3,89 ton per hektar. Begitu pula jika dibandingkan dengan
penguasaan perkebunan lahan sawit yang lain maka jauh di bawah Perkebunan Besar
Swasta yang produktivitasnya tercatat 4,16 ton per hektar, maupun produktivitas
Perusahaan Besar Negara yang mencapai 4,44 ton per hektar. Namun, produktivitas
Perkebunan Rakyat masih besar potensinya untuk ditingkatkan. 31 Dari data historis
menunjukkan bahwa produktivitas Perkebunan Rakyat mengalami tren peningkatan.
pada tahun 2020 mencapai 3,43 ton per hektar, dan pada tahun 2021 diperkirakan juga
akan meningkat menjadi 3,47 ton per hektar. Untuk meningkatkan produktivitas sawit
pada perkebunan rakyat, perlu terus didorong program peremajaan sawit rakyat
dengan menanam ulang sawit (replanting) menggunakan bibit yang unggul.
Peremajaan sawit ditujukan pada tanaman sawit yang sudah berumur tua yang
produktivitasnya sudah menurun. Selain itu juga diperlukan penerapan teknologi
budidaya yang tepat serta saat panen dan pasca panen. Pemupukan yang dilakukan
harus secara tepat baik dari jenis maupun dosisnya. Penggunaan pupuk organik juga
bisa dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Dilihat berdasarkan
provinsinya, luas areal tanaman kelapa sawit yang diperkirakan sekitar 14,6 juta Ha,
sebagian besar terdapat di Provinsi Riau dengan luas sebesar 2,82 juta ton. Namun,
jika dilihat 32 produktivitas minyak kelapa sawit per-Ha, ternyata produktivitas
kelapa sawit di Provinsi Riau bukanlah yang terbesar. Pada tahun 2019 produktivitas
kelapa sawit terbesar dicapai oleh Provinsi Kalimantan Tengah dengan produktivitas
sebesar 4.908 ton per hektar, sementara produktivitas nasional pada tahun 2019
tercatat sebesar 4.045 ton per hektar. Produktivitas kedua terbesar dicapai oleh
Provinsi Sumatera Utara dengan produktivitas sebesar 4.619 ton per hektar.7
3. Hambatan Dan Permasalahan Yang Di Hadapi Dalam Perkembangan Usaha Crude
Palm Oil (CPO)
a. permasalahan pada industri kelapa sawit
Dalam perkembangannya, dan dalam rangka meningkatkan kinerja industri minyak
kelapa sawit, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan ini dibagi ke
dalam tiga kelompok, yaitu permasalahan umum, permasalahan yang terkait 47 dengan
masalah lingkungan, serta hambatan perdagangan internasional.
1) Permasalahan Umum Beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh industri minyak
kelapa sawit adalah sebagai berikut:
a) Adanya kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang kontraproduktif.
Padahal industri ini memerlukan regulasi yang menciptakan iklim yang kondusif.
b) Permasalahan yang dihadapi industri kelapa sawit pada tingkat petani adalah
terbatasnya investasi untuk peremajaan, rendahnya produktivitas dan kualitas hasil.
c) Permasalahan yang dihadapi industri kelapa sawit pada tingkat petani adalah
terbatasnya investasi untuk peremajaan, rendahnya produktivitas dan kualitas hasil.
2) Permasalahan Terkait dengan Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan. Sedikitnya
terdapat lima masalah yang terkait dengan industri minyak kelapa sawit berkelanjutan, yaitu:
a) Kampanye negatif tentang minyak sawit.
 Kampanye negatif terkait industri sawit bukan hal baru. Industri ini
diserang dari 48 berbagai sisi, mulai dari isu persaingan ekonomi, isu
pembangunan pedesaan, isu sosial, isu gizi dan kesehatan, serta isu
lingkungan dan keberlanjutan.
b)Masalah penerapan prinsip berkelanjutan atau sustainability.
 Upaya melakukan sertifikasi membutuhkan dana, waktu, dan tenaga
yang tidak sedikit. Bagi perusahaan perkebunan skala besar,
melakukan sertifikasi RSPO bisa jadi cukup mudah. Namun, di sisi

7
https://www.kemenperin.go.id/
lain petani kecil membutuhkan usaha ekstra agar mampu mengikuti
pelatihan sertifikasi tersebut. Hal ini disebabkan karena para petani
cenderung minim keahlian, finansial, dan kesulitan mengakses
berbagai produk hukum yang berlaku.
c) Masalah status serta legalitas lahan kebun sawit.
 Soal status maupun legalitas lahan kebun sawit masih jadi kendala 49
yang sering mempersulit pelaku usaha, karena terjadi perbedaan status
lahan yang hendak digunakan untuk memperluas area kebun. Menurut
data pemerintah provinsi, lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan,
namun pemerintah setempat mengatakan area tersebut bisa difungsikan
sebagai lahan kebun sawit. Akibatnya penggunaan hutan tanpa
mengetahui kebenaran status lahan tersebut sering terjadi.
d) Produktivitas perkebunan sawit tergolong rendah.
 Sekalipun Indonesia adalah produsen sawit terbesar dunia, namun
produktivitas kebun sawit Indonesia relatif rendah. Hal ini antara lain
karena tingginya biaya produksi, yang antara lain juga terbebani oleh
biaya keamanan dan biaya sosial.
e) Perbedaan sertifikasi di tiap pasar sawit.
 Indonesia merupakan negara pertama yang merilis Indonesia
Sustainable Palm Oil (ISPO) lewat Peraturan Menteri Pertanian No. 11
Tahun 2015. Namun, regulasi tumpang tindih antara ISPO dan RSPO
membuat bingung para pemilik perusahaan perkebunan maupun
kelompok pekebun swadaya.
3) Hambatan Perdagangan Internasional Selain permasalahan yang telah disebutkan,
terdapat pula hambatan perdagangan internasional yang dapat mengganggu
pengembangan pasar ekspor produk kelapa sawit, di antaranya:
a) Pandangan Uni Eropa terhadap produk minyak kelapa sawit
sebagai high risk indirect land use change (ILUC) dengan
mengeluarkan kebijakan 51 Renewable Energy Derivative (RED) I
dan RED II. Melalui kebijakan RED II, Uni Eropa telah
menetapkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku energi
terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan. Tingkat
deforestasi akibat dari tanaman kelapa sawit mencapai 45% dan
semuanya terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Hal
tersebut menyebabkan Uni Eropa berencana mengurangi secara
bertahap penggunaan minyak kelapa sawit terhitung dari Januari
2024. Kebijakan diskriminatif Uni Eropa ini tentunya berpengaruh
terhadap Indonesia sebagai negara penghasil minyak kelapa sawit
terbesar di dunia.
b) Pemberlakuan bea masuk imbalan (BMI) sebesar 8- 18% untuk
biodiesel berbahan baku sawit Indonesia hingga 2024 dan
berpotensi diperpanjan.
c) Beberapa supermarket di Perancis, Belanda dan Belgia menerapkan
kebijakan tidak menggunakan minyak 52 kelapa sawit untuk semua
produk sejak 2010; 4) Tantangan Dalam pengembangannya
industri minyak kelapa sawit Indonesia menghadapi sejumlah
tantangan, yaitu antara lain. 8
1) Tantangan di sisi :
a) Tingkat produktivitas minyak kelapa sawit relatif masih rendah, karena
sebagian besar bersumber dari perkebunan rakyat
b) Cukup luasnya lahan perkebunan sawit yang sudah kurang produktif. Menurut
data Ditjen Perkebunan-Kementerian Pertanian, dari luas areal petani plasma
sekitar 6,72 juta hektar, terdapat 2,8 juta hektar yang perlu diremajakan, yang
terdiri dari pohon kelapa sawit yang telah berumur diatas 25 tahun, serta
pohon yang berasal dari bibit yang tidak bersertifikat (palsu) di perkebunan
rakyat.
c) Adanya isu-isu negatif yang menganggap industri ini tidak ramah lingkungan;
seperti pemicu deforestasi, degradasi lahan, menyebabkan berkurangnya
keanekaragaman hayati, adanya emisi karbon, dan menyebabkan perubahan
iklim. Isu-isu negatif ini terutama berkembang di kalangan Komisi Eropa yang
berujung pada keputusan melarang penggunaan bahan bakar kendaraan yang
berasal dari minyak sawit.
2) Tantangan pada industri kelapa sawit:
1) Ada anggapan bahwa tingkat pengembalian investasi (return on investment)
pada industri hilir kelapa sawit relatif lebih kecil dibandingkan dengan industri
hulu. Margin keuntungan di sektor hulu (dengan menggarap perkebunan kelapa

8
https://www.kemenperin.go.id/
sawit) dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan margin keuntungan di sektor
hilir, sehingga tingkat pengembalian investasi di sektor hulu lebih cepat
dibandingkan dengan di sektor hilir. Hal ini mendorong penanam modal lebih
memilih berinvestasi di perkebunan (sektor hulu) daripada si sektor hilir yang
lebih padat modal.
2) Kualitas teknologi dan sumber daya manusia di Indonesia masih terbatas.
Indonesia belum banyak memiliki tenaga ahli di bidang kelapa sawit.
4. Langkah Yang Dliakukan Dalam Mengatasi Permasalahan Crude Palm Oil (CPO)
a. Hilirisasi Industri
Hilirisasi industri minyak sawit nasional merupakan salah satu bagian penting dalam
pembangunan jangka panjang industri minyak sawit Indonesia. Melalui hilirisasi industri
minyak sawit, pada tahun 2045 Indonesia diharapkan mampu merubah 35 posisinya dari
‘raja’ CPO dunia saat ini, menjadi ‘raja hilir’ melalui tiga jalur hilirisasi, yakni oleofood
(oleofood complex), oleochemical complex, dan biofuel complex. Hilirisasi minyak sawit
tersebut merupakan kombinasi strategi promosi ekspor (export promotion) dan substitusi
impor (import substitution). Artinya, melalui hilirisasi CPO diolah menjadi produk-produk
bernilai tambah lebih tinggi, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk pengganti barang yang
diimpor, seperti solar, avtur, premium, plastik, pelumas, dan sebagainya.
Dengan demikian, manfaat ekonomi hilirisasi bahkan industri minyak sawit secara
keseluruhan tidak hanya melihat berapa devisa yang dihasilkan dari ekspor, tetapi juga
beberapa devisa yang bisa dihemat akibat dari substitusi impor. Pintu gerbang hilirisasi
minyak sawit adalah industri refinery yakni industri yang mengolah CPO (crude palm oil)
maupun CPKO (crude palm kernel oil) menjadi produk antara yakni olein, stearin dan PFAD
(palm fatty acid distillate).
Strategi promosi ekspor melalui hilirisasi minyak sawit juga dilaksanakan paralel
dengan strategi substitusi impor yang dapat dikelompokkan atas dua fase yakni fase pertama
(SI1) yakni menghasilkan produk antara yang selama ini masih diimpor Indonesia.
Sedangkan fase kedua (SI2) adalah menghasilkan produk jadi untuk menggantikan produk
jadi yang diimpor selama ini. Termasuk ke dalam fase substitusi impor kedua ini adalah
penggantian solar dengan biodiesel (mandatory biodiesel), penggantian petropelumas dengan
biopelumas dan lainnya.
Pada tahun 2020 sekitar 30% dari kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan disuplai
dengan BBN, dimana sebagian besar diantaranya berbasis minyak sawit atau dikenal sebagai
biodiesel. Kementerian Pertanian mencatat adanya peningkatan ekspor yang cukup signifikan
pada 6 produk turunan kelapa sawit seperti RBD (Refined, Bleached and Deodorized) Palm
Olein, Palm Kernel Oil, RBD Palm Stearin, RBD Palm Oil, bungkil sawit (Palm Kernel
Expeller) dan cangkang kelapa sawit sejumlah 1,28 juta ton dengan nilai sekitar Rp 6,7 triliun
pada triwulan 1 2020. Hal ini meningkat 150 persen dibanding periode sama tahun 2019,
yang tercatat sekitar 830 ribu ton dengan nilai sebesar Rp 5,5 triliun. Kenaikan volume yang
signifikan terjadi di tengah kondisi ekonomi yang melemah akibat wabah pandemi. Dari total
ekspor minyak kelapa sawit pada tahun 2020 tercatat sekitar 83% berupa produk olahan, dan
hanya sekitar 17% yang diekspor dalam bentuk minyak mentah (CPO).9
Pengembangan Kawasan Industri Integrasi Industri Hilir Sawit dengan Fasilitas/Jasa
Pelabuhan, kebijakan Bea Keluar (duty) dan pungutan ekspor, serta kebijakan mandatori
biodiesel untuk substitusi solar impor. Untuk mempercepat hilirisasi minyak sawit di dalam
negeri, pemerintah juga mengeluarkan rangkaian berbagai kebijakan/ instrumen untuk
mempercepat hilirisasi. Berbagai kebijakan tersebut antara lain:
1) Pengurangan pajak penghasilan (tax allowance) untuk industri hilir kelapa sawit
yang mengacu pada 40 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011.
2) Insentif pajak (tax holiday) untuk industri hilir kelapa sawit perintis dengan
mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang
Pemberian Fasilitas Pembebasan Pajak Penghasilan Badan.
3) Pembebasan bea masuk atas impor mesin serta barang dan bahan untuk
pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal (PMK
Nomor 76 Tahun 2012); dan
4) Kebijakan bea keluar. Kebijakan dengan fokus hilirisasi minyak sawit dimulai
pada tahun 2011, dengan merubah kebijakan pajak ekspor menjadi kebijakan bea
keluar CPO dan produk turunannya (PMK Nomor 128 Tahun 2011 dan PMK
Nomor 75 Tahun 2012). Tujuan pemberlakuan kebijakan bea keluar tersebut
adalah:
a) Menjamin ketersediaan bahan baku minyak sawit bagi
industri domestik;
b) Mengamankan pasokan serta harga minyak goreng di
dalam negeri; dan

9
https://www.kemenperin.go.id/
c) Mendukung Program Nasional Hilirisasi Industri
Kelapa Sawit. Kebijakan bea keluar tersebut pada
prinsipnya memuat lima hal berikut:
 Bea keluar CPO dan/atau CPKO dikenakan
setelah produsen CPO memperoleh keuntungan
 Batas bawah harga CPO yang dikenakan bea
keluar CPO adalah jika harga CPO lebih besar
dari USD 750 per ton
 Tarif bea keluar produk hilir lebih rendah
daripada produk hulunya dengan maksud
mendorong hilirisasi di dalam negeri
 Tarif bea keluar minyak goreng kemasan lebih
rendah daripada minyak goreng curah, untuk
mendukung program national branding; dan
 Cakupan produk yang dikenakan bea keluar
diperluas seperti produk produk hydrogenated,
bungkil, PFAD yang 41 merupakan bahan baku
penting industri domestik.
Dengan demikian, kombinasi instrumen bea keluar dan pungutan
ekspor CPO menghasilkan pajak ekspor sebesar USD 50-250 per ton atau 6,7-
20%. Jika dihitung rata-rata untuk setiap tingkatan harga CPO dunia (kecuali
di bawah USD 750), pajak ekspor CPO baru adalah 13,85%. Dengan
demikian, pajak ekspor CPO yang baru tersebut lebih rendah dari pajak ekspor
CPO sebelumnya. Pajak ekspor CPO baru rata-rata 7,7% di bawah tarif pajak
ekspor CPO yang lama. 42 Dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya
(PMK Nomor 128 Tahun 2011 dan PMK Nomor 75 Tahun 2012), kombinasi
kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor tersebut (PMK Nomor 136 Tahun
2015 dan PMK Nomor 114 Tahun 2015) memberikan insentif hilirisasi
sebagai berikut:
1) Kebijakan pajak ekspor RBD Palm Olein yang baru lebih tinggi
dibandingkan dengan pajak ekspor sebelumnya.
2) Pajak ekspor RBD Palm Olein Kemasan lebih rendah
dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya.
3) Pajak ekspor biodiesel lebih rendah dari kebijakan sebelumnya.
Penyesuaian tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit
termasuk CPO dan turunannya diberlakukan pada tahun 2020
melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/ 2020
tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit yang terakhir kali dirubah melalui
PMK Nomor 76/PMK.05/2021.
Di dalam PMK tersebut menerapkan rentang tarif pungutan ekspor untuk
produk kelapa sawit dan turunannya secara berjenjang. Batas pengenaan tarif
progresif pada CPO berubah yang semula pada harga CPO USD 670 per ton menjadi
USD 750 per ton. Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan USD 750 per ton
maka tarif pungutan ekspor tetap sebesar USD 55 per ton. Selanjutnya, untuk setiap
kenaikan harga CPO sebesar USD 50 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik
sebesar USD 20 per ton sampai dengan harga CPO mencapai USD 1.000 per ton.
Apabila harga CPO di atas USD 1.000 per ton maka tarif tetap sebesar USD 175 per
ton. Apabila produk yang diekspor semakin ke hilir, maka tarif pungutan ekspor
semakin rendah. Seperti misalnya untuk RBD Palm Oil, tarif pungutan ekspor
terendah untuk harga dibawah atau sama dengan USD 750 per ton yaitu sebesar USD
25 per ton, dan akan bertambah sebesar USD 16 per ton untuk setiap kenaikan harga
USD 50 per ton, sampai dengan harga RBD Palm Oil mencapai USD 1.000 per ton ke
atas, maka tarif tetap sebesar USD 121 per ton.
Kebijakan baru tersebut secara umum dapat mendukung program hilirisasi
minyak sawit. Pajak ekspor bahan mentah (CPO) yang lebih tinggi daripada pajak
ekspor produk turunannya dapat mendorong hilirisasi melalui tiga jalur tersebut di
atas. Demikian juga pajak ekspor produk makin ke hilir (misalnya RBD Palm Olein
Kemasan) yang lebih rendah dari produk hulunya (RBD Palm Olein) juga dapat
mendorong hilirisasi tersebut. Pajak ekspor RBD Palm Olein Kemasan yang lebih
rendah dari Biodiesel dapat dipandang sebagai bagian dari instrumen kebijakan untuk
mengurangi masalah trade-off fuel food.
Kebijakan mandatori biodiesel dikhawatirkan akan menarik CPO ke industri
biodiesel sehingga dikhawatirkan industri oleofood akan kehilangan daya saingnya.
Dengan menerapkan pajak ekspor yang lebih rendah pada industri oleofood (RBD
Palm Olein Kemasan) dibandingkan produk di industri biodiesel diharapkan dapat
menjaga keseimbangan antara mendorong implementasi kebijakan mandatori
biodiesel dan mendorong ekspor produkproduk hilir oleofood.
Kebijakan pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia telah dimulai sejak
tahun 2004, yang terdiri dari dua tahap kebijakan, yaitu: , kebijakan pramandatori
(persiapan) pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi (2004-2008); dan
kebijakan mandatori biodiesel B1 (2008); B2,5 (2010-2013); B10 (2014); B15 (2015);
B20 (2016); dan sampai dengan B30 (2020- 2025). Implementasi B30 telah
dilaksanakan secara nasional sejak Januari 2020, yang merupakan pelaksanaan
mandatori B30 sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008
tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
sebagai Bahan Bakar Lain.
5. Keuntungan Pertahun Crude Palm Oil (CPO)
Dilihat dari perkembangannya, dalam kurun waktu pada tahun 2019 nilai
ekspornya turun lagi menjadi sebesar USD 15,57 miliar. Dan nilai ekspor minyak
kelapa sawit pada tahun 2019 merupakan nilai ekspor terendah dalam kurun waktu
2013 – 2020. Setelah turun sebesar 12,99% pada tahun 2019 dibandingkan 2019, pada
tahun 2020 nilai ekspor minyak kelapa sawit kembali menunjukkan peningkatan
sebesar USD 2,71 miliar, sehingga pada keseluruhan tahun 2020 ekspor minyak
kelapa sawit mencatatkan nilai sebesar USD 18,69 miliar. Nilai ekspor minyak kelapa
sawit diperkirakan akan meningkat pada tahun 2021, di mana pada semester I 2021
saja menunjukkan peningkatan sebesar 53,2% dibandingkan dengan periode yang
sama tahun 2010.
Dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), industri minyak kelapa
sawit masuk ke dalam Industri Makanan dan Minuman, atau ke dalam Industri
Makanan khususnya. Sebagai bagian dari Industri Makanan, maka nilai ekspor
minyak kelapa sawit juga menjadi bagian dari nilai ekspor Industri Makanan. Pada
Semester I 2021 dari nilai ekspor industri makanan yang sebesar USD 19,54 miliar,
sebesar USD 12,32 miliar diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit, yang berarti
mencapai sebesar 63,06% dari total nilai ekspor industri makanan.
Kontribusi nilai ekspor dari CPO ini pada Semester I 2021 mengalami
kenaikan dibanding sebesar 60,1% pada tahun 2020, Dan hal ini akan terjadi jika
industri turunan kelapa sawit dapat terus dikembangkan dan diprioritaskan
Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa produk minyak kelapa sawit sudah
semakin banyak digunakan untuk keperluan konsumsi dalam negeri, baik sebagai
bahan baku turunan minyak kelapa sawit maupun sebagai bahan baku bahan bakar
nabati (BBN).
Jika dilihat menurut negara tujuan, ekspor kelapa sawit Indonesia ditujukan
sedikitnya ke sepuluh negara di dunia. Tujuan ekspor terbesar adalah ke India, yang
pada tahun 2020 mencapai sebesar 4,57 juta ton dengan nilai sebesar USD 2,99
miliar. Sebelumnya, pada tahun 2019 tujuan ekspor terbesar adalah ke Tiongkok yang
mencapai sebesar 5,79 juta ton dengan nilai sebesar USD 3,02 miliar.
kemudian diikuti ke Belanda dan Amerika Serikat. Namun pada tahun 2019
dan 2020 ekspor minyak kelapa sawit ke Amerika Serikat lebih besar dibandingkan ke
Belanda akibat turun drastisnya ekspor minyak kelapa sawit ke Belanda dalam dua
tahun tersebut.
Kurva

Ekspor CPO
20
18 18
16 16
14
12 12
10
8
6
4
2
0
2019 2020 2021

Ekspor CPO

Pada tahun 2019 nilai 24 ekspornya turun lagi menjadi sebesar USD 15,57
miliar. Dan nilai ekspor minyak kelapa sawit setelah turun sebesar 12,99% pada tahun
2019, pada tahun 2020 nilai ekspor minyak kelapa sawit kembali menunjukkan
peningkatan sebesar USD 2,71 miliar, sehingga pada keseluruhan tahun 2020 ekspor
minyak kelapa sawit mencatatkan nilai sebesar USD 18,69 miliar. Nilai ekspor
minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat pada tahun 2021, di mana pada
semester I 2021 saja menunjukkan peningkatan sebesar 53,2 %
6. Tingkat Pertumbuhan Crude Palm Oil (Cpo)
Sebagai komoditi, minyak kelapa sawit merupakan penghasil devisa terbesar
pada sektor industri pengolahan. Pada semester I 2021 (Januari-Juni 2021) nilai
ekspor minyak kelapa sawit mencapai sebesar USD 12,32 miliar, yang naik sebesar
53,2% dari nilai ekspor pada semester I 2020. Sebelumnya pada tahun 2020 nilai
ekspor minyak kelapa sawit juga mengalami kenaikan yang cukup besar, yaitu sebesar
USD 2,87 miliar (18,43%), dari sebesar USD 15,57 miliar pada tahun 2019 menjadi
sebesar USD 18,44 miliar pada tahun 2020, sementara pada tahun 2019 nilai ekspor
industri ini mengalami penurunan sebesar 12,99% dari nilai ekspor tahun 2018.
Terjadinya kenaikan nilai ekspor minyak kelapa sawit yang sebesar 53,2%
pada semester I 2021 ternyata tidak seiring dengan kondisi volume ekspornya, karena
volume ekspor minyak kelapa sawit semester I 2021 mencatatkan penurunan sebesar
1,41%, yaitu dari sebanyak 12,53 juta ton pada semester I 2020 menjadi sebanyak
12,35 juta ton pada semester I 2021. Pada tahun 2020 volume ekspor komoditas ini
bahkan turun lebih besar lagi, yaitu sebesar 8,55%. Terjadinya penurunan volume
ekspor minyak kelapa sawit sejak tahun 2020 menunjukkan telah terjadinya kenaikan
harga minyak kelapa sawit di pasar dunia sejak tahun 2020 tersebut. Sementara itu
kenaikan volume ekspor minyak kelapa sawit yang terjadi pada tahun 2019, di saat
nilai ekspornya turun, menunjukkan terjadinya penurunan harga komoditas ini di
pasar global selama tahun 2019.10

produksi CPO
50
49.71
49.5
49
48.5
48.3
48
47.5
47 47.12
46.5
46
45.5
2018.5 2019 2019.5 2020 2020.5 2021 2021.5

produksi CPO

Jika dilihat dari kurva di atas pada tahun 2020 Indonesia dilanda pandemi Covid19,
tapi nilai ekspor produk kelapa sawit (CPO dan produk turunannya) menunjukkan
peningkatan di kisaran USD 22,97 miliar, atau tumbuh sebesar 13,6% dari 2019. Hal ini
memberikan kontribusi yang sangat berarti pada devisa negara, ketika komoditas lainnya
mengalami penurunan. Harga referensi untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil
(CPO) pada periode April 2021 cukup tinggi, yaitu sebesar USD1.093,83 per ton. Sedangkan

10
https://www.kemenperin.go.id/
bea keluar yang dikenakan untuk ekspor CPO sebesar USD116 per ton. Hal tersebut
berdampak positif pada penerimaan negara serta peningkatan kesejahteraan pekebun kelapa
sawit di tingkat tapak yang diterima dalam bentuk harga Tandan Buah Segar.
KURVA Pertumbuhan CPO
12.00%

10.00%
pertumbuhan CPO
9.90%

8.00%

6.00%

4.00%
2.50% 2.90%
2.00%

0.00%
2018.5 2019 2019.5 2020 2020.5 2021 2021.5

pertumbuhan CPO

pada tahun 2019 merupakan peningkatan dari luar areal tanam pada tahun 2018 yang
tercatat sebesar 14,33 juta Ha, yang juga terus meningkat pada tahun 2020 dan juga tahun
2021. Luas Perkebunan Rakyat diperkirakan akan terus meningkat dan mendominasi luas
areal perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 60%. Sehingga peranan Perkebunan Rakyat
memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Meskipun diperkirakan akan mendominasi luas areal perkebunan kelapa sawit
Indonesia, namun produktivitas Perkebunan Rakyat masih rendah yaitu 3,43 ton per hektar
pada tahun 2020, yang masih di bawah produktivitas rata-rata nasional yang mencapai 3,89
ton per hektar. Begitu pula jika dibandingkan dengan penguasaan perkebunan lahan sawit
yang lain maka jauh di bawah Perkebunan Besar Swasta yang produktivitasnya tercatat 4,16
ton per hektar, maupun produktivitas Perusahaan Besar Negara yang mencapai 4,44 ton per
hektar. Namun, produktivitas Perkebunan Rakyat masih besar potensinya untuk
ditingkatkan.11

