BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setelah krisis ekonomi 1998, sektor energi di Indonesia mengalami dinamisasi perubahan
yang cukup signifikan yang utamanya sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan permintaan
energi dan perubahan regulasi akibat tingginya harga-harga energi tak terbarukan (minyak
bumi). Hal tersebut merupakan implikasi langsung dari terus berkurangnya cadangan minyak
bumi, baik itu di Indonesia maupun dalam lingkup yang lebih luas (global). Terlebih lagi,
sejak tahun 2004 Indonesia telah menjadi net importer minyak bumi. Sebagai akibatnya, sejak
tahun 2008 Indonesia juga telah keluar dari OPEC.
Masalah energi merupakan masalah yang sangat sensitif saat ini. Kenaikan harga BBM
menimbulkan dampak yang sangat luas di masyarakat karena bahan bakar ini merupakan
kebutuhan dasar manusia sehingga ketersediaannya sangat diperlukan. Ketergantungan
masyarakat terhadap minyak bumi sangatlah besar, baik untuk kebutuhan rumah tangga,
transportasi, industri maupun sebagai sumber energi lainnya, sehingga terus dicari dan diburu
kendati harganya selalu melambung tinggi. Kebutuhan masyarakat akan minyak bumi
menempati proporsi terbesar sebagai sumber energi penduduk, yakni mencapai 54,4 persen,
disusul gas bumi 26,5 persen. Konsekuensinya beban anggaran yang memberatkan negara
karena biaya subsidi harus terus diluncurkan untuk mempertahankan harga jual yang
terjangkau oleh konsumen. Pencabutan subsidi BBM walaupun diimbangi dana kompensasi,
sampai saat ini masih sangat terasa dampaknya di masyarakat. Pemberian subsidi langsung
tunai (SLT) pada masyarakat ternyata belum bisa menyelesaikan masalah, bahkan banyak
terjadi ketidakpuasan di masyarakat. BBM yang bersumber dari bahan fosil ini adalah bahan
bakar yang tak bias diperbarui, juga tidak ramah lingkungan. BBM jenis ini dikenal sebagai
pemicu polusi udara nomor satu. BBM yang dipakai kendaraan bermotor saat ini
menghasilkan zat beracun seperti CO2, CO, HC, NOX, dan debu. Kesemuanya dapat
menyebabkan gangguan pernapasan, kanker, bahkan sampai dengan kemandulan. Cadangan
minyak bumi Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 9 miliar barel dengan tingkat produksi
mencapai 500 juta barel per tahun. Jika tidak ditemukan cadangan baru, maka minyak bumi
kita akan habis 18 tahun lagi. Adapun kondisi cadangan gas alam kita diperkirakan mencapai
182 triliun kaki kubik dengan ektraksi 3 triliun kaki kubik per tahun atau masih tersisa sekitar
61 tahun mendatang. Untuk mengatasi masalah BBM tersebut, perlu dilakukan langkah-
1
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
langkah diversifikasi energi. Kita harus mulai mengubah arah yang semula hanya memburu
energi (energy-hunting) dari energi fosil ke upaya membudidayakan energi (energy-farming)
dengan tanaman.
Saat ini, sumber bahan bakar alternatif yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan
adalah sumber daya hayati atau biofuel. Bahan baku hayati untuk biofuel dapat berasal dari
produk-produk dan limbah pertanian yang sangat berlimpah di Indonesia Di tengah kondisi
finansial PLN yang kurang mendukung, pengadaan energi alternatif perlu dilakukan.
Sejumlah alternatif pengadaan energi listrik memang dapat ditempuh dengan berbagai cara.
Selain mengolah bahan bakar dari fosil, energi terbarukan seperti panas bumi cukup menarik
dikembangkan. Namun penggunaan bahan bakar fosil memerlukan sistem transportasi yang
intensif. Demikian juga pengadaan bahan bakar gas yang perlu sistem pipa rumit dan mahal.
Sementara energi panas bumi hanya untuk beberapa tempat di sejumlah pulau saja. Itu pun
masih tergolong mahal. Dari sekian banyak alternatif, efisiensi pengadaan energi patut
memperhitungkan ketersediaan sumber energi di tempat energi itu diperlukan. Oleh karena
itu, energi hidro skala kecil, mikrohidro, energi surya, energi angin, biofuel, dan energi
biomassa masuk ke dalam daftar pilihan. Saat ini, sumber bahan bakar alternatif yang
memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah sumber daya hayati atau biofuel. Bahan
baku hayati untuk biofuel dapat berasal dari produk-produk dan limbah pertanian yang sangat
berlimpah di Indonesia. Makalah ini akan membahas mengenai biodiesel dari Kelapa Sawit
(CPO) sebagai salah satu alternatif solusi krisis energi di Indonesia.
Penggunaan biodiesel sebagai pengganti atau campuran untuk meningkatkan kualitas bahan
bakar minyak diesel di dalam negeri akan memberikan dampak baik untuk mencukupi
kebutuhan energi nasional, mengurangi polusi udara yang sebagian besar disebabkan oleh
sektor transportasi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Selain itu, teknologi mesin diesel
untuk kendaraan bermotor terus meningkat untuk mendapatkan unjuk kerja yang semakin
baik dengan efisiensi bahan bakar yang dikonsumsi sehingga juga harus diikuti peningkatan
kualitas bahan bakarnya. Salah satu karakteristik bahan bakar minyak diesel yang sangat
berpengaruh terhadap unjuk kerjanya adalah angka setana. Dengan demikian penelitian
penggunaan biodiesel sebagai pengganti bahan bakar minyak diesel di negeri ini harus
dilakukan secara kesinambungan berikut aspek-aspek teknisnya.
2
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Biodiesel
Biodiesel merupakan suatu nama dari Alkyl Ester atau rantai panjang asam lemak yang
berasal dari minyak nabati maupun lemak hewan. Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan
bakar pada mesin yang menggunakan diesel sebagai bahan bakarnya tanpa memerlukan
modifikasi mesin. Biodiesel tidak mengandung petroleum diesel atau solar
Biodiesel adalah senyawa mono alkil ester yang diproduksi melalui reaksi tranesterifikasi
antara trigliserida (minyak nabati, seperti minyak sawit, minyak jarak dll) dengan metanol
menjadi metil ester dan gliserol dengan bantuan katalis basa. Biodiesel mempunyai rantai
karbon antara 12 sampai 20 serta mengandung oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel
membedakannya dengan petroleum diesel (solar) yang komponen utamanya hanya terdiri dari
hidro karbon. Jadi komposisi biodiesel dan petroleum diesel sangat berbeda.
Biodiesel terdiri dari metil ester asam lemak nabati, sedangkan petroleum diesel adalah
hidrokarbon. Biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan petroleum
diesel sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan
petroleum diesel. Pencampuran 20 % biodiesel ke dalam petroleum diesel menghasilkan
produk bahan bakar tanpa mengubah sifat fisik secara nyata. Produk ini di Amerika dikenal
sebagai Diesel B-20 yang banyak digunakan untuk bahan bakar bus.
2. Bahan Baku
Bahan bakar cair resmi (approved) yang diniagakan di Indonesia dewasa ini praktis hanya
bahan bakar minyak (BBM) yang sesuai namanya, dibuat dari minyak bumi (petroleum);
spiritus adalah kekecualiannya, tetapi ini pun sangat minimal. Adanya produksi dan peniagaan
biodiesel di dalam negeri akan memperbesar basis (pool) penyediaan domestik bahan bakar
cair, karena biodiesel tidak berasai dari minyak bumi, melainkan dari minyak-lemak nabati
atau hewani. Perbesaran pool penyediaan ini akan bisa dibayangkan lebih tangguh lagi jika
diingat bahwa negara kita sangat kaya dengan potensi surnber nabati (tumbuhan) penghasil
rninyak-lemak, baik minyak lernak pangan (edible fatty oil) maupun non pangan (nonedible
3
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
fatty oil), baik yang sudah termanfaatkan secara komersial maupun belum:
- pangan: sawit, kelapa, kacang (peanut), kelor (Moringa oleifera), saga utan (Adenanthera
pavonina), kasumba/kembang pulu (Carfhamusfinctorius) , dll.
- non pangan: jarak pagar (Jatropha curcas), kapok, kemiri, nimbi (Azadirachta indica),
nyamplung (Calophyllum inophyllum), kesambi (Schleichera oleosa), randu alas (Bornbax
malabaricum), jarak gurita (Jatropha multifida), jarak landi (Jatropha gossypifolia), dan
banyak lagi yang lain.
