Anda di halaman 1dari 3

PENGHAPUSAN PERTALITE, SIAPA YANG DI UNTUNGKAN?

Oleh: Taufiqurahman

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan akan mengganti pertalite,
produk bahan bakar mesin (BBM) RON 90, jadi BBM RON 92 mulai tahun depan.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Nicke mengatakan pertalite yang RON-nya
dinaikkan akan berganti menjadi Pertamax Green 92 (cnnindonesia.com, 30/8/2023)
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, penghapusan Pertalite
bukan hanya putusan satu instansi saja. Banyak hal juga yang perlu dipertimbangkan, salah satunya terkait
polusi udara (merdeka.com,7/9/2023)
Usulan ini sejalan dengan program “Langit Biru” Pertamina yang mendorong penggunaan energi
ramah lingkungan. Pertamax Green 92 adalah campuran antara RON 90 (pertalite) dengan 7% bioetanol
(E7). Dengan meluncurkan BBM energi hijau, Pertamina berharap hal ini dapat menurunkan emisi karbon,
mengurangi anggaran impor gas, dan memenuhi mandatori bioetanol. Jika usulan ini direalisasikan, investasi
di sektor energi akan meningkat seiring progam ekonomi hijau yang digagas pemerintahan Jokowi.

Memahami Energi Alternatif Etanol


Etanol adalah senyawa kimia yang juga dikenal dengan sebutan etil alkohol atau alkohol. Senyawa
dengan rumus kimia C2H5OH merupakan salah satu jenis alkohol yang paling umum digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, ada juga bioetanol yang biasanya dihasilkan melalui proses fermentasi gula
dari bahan tanaman seperti jagung, tebu, kentang, ubi jalar, atau jerami.
Adapun etanol banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk sebagai bahan bakar alternatif
untuk kendaraan bermotor, bahan baku dalam pembuatan kosmetik, farmasi, dan juga sebagai bahan pelarut
dalam industri. Di mana etanol sebagai bahan bakar alternatif yaitu etanol umumnya digunakan sebagai
campuran dengan bahan bakar fosil seperti bensin dan diesel pada beragam jenis mesin, dengan
perbandingan yang bervariasi tergantung pada kebijakan dan spesifikasi kendaraan di setiap negara, dan
kemudian untuk dapat menggerakkan piston mesin, digunakan panas yang tercipta dari pembakaran etanol,
dan dapat dikatakan bahwa sinar matahari juga dipergunakan untuk dapat mengoperasikan suatu mesin.
Bahan bakar etanol digunakan sebagai alternatif yang dianggap lebih ramah terhadap lingkungan,
karena bahan bakar etanol menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar
fosil, serta dapat membantu minimalisir ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang terbatas.
Terdapat dua negara yang sangat sukses dalam penggunaan bahan bakar etanol, kedua negara
tersebut yaitu Amerika Serikat dan Brazil. Di mana Amerika Serikat dan Brazil.sukses menerapkan etanol
sebagai bagian pada komponen yang wajib ada di dalam campuran bahan bakar mesin mereka.
Amerika Serikat dan Brazil juga merupakan beberapa negara dengan nilai produksi etanol paling
tinggi di dunia. Di mana sebagai contoh, sepanjang periode di tahun 2018, Amerika Serikat berhasil
memproduksi setidaknya 16.1 miliar galon etanol, sedangkan untuk Brazil berada di posisi kedua yaitu
dengan jumlah produksi etanol sebanyak 7.95 miliar galon.
Etanol banyak digunakan di Brasil dan Amerika Serikat. Kedua negara ini menghasilkan 88% dari
total bahan bakar etanol yang diproduksi di dunia. Sebagian besar mobil di Amerika Serikat saat ini dapat
berjalan dengan bahan bakar yang mengandung etanol hingga 10%, dan penggunaan bensin etanol 10%
bahkan diamanatkan di beberapa kota dan negara bagian AS. Dimulai tahun 1976, pemerintah dari Brasil
telah mengamanatkan untuk menggunakan bensin
yang dicampur dengan etanol, dan kemudian pada tahun 2007 campurannya berkisar sekitar 25% etanol dan
75 bensin (E25). Pada bulan Desember 2010, Brasil memiliki 12 juta kendaraan berbahan bakar fleksibel dan
truk ringan serta lebih dari 500.000 sepeda motor yang dapat menggunakan etanol murni (E100).

Menuai Polemik
Meski baru usulan, wacana tersebut sudah menuai polemik di masyarakat. Pasalnya, saat
penghapusan BBM jenis premium, Pertamina menggunakan alasan yang sama, yakni energi ramah
lingkungan.
Ada yang mendukung usulan ini agar segera terlaksana. Hanya saja, ada hal yang harus pemerintah
lakukan jika ingin merealisasikan wacana ini, yakni kesiapan rakyat menghadapi perubahan penggunaan
BBM. Kita semua tahu bahwa Pertalite adalah BBM bersubsidi yang menjadi konsumsi mayoritas rakyat
dalam berkendara.
Menurut pengamat kebijakan public Trubus Rahadiasyah dari Universitas Trisakti mengatakan,
Kebijakan tersebut dinilai hanya akan menambah beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
menambah beban rakyat Indonesia yang harus membayar lebih mahal.
Senada, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi bahwa
penghapusan pertalite pasti akan menggerek anggaran subsidi, terlebih peralihan BBM subsidi ini hampir
serupa dengan kebijakan dari premium ke pertalite tahun 2022 lalu yang kala itu Indonesia membutuhkan
waktu sekitar 2 tahun untuk bisa beralih ke pertalite.
Usulan Pertamina menghapus Pertalite dengan Pertamax Green 92 masih dikaji pemerintah. Ini
karena penggantian Pertalite ke BBM yang nilai oktannya lebih tinggi, menurut Menteri ESDM, turut
mengerek biaya yang cukup besar. Arifin Tasrif selaku menteri ESDM menuturkan biaya produksi bensin
atau gasolin belakangan makin tinggi seiring dengan fluktuasi harga minyak mentah dunia beberapa tahun
terakhir. Jika Pertalite diganti ke Pertamax Green 92 jelas meningkatkan pengeluaran negara.

Dampak Liberalisasi Migas


Mencermati hal ini, ada dua catatan yang perlu kita kritis. Pertama, usulan Pertamina mengganti
Pertalite ke BBM yang lebih ramah lingkungan memang patut kita apresiasi. Hanya saja, usulan tersebut juga
harus diimbangi harga yang sepadan dengan kemampuan ekonomi rakyat. Jangan sampai tujuan baik ini
justru memberatkan masyarakat di kemudian hari. BBM ramah lingkungan harusnya juga ramah harganya di
kantong rakyat.
Pasalnya, perubahan BBM jenis Pertalite ke Pertamax Green 92 pasti akan berdampak pada harga
barang dan kebutuhan pokok masyarakat. Kebijakan penghapusan premium secara permanen pada Januari
2023 dan kenaikan harga Pertalite saja sudah membebani rakyat, apalagi jika BBM bersubsidi seperti
Pertalite diganti ke Pertamax Green 92 yang kemungkinan harga jualnya di atas Pertalite. Ini jelas akan
menambah beban pengeluaran rakyat. Pendapatan belum karuan meningkat, pengeluaran berpotensi
membengkak.
Kedua, imbas liberalisasi migas, negara bingung memenuhi kebutuhan rakyat. Respons Menteri ESDM atas
usulan Pertamina adalah indikasi kuat betapa negara tidak berdaya atas kebijakan liberalisasi migas yang
selama ini berjalan. Meski tidak secara gamblang, Menteri ESDM mengatakan usulan tersebut bagus, tetapi
dengan apa negara membayar dan menanggung biaya penggantian? Ditambah, jika negara harus menyubsidi
Pertamax Green 92 sebagaimana subsidi untuk Pertalite, tentu menambah biaya dua kali lipat. Seakan-akan
subsidi untuk rakyat adalah beban berat yang dipikul negara. Dan negarapun terpaksa harus ikut arus dengan
skema liberalisasi migas sesuai dengan arahan “tuannya”.
Liberalisasi migas di Indonesia terjadi semenjak orde baru. Hal ini ditandai dengan kedatangan
investor asing yang mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) yang mengajukan beberapa pesyaratan terkait
dengan kebijakan legislasi undang-undang untuk mengamankan aktivitas mereka. Yang ditandai dengan
lahirnya UU Migas No.22 tahun 2001 sebagai pengganti UU No.44 tahun 1960 dan UU No.8/1971 tentang
perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi. Adapun kutipan isi UU migas No.22 tahun 2001:
“Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan
niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan (pasal 2)”.
“Kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 1 dan angka 2
dapat dilaksanakan oleh: Badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil;
badan usaha swasta (pasal 9)”.
UU migas no.22 tahun 2001 bukanlah inisiatif pemerintah, ada asing di baliknya. Representasi asing
yang diwakili oleh para pemilik modal (pengusaha multinasional) dan Lembaga keuangan dunia (IMF,
USAID, World Bank) yang tentu saja Amerika sebagai negara adidaya.
Berikut beberapa pengakuan dari IMF, World Bank, dan USAID:
”Pada sector migas, pemerintah berkomitmen: mengganti uu yang ada dengan kerangka yang lebih modern,
melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiscal dan
berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga
domestic mencerminkan internasioanal” (Memorandum of Economic and Financial Policies, Lol IMF
Jan.2000)
“Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah Langkah seperti privatisasi
dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja public, belanja subsidi
pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin Ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang
kaya” (Indonesia Country Assistance Strategy, World Bank 2001).
“USAID telah membantu pembuatan draft UU migas yang di ajukan ke DPR pada oktober 2000, UU
tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan
eksplorasi dan produksi” (Energy Sector Governance Strengthened, USAID, 2000).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah dari awal sudah di setir oleh
kekuatan asing untuk mengeruk, menguasai migas di Indonesia dan rakyat di biarkan mati di negeri sendiri.
Inilah awal malapetakan liberalisasi migas di Indonesia. Negara, dalam hal ini Pertamina, bukan lagi
pemain tunggal dalam pengelolaan migas. Di sektor hilir mungkin Pertamina masih mendominasi, tetapi di
sektor hulu belum tentu. Siapa yang bisa menjamin kepemilikan migas yang dikelola Pertamina selamanya
milik negara? Mengingat perusahaan Pertamina yang sudah lama go public memungkinkan mengggaet
investor untuk menanamkan sahamnya di Pertamina. Dalam kamus ekonomi kapitalisme neoliberal, investasi
bisa datang dari mana saja, yakni individu, swasta, bahkan asing. Siapa pun berpeluang menanamkan
investasi di sektor strategis, seperti migas dan tambang lainnya.
Bukti lainnya ialah subsidi BBM untuk rakyat terus dikurangi demi mendapat untung yang lebih
besar. Dalam ekonomi kapitalisme, subsidi adalah hambatan dalam perdagangan internasional. Pemberian
subsidi kepada rakyat akan “memaksa” produsen menjual barang dengan harga lebih murah. Alhasil,
investor akan merasa rugi jika subsidi ada. Kalaulah subsidi tidak bisa dihilangkan, biasanya negara
melakukan pembatasan subsidi secara bertahap. Tidak heran jika pemerintah kerap menaikkan BBM
bersubsidi dengan dalih naiknya harga minyak dunia atau ketakpastian perekonomian global.
Tidak selayaknya negara berbisnis terhadap harta yang menjadi milik rakyat. Program “Langit Biru”
sangat sejalan dengan program ekonomi hijau yang digagas pemerintahan Jokowi dalam RPJMN 2020—
2024. Kebijakan strategis ini jelas membutuhkan biaya besar dan suntikan investasi yang banyak. Beginilah
dampak liberalisasi ekonomi. Harta milik umum dilihat dengan kacamata bisnis strategis yang mendatangkan
profit lebih besar. Dan tentu insvestorlah yang akan di untungkan dengan dihapusnya pertalite ini.

Kebijakan Migas dalam Islam


Menyajikan dan memenuhi kebutuhan migas yang ramah lingkungan dan ramah harga adalah tugas
pokok negara. Dalam hal ini, Islam menetapkan migas sebagai harta milik umum yang mana negara wajib
mengelolanya, dari pengeboran, penyulingan, hingga pendistribusiannya. Pengelolaannya tidak boleh
dipindahtangankan kepada individu atau swasta. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara agar
hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik atas kekayaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda,
“Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud).
Larangan penguasaan harta milik umum yang jumlahnya banyak berdasarkan hadis yang
diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy, “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam
kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang
laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau
bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi)
Syekh Abdul Qadim Zalum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah, tindakan
Rasulullah Saw. yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal
dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak
terbatas.
Sebab migas membutuhkan tahapan proses yang panjang dan berdana besar, seperti pengeboran,
penyulingan, dan pendistribusian, maka negaralah yang diserahi kewenangan tersebut untuk mengelolah dan
mendistribusikannya kepada masyarakat.
Demikianlah, tujuan pendistribusian minyak ke rakyat bukanlah untuk berbisnis, tetapi untuk
memenuhi hajat hidup masyarakat. Dengan begitu, biaya yang dikenakan atas BBM untuk masyarakat bisa
murah bahkan gratis. Tidak boleh ada tujuan komersialisasi dalam pengelolaan kekayaan milik umum.
Semua hasilnya harus dikembalikan ke masyarakat.
Negara juga harus memastikan hasil penyulingan minyak benar-benar berkualitas dan ramah
lingkungan. Dengan pengelolaan migas berdasarkan syariat Islam, semua aspek diperhatikan, baik dari sisi
lingkungan, pengelolaan hingga pendistribusiannya. Wallahualam bi shawab

Anda mungkin juga menyukai