Anda di halaman 1dari 15

1

BIOETANOL BERBASIS NIRA AREN : TINJAUAN KEEKONOMIAN


1

R. Wisnu Ali Martono
2

wisnu.ali.martono@gmail.com
Abstrak
Menghadapi kenaikan harga minyak bumi dunia yang mencapai USD 140 per barrel pada
banyak pihak yang kembali menyarankan untuk membuat bahan bakar nabati. Jika pada
Keppres no 10 tahun 2006 (tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan Dan Pengangguran) boleh dikatakan
bertumpu pada pembuatan biodiesel berbasis minyak jarakpagar, kemudian muncul
keinginan untuk menghasilkan bioetanol berbasis nira. Walaupun tidak dikeluarkan dalam
konteks Keppres, namun saran pembuatan bioetanol ini juga dimaksudkan untuk
mengatasi dua masalah sekaligus: kekurangan bahan bakar dan menaikkan
kesejahteraan petani. Makalah ini mencoba menelusuri keekonomian program bioetanol
berbasis nira Aren, untuk melihat apakah dua tujuan yang ingin dicapai dalam program
bioetanol inii akan dapat mencapai sasarannya. Sebagai perbandingan, dihitung
keekonomian pembuatan gula merah dan gula semut. Keduanya adalah produk
tradisional dari pengolahan nira Aren.


I. PENDAHULUAN

Dari lima sektor pengguna energi (industri, rumahtangga, komersial, transportasi
dan sektor lain) sektor transportasi bukan merupakan sektor yang paling banyak
mengkonsumsi energi. Data dari ESDM (2009)
3
menyebutkan pada tahun 2008
urutan penggunaan energi komersial (energi yang diperdagangkan, tidak termasuk
biomasa) per sektor adalah sebagai berikut:

-sektor industri : 316.452.732 (BOE, barrel oil equivalent)
-sektor rumahtangga : 84.788.576 BOE
-komersial : 26.689.775 BOE
-transportasi : 191.257.453 BOE
-lain-lain : 24.842.951 BOE

Sektor transportasi menggunakan cukup banyak energi, mengalahkan sektor
rumahtangga. Kecenderungan ini tidak berubah selama bertahun-tahun.
Kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi selalu meningkat seiring dengan
peningkatan sektor industri maupun sektor komersial.

1
Dimuat dalam J urnal Ekonomi Lingkungan (terbitan KLH) No 13/2/2009.
2
Ekonom Sumberdaya Alam, bekerja pada PTISDA- BPP Teknologi
3
ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.
2
Di sektor transportasi sendiri, bahan bakar yang dipergunakan terdiri dari berbagai
jenis, tergantung jenis angkutanya. J enis bahan bakar sektor angkutan itu antara
lain solar (HSD- high speed diesel untuk angkutan darat dan MFO marine fuel oil
untuk angkutan laut), bensin Premium
4
dan bensin dengan nilai oktan lebih tinggi
5

dan BBG
6
(bahan bakar gas) untuk angkutan darat, Avgas
7
dan Avtur
8
untuk
angkutan udara. Dibandingkan dengan jenis-jenis bahan bakar lain untuk
keperluan transportasi, bahan bakar Premium memberikan kontribusi terbesar,
seperti tercermin dalam tabel berikut.

Tabel 1.1. Konsumsi Energi Sektor Transportasi di Indonesia
Jenis Gas Avgas Avtur Premium Bioprem Biopertmx PertmxPlus Biosolar
Satuan MMSCF KL KL KL KL KL KL KL
2003 599.00 3,556.00 1,929,351.00 13,746,726.00 - - 107,441.00 -
2004 471.00 3,416.00 2,437,923.00 15,337,655.00 - - 121,966.00 -
2005 238.00 3,070.00 2,322,634.00 16,621,765.00 - - 99,326.00 -
2006 233.00 3,390.00 2,428,078.00 15,941,837.00 1,624.00 16.00 128,289.00 217,048.00
2007 273.00 2,163.00 2,520,040.00 16,962,198.00 55,970.00 9,956.00 158,070.00 877,457.00
2008 691.00 2,003.00 2,635,670.00 18,653,344.00 44,016.00 16,200.00 114,783.00 929,393.00
*MMSCF =million standard cubic feet, KL =kilo liter
Sumber: ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.


Di tengah terus meningkatnya kebutuhan bahan bakar untuk berbagai sektor,
Sebagai negara pengimpor netto bahan bakar minyak, Indonesia selalu
terpengaruh oleh kenaikan harga minyak dunia. Tabel berikut menunjukkan
supply dan demand minyak mentah, di mana produksi (dan impor) dikurangi
ekspor harus menutup kebutuhan pengilangan. Tanpa adanya impor, kebutuhan
kilang (untuk diproses menjadi bahan bakar minyak) tidak akan tercukupi.


4
Bensin dengan nama dagang Premium adalah bahan bakar mesin non-diesel dengan nilai oktan 90. Bahan
bakar serupa dengan nilai oktan 92 produksi Pertamina dikenal sebagai Pertamax dan dengan nilai oktan 95
dikenal sebagai Pertamax Plus.
5
Pertamax untuk produksi Pertamina, Super untuk produk Shell, dan 92 untuk Petronas, semua untuk bahan
bakar oktan 92. Pertamax Plus, Super Extra dan 95 untuk bahan bakar dengan nilai oktan 95.
6
Bahan Bakar Gas (BBG) merupakan bahan bakar dengan komposisi sebagian besar terdiri dari gas metana
dan etana lebih kurang 90% dan selebihnya adalah gas propana, buthana, nitrogen dan karbondioksida. BBG
lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya nilai oktan 120.
7
Avgas (Aviation Gas) adalah bahan bakar untuk pesawat bermesin piston.
8
Aviation Turbine Fuel (AVTUR) atau secara internasional lebih dikenal dengan nama J et A-1 adalah bahan
bakar untuk pesawat terbang jenis jet atau turbo jet (baik tipe jet propulsion atau propeller). Bahan bakar ini
merupakan fraksi minyak tanah.
3
Tabel 1.2. Supply dan Demand Minyak Mentah Indonesia
(dalam ribuan Barrell)
Tahun Produksi Ekspor Impor Kilang Kilang
2003 419,255.00 189,095.00 137,127.00 358,519.00 986.90
2004 400,554.00 178,869.00 148,490.00 366,033.00 1,002.80
2005 386,483.00 159,703.00 164,007.00 357,656.00 979.90
2006 367,049.00 134,960.00 116,232.00 333,136.00 912.70
2007 348,348.00 135,267.00 115,812.00 330,027.00 904.20
2008 357,501.00 134,872.00 83,982.00 307,023.00 841.20
*kolom 2 +kolom 4 kolom 3 harus mencukupi kolom 5 dan 6.

Apabila terus terjadi peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak, terutama di
sektor transportasi, sementara produksi minyak mentah tidak dapat dinaikkan,
dapat diduga harus dilakukan impor minyak mentah (atau bahan bakar minyak)
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, dengan jumlah yang semakin
meningkat setiap tahunnya.

Di tengah kesadaran bahwa semakin lama Indonesia semakin banyak mengimpor
minyak mentah (maupun bahan bakar minyak), pada tanggal 24 J uli 2006
pemerintah telah mengeluarkan Keppres No 10 tahun 2006 tentang Tim Nasional
Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan
Dan Pengangguran Presiden Republik Indonesia. Timnas BBN yang diberikan
mandat untuk bekerja selama dua tahun ini sebenarnya mengajukan dua jenis
bahan bakar nabati untuk diproduksi, yaitu bioetanol(untuk menggantikan bahan
bakar jenis Premium) dan biodiesel (untuk menggantikan bahan bakar jenis High
Speed Diesel atau solar). Akan tetapi dalam perkembangannya nampak bahwa
titik berat program didasarkan pada produksi biodiesel berbasis jarakpagar
(jatropha curcass).

Keppres No 10 tahun 2006 sendiri secara legal merupakan penjabaran lebih lanjut
dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan
Bakar Lain, di mana presiden memerintahkan sejumlah menteri dan Kepala
Daerah agar mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan
4
penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain.

Ketika mandat Timnas BBN berakhir di bulan J uli 2008, boleh dikata program
pembuatan biodiesel berbasis jarakpagar telah gagal. Salah satu penyebabnya,
menurut Wisnu Ali Martono (2007)
9
adalah kurangnya perhatian terhadap analisa
keekonomian, yang sebenarnya program ini sangat merugikan petani jika
dilanjutkan.

II. NIRA AREN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL

Sebenarnya potensi nira sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol sudah
disinggung dalam berbagai kajian tanaman untuk bahan baku BBN (bahan bakar
nabati). Akan tetapi, selain program biodiesel nampak lebih diunggulkan oleh
Timnas BBN (dibanding program bioetanol), dalam kelompok bioetanol pun nira
kalah populer dibandingkan dengan singkong, tebu (tetes tebu), atau jagung. Hal
ini nampak seperti tabel di bawah ini, yang tercantum dalam Roadmap produksi
BBN, yang diajukan oleh Timnas BBN.

Dalam tabel ini tergambar bahwa jarakpagar secara ekonomi dianggap paling baik
dalam memberikan keuntungan finansial untuk petani yang menanamnya, dan
dalam rangka pembuatan bahan bakar nabati. Perhitungan yang dilakukan oleh
Wisnu Ali Martono (lihat Daftar Pustaka) menunjukkan kebalikan, bahwa
penanaman jarakpagar bukan alternatif yang menguntungkan bagi petani
penanamnya.

Ketertarikan orang untuk memanfaatkan air nira dari pohon Aren sebagai bahan
baku bioetanol mulai muncul belakangan ini, dari beberapa daerah yang memiliki
tanaman tersebut secara meluas, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara

9
Wisnu Ali Martono, Program BBN Berbasis Jarakpagar: Tinjauan Apsek Ekonomi, dalam J urnal Ekonomi
Lingkungan Edisi 22 thn 2007.
5
Timur. Salah satu kandidat presiden dalam Pilpres
10
lalu juga mempunyai program
untuk mengubah 4 juta
11
lahan terlantar menjadi kebun Aren untuk dimanfaatkan
air niranya sebagai bahan baru bioetanol. Tujuan utama program ini mirip dengan
Keppres 10/2006, yaitu menambah pasokan bahan bakar minyak sekaligus
mengangkat kesejahteraan jutaan petani.

Tabel 2.1. Perbandingan Keuntungan Produksi BBN dengan Berbagai Tanaman
Uraian Satuan Sawit (30 thn)J arak (50 thn) Tebu (1 thn)
Produktivitas per ha Ton/Ha/tahun 17 10 80
Rendemen minyak % 22 35 7
Hasil minyak/ha/thn Ton/Ha/tahun 3.74 3.50 5.60

Pendapatan petani :
- Harga TBS/tebu/biji Rp/ton 600,000 500,000 200,000
- Pendapatan/ha/thn Rp/ton/tahun 10,200,000 5,000,000 16,000,000

Biaya-Biaya
- TB/ha Rp/ha/tahun 5,810,556 1,500,000 2,000,000
- TBM1/ha Rp/ha/tahun 2,839,224 600,000 2,580,000
- TBM2/ha Rp/ha/tahun 4,145,511 600,000 4,500,000
- TBM3/ha Rp/ha/tahun 2,606,820 600,000 2,000,000
- TM1/ha Rp/ha/tahun 2,750,000 600,000 1,108,000
Total 15,402,111 3,900,000 12,188,000

Pendapatan/biaya Petani
- Pendapatan Rp/ha/tahun 10,200,000 5,000,000 16,000,000
- Biaya Rp/ha/tahun 5,830,422 600,000 12,188,000
Hasil bersih Petani Rp/ha/tahun 4,369,578 4,400,000 3,812,000
Sumber: www.jarakpagar.com

Makalah ini dimaksudkan untuk memberi hitungan keekonomian, untuk melihat
apakah pembuatan bahan bakar nabati (bioetanol) berbasis nira Aren merupakan
pilihan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Adanya perhitungan
ini diharapkan dapat menghindarkan kesalahan yang sama dengan program BBN
berbasis jarakpagar sebelumnya.

10
Lihat , Bioetanol dari Pohon Lontar, dalam harian Suara Pembaruan 31 Oktober 2008 yang diupload
dalam http://202.169.46.231/News/2008/11/07/Iptek/ipt01.htm, di mana disebutkan bahwa Ketua HKTI
Prabowo Subianto mengatakan pohon Aren memilki banyak keunggulan sebagai bahan baku BBN dibanding
tanaman lain.

11
Program ke enam dalam Delapan Program Aksi Partai Gerindra adalah Kemandirian Energi dengan cara
membuka 2 juta hingga 4 juta Ha hutan aren - dengan sistim tanam tumpangsari - untuk produksi bahan bakar
etanol, sebagai pengganti BBM impor. Pembukaan lahan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara
pengekspor bahan bakar nabati setelah 7 tahun masa tanam (4 juta Ha hutan aren menghasilkan sekitar 56
juta mt etanol/tahun). Program ini kemudian diadopsi oleh pasangan Mega-Prabowo sebagai salah satu
bagian dari Visi Misi mereka.

6
2.1. Arenga Pinnata
Menurut Pusat Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan
12
, Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna.Tanaman
palma daerah tropis basah ini beradaptasi baik pada berbagai agroklimat, mulai
dari dataran rendah hingga 1.400 m di atas permukaan laut. Luas pertanaman
aren di Indonesia pada tahun 2006 adalah 62.120 ha, terutama terdapat di
Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, J awa
Barat, Banten, J awa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tabel
berikut menunjukkan sebaran tanaman Aren di Indonesia, beserta produksi gula
merahnya.

Tabel 2.2. Enam Besar Propinsi Penghasil Aren di Indonesia Tahun 2006
Daerah Luas Area (Ha) Produksi Gula Merah (ton)
J awa Barat* 13.878 7.866
Sulawesi Utara 5.928 5.846
Sumatera Utara 4.708 3.752
Sulawesi Selatan 4.520 2.503
J awa Tengah 2.638 2.454
Bengkulu 3.388 2.058
Sumber : Statistik Perkebunan Tahun 2006, hal 8, * J awa Barat termasuk Banten.

Walaupun sudah dikenal lama dan dimanfaatkan hasilnya, tanaman aren belum
dibudidayakan dan sebagian besar diusahakan dengan menerapkan teknologi
yang minim. Produk utama tanaman aren adalah nira, yaitu cairan yang disadap
dari bunganya, yang biasanya diolah menjadi gula aren dan tuak. Hasil lainnya
antara lain buah kolang-kaling, ijuk, dan tepung.

Setiap pohon dapat menghasilkan 15 liter nira per hari dengan rendemen gula
12%. Selain nira, aren juga menghasilkan ijuk rata-rata 2 kg/pohon/tahun,
kolangkaling 100 kg/pohon/tahun, dan tepung 40 kg/pohon bila tanaman tidak

12
Lihat : Aren, Sumber Energi Alternatif, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 31 No 2 (2009).
7
disadap niranya. Kayu aren dapat diolah menjadi mebel atau kerajinan tangan,
seperti halnya kayu kelapa.

Selain diminum begitu saja, nira juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk,
antara lain gula merah, gula semut. J ika difermentasikan, nira dapat dirubah
menjadi minuman beralkohol atau menjadi bioetanol. Untuk menghasilkan satu
liter bioetanol diperlukan 15 liter nira. Bila setiap pohon menghasilkan 15 liter nira
per hari dan dalam satu tahun aren dapat disadap 200 hari maka produksi nira
mencapai 3.000 liter per pohon per tahun. Dengan demikian, setiap pohon dapat
menghasilkan 200 liter bioetanol per tahun.

Bila populasi tanaman tiap hektar 100 pohon dan hanya 10% yang diolah menjadi
bioetanol, maka tiap tahun akan dihasilkan lebih dari 0,95 juta kiloliter bioetanol
atau 4,75 juta kiloliter dalam 5 tahun.
Sebagai bahan baku bioetanol, aren dianggap lebih unggul dibandingkan dengan
singkong dan tebu. Kedua tanaman ini biasanya dipanen tiga-empat bulan sekali,
sedangkan aren dapat dipanen sepanjang tahun. Usia panen aren adalah enam
sampai delapan tahun setelah ditanam. Setiap satu hectare lahan dapat ditanami
75-100 pohon aren. Dengan demikian, setiap hektare bisa menghasilkan 1.000
liter nira dan 100 liter etanol per hari.
Berikut adalah diagram alir yang menunjukkan potensi pemanfaatan pohon Aren.
J ika dilihat dari diagram ini, pohon Aren memang sangat bermanfaat. J ika tidak
ditebang untuk diambil tepung maupun kayunya, pohon Aren dapat memberikan
manfaat dalam jangka waktu lama.
8

Diagram 2.1. Potensi Pemanfaatan Tanaman Aren
13


2.2. Proses Produksi Bioetanol dari Nira
Proses pengolahan nira menjadi etanol sama dengan pengolahan pati atau
selulosa menjadi etanol. Pengolahan bahan berpati (starchy biomass) atau
berselulosa (cellulosic biomass) dapat menggunakan cara enzimatis, tetapi untuk
nira digunakan cara fermentasi. Diagram alir fermentasi nira Aren menjadi
bioetanol 99,5% disajikan pada Gambar 1. Rasio konversi bioetanol dari nira aren
adalah 7%. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan tidak kurang dari
15 liter air nira.







13
Sumber: Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ Lending Model Usaha Kecil, USAHA GULA AREN, diakses
dari http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53301&idrb=48701


9
Nira



Ekstraksi




Fermentasi

Etanol (10% v/v)


Destilasi
Etanol (10% v/v)


Dehidrasi



Etanol (95% v/v)

Gambar 2.2.Diagram Alir Proses Pembuatan Bioetanol Nira Aren
14


2.3. Proses Produksi Gula Merah Dan Gula Semut dari Nira
Secara tradisional, nira telah lama diolah menjadi gula merah. Pembuatan gula
merah secara tradisional umumnya hanya sampai pada pencetakan saja. Akan
tetapi, proses produksi gula merah ini dapat dilanjutkan menjadi gula kristal. Waktu
pembuatan gula semut memang lebih lama (sekitar 4 jam lebih lama)
dibandingkan dengan pembuatan gula merah, tetapi harganya juga lebih mahal.
Di tingkat petani harga gula semut dapat mencapai Rp 9.000 per kg. Gula semut
banyak diminati di luar negeri, khususnya J erman dan J epang terutama industri
perhotelan, supermarket, serta pabrik kecap hingga pabrik anggur. Harga
ekspornya Rp50.000/kg dan di tingkat konsumen di Belanda Rp90.000/kg.
Tahapannya sama, pertama pengambilan nira. Untuk setiap 5 liter nira kelapa,
ditambahkan kapur 0,5 gr atau setengah sendok teh. Kedua, pembersihan nira.
Selanjutnya, nira disaring dan secepatnya dimasak pada suhu 60 C (untuk gula
merah). Saat dimasak, ditambahkan air kapur sekitar 6,5 pH selama 5-10 menit.
Kemudian nira yang sudah dimasak diangkat dan dibiarkan selama 10-25 menit
agar kotoran mengendap. Busa yang terbentuk selama pengendapan dibuang
dengan saringan bambu atau kawat yang halus. Ketiga, perebusan. Nira yang