Sampai saat ini, berbagai negara sudah memproduksi dan menggunakan biodiesel secara
komersial dengan memanfaatkan bahan mentah minyak nabati yang banyak tersedia di
wilayahnya. Negara-negara seperti Jerman, Perancis dan Austria mengguriakan biodiesel yang
berbahan baku minyak-lemak dari tanaman kanola (rapeseed), yang tumbuh baik di daerah
subtropis. Amerika Serikat (USA) bertumpu pada minyak kedelai (soybean), Spanyol pada
minyak zaitun (olive oil), ltalia pada minyak bunga matahari (sunfloweroil), Mali dan Afrika
Selatan pada minyak jarak pagar, Filipina pada minyak kelapa, Malaysia pada minyak
sawit dan Indonesia menggunakan minyak jarak pagar; beberapa kota besar di negara maju
juga memanfaatkan minyak jelantah (used frying oil).
3. Proses Produksi
Sementara biodiesel dalam pengertian ilmiah yang setepat-tepatnya, berarti bahan bakar
mesin diesel yang dibuat dari sembarang sumber daya hayati. Akan tetapi, dalam pengertian
populer dewasa ini, yang dimaksud dengan biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang
terdiri dari ester-ester metal (atau etil) asarn-asam lemak. Produk ini umumnya dibuat melalui
reaksi metanolisis (atau etanolisis) minyak-lemak nabati atau hewani dengan alkohol (metanol
atau etanol) ditambah katalis; produk samping reaksi ini adalah gliserin, suatu bahan kimia
yang berpangsa-pasar besar.
Biodiesel dapat dimanfaatkan secara murni (neat) ataupun dalam bentuk campuran (blend)
dengan minyak solar, yang berasal dari minyak bumi, tanpa menghanrskan adanya modifikasi
signifikan pada mesin kendaraan. Bentuknya yang cair dan kemarnpuan dicampurkan dengan
solar pada segala perbandingan, merupakan salah satu keunggulan penting biodiesel:
Pemanfaatannya secara komersial tidak mernerlukan infrastruktur penyediaan yang baru,
4
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
karena dapat langsung menggunakan infrastruktur sudah ada untuk penyediaan minyak solar
semacam stasiun pengisian, truk tangki, dispenser, dan lain-lain. Teknologi pembuatan
biodiesel dari aneka minyak nabati praktis sama dan relatif sederhana, karena hanya
melibatkan: (i) reaksi berbantuan katalis basa antara minyak nabati dengan alkohol berlebih;
dan (ii) pemisahan produk sarnping gliserin serta sisa kelebihan alkohol dari biodiesel produk.
Tahap-tahap produksi ini tidak membutuhkan tingkat pengendalian operasi yang relatif ketat,
sehingga cukup mudah dikembangkan serta dikuasai / diterapkan oleh tenaga tenaga dalarn
negeri. Kondisi operasinya pun tak berat (temperatur <150C, tekanan atmosferik, pH dan
tingkat korosivitas bahan sangat moderat), sehingga barang-barang modal utama pabrik
biodiesel akan dapat dibuat oleh bengkel bengkel peralatan di dalam negeri. Operasi produksi
juga bisa dilaksanakan secara partaian / bafch; sampai kapasitas 10.000 m3 / tahun, maupun
sinambung / continuous; pada kapasitas produksi lebih besar (Soerawidjaja, 20036).
Titik tuang dan densitas (atau massa jenis) biodiesel umumnya praktis memenuhi persyaratan
solar di Indonesia. Nilai kalor netto (LHV O LowHeafing value) biodiesel maupun minyak
nabati memang lebih rendah dari solar (hanya 90%-nya), namun ini diimbangi dengan
kemudahan keduanya untuk terbakar sempurna di dalam ruang bakar pada angka
perbandingan udara: bahan bakar yang lebih rendah.
mesin diesel sebenarnya bukan hal yang baru karena pada awal ditemukannya mesin diesel,
yaitu tahun 1900 Rudolf Diesel mendemontrasikan mesin temuannya pertama kalinya dengan
menggunakan bahan bakar nabati (minyak kacang).
Namun karena penggunaan minyak kacang dikhawatirkan akan bersaing dalam memenuhi
kebutuhan pangan, maka kita beralih ke bahan bakar solar. Jenis tanaman pertanian yang
berpotensi dibudidayakan dalam rangka penyediaan bahan baku dalam pengembangan
bioenergi di Indonesia antara lain ketela pohon (singkong), kelapa sawit, dan jarak pagar.
Tanaman ketela pohon (singkong) sebagai bahan baku bioetanol telah banyak dibudidayakan
oleh sebagian besar petani lahan kering baik dalam sistem monokultur ataupun dalam
tumpang sari dengan tanaman semusim lainnya. Kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel
merupakan tanaman perkebunan yang baru berkembang di negara kita saat ini bahkan sebagai
komoditas perkebunan unggulan dewasa ini. Jarak pagar penghasil bahan baku biodiesel
walaupun belum berkembang secara luas, karena tanaman ini mudah dibudidayakan dan
cukup toleran pada daerah-daerah marginal/kritis, maka tanaman ini berpotensi untuk
dikembangkan diberbagai daerah di Indonesia. Pengembangan bioenergi tersebut akan
berdampak dalam menggerakkan sektor agribisnis, mampu menciptakan lapangan kerja dan
menyerap tenaga kerja di pedesaan dalam jumlah besar, dan diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap pasokan minyak dunia yang terus mengalami peningkatan
harga.
6
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
Indonesia dan Negara produsen utama lainnya. Importir terbesar adalah Belanda, Inggris,
Jerman, Singapura,dan Italia.
Di Indonesia, industri pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu industry berbasis
pertanian yang menempati posisi strategis. Industri hilir minyak sawit belum berkembang
dengan baik. Sampai saat ini, walaupun Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar,
ternyata belum mampu bersaing dengan Malaysia untuk menjadi produsen utama dunia
terutama dalam upaya pengembangan industri hilir kelapa sawit. Industri hilir berbahan baku
CPO belum berkembang dengan baik dan tertinggal jauh disbanding Malaysia. Hal ini
berakibat hilangnya kesempatan meraih nilai tambah pengolahan CPO.
Salah satu alternatif pemanfaatan minyak sawit pada masa mendatang dengan diversifikasi
produksi menjadikannya sumber energi biodiesel yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
alternatif ramah lingkungan. Biodiesel (Methyl Ester) terbentuk melalui reaksi
transesterifikasi, yaitu reaksi antara senyawa ester (CPO) dan senyawa methanol dengan
katalis asam atau basa.
Biodiesel dari CPO ini paling siap untuk dikembangkan sebagai sumber energy alternatif
dibanding sumber lainnya, mengingat produksi dan ekspor kita cukup tinggi. Malaysia telah
memulai memproduksi biodiesel ini, dan berencana akan mengembangkan produksi biodiesel
di Eropa. Bahkan Jerman sebagai negara yang sama sekali tidak memproduksi minyak kelapa
sawit telah menjadi penghasil biodisel terbesar di dunia.
Biodisel kelapa sawit di negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia sudah banyak
diaplikasikan, sedangkan pemakaian secara besar-besaran terjadi di negara Amerika Latin dan
Afrika, yang produksi kelapa sawitnya cukup tinggi. Di Jerman pemakaian biodiesel sudah
diterapkan langsung, baik untuk kendaraan maupun mesin industri. Bahan bakar biodisel lebih
ramah lingkungan karena tingkat pencemarannya rendah dan bebas polutan SOx, NOx serta
timbal dalam BBM, CO2 hasil pembakaran biodiesel akan dikomsumsikan kembali oleh
tanaman untuk kebutuhan proses fotosintesisnya (siklus karbon) atau terurai secara biologis.
Kelebihan lain produk ini ialah pembakaran di dalam mesin lebih sempurna, emisi yang
dikeluarkan sedikit, serta asap yang keluar dari knalpot tidak pedih di mata, dan mengingat
BBM ini cepat pembakarannya, maka mesin bekerja optimal dan membuat mesin makin awet.
Pengembangan biodisel ini mampu menggerakkan sektor agribisnis kelapa sawit, menyerap
dan memberikan peluang tenaga kerja baik yang berada di kebun ataupun dalam pabrik
pengolahan, serta menghemat devisa. Dari sektor agribisnis kelapa sawit akan memberikan
nilai tambah produk sehingga akan meningkatkan nilai tukar. Dari sektor ketenagakerjaan
7
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
akan menggerakkan dan menyerap tenaga kerja baik di kebun maupun di pabrik pengolahan,
dan devisa akan dihemat dari pengurangan impor solar bahkan pada saatnya dapat
meningkatkan devisa.
Minyak sawit selain dapat digunakan sebagai bahan baku produksi biodiesel juga dapat
digunakan sebagai bahan baku pelumas dan gemuk (grease). Produksi pelumas dari minyak
sawit pada prinsipnya sama seperti pada produksi gemuk. Namun senyawa alkanol yang
digunakan untuk proses esterifikasi berbeda. Sementara itu, gemuk merupakan hasil
pengembangan dari pelumas karena gemuk diproduksi dengan menggunakan bahan baku
pelumas cair yang dicampur dengan bahan tambahan tertentu yang dapat berfungsi untuk
memperbaiki sifat-sifat dan kinerja gemuk. Bahan-bahan tambahan tersebut juga dapat dibuat
dengan menggunakan bahan baku minyak sawit.
8
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
9
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
perkembangan luas perkebunan kelapa sawit yang lebih pesat dan mempunyai potensi
perluasan perkebunan yang lebih besar tidak hanya di pulau Sumatera. Bahkan akhir akhir
ini pemerintah mentargetkan tiga juta hektar pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk
bahan baku biodiesel, dua juta hektar di antaranya di Kalimantan (Kompas, 2006).
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan pada tahun 2004 mencapai satu juta hektar dengan
produksi CPO rata-rata 1,5 juta ton atau rata-rata produksi 1,44 ton CPO/hektar. Pangsa luas
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan tersebut adalah sekitar 19 persen dari total luas
perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia, sedangkan pangsa produksi CPO di
Kalimantan adalah sekitar 13 persen dari total produksi CPO di Indonesia. Namun dalam
periode empat tahun terakhir, rata rata produksi CPO per hektar cenderung meningkat yang
menunjukkan intensifikasi produksi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Oleh karena itu,
pembukaan lahan baru diperkirakan akan membuka peluang bagi pengembangan bahan baku
biodiesel.
Namun secara ekonomi, biodiesel akan semakin dapat bersaing bila harga minyak solar
meningkat. Relatif lebih tingginya harga minyak solar di daerah terpencil (karena kelangkaan
transportasi) seperti di pedalaman Kalimantan, Papua, serta Sulawesi diperkirakan akan
berdampak pada peningkatan daya saing biodiesel dari kelapa sawit tersebut. Peningkatan
daya saing biodiesel di wilayah-wilayah tersebut diperkirakan akan didukung pula dengan
ketersediaan lahan yang masih belum dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga
pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat dilakukan secara lebih optimal dan lebih
berdaya guna.
hutan (65%) dengan pemanfaatan yang sekedarnya atau bahkan cenderung diterlantarkan.
Untuk Jawa Tengah saja luas lahan kritis mencapai 982,9 ribu hektar, dengan kondisi lahan
63% potensial kritis hingga agak kritis, 34% kondisi kritis dan 3% sangat kritis. Apabila lahan
potensial kritis dan agak kritis tersebut tidak segera dikelola dengan bijak, maka kondisinya
akan semakin kritis. Untuk memanfaatkan lahan tersebut perlu dicarikan jenis tanaman yang
mampu tumbuh dengan baik di lahan tersebut, yang memiliki kesuburan dan agroklimat yang
terbatas.
11
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
BAB III
KESIMPULAN
Kelangkaan BBM yang kini terjadi hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk
menyiapkan kebijakan yang mendukung penggunaan biodiesel. Pandangan terhadap
penyediaan energi harus berubah arah, yang semula memburu energi (energy-hunting) dari
energi fosil berubah ke upaya membudidayakan energi (energy-farming) dengan energi
nabati. Biodiesel nampaknya berpotensi untuk dikembangkan secara besar-besaran mengingat
bahan bakunya kelapa sawit yang dapat dibudidayakan secara luas. Biodiesel dari kelapa
sawit (CPO) nampaknya paling siap untuk dikembangkan sebagai sumber energy alternatif
mengingat negara kita sebagai negara produsen kedua.
12
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
Biodiesel bisa dipasarkan di dalam negeri dengan skala besar jika ada upaya dari pemerintah
untuk menggunakan biodiesel dan mendorong masyarakat menggunakannya. Sosialisasi
penggunaan biodiesel tidak akan berarti tanpa dukungan dari pemerintah, termasuk
standardisasi produk untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlu kebijakan dari
pemerintah adanya subsidi langsung bahan bakar yang berasal dari bahan bahan yang bisa
diperbarui (renewable) sehingga harga biodiesel ini dapat bersaing bahkan dapat lebih murah
dibanding BBM. Di samping itu, perlu adanya kebijakan insentif bagi pengguna bahan bakar
biodiesel (renewable) ini.
13
Biodiesel dari Kelapa Sawit Sebagai Energi Alternatif
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Bambang Tri, Ir, (2004), Penggunaan Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif,
materi Rumusan Hasil Seminar Prospek Biodiesel di Indonesia, Serpong, 12
Agustus 2004.
Atmojo, Suntoro Wongso, Prof, (2006), Potensi Pertanian Dalam Menghadapi Krisis Energi,
disampaikan pada Orasi Dies Natalis XXX Universitas Sebelas Maret, Solo, 11
Maret 2006
14