Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini kebutuhan bahan bakar bagi penduduk di seluruh dunia semakin
meningkat, sementara cadangan bahan bakar fosil semakin menipis. Oleh karena itu,
hampir semua negara sudah mulai melakukan uji coba dan pencarian alternatif bahan
bakar yang terbarukan sebagai pengganti atau substitusi bahan bakar fosil. Selain
ketersediaannya yang bersifat berkelanjutan atau (suistanable), penggunaan energi
alternatif sebagai bahan bakar juga aman bagi ekologi, dan lingkungan.
Avtur merupakan bahan bakar beberapa jenis pesawat komersial seperti Jet A,
Jet A-1, Jet B, JP-4, JP-7, atau JP-8 dengan komponen utama berupa hidrokarbon
paraffin C10-C14 (Siswahyu dan Tri, 2014). Bahan utama avtur selama ini berasal dari
hasil olahan minyak bumi yang diolah dari ekplorasi minyak bumi sesuai kriteria dan
spesifikasi sebagai bahan bakar pesawat, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi
ialah bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui atau non-renewable sehingga
penggunaan yang terus menerus dan meningkat dari waktu ke waktu dapat
menghabiskan cadangan minyak bumi. Dampak lain dari penggunaan bahan bakar
yang berasal dari bahan bakar fosil menghasilkan karbon gas buang yang memiliki
tingkat kepekatan yang tinggi sehingga dapat merusak lingkungan, hal ini merupakan
salah satu permasalahan dalam penggunaan minyak bumi dimana minyak bumi tidak
dapat diperbaharui juga memperbanyak emisi gas buang sehingga dapat
menyebabkan berbagai masalah lingkungan (Wibisono, 2021).
Menurut Tyson (2001), emisi gas CO 2 berkurang sebanyak 78% dengan energi
alternatif. Menurut Shumaker (2007), energi alternatif dapat mengurangi emisi gas
CO sebesar 46,7%, partikel-partikel berkurang sebanyak 66,7%, serta senyawa-
senyawa yang tidak terbakar seperti hidrokarbon berkisar 45,2%. Sedangkan, proses
perekahan minyak mentah menghasilkan emisi berupa CO 2 CO, partikel-partikel dan
sisa senyawa.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014), Bioavtur atau
disebut juga jet fuel merupakan hasil proses hidrodeoksigenasi dari bahan minyak
lemak dengan rangkaian C rendah (sekitar C 12) yang antara lain terdapat di minyak
inti kelapa sawit dan minyak kelapa. Bioavtur dihasilkan oleh serangkaian proses
konversi biomassa berupa serat, gula, tepung dan minyak nabati. Proses konversi
bahan tersebut bisa melalui proses transesterifikasi, perlakuan pans (pyrolysis dan
hydrothermal), perlakuan hidrolisis oleh enzim, fermentasi, dan fischertrops
(Siswahyu dan Hendrawati, 2014).
Pertimbangan utama produksi biofuel khususnya bioavtur adalah ketersediaan
bahan baku yang memadai serta keberlangsungannya (sustainability). Total produksi
perkebunan kelapa sawit Indonesia selama 2015-2019 berdasarkan Badan Pusat
Statistik (BPS), produksi kelapa sawit tercatat terus bertambah dari sebesar 31,07
juta ton pada 2015 menjadi 31,49 juta ton setaun setelahnya. Lonjakan tertinggi pada
2017-2018 yakni dari 34,94 juta ton menjadi 42,88 juta ton atau naik sekitar 22,72%.
Pada 2019, produksinya mencapai 48,42 juta ton atau meningkat 12,92% dan akan
terus bertambah seiring dengan perluasan lahan, pengembangan metode penanaman,
dan kemajuan aplikasi teknologi pupuk. Kandungan Free Fetty Acid (FFA) dan
triglyceride dalam CPO sangat cocok diolah menjadi bioavtur sehingga Indonesia
berpotensi memproduksi bioavtur sendiri dari bahan baku produk hasil pertanian
Indonesia yaitu CPO.

Gambar 1.1 Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Selama 2015-2019


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, produksi
kelapa sawit wilayah Sumatera Utara pada tahun 2017 yaitu 6.068178,45 ton dengan
luas tanaman 426.716,35 Ha. Pada tahun 2018, produksi kelapa sawit sebesar
1.682.290,52 ton dengan luas tanaman 434.361,69 Ha. Pada tahun 2019 mengalami
kenaikan produksi kelapa sawit menjadi 7.006.290,52 ton dengan luas tanaman
439.315 Ha.
Indonesia memiliki potensi bahan baku sebagai bahan bakar alternatif yang
cukup beragam seperti minyak kelapa sawit, minyak inti sawit, minyak kelapa dan
biomassa. Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit
terbesar didunia, sementara pemanfaatannya didalam negeri terutama di industri
belum optimal (Siswahyu dan Tri, 2014). Produksi minyak kelapa sawit untuk
wilayah Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT) tahun 2019 tersaji pada Tabel 1.1
berikut
Tabel 1.1 Produksi Minyak Kelapa Sawit di Wilayah Sumatera Bagian Utara Tahun
2019
Provinsi Produksi (ton/tahun)
Aceh 1.133.347
Sumatera Utara 5.647.313
Sumatera Barat 1.253.394
Riau 9.513.208
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2020)
Selain Indonesia, Industri penerbangan global juga memiliki target untuk
mengurangi emisi karbon dioksida (CO2), sebesar 50% dibandingkan dengan tingkat
(CO2) di tahun 2005 pada tahun 2050 (IATA,2009). Untuk mencapai tujuan tersebut
di tetapkan beberapa strategi diataranya yaitu dengan mnegurangi emisi dari
sumbernya yaitu pada mesin turbin pesawat dimana efesiensi bahan bakar
ditingkatkan serta bahan bakar juga dikurangi emisis buangnya. Salah satu cara
mengurangi emisi gas buang dari pesawat yaitu dengan menggunakan bioavtur.
Teknologi proses bioavtur merupakan proses kimia yang memiliki beberapa
jalur diantaranya jalur Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA/Proses UOP),
Advance Fermentation Jet Fuel (AFJ), Sugar Derived Renewable Jet Fuel (SRJ),
Alcohol to Jet Fuel (ATJ), Pyrolysis Renewable Jet Fuel (PRJ), dan FT Jet Fuel
(FTJ). Dari semua proses yang saat ini ada, baru proses produksi bioavtur
mengunakan metode HEFA (Proses UOP) dan FT saja yang produknya sudah
terstandar dan digunakan pada mesin turbin untuk penerbangan komersial (Siswahyu
dan Hendrawati, 2014).
Berdasarkan pertimbangan di atas terhadap sumber bahan baku dan data
kebutuhan bahan bakar Avtur di Indonesia, maka akan didirikan pabrik Bioavtur pada
tahun 2025, dengan kapasitas produksi pabrik ini direncanakan sebesar 52.000
Ton/Tahun. Kapasitas ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bioavtur di wilayah
Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT).

1.2. Perumusan Masalah

1.3. Tujuan Perancangan


1.4. Manfaat Perancangan

Anda mungkin juga menyukai