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak sawit kasar yang diekstrak dari mesocarp
buah sawit dan belum mengalami pemurnian. Minyak kelapa sawit memiliki komponen
penyusun minyak sawit yakni, trigliserida 95,62%, asam lemak bebas 4,00%, air 0,20%,
phosphatida 0,07%, karoten 0,03%, dan aldehid 0,07%. Proses pengolahan CPO (Crude
12

11
https://www.kemenperin.go.id/
12
Palm Oil) memerlukan pengontrolan yang sangat teliti untuk mendapatkan hasil minyak
nabati yang berkualitas.
Indonesia sebagai Negara produsen sawit terbesar di dunia, luas areal perkebunan
sawit di Indonesia pada tahun 1980 hanya 295 ribu hektare, pada 2019 naik menjadi 14,68
juta hektare bertambah hampir 50 kali lipat, dengan produksi tahun 2019 bisa mencapai 43
juta ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai Negara produsen terbesar sawit di dunia
di ikuti oleh Malaysia dengan volume produksi 18,5 juta ton pertahun dan Thailand 2,8 juta
ton pertahun. Luas lahan sawit dan volume produksi sawit Indonesia naik setiap tahunnya.
Pada tahun 2019 nilai 24 ekspornya turun lagi menjadi sebesar USD 15,57 miliar.
Dan nilai ekspor minyak kelapa sawit setelah turun sebesar 12,99% pada tahun 2019, pada
tahun 2020 nilai ekspor minyak kelapa sawit kembali menunjukkan peningkatan sebesar
USD 2,71 miliar, sehingga pada keseluruhan tahun 2020 ekspor minyak kelapa sawit
mencatatkan nilai sebesar USD 18,69 miliar. Nilai ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan
akan meningkat pada tahun 2021, di mana pada semester I 2021 saja menunjukkan
peningkatan sebesar 53,2 %
Perkembangan industri minyak kelapa sawit di Indonesia mempunyai peluang yang
cukup besar bagi peningkatan kinerja industri ini di masa mendatang. Peluang tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
1) Permintaan global terhadap minyak nabati termasuk sawit masih tumbuh tinggi,
yaitu rata rata mencapai 5 juta ton per tahun. 13
2) Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian, luas lahan di Indonesia yang sesuai dan berpotensi untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit mencapai sekitar 47 juta hektar, dengan rincian yang
berpotensi tinggi sekitar 25 hektar, berpotensi menengah sekitar 3,4 hektar, dan
berpotensi rendah sekitar 18,6 hektar. Artinya dengan luas lahan perkebunan yang
dewasa ini sekitar 15 juta hektar, maka lahan yang masih bisa dimanfaatkan masih
sekitar 68%.
3) Prospek CPO cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya.
Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya
tingkat efisiensi produksi CPO. Produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak
kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha
setara minyak.

