Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya industry
4.0 yang sedang gencar-gencarnya digalakan oleh pemerintah mendorong meningkatnya
kebutuhan energi salah satunya ialah bahan bakar minyak (BBM). Bahan bakar minyak
menjadi sumber energi yang paling banyak dibutuhkan karena kemampuannya untuk dapat
dikonversi menjadi bentuk energi lain. Sejauh ini, bahan bakar fosil masih menjadi sumber
energi padahal ketersediaannya di alam semakin menipis. Berdasarkan data dari Kementrian
ESDM tahun 2013 cadangan minyak bumi hanya sembilan miliar barel yang diperkirakan
akan habis selama 18 tahun dengan laju produksi rata-rata 500 juta barel per tahun.
Tingkat konsumsi bahan bakar minyak yang tinggi di Indonesia tidak sebanding
dengan ketersediaan bahan bakar minyak. Supply fossil fuel dan ketersediaan bahan bakar
minyak terus menurun, sehingga Indonesia mengalami krisis energi seperti banyak negara di
dunia lainnya. Krisis bahan bakar tersebut menyebabkan Indonesia terpaksa mengimpor
BBM. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2018 lalu, menunjukan impor migas
di Mei 2019 mencapai US$ 2,09 miliar atau setara Rp 29,6 triliun turun 6,41% dibanding
April yang menyentuh US$ 2,23 miliar atau setara Rp 31 triliun. Penurunan impor migas
dipicu oleh turunnya nilai impor hasil minyak atau BBM sebesar US$ 263,6 juta atau 18,29%
dan impor gas turun US$ 59,5 juta atau 18,13%. Tetapi, masih terdapat impor yang naik
signifikan yakni minyak mentah atau crude oil sebanyak 38,59%. Impor minyak mentah di
Mei 2019 naik jadi US$ 645,4 juta dari sebelumnya US$ 465,7. Dari Januari hingga Mei
2019, impor migas tercatat menurun hingga 23,77%. Lebih lanjut penurunan impor migas
disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5
juta (43,74 persen), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44 persen), dan gas US$24,2 juta (2,14
persen). 
Krisis BBM di Indonesia mengakibatkan Indonesia harus mengimpor minyak mentah
(crude oil) dan bahan bakar minyak seperti premium, pertamax, avtur dan minyak solar tiap
harinya. Total kapasitas terpasang kilang minyak bumi PT. PERTAMINA (Persero) dan
milik swasta saat ini mencapai sekitar 1.156 juta barel per hari yang digunakan untuk
mengolah minyak bumi produksi dalam negeri maupun impor.
Pemerintah terus mengembangkan alternatif energi sebagai pengganti bahan bakar
fosil yaitu dengan menggunakan energi baru terbarukan. Energi baru terbarukan yang paling
potensial dikembangkan di Indonesia ialah energi biomass. Hal ini dikarenakan,ketersedian di
alam yang melimpah didukung fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan
keanekaragaman hayati tinggi. Konsumsi energi final (termasuk biomassa) dalam kurun
waktu tahun 2000-2012 meningkat dari 764 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 1.079 juta
SBM pada tahun 2012 atau meningkat rata-rata 2,91% per tahun (BPPT, 2014).
Sumber energi biomass yang potensial untuk dimanfaatkan menjadi biofuel ialah
Plam Sludge Oil berupa hasil samping adanya produksi minyak kelapa sawit. Menurut Choo
dan Basiron (1987), proses pengolahan minyak kelapa sawit menghasilkan limbah minyak
kelapa sawit (palm sludge oil) dengan kandungan asam lemak bebas (Free Fatty Acid, FFA)
sekitar 10-80%. Limbah tersebut dapat digunakan sebagai sumber asam lemak dalam
pembentukan sumber energi baru seperti bioavtur, biodiesel, dan biogasoline melalui proses
hydrocraking. Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil - CPO) secara nasional
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Produksi Crude Oil dari tahun 2010-2017 (Badan Pusat Statistik, 2018)
Tahun Produksi (Juta Ton)
2010 48,6
2011 46,3
2012 44,6
2013 42,7
2014 41,2
2015 40,7
2016 43,0
2017 46,4
Dengan besarnya kontribusi tersebut, CPO maka berbanding linier dengan limbah
yang dihasilkan berupa palm sludge oil sehingga dapat dipandang memiliki potensi besar
untuk menggerakkan perekonomian sekaligus menopang industri biofuel di Indonesia.
Biodiesel (Automotive Diesel Oil) serta bensin (gasoline) sebagai salah satu jenis
biofuel mendominasi produk kilang saat ini menyusul tingginya kebutuhan BBM pada sektor
transportasi dan industri. Dilihat dari jenis BBM yang dihasilkan, produksi ADO dan bensin
(Gasoline) yang mendominasi produk kilang saat ini menyusul peningkatan kebutuhan BBM
pada sector transportasi. Prediksi kebutuhan Automotive Diesel Oil (ADO) di Indonesia
hingga tahun 2030 disajikan pada Gambar 1.1
40000000