14
Aren, Sumber Energi Alternatif, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 31 No 2 (2009).
10
sudah bersih direbus kembali sambil diaduk-aduk yang kuat. Apabila nira sudah
agak kental, api dikecilkan sampai akhirnya betul-betul masak. Keempat,
pencetakan.
Untuk pembuatan gula semut, nira dimasak sampai suhu 120C. Pemasakan
diakhiri apabila tetesan nira pada air dingin berbentuk benang yang tidak terputus.
Nira yang sudah masak dimasukkan ke dalam tempat yang berbentuk silinder dari
kayu dan drum bekas. Tempat tersebut dilengkapi dengan poros putaran berupa
garu (sisir) dari logam atau kayu. Poros tersebut diputar dengan tenaga manusia.
Pemutaran harus dilakukan dengan cepat ketika keadaan nira masih panas.
Setelah gula menjadi remah pemutaran diperlambat.atau diproses lebih lanjut men
jadi gula semut. Proses pembuatan gula merah sendiri sangat sederhana, yaitu
dengan pemasakan untuk menguapkan airnya hingga bisa dicetak. J ika proses ini
dilanjutkan, akan terbentuk gula semut (palm sugar). Diagram berikut
menggambarkan proses pembuatan gula merah dan gula semut dari nira
15
. Rasio
konversi dalam proses produksi gula merah adalah 14%
16

Ada dua metode produksi pembuatan gula semut berbasis nira Aren, yaitu untuk
skala industri rumahtangga (Gambar 2.3.) dan skala sentra industri (Gambar 2.4.).
Diagram alir kedua proses tersebut nampak seperti berikut ini. Pada skala sentra
industri, beberapa petani bergabung menjadi satu untuk menjalankan proses
produksi yang lebih akurat.

15
Sumber: Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ Lending Model Usaha Kecil, USAHA GULA AREN: Aspek
Produksi,, diakses dari http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53315&idrb=48701

16
Sumber: http://kebunaren.blogspot.com/2009/08/menyongsong-hadirnya-aren-dan.html
11

Gambar 2.3.
Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah dan Gula Semut Nira Aren Skala
Industri Rumahtangga


Gambar 2.4.
Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah dan Gula Semut Nira Aren Skala
Sentra Industri


12
III. Perbandingan Keekonomian
Dengan berbagai perbedaan proses produksi dan harga produk berbasis nira
Aren, di atas, dapat dilakukan perbandingan apakah tujuan mensejahterakan
petani dengan melibatkan mereka dalam proses produksi bioetanol (sebagai
pemasok nira) akan mensejahterakan mereka, dibanding dengan pembuatan
produk tradisional lain (yaitu gula merah atau gula semut).

Tabel di bawah ini membandingkan produksi bioetanol, gula merah dan gula
semut. Yang harus diperhatikan adalah pada harga berapa nira akan dibeli untuk
masing-masing produk.

Perhitungan ini mengasumsikan bahwa biaya bahan baku nira merupakan 50%
harga produk akhir. Harga produk bioetanol setara dengan harga bensin Premium
di tingkat SPBU (stasiun pengisian bahanbakar umum), harga gula merah dan
gula semut setara dengan harga di pasar.

Hasil perhitungan menunjukkan pada harga jual produk seperti dalam tabel
(Premium Rp 4300/liter, gula merah Rp 6000/kg dan gula semut Rp 9000/kg) dan
persentase biaya bahan baku 50% dari harga produk, pembuatan bioethanol
hanya dapat menawarkan harga nira Aren sebesar Rp 150,50/liter, Rp 355/liter
(pembuatan gula merah) dan Rp 887,50/liter (pembuatan gula semut).

Tabel 3.1. Ekivalensi Harga Nira Untuk Berbagai Produk
Jenis Produk Bioetanol
Gula
Merah
Gula
Semut
Rasio Nira Thd Produk (%) 7.00 14.20 14.20
Berat J enis Produk 0.90 1.20 1.20
Satuan Produk liter kg kg
Kebutuhan Nira (liter/satuan
Produk) 14.29 8.45 8.45
Harga Produk 4,300.00 6,000.00 15,000.00
Biaya Bahan Baku (%) 50.00 50.00 50.00
Harga Bahan Baku 2,150.00 3,000.00 7,500.00
Perkiraan Harga Nira (Rp/liter) 150.50 355.00 887.50
Perbandingan Harga Nira 1.00 2.36 5.90

13
Berdasarkan simulasi, untuk menyamai harga nira dalam proses pembuatan gula
semut (Rp 887,50/liter), bioetanol yang diproduksi harus dijual dengan harga Rp
25.000/liter. Sebagai gambaran, kelompok petani di Tomohon (Sulawesi Utara)
yang tergabung dalam koperasi pembuatan gula semut untuk keperluan ekspor
menerima harga nira Rp 2000/liter
17
. Harga nira ini, dalam simulasi di atas, dapat
dicapai pada harga gula semut Rp 34.000/kg. Harga ini sangat mungkin tercapai
apabila gula semut diperuntukkan pasar ekspor.
Dilihat dari perbandingan harga beli nira, pembuatan gula semut menawarkan
harga beli 5,9k kali lebih bagus, dibandingkan untuk keperluan pembuatan
bioetanol.











17
Potensi besar Agribisnis Aren, diakses dari http://ceds.wordpress.com/category/agribisnis/

14
IV. Kesimpulan
Dari hasil perhitungan di atas, nampak jelas bahwa keinginan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani aren melalui pembuatan bioetanol justru akan menurunkan
penghasilan yang secara tradisional (dengan membuat gula merah) mereka
peroleh selama ini.

J ika tujuan pembuatan bioetanol merupakan sesuatu yang tidak bisa dirubah,
sekaligus mempertahankan kesejahteraan petani, harus ada kemauan untuk
menaikkan harga bioetanol sampai Rp 25.000/liter. Sebaliknya, jika tujuan utama
adalah mensejahterakan petani penanam Aren, nampaknya pembuatan bioetanol
berbasis nira Aren bukan merupakan pilihan yang tepat. Membuat gula semut
yang masih memiliki peluang ekspor bagus dan harganya bagus merupakan
alternatif terbaik.

Akan halnya dengan pemenuhan energi untuk sektor transportasi, pemakaian
BBG harus lebih ditingkatkan, mengingat rendahnya pemakaian bahan bakar yang
dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar Premium dan turunannya ini.
Selain itu, perbaikan mutu angkutan umum juga harus dilakukan agar masyarakat
tertarik untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum.

Daftar Pustaka
Anonim, Bioetanol dari Pohon Lontar, dalam harian Suara Pembaruan 31
Oktober 2008, dalam http://202.169.46.231/News/2008/11/07/Iptek/ipt01.htm.

Anonim, Aren, Sumber Energi Alternatif, Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Vol 31 No 2 (2009).
Anonim, Potensi Besar Agribisnis Aren, diakses dari internet dengan situs
http://ceds.wordpress.com/category/agribisnis/
Anonim, Visi Misi dan Program Mega-Prabowo 2009 2014, diakses dari internet.
ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.

15
Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ Lending Model Usaha Kecil, USAHA GULA
AREN: Aspek Produksi,http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53315&idrb=48701

Wisnu Ali Martono, Program BBN Berbasis Jarakpagar: Tinjauan Aspek Ekonomi,
dalam J urnal Ekonomi Lingkungan Edisi 22 thn 2007.

http://kebunaren.blogspot.com/2009/08/menyongsong-hadirnya-aren-dan.html

Anda mungkin juga menyukai