13
https://www.kemenperin.go.id/
4) Sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih
berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, 46 terutama
untuk minyak yang harganya murah. Di samping faktor penduduk, peningkatan
konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan.
5) Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO yang tinggi sehingga penduduk di
negara berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan
minyak yang lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan karena pertumbuhan
ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, yang
tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah, yaitu sekitar 10,3 kg
per kapita.
Sedangkan dalam perkembangannya, industry CPO mengalami beberapa
permasalahan umum, berikut beberapa permasalahan umum yang dihadapi, Adanya
kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang kontraproduktif. Padahal industri ini
memerlukan regulasi yang menciptakan iklim yang kondusif, Permasalahan yang dihadapi
industri kelapa sawit pada tingkat petani adalah terbatasnya investasi untuk peremajaan,
rendahnya produktivitas dan kualitas hasil, Permasalahan yang dihadapi industri kelapa sawit
pada tingkat petani adalah terbatasnya investasi untuk peremajaan, rendahnya produktivitas
dan kualitas hasil.
Permasalahan Terkait dengan Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan. Sedikitnya
terdapat lima masalah yang terkait dengan industri minyak kelapa sawit berkelanjutan, yaitu
Kampanye negatif tentang minyak sawit, Kampanye negatif terkait industri sawit bukan hal
baru. Masalah penerapan prinsip berkelanjutan atau sustainability.Upaya melakukan
sertifikasi membutuhkan dana, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit bagi perusahaan
perkebunan skala besar, melakukan sertifikasi RSPO bisa jadi cukup mudah. Namun, di sisi
lain petani kecil membutuhkan usaha ekstra agar mampu mengikuti pelatihan sertifikasi
tersebut.
Hal ini disebabkan karena para petani cenderung minim keahlian, finansial, dan
kesulitan mengakses berbagai produk hukum yang berlaku. masalah status serta legalitas
lahan kebun sawit yaitu soal status maupun legalitas lahan kebun sawit masih jadi kendala 49
yang sering mempersulit pelaku usaha, karena terjadi perbedaan status lahan yang hendak
digunakan untuk memperluas area kebun. Dan produktivitas perkebunan sawit tergolong
rendah. Sekalipun Indonesia adalah produsen sawit terbesar dunia, namun produktivitas
kebun sawit Indonesia relatif rendah. Hal ini antara lain karena tingginya biaya produksi,
yang antara lain juga terbebani oleh biaya keamanan dan biaya sosial. Perbedaan sertifikasi di
tiap pasar sawit. Indonesia merupakan negara pertama yang merilis Indonesia Sustainable
Palm Oil (ISPO) lewat Peraturan Menteri Pertanian No. 11 Tahun 2015. Namun, regulasi
tumpang tindih antara ISPO dan RSPO membuat bingung para pemilik perusahaan
perkebunan maupun kelompok pekebun swadaya.
Tingkat produktivitas minyak kelapa sawit relatif masih rendah, karena sebagian
besar bersumber dari perkebunan rakyat, Cukup luasnya lahan perkebunan sawit yang sudah
kurang produktif. Adanya isu-isu negatif yang menganggap industri ini tidak ramah
lingkungan. Tantangan pada industri kelapa sawit, Ada anggapan bahwa tingkat
pengembalian investasi (return on investment) pada industri hilir kelapa sawit relatif lebih
kecil dibandingkan dengan industri hulu. Margin keuntungan di sektor hulu (dengan
menggarap perkebunan kelapa sawit) dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan margin
keuntungan di sektor hilir, sehingga tingkat pengembalian investasi di sektor hulu lebih cepat
dibandingkan dengan di sektor hilir kualitas teknologi dan sumber daya manusia di Indonesia
masih terbatas. Indonesia belum banyak memiliki tenaga ahli di bidang kelapa sawit.
Meski mengalami bebrapa hambatan industry CPO di Indonesia dari tahun 2019
sampai 2021 terus mengalami peningkatan.

D. Penutup
a) Kesimpulan
Industri minyak sawit Indonesia memiliki peranan penting dalam
perekonomian nasional. Selain sebagai komoditas penghasil devisa terbesar,
kontribusinya pada perekonomian nasional relatif besar dan luas, mulai dari
penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan rakyat, pengembangan wilayah,
alih teknologi, aliran masuk investasi hingga kontribusinya sebagai salah satu
kekuatan andalan dalam penerimaan pendapatan pemerintah daerah dan pusat.
Selama ini, CPO masih menjadi komoditas andalan ekspor Indonesia, ekspor
CPO dinilai masih memiliki nilai tambah yang lebih rendah dibandingkan dengan
produk yang lebih hilir. Sekitar 70% CPO masih diekspor sedangkan hanya sekitar
30% untuk kebutuhan domestik. Oleh karena itu, hilirisasi CPO perlu didorong untuk
diolah menjadi produk-produk bernilai tambah lebih tinggi.
b) Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dilihat bahwa jumlah produksi minyak Sawit
(CPO) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh luas lahan , namun penambahan luas
lahan memiliki titik batas yaitu ketersedian sumber daya alam khususnya lahan. Maka
dapat dilakukan dengan luas lahan perkebunan yang tetap, produksi minyak sawit
dapat meningkat karena adanya peningkatan produktivitas melalui perbaikan kultur
teknis (Good Agriculture Practices/GAP) seperti peningkatan penggunaan pupuk,
tenaga kerja, dan lain-lain. Atau dengan tahap industrialisasi yang berkelanjutan
melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, SDM kreatif, dan ditandai dengan
pengaplikasian industri 4.0 pada perkebunan kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.kemenperin.go.id/

Rifin Amzul, Efisiensi Perusahaan Crude Palm Oil (Cpo) Di Indonesia, Jurnal Manajemen &
Agribisnis, Vol. 14 No. 2, Juli 2017

D Carina. Patone1, Robby J. Kumaat2, Dennij Mandeij3, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi,
Analisis Daya Saing Ekspor Sawit Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor Tiongkok Dan India,
Volume 20 No. 03 Tahun 2020, Hal 23

Putri Debby Olivia - Jurnal Industri Pertanian – Volume 01. Nomor 03. Tahun 2019. Hal 88 –
89

A. Alatas,. Trend produksi dan ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia. Tahun 2019, Hal 114-
124

Anda mungkin juga menyukai