35000000

30000000

25000000
kL/tahun

20000000

15000000 27653973 29283449 31493794 33704139


27073104 27515173
10000000

5000000

0 2010 2015 2016 2020 2025 2030


Tahun

Gambar
1.1 Prediksi kebutuhan Automotive Diesel Oil (ADO) di Indonesia
Berdasarkan hasil proyeksi kebutuhan ADO di Indonesia hingga tahun 2030 akan
terus
mengalami peningkatan. Solusi untuk memperlambat dan mengurangi ketergantungan
terhadap minyak bumi tersebut adalah dengan upaya konservasi dan diversifikasi energi.
Diversifikasi energi atau penganekaragaman pemakaian energi yaitu dengan meningkatkan
pemanfaatan energi, salah satunya adalah biofuel. Biofuel merupakan bahan bakar ramah
lingkungan karena dapat mereduksi hingga 62 % emisi gas yang dapat mencemari lingkungan
bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil (Van Zutphen, 2007). Gambar 1.1 menunjukkan
bahwa kebutuhan ADO terus meningkat hingga 33,7 juta
kL/tahun pada tahun 2030. Dengan begitu kebutuhan biofuel dapat diproyeksikan juga akan
meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan kebutuhan ADO, diperkuat dengan
saat ini telah berkembang menjadi salah satu energi alternatif dari bahan bakar fosil. Sebagai
salah satu sumber energi terbarukan, biofuel adalah alternatif yang tepat untuk menggantikan
bahan
bakar fosil.
Kapasitas terpasang biodiesel sebagai salah satu jenis biofuel saat intelah mencapai
5,6 juta kL/tahun dari 25 produsen biodiesel yang telah memiliki izin usaha niaga BBN.
Sebesar 4,5 juta kL/tahun diantaranya telah siap berproduksi (Kementrian ESDM, 2015).
Prediksi kebutuhan Automotive Diesel Oil (ADO) yang semakin meningkat yang
diperkirakan pada tahun 2030 mencapai 271 Million Metric Barrel Stream per Year
(MMBSY), dan adanya Peraturan Pemerintah yang memberikan kebijakan untuk
pencampuran BBM jenis solar dengan Bahan Bakar Nabati atau Biodiesel yang bertujuan
untuk menekan impor bahan bakar fosil, serta ketersediaan bahan baku Crude Palm Oil
(CPO) untuk membuat Biodiesel yang cukup melimpah, maka sangat berpeluang dan
berpotensi jika mendirikan pabrik Biodiesel yang berbahan baku CPO untuk mencapai
Indonesia mandiri energi.
Biofuel dapat menghasilkan bioavtur sebagai bahan bakar pesawat. Ditinjau dari
prospek bisnis dan pangsa pasar bioavtur memiliki potensi yang cukup besar karena didukung
oleh kebijakan IATA (International Air Transportation Association) yang menargetkan agar
seluruh maskapai penerbangan di dunia yang tergabung didalamnya untuk melakukan
substitusi bahan bakar konvensional sebesar 8% dengan bioavtur pada tahun 2020 (IATA,
2017). Kebijakan ini juga didukung oleh Kemenhub dan Kementerian ESDM yang telah
menandatangani MoU mengenai aviation biofuel dan renewable energy dan ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Perhubungan No. 201 Tahun 2013 yang antara lain mencakup
implementasi Aviation Biofuel dengan bauran 2% pada tahun 2016, 3% pada tahun 2020, dan
5% pada tahun 2025 (Dephub, 2017).

1.2 Kapasitas Rancangan


Untuk menentukan kapasitas rancangan, terdapat beberapa factor yang harus
dipertimbangkan:
1.2.1 Ketersediaan Bahan Baku
Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm/tahun
mendukung adanya lahan kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit (PKS) adalah salah satu
rantai pasok produk industri kelapa sawit yang berfungsi sebagai pengolahan tandan
buah segar sawit (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO). Indonesia merupakan
eksportir dan produsen CPO terbesar di dunia sehingga pendirian pabrik biodiesel
berbahan baku CPO tidak akan mengalami kelangkaan dan kesulitan dalam
mendapatkan pasokan bahan baku CPO secara kontinyu. Bahan baku Palm Sludge Oil
diperoleh dari hasil samping Crude Palm Oil industry kelapa sawit. Produksi CPO
meningkat setiap tahunnya sebagaimana data yang dikelurkam oleh Badan Ketahanan
Pangan Kementrian Pertanian (2014 dan 2017).
Tabel 1.2 produksi dan Ekspor Crude Palm Oil
Tahun Produksi (Juta Ton) Total Ekspor Dalam Negeri
CPO (Ton) (Ton)
2008 19.2000.000 15.100.000 4.100.000
2009 19.400.000 17.100.000 2.300.000
2010 21.800.000 17.100.000 4.700.000
2011 23.500.000 17.600.000 5.900.000
2012 26.500.000 18.200.000 8.300.000
2013 30.000.000 22.400.000 7.600.000
2014 31.500.000 22.700.000 9.800.000
2015 32.500.000 25.000.000 8.100.000
2016
2017

Kandungan Crude Palm Oil terdiri dari 73% olein


(komponen utama dalam palm oil), 21% stearin, 5% Palm Fatty
Acid Distillate (PFAD) and 1% palm sludge oil (Departemen
Perindustrian, 2007). Perhitungan hasil produksi nasiona; dari Palm
Sludge oil sesuai dengan persamaan berikut:
Produksi Palm Sludge Oil = 1 / 73 x produksi CPO

1.3 Lokasi Pabrik


Dalam pendirian suatu pabrik, pemilihan lokasi menjadi hal yang sangat penting. Hal
ini dikarenakan, lokasi dapat menjadi salah satu faktor tingkat keberhasilan perusahaan. Perlu
dipertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan lokasi pabrik diantaranya letak
geografis, teknis, ekonomis dan lingkungan. Dari pertimbangan tersebut lokasi pabrik dari
prarancangan pabrik biofuel ini dipilih di Kawasan Industri Pelabuhan Internasional
(KIPI) Maloy di Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur dengan pertimbangan sebagai
berikut:

1.3.1 Lokasi dan Kondisi Geografis


Kabupaten Kutai Timur adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan
Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sangatta. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 35.747,50 km² atau 17% dari luas Provinsi Kalimantan Timur. Letak Kutai Timur
yang tergolong strategis karena dekat dengan pelabuhan Maloy. Pelabuhan Maloy terletak
pada lintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) yang merupakan lintasan laut
perdagangan internasional dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar yang merupakan
pelayaran nasional maupun internasional. Maloy juga merupakan pintu gerbang ekonomi
wilayah Indonesia Selatan dan berada di kawasan pusat ekonomi dunia masa depan (Pacific
Rim). Selain itu, rencana pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur menjadi factor
penting dikarenakan kemudahan dalam pengurusan dokumen dan lain sebagainya.
Pendirian pabrik Biodiesel di Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur memiliki
peluang untuk memanfaatkan potensi untuk melakukan ekspor produk baik dalam bentuk
CPO
maupun dalam bentuk produk Biodiesel dikarenakan produksi CPO dan Biodiesel yang
melimpah di daerah ini. Peta lokasi Kabupaten Kutai Timur disajikan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.3. Peta Lokasi Kabupaten Kutai Timur


1.3.2 Sumber Bahan Baku

Bahan baku Palm Sludge Oil didapat dari dalam negeri yang setidaknya ada 20 pabrik
yang memproduksi Crude Palm Oil di Kutai Timur sehingga secara tidak langsung dihasilkan
limbah berupa Palm Sludge Oil. Jarak yang dekat dengan sumber
bahan baku akan menekan biaya transportasi dan akan memudahkan dalam penyediaanya
sehingga dapat terhindar dari keterlambatan suplai bahan baku. Bahan baku Palm Sludge Oil
diperoleh dari Dharma Satya Nusantara (DSN) Group yang memilik lima anak perusahaan
untuk mendukung kegiatan operasional perkebunan dan pabrik di wilayah Muara Wahau
Kabupaten Kutai Timur yakni PT Swakarsa Sinarsentosa (SWA), PT Dharma Agrotama
Nusantara (DAN), PT Dharma Intisawit Nugraha (DIN), PT Dewata Sawit Nusantara
(DWT), dan PT Karya Prima AgroSejahtera (KPS) dengan total kapasitas produksi mencapai
330 ton per jam atau ekuivalen dengan 1.980.000 ton/tahun.
Hidrogen yang merupakan salah satu bahan baku pembuatan biofuel diperoleh dari
pabrik penghasil hidrogen di Indonesia yaitu PT. Samator Gas Industri yang
berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur dengan kapasitas produksi 1.000 Nm3/jam.
Pendirian pabrik Biofuel di KIPI Maloy Kutai Timur, Kalimantan Timur yang dekat dengan
sumber bahan baku Palm Sludge Oil dan hidrogen dapat mengurangi biaya transportasi dan
kemungkinan keterlambatan suplai bahan baku.
1.3.3 Kebutuhan Utilitas

Kawasan Industri KIPI Maloy telah menyediakan air untuk kebutuhan dari industry di
dalam kawasan tersebut, sehinnga tidak sulit untuk mendapatkan air untuk keperluan pabrik.
Sementara untuk kebutuhan listrik akan disuplai oleh Perusahaan Listrik Negara.
1.3.4 Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor yang penting untuk keberlangsungan proses
produksi pembuatan biofuel dari Palm Sludge Oil. Laju pertumbuhan penduduk kabupaten
Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur setiap tahunnya mengalami kenaikan sebesar 4,08%
dan pada tahun 2010, tercatat jumlah penduduk sebanyak 253.847 jiwa dengan kepadatan
penduduk ±4,74 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik, 2016). Data statistik pertumbuhan
penduduk tersebut menunjukkan sangat potensial apabila tenaga kerja diambil dari sekitar
Kutai Timur bertujuan untuk memberdayakan penduduk sekitar, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan perkapita dan perekenomian penduduk sekitar. Selain itu, dengan
mengambil tenaga kerja setempat untuk membantu dalam pengolahan Palm Sludge Oil
menjadi biofuel dapat menekan biaya pekerja yang dikeluarkan.

Anda mungkin juga menyukai