Saat ini kebutuhan bahan bakar bagi penduduk di seluruh dunia semakin meningkat, sementara cadangan bahan bakar fosil semakin menipis. Oleh karena itu, hampir semua negara sudah mulai melakukan uji coba dan pencarian alternatif bahan bakar yang terbarukan sebagai pengganti atau substitusi bahan bakar fosil. Selain ketersediaannya yang bersifat berkelanjutan atau (suistanable), penggunaan energi alternatif sebagai bahan bakar juga aman bagi ekologi, dan lingkungan. Avtur merupakan bahan bakar beberapa jenis pesawat komersial seperti Jet A, Jet A-1, Jet B, JP-4, JP-7, atau JP-8 dengan komponen utama berupa hidrokarbon paraffin C10-C14 (Siswahyu dan Tri, 2014). Bahan utama avtur selama ini berasal dari hasil olahan minyak bumi yang diolah dari ekplorasi minyak bumi sesuai kriteria dan spesifikasi sebagai bahan bakar pesawat, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi ialah bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui atau non-renewable sehingga penggunaan yang terus menerus dan meningkat dari waktu ke waktu dapat menghabiskan cadangan minyak bumi. Dampak lain dari penggunaan bahan bakar yang berasal dari bahan bakar fosil menghasilkan karbon gas buang yang memiliki tingkat kepekatan yang tinggi sehingga dapat merusak lingkungan, hal ini merupakan salah satu permasalahan dalam penggunaan minyak bumi dimana minyak bumi tidak dapat diperbaharui juga memperbanyak emisi gas buang sehingga dapat menyebabkan berbagai masalah lingkungan (Wibisono, 2021). Menurut Tyson (2001), emisi gas CO 2 berkurang sebanyak 78% dengan energi alternatif. Menurut Shumaker (2007), energi alternatif dapat mengurangi emisi gas CO sebesar 46,7%, partikel-partikel berkurang sebanyak 66,7%, serta senyawa- senyawa yang tidak terbakar seperti hidrokarbon berkisar 45,2%. Sedangkan, proses perekahan minyak mentah menghasilkan emisi berupa CO 2 CO, partikel-partikel dan sisa senyawa. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014), Bioavtur atau disebut juga jet fuel merupakan hasil proses hidrodeoksigenasi dari bahan minyak lemak dengan rangkaian C rendah (sekitar C 12) yang antara lain terdapat di minyak inti kelapa sawit dan minyak kelapa. Bioavtur dihasilkan oleh serangkaian proses konversi biomassa berupa serat, gula, tepung dan minyak nabati. Proses konversi bahan tersebut bisa melalui proses transesterifikasi, perlakuan pans (pyrolysis dan hydrothermal), perlakuan hidrolisis oleh enzim, fermentasi, dan fischertrops (Siswahyu dan Hendrawati, 2014). Pertimbangan utama produksi biofuel khususnya bioavtur adalah ketersediaan bahan baku yang memadai serta keberlangsungannya (sustainability). Total produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia selama 2015-2019 berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kelapa sawit tercatat terus bertambah dari sebesar 31,07 juta ton pada 2015 menjadi 31,49 juta ton setaun setelahnya. Lonjakan tertinggi pada 2017-2018 yakni dari 34,94 juta ton menjadi 42,88 juta ton atau naik sekitar 22,72%. Pada 2019, produksinya mencapai 48,42 juta ton atau meningkat 12,92% dan akan terus bertambah seiring dengan perluasan lahan, pengembangan metode penanaman, dan kemajuan aplikasi teknologi pupuk. Kandungan Free Fetty Acid (FFA) dan triglyceride dalam CPO sangat cocok diolah menjadi bioavtur sehingga Indonesia berpotensi memproduksi bioavtur sendiri dari bahan baku produk hasil pertanian Indonesia yaitu CPO.
Gambar 1.1 Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Selama 2015-2019
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, produksi kelapa sawit wilayah Sumatera Utara pada tahun 2017 yaitu 6.068178,45 ton dengan luas tanaman 426.716,35 Ha. Pada tahun 2018, produksi kelapa sawit sebesar 1.682.290,52 ton dengan luas tanaman 434.361,69 Ha. Pada tahun 2019 mengalami kenaikan produksi kelapa sawit menjadi 7.006.290,52 ton dengan luas tanaman 439.315 Ha. Indonesia memiliki potensi bahan baku sebagai bahan bakar alternatif yang cukup beragam seperti minyak kelapa sawit, minyak inti sawit, minyak kelapa dan biomassa. Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit terbesar didunia, sementara pemanfaatannya didalam negeri terutama di industri belum optimal (Siswahyu dan Tri, 2014). Produksi minyak kelapa sawit untuk wilayah Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT) tahun 2019 tersaji pada Tabel 1.1 berikut Tabel 1.1 Produksi Minyak Kelapa Sawit di Wilayah Sumatera Bagian Utara Tahun 2019 Provinsi Produksi (ton/tahun) Aceh 1.133.347 Sumatera Utara 5.647.313 Sumatera Barat 1.253.394 Riau 9.513.208 (Direktorat Jendral Perkebunan, 2020) Selain Indonesia, Industri penerbangan global juga memiliki target untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2), sebesar 50% dibandingkan dengan tingkat (CO2) di tahun 2005 pada tahun 2050 (IATA,2009). Untuk mencapai tujuan tersebut di tetapkan beberapa strategi diataranya yaitu dengan mnegurangi emisi dari sumbernya yaitu pada mesin turbin pesawat dimana efesiensi bahan bakar ditingkatkan serta bahan bakar juga dikurangi emisis buangnya. Salah satu cara mengurangi emisi gas buang dari pesawat yaitu dengan menggunakan bioavtur. Teknologi proses bioavtur merupakan proses kimia yang memiliki beberapa jalur diantaranya jalur Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA/Proses UOP), Advance Fermentation Jet Fuel (AFJ), Sugar Derived Renewable Jet Fuel (SRJ), Alcohol to Jet Fuel (ATJ), Pyrolysis Renewable Jet Fuel (PRJ), dan FT Jet Fuel (FTJ). Dari semua proses yang saat ini ada, baru proses produksi bioavtur mengunakan metode HEFA (Proses UOP) dan FT saja yang produknya sudah terstandar dan digunakan pada mesin turbin untuk penerbangan komersial (Siswahyu dan Hendrawati, 2014). Berdasarkan pertimbangan di atas terhadap sumber bahan baku dan data kebutuhan bahan bakar Avtur di Indonesia, maka akan didirikan pabrik Bioavtur pada tahun 2025, dengan kapasitas produksi pabrik ini direncanakan sebesar 52.000 Ton/Tahun. Kapasitas ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bioavtur di wilayah Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT).