Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pendirian Pabrik


Kehidupan manusia yang berkembang dari tahun ke tahun berbanding lurus
dengan kebutuhan energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat.
Konsumsi bahan bakar nasional pada tahun 2021 sebanyak 75 juta kL atau setara
dengan 1,23 juta bph (Data Statistik Migas, 2021). Hal ini karena minyak merupakan
komoditas strategis yang digunakan semua orang baik langsung maupun tidak
langsung dan penggunaannya masih mendominasi kehidupan manusia di dunia, di
Indonesia sendiri konsumsi bahan bakar minyak meliputi banyak bidang dan terutama
adalah transportasi karena berdasarkan data dari Dirjen Migas, kendaraan bermotor
adalah sektor dengan konsumsi BBM terbesar, yaitu mencapai 47 % dari keseluruhan
konsumsi BBM Indonesia (Denny dkk., 2021), angka tersebut dikarenakan
meningkatnya jumah kendaraan bermotor di Indonesia yang mencapai 136 137 451
pada tahun 2020 dan seharusnya dibarengi dengan jumlah dan kualitas bahan bakar
minyak (BBM) yang memadai (Okky dkk., 2021). Namun di sisi lain jumlah
cadangan bahan bakar minyak (BBM) semakin langka dan menipis sehingga
pemerintah masih melakukan impor 74,74% BBM untuk memenuhi kebutuhan di
tahun 2021 (Data Statistik Migas, 2021), hal ini tentu berimbas pada kenaikan harga
BBM dan tentunya membawa pengaruh besar bagi perekonomian. Berdasarkan hal
tersebut dibutuhkan sumber energi alternatif terbarukan dan ramah lingkungan.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan pengalihan atau
alternatif bahan bakar yang bersumber dari hayati seperti Peraturan Menteri
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 tahun 2008 Tentang
Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (bahan bakar hijau)
Sebagai Bahan Bakar Lain dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang
kebijakan energi. Dalam Bab II Pasal 2 PP No. 5 Tahun 2006 disebutkan bahwa
pemenuhan konsumsi energi di Indonesia ditargetkan berasal dari bahan bakar hijau
yang jumlahnya sebesar 5% dari total konsumsi energi. Kebijakan tersebut
menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai alternatif pengganti
bahan bakar minyak sebagai bentuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan
bakar minyak (Romadhoni dkk., 2013). Hal ini juga didukung melalui terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional
(RUEN). Kebijakan tersebut menjelaskan proyeksi kebutuhan energi nasional pada
2025 yang mana kontribusi minyak bumi dalam bauran energi nasional maksimal
sebesar 25% dan konsumsi energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23%. Bahan bakar
hijau adalah salah satu EBT yang berasal dari hasil pengolahan biomassa yang dapat
dihasilkan langsung oleh tumbuhan atau bisa berasal dari limbah pertanian dan
industri (Samsudin dkk., 2018). Bahan bakar hijau juga sering disebut energi hijau
karena asal usul dan emisinya yang ramah lingkungan dan tidak menyebabkan
pemanasan global secara signifikan (Perkembangan Bioetanol G2, 2019). Bahan
bakar hijau yang umum digunakan saat ini adalah biodiesel sebagai pengganti diesel
dan bioetanol sebagai pengganti bensin (Samsudin dkk., 2018).
Berbagai macam bahan bakar hijau dapat dikembangkan di Indonesia, salah
satunya yaitu bioetanol. Bioetanol (etil alkohol) dibuat dari biomassa (tanaman)
melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi) dan dapat dengan mudah
diproduksi dari tanaman-tanaman yang mengandung pati dan gula (Aspiadi dkk.,
2019). Bahan bakar nabati (BBN) ini digunakan sebagai pengganti premium
(gasoline) karena bioetanol juga memiliki angka oktan yang tinggi, efisien dalam
pembakaran, dan ramah lingkungan karena minim kadar gas buangan seperti karbon
monoksida (CO), nitrogenoksida (NOX), dan gas-gas beracun lainnya (Seungdo dkk.,
2014), bioetanol juga dapat meningkatkan perfoma mesin (Renewable Fuels
Association, 2010). Bioetanol diproduksi dari tanaman yang mengandung gula dan
lignoselulosa di dalamnya. Misalnya tebu, jagung, singkong, hingga limbah kulit
yang berpotensi dikembangkan di Indonesia karena indonesia merupakan negara
agraris yang mempunyai lahan pertanian luas sehingga mendorong tumbuhnya
industri yang berbahan baku hasil pertanian (agroindustri) (Nurdyastuti, 2008).
Produksi bioetanol di Indonesia perlu ditingkatkan karena Soerawidjaja (2013)
mengungkapkan bahwa kapasitas produksi berbagai industri bioetanol bahan bakar di
Indonesia sekitar 0,42 juta kilo liter (kL), produksi bioetanol di Indonesia justru lebih
banyak untuk kebutuhan ekspor. Hal ini juga karena harga bioetanol di negara tujuan
lebih tinggi daripada didalam negeri (Ulum, 2014). Sedangkan kebutuhan bioetanol
di Indonesia pada 2030 diperkirakan sekitar 7,9 juta kL per tahun, atau sekitar 19 kali
kapasitas industri bioetanol bahan bakar saat ini. Jika dibandingkan dengan
kebutuhan bioetanol tersebut, kapasitas industri bioetanol bahan bakar di dalam
negeri masih sangat kecil. Perbedaan antara proyeksi kebutuhan dan kapasitas
produksi ini memberikan peluang untuk membangun industri bioetanol dan
mendorong berbagai perguruan tinggi dan lembaga litbang di Indonesia melakukan
riset untuk pembuatan bioetanol sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, salah
satunya yaitu bioetanol menggunakan biomassa lignoselulosa (Perkembangan
Bioetanol G2, 2019). Dari berbagai jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai
sumber bahan baku bioetanol, salah satu diantaranya yang paling potensial
dikembangkan di Indonesia adalah tanaman sorgum manis (Sweet Sorghum) yang
juga mengandung lignoselulosa tinggi, sorgum juga mengandung 26,5 – 28,0%
hemiselulosa, 43,4 – 45,2% selulosa dan 18,5 – 21,4% lignin (Ray dkk., 2019).
Tanaman sorgum memiliki keunggulan tahan terhadap kekeringan dibanding jenis
tanaman serealia lainnya.
Beberapa hal yang menjadikan sorgum manis unggul sebagai bahan dasar
pembuatan bioetanol adalah masa panennya yang jauh lebih singkat daripada masa
panen tebu, dapat tumbuh di lahan kering, rendah biaya pemeliharaan, dan kualitas
etanol sebagai bahan bakar yang cukup baik karena minimnya emisi gas buang sulfur
(Jasman, 2010). Sorgum mempunyai kandungan karbohidrat (pati) yang tinggi yaitu
kandungan glukosa 16,5 – 18,9%, fruktosa 10,8 – 12,0%, dan sukrosa 53,3 – 55,0%
yang mampu dikonversi melalui proses fermentasi menjadi bioetanol (Ray dkk.,
2019), sorgum juga mempunyai manfaat yang sangat luas antara lain untuk pakan
ternak, bahan baku industri makanan dan minuman, bahan baku untuk media jamur
tiram (mushroom), industri alkohol, bahan baku etanol dan sebagainya (Suarni,
2012). Tanaman ini mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan
secara komersial di Indonesia, karena didukung oleh kondisi agroekologis dan
ketersediaan lahan yang cukup luas. Selain itu tanaman sorgum lebih resisten
terhadap serangan hama dan penyakit sehingga resiko gagal relatif kecil, sorgum
dapat dikatakan memiliki produktivitas yang tinggi dan didukung pembiayaan (input)
usaha taninya relatif rendah (Pabendon dkk., 2012). Daerah penghasil sorgum di
Indonesia banyak dikembangkan di daerah Gunung Kidul, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur dan juga pulau Jawa yang memiliki lahan kering dan kurang
subur, salah satunya yaitu Kabupaten Demak di Jawa Tengah yang sedang gencar
mengembangkan sorgum. Pengembangan pertanian sorgumdi Kabupaten Demak
mendapat perhatian khusus dari Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Pada tahun 2017, Balitbangtan bersama
Pemerintah Kabupaten Demak merumuskan sebuah konsep “Pengembangan
Kawasan Percepatan Diversifikasi Pangan Berbasis Sorgum” sebagai bentuk
dukungan terhadap pengembangan sorgum (Ellya, 2017).
1.2 Pemilihan Lokasi Pabrik
Lokasi dari suatu pabrik akan berpengaruh besar pada keberhasilan dari suatu
usaha industri. Dalam studi pemilihan lokasi pabrik menunjukkan kebutuhan akan
sejumlah data dan informasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Faktor utama
dalam pemilihan lokasi pabrik meliputi sumber bahan baku terhadap letak pabrik,
pemasaran produk terhadap letak pabrik, transportasi, utiltas, dan ketersediaan tenaga
kerja. Sedangkan faktor lainnya yaitu kondisi tanah, peraturan daerah setempat,
kemungkinan perluasan pabrik, dan keadaan geografis (Peters dan Timmerhaus,
1991)
Rencana lokasi pabrik bioetanol adalah Kawasan Industri Jatengland Industrial
Park Sayung (JIPS) Demak. Pemilihan Kota Demak berdasarkan dekat dengan letak
bahan baku.
1.2.1 Faktor Primer
Faktor primer mempengaruhi tujuan utama dari pendirian pabrik yang
meliputi produksi dan distribusi produk yang diatur menurut macam dan kualitas,
serta waktu dan tempat yang dibutuhkan konsumen pada tingkat harga yang
terjangkau, akan tetapi pabrik masih memperoleh keuntungan yang wajar. Faktor
primer ini meliputi:
1.2.1.1. Bahan Baku
Sumber bahan baku berpengaruh pada pemilihan lokasi pabrik karena
dekatnya lokasi sumber bahan baku akan menurunkan biaya penyimpanan dan
transportasi. Dalam pembelian bahan baku harus mempertimbangkan harga beli
bahan baku, jarak dari sumber bahan baku, biaya transportasi, ketersediaan dan
keunggulan bahan baku, kemurnian bahan baku, dan persyaratan penyimpanan
(Peters dan Timmerhause, 1991). Bahan baku pembuatan bioetanol adalah biji
sorgum yang didapat dari perkebunan sorgum di kecamatan Demak yang dikelola
oleh Kementerian Pertanian sebanyak 17.350 ton/ha.
1.2.1.2. Pasar Utama
Lokasi dari pasar utama mempengaruhi biaya distribusi produk dan waktu
yang diperlukan untuk pengiriman. Jarak dengan pasar utama menjadi hal penting
karena pembeli merasa lebih menguntungkan jika membeli dari sumber terdekat
(Peters dan Timmerhause, 1991). Bioetanol merupakan produk pengganti bahan
bakar minyak yang nantinya akan dipasarkan di wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya
melalui Pertamina dengan distribusi melalui jalur darat dan juga dipasarkan ke daerah
lain di luar Jawa melalui jalur laut. Diharapkan produk ini dapat diterima di kalangan
industri sebagai alternatif bahan bakar.
1.2.1.3. Transportasi
Sarana transportasi yang biasa digunakan pada industri adalah air, jalan raya,
dan rel kereta api. Jenis transportasi yang dipakai sangat dipengaruhi oleh jumlah dari
produk maupun bahan baku yang digunakan (Peters dan Timmerhause, 1991).
Kawasan Industri Demak terletak di tepi jalur pantura dan 25 menit dari Pelabuhan
Tanjung Mas, dan dekat dengan rencana Jalan Lingkar Luar Semarang, selain itu
pemerintah juga akan membangun jalan Tol Demak-Tuban. Dalam rencana
pengembangannya kawasan industri Demak akan dilengkapi dengan dermaga
mandiri, yang mencakup pelabuhan Curah dan Container Yard sepanjang 4.2 km .
Jalan raya Pantura akan memudahkan pengiriman bahan baku. Dengan adanya jalan
Tol Demak-Tuban dan dekat dengan rencana Jalan Lingkar Luar Semarang akan
memudahkan aksesibilitas Kawasan Industri Demak dan distribusi produk.
Sedangkan pelabuhan Tanjung Mas dapat mempermudah akses untuk distribusi
produk ke luar Pulau Jawa.
1.2.2 Faktor Sekunder
Faktor sekunder merupakan faktor penunjang dalam mendirikan sebuah pabrik,
yang meliputi:
1.2.2.1. Tenaga Kerja
Penyediaan tenaga kerja di Jawa Tengah khususnya di Demak tidak sulit
karena dari tahun ke tahun terjadi peningkatan tenaga kerja. Lokasi pabrik yang
merupakan kawasan industri juga akan menarik para calon tenaga kerja dari daerah
lain, baik tenaga terdidik dan terampil maupun tenaga kasar. Adapun mengenai
tenaga kerja terdidik dan terlatih direkrut dari kerjasama dengan pabrik-pabrik besar
yang ada di sekitar lokasi pabrik, maupun proses penerimaan karyawan dari
perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada. Sedangkan untuk tenaga kasar direkrut
dari warga-warga sekitar. Hal ini didukung juga dengan meningkatnya jumlah
angkatan kerja Jawa Tengah tahun 2021 yang mecapai 18,96 juta orang, jumlah
penduduk miskin tahun 2021 sebanyak 4.109,75 ribu jiwa (11,79%), dan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2021 sebesar 5,95% (Badan Pusat Statistik Jawa
Tengah, 2021). Maka dengan didirikannya pabrik ini diharapkan dapat mengurangi
angka pengangguran dan kemiskinan.
Selain jumlah tenaga kerja yang memadai, Upah Minimum Kota/Kabupaten
juga harus dipertimbangkan untuk anggaran biaya yang dikeluarkan sebagai gaji
karyawan. Berdasarkan data UMK Kabupaten Demak adalah Rp. 2.511.526,00,
angka tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Kota Semarang yang
jaraknya berdekatan (Keputusan Gubernur Jawa Tengah, 2020).
1.2.2.2. Iklim dan Cuaca
Keadaan iklim di lokasi pabrik harus dipikirkan dengan baik untuk
mengoptimalkan kegiatan produksi pabrik, baik dari segi proses, maupun dari segi
peralatannya. Iklim yang terlalu panas mengakibatkan diperlukannya peralatan
pendingin yang lebih banyak, sedangkan iklim yang terlalu dingin atau lembab
mengakibatkan bertambahnya biaya kontruksi pabrik karena diperlukan perlindungan
khusus pada alat-alat proses.
Kabupaten Demak yang berada di Provinsi Jawa Tengah terletak antara
110o27"58" - 110o48"47" Bujur Timur dan 6o43"26" - 7o09"43" Lintang Selatan.
Sebagian besar wilayahnya memiliki iklim kering Sepanjang tahun, suhu biasanya
bervariasi dari 24°C hingga 33°C dan jarang di bawah 22°C atau di atas 35°C. (Portal
Resmi Kabupaten Demak, 2020). Pemilihan lokasi pabrik terletak di daerah iklim
stabil sehingga Kawasan Industri Demak dinilai layak untuk mendirikan pabrik
bioetanol.
1.2.2.3. Utilitas
Kawasan Industri Demak telah memfasilitasi penunjang aktivitas pabrik
seperti energi listrik, pemenuhan kebutuhan bahan baku air, dan pengolahan air

limbah. Sumber air pada pabrik ini direncanakan menggunakan air laut. Pemilihan
lokasi pabrik kawasan industri Jatengland Industrial Park Sayung (JIPS) dekat dengan
sumber air yaitu laut Jawa dan juga menggunakan sumber air dari PDAM. Selain itu,
utilitas lain yaitu kebutuhan listrik akan dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) Tanjung Jati Bunit 5 dan 6 dengan kapasitas 2x1000 MW yang dikelola oleh
swasta atau dikenal dengan istilah IPP (Independent Power Producer).
1.2.2.4. Ketersediaan Lahan
Pemilihan lokasi pabrik yang akan didirikan harus mempunyai ruang yang
cukup agar tidak menghambat ketika akan melakukan perluasan area atau fasilitas
pabrik. Suatu industri memerlukan perluasan pabrik karena fasilitas-fasilitas produksi
memerlukan pembaruan dan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus
berkembang (Peters dan Timmerhause, 1991). Jumlah lahan yang ada pada Kawasan
Industri Demak yaitu 300 hektar sehingga masih memungkinkan untuk melakukan
perluasan pabrik (Kementerian Perindustrian, 2016).
1.2.2.5. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Demak telah menentukan kawasan untuk industri dan
pemukiman, sehingga pendirian pabrik tidak menganggu pemukiman masyarakat.
Pemerintah bertindak sebagai fasilitator yang memberikan perizinan, pajak, dan hal-
hal lain mengenai pelaksanaan pendirian industri. Menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Demak No. 1 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Usaha Bidang
Industri, semua kebijakan pemerintah terkait perizinan dan faktor sosial sangat
mendukung pembangunan industri (Peraturan Daerah Kabupaten Demak No. 1 Tahun
2020).
1.3 Kapasitas Produksi Pabrik
Rata-rata luas tanam dan produktivitas sorgum di beberapa daerah sentra
produksi sorgum di Indonesia cukup berbeda, perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan agroekologi serta teknologi budi daya yang diterapkan oleh petani,
terutama benih dan pupuk. Sumber Daya Pertanian terbesar di Indonesia terdapat di
Jawa Tengah, dan Kabupaten Demak menjadi daerah penghasil sorgum terbanyak.
Tabel 1.1 Luas Lahan, Produksi, dan Produktivitas Sorgum Kabupaten Demak Tahun
2012-2018
No Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (kuintal) Produktivitas (kuintal/ha)
1 2012 37 2.330 62,97
2 2013 70 2.990 57
3 2014 81 4.040 49,88
4 2015 62 3.120 50,32
5 2016 74 6.890 93,11
6 2017 72 5.040 70
7 2018 61 3.920 64,26
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak, 2019
Pada tahun 2012-2014, terjadi peningkatan luas lahan dan produksi, meski
produktivitas sorgum menurun. Pada tahun 2015, luas lahan dan produksi mengalami
penurunan, namun terjadi peningkatan produktivitas. Pada tahun 2016, terjadi
peningkatan luas lahan, produksi, dan produktivitas secara signifikan. Namun, pada
tahun 2017 dan 2018 luas lahan, produksi, dan produktivitas sorgum mengalami
penurunan secara berturut-turut. Namun, karena keterbatasan data terkini yang dapat
diakses tidak tersedia sehingga, data tersebut belum mencakup produksi sorgum di
Indonesia secara menyeluruh sehingga jumlah produksi sorgum di Indonesia dapat
melebihi nilai-nilai tersebut.
Data dan informasi terkini yang tersedia dari sejumlah referensi masih bersifat
parsial di beberapa daerah, belum di tingkat nasional. Di Sidrap, Sulawesi Selatan
terdapat area sorgum seluas 3.200 hektar yang produksinya digunakan untuk bahan
pangan, sirup, dan tepung. Di Kendari produksi sorgum di atas lahan seluas 6.000
hektar digunakan untuk bahan pangan dan sirup. Di Wayngapu, Sumba produksi
sorgum di atas lahan seluas 4.000 ha digunakan untuk bahan pangan, sirup, dan
tepung. Di Purwakarta, Jawa Barat dan Pasuruan, Jawa Timur produksi sorgum
masing-masing seluas 3.000 hektar digunakan untuk sirup dan tepung. Di bawah ini
adalah data konsumsi bioetanol di Indonesia.
Tabel 1.2 Konsumsi bioetanol di Indonesia
Tahun ke Tahun Konsumsi (ton/tahun)
1 2009 45.203
2 2010 46.615
3 2011 47.322
4 2012 47.675
5 2013 47.675
6 2014 47.675
7 2015 48.028
8 2016 48.381
9 2017 48.381
10 2018 48.734
11 2019 49.087
Sumber: Biofuels Annual Report 2019
Dari data di atas dapat diketahui fungsi persamaan jumlah konsumsi periode ke-n
melalui grafik, di bawah ini:
50000

49000 f(x) = 298.527272727273 x + 45915.7454545455


R² = 0.84622033794878
48000

47000
Tahun/Ton

46000

45000

44000

43000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun ke

Gambar 1.1. Konsumsi Bioetanol di Indonesia


Diperkirakan konsumsi bioetanol pada periode 18/19 tahun 2026/2027 sebagai fungsi
x pada persamaan sebesar 51.289,54/51.588,07 Ton/Tahun. Berikut ini adalah data
impor bioetanol di Indonesia.
Tabel 1.3 Impor bioetanol di Indonesia
Tahun ke Tahun Impor (ton/tahun)
1 2012 106,438
2 2013 229,44
3 2014 1.261,596
4 2015 113,453
5 2016 1.732,411
6 2017 3.797,83
7 2018 818,928
8 2019 487,426
Sumber: BPS. 2019
Dari data di atas dapat diketahui fungsi persamaan jumlah impor periode ke-n melalui
grafik, di bawah ini:
4,000

3,500

3,000

2,500
Ton/Tahun

2,000

1,500 f(x) = 176.690666666667 x + 273.33225


R² = 0.120639452272888
1,000

500

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun ke

Gambar 1.2. Impor Bioetanol di Indonesia


Diperkirakan jumlah impor pada periode 15/16 tahun 2026/2027 sebagai fungsi x
pada persamaan yang terdapat dalam grafik tersebut sebesar, sebesar
2.923,68/3.100,37 Ton/Tahun. Berikut ini adalah data Ekspor bioetanol di Indonesia.
Tabel 1.4 Ekspor bioetanol di Indonesia
Tahun ke Tahun Ekspor (ton/tahun)
1 2012 45.575
2 2013 66.659
3 2014 59.726
4 2015 52.232
5 2016 55.829
6 2017 50.463
7 2018 49.661
8 2019 54.788
Sumber: BPS. 2019
Dari data di atas dapat diketahui fungsi persamaan jumlah ekspor periode ke-n
melalui grafik, di bawah ini:
70000

60000
f(x) = − 532.035714285714 x + 56760.7857142857
50000 R² = 0.0394482740332568

40000
Ton/Tahun

30000

20000

10000

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun ke

Gambar 1.3. Ekspor Bioetanol di Indonesia


Diperkirakan jumlah ekspor pada periode 15/16 tahun 2026/2027 sebagai fungsi x
pada persamaan yang terdapat dalam grafik tersebut sebesar, sebesar
48.780,4/48.248,36 Ton/Tahun. Berikut ini adalah kapasitas produksi bioetanol di
Indonesia.
Tabel 1.5 Kapasitas Produksi Pabrik Bioetanol di Indonesia
Tahun ke Tahun Produksi (ton/tahun)
1 2009 60.741
2 2010 61.801
3 2011 77.692
4 2012 72.395
5 2013 73.101
6 2014 71.336
7 2015 72.395
8 2016 72.395
9 2017 68.864
10 2018 70.629
11 2019 68.864
Sumber: Biofuels Annual Report 2019
Dari data di atas dapat diketahui fungsi persamaan jumlah produksi tahun ke-n
melalui grafik, di bawah ini:
90000

80000

70000 f(x) = 443.063636363636 x + 67360.9818181818


R² = 0.088606827103625
60000
Ton/Tahun

50000

40000

30000

20000

10000

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun ke

Gambar 1.4. Produksi Bioetanol di Indonesia


Diperkirakan jumlah produksi pada periode 19/20 tahun 2026/2027 sebagai fungsi x
pada persamaan yang terdapat dalam grafik tersebut sebesar, sebesar
112.115,5/115.188 Ton/Tahun.
Dari data informasi di atas digunakan untuk mengetahui jumlah kebutuhan
bietanol sebagai perhitungan lanjutan didalam menentukan kapasitas pabrik yang
akan didirikan.
Jumlah Kebutuhan = (Konsumsi - Produksi) + (Ekspor - Import)
= (51.289,54 – 75.336,08) + (48.780,4 – 2.923,68) ton/tahun
= 21.810,18 ton/tahun
Jumlah Kebutuhan = (Konsumsi - Produksi) + (Ekspor - Import)
= (51.588,07 – 75.779,14) + (48.248,36 – 3.100,37) ton/tahun
= 20.956,93 ton/tahun
Dari persamaan di atas diketahui jumlah kebutuhan bioetanol di Indonesia
pada tahun 2026/2027 sebesar 21.810,18/20.956,93 ton/tahun. Dengan analisa potensi
ketersediaan bahan baku molase di Indonesia dan persaingan industri bioetanol pada
tahun 2026/2027, maka kapasitas pabrik bioetanol yang akan didirikan diputuskan
sebesar 73% dari kebutuhan bioetanol nasional, yakni 16.000 ton/tahun.
Pendirian pabrik bioetanol memiliki beberapa keuntungan diantaranya,
mengurangi impor etanol, mengurangi jumlah pengangguran, menambah devisa
Negara, dan menjadikan etanol sebagai alternatif pengganti bahan bakar bebas polusi.
1.4 Tinjauan Pustaka
1.4.1. Etanol
Etanol atau etil alkohol yang beredar di pasaran juga dikenal seagai alkohol
adalah senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Dalam kondisi sekitar etanol
adalah cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam air,
dan tembus cahaya. Etanol adalah senyawa organik dari kelompok alkohol primer.
Sifat fisik dan kimia etanol bergantung pada gugus hidroksilnya (Rizani, 2000).
Etanol terdiri dari gugus hidroksil yang mempolarisasi molekul dan
menyebabkan peningkatan ikatan hidrogen antar molekul. Etanol memiliki densitas
0,7893 g/mL. Titik didih etanol pada tekanan atmosfer adalah 78,32 °C. Indeks bias
dan viskositas pada temperatur 20 °C adalah 1.36143 dan 1.17 cP (Kirk and Othmer,
1965). Etanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat digunakan
sebagai energi alternatif dari bahan bakar hijau.
Etanol memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan bakar lain seperti
keunggulan di antara sifat terarukan etanol menghasilkan emisi ramah lingkungan
karena kandungan CO2 yang rendah dalam gas yang dihasilkan (Sukandarrumidi
dkk., 2013).
Sejak abad ke-17 orang telah menggunakan fermentasi alkohol untuk
mendapatkan etanol tetapi belum memungkinkan untuk mendapatkan etanol dengan
kemurnian yang cukup tinggi. Dengan penemuan mikroskop pada abad ke-19
mekanisme fermentasi menggunakan mikroorganisme yang ada dalam ragi dapat
dijelaskan secara ilmiah. (Siti Kotijah dkk., 2019).
1.4.2 Jenis Proses Pembuatan
Menurut Kirk and Othmer, proses pembuatan etanol secara umum terbagi
dalam dua jenis yaitu:
1) Proses fermentasi
2) Proses sintesa etilen
1.4.2.1 Proses Fermentasi
Fermentasi bertujuan untuk mengubah monosakarida (glukosa, sukrosa, dan
fruktosa) menjadi etanol dengan menggunakan mikroorganisme seperti ragi maupun
bakteri. Etanol yang dihasilkan selama fermentasi oleh ragi biasanya antara 8-12
persen volume. Monosakarida dapat diperoleh dari bahan-bahan yang dapat
digunakan antara lain:
a) Bahan yang mengandung gula (substansi sakarin) seperti gula tebu, molase, dan
sari buah-buahan di fermentasikan secara langsung menjadi etanol.
b) Bahan berpati seperti sorgum, jagung, kentang, singkong, serealia akar, alga,
dan lain-lain. Jenis bahan baku ini harus terlebih dahulu di hidrolisis oleh enzim
atau katalisis asam untuk menjadi gula yang dapat di fermentasi untuk
menghasilkan etanol.
c) Bahan-bahan yang mengandung selulosa seperti kayu, tandan kosong kelapa
sawit, ampas tebu, waste sulfite liquor dari pabrik pulp dan kertas, serta bahan
lain yang mengandung selulosa. Bahan baku jenis ini juga harus di hidrolisis
terlebih dahulu dengan asam mineral untuk mendapatkan monosakarida
kemudian di fermentasi.
Proses produksi etanol dengan cara fermentasi terlebih dahulu harus melalui
beberapa tahapan pengolahan mentah dan tambahan. Pengolahan bahan baku
tergantung pada sifat-sifat bahan tersebut. Namun semua bahan baku tersebut harus
disterilkan dengan cara dipanaskan hingga suhu 100 - 120 °C bahkan ada yang sampai
130 °C (Quintero dkk., 2008). Hal ini dikarenakan proses fermentasi tidak boleh
terkontaminasi oleh mikroorganisme lain. Jika terjadi pencemaran hasil fermentasi
tidak maksimal bahkan gagal.
Etanol yang difermentasi kemudian dimurnikan dengan distilasi. Untuk
mendapatkan etanol dengan kemurnian 95% harus digunakan distilasi azeotropik.
menggunakan distilasi biner konvensional itu harus dilanjutkan selama dehidrasi.
Dehidrasi dapat dicapai dengan menggunakan filtrasi membran atau saringan
molekuler (dengan adsorpsi).
Reaksi yang terjadi pada proses fermentasi yaitu:
(C6H10O5)n + n H2O Enzim
n C6H12O6
C6H10O5 Ragi
2 C2H5OH + 2 CO2
Kata "fermentasi" berasal dari kata latin "ferfere" yang berarti mendidih,
deskripsi ini lahir dari aksi ragi pada ekstrak buah atau gandum yang direndam
(Stanbury dkk., 2003). Fermentasi adalah proses metabolisme yang menggunakan
enzim dari mikroorganisme untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis dan reaksi
kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik membentuk
produk tertentu dan menyebakan perubahan sifat bahan. Steinkraus (2002) juga
menjelaskan bahwa makanan fermentasi adalah substrat makanan yang diserbu oleh
mikroorganisme untuk menghasilkan enzim yaitu amilase, protease, dan lipase yang
menghidrolisis polisakarida protein dan lemak menjadi produk yang memiliki rasa,
aroma dan tekstur yang menyenangkan dan menarik bagi konsumen.
Fermentasi dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme pembusuk karena
mikroorganisme yang menguntungkan dapat tumbuh secara selektif selama
fermentasi. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan kondisi yang tepat untuk
pertumbuhan mikroorganisme ini menyesuaikan kondisi lingkungan seperti suhu,
oksigen, dan pH (Chandra, 2017).
Produksi bioetanol sebelumnya menggunakan teknik hidrolisis dan fermentasi
terpisah atau Separated Hydrolysis and Fermentation (SHF). Namun teknik ini
memiliki banyak keterbatasan seperti kerentanan terhadap kontaminasi bakteri,
perlunya sterilisasi terpisah, dan waktu pemrosesan yang lebih lama, hidrolisis yang
tidak efisien karena akumulasi gula yang dapat menghambat aktivitas sel enzim.
Seiring dengan perkembangan produksi bioetanol, solusi untuk mengatasi kekurangan
dari teknologi sebelumnya adalah dengan menerapkan teknologi sakarifikasi dan
fermentasi simultan atau Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF).
Zhang dkk., (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa keunggulan metode
SSF adalah dapat meningkatkan laju hidrolisis dan metabolisme gula, mengurangi
kebutuhan enzim, meningkatkan rendemen produk, dapat mengurangi kebutuhan
reduksi karena glukosa diubah langsung ke etanol dan waktu pemrosesan lebih
singkat.
Pembuatan bioetanol dari pati diawali dengan sakarifikasi yang menggunakan
enzim amilase dan amiloglukosidase untuk mengubah pati menjadi gula sederhana,
kemudian difermentasi oleh ragi. Proses sakarifikasi menggunakan enzim amilase
dan amiloglukosidase lebih efisien daripada menggunakan asam karena ramah
lingkungan dapat dilakukan pada suhu ruang dan tekanan rendah, serta produk yang
dihasilkan lebih spesifik. Pada hidrolisis asam pati, molekul pati secara acak dipecah
oleh asam dan gula yang terbentuk terutama adalah gula pereduksi. Hidrolisis
menggunakan katalis asam juga membutuhkan suhu yang sangat tinggi yaitu 120 -
160 °C. Kerugian dari hidrolisis pati asam termasuk persyaratan untuk peralatan anti
korosi dan waktu produksi yang leih lama karena hidrolisis dan fermentasi dilakukan
secara terpisah. Penggunaan enzim komersial untuk menghidrolisis pati menjadi gula
kurang efisien karena tingginya biaya enzim mempengaruhi biaya produksi. Rosita
(2008), Aspergillus niger spp. dapat menghasilkan enzim amiloglukosidase kasar
70,02 U/ml dan aktivitas enzim amilase kasar 385,1 U/ml sehingga kapang A. niger
dapat digunakan sebagai penghasil enzim hidrolitik pati.
Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi glukosa menjadi etanol
adalah khamir Saccharomyces cerevisiae. Keunggulan S. cerevisiae adalah
ketahanannya yang relatif tinggi terhadap fermentasi alkohol (12 - 18% v/v) dan
kandungan gula yang tinggi serta tetap aktif selama fermentasi pada suhu tinggi
(Zhang dkk., 2011). Khamir S. cerevisiae tidak mampu menghasilkan enzim
penghidrolisis pati sehingga diperlukan kultur bersama dengan mikroorganisme lain
untuk membentuk konsorsium mikroba. Dalam penelitian Arnata dkk., (2009)
menggunakan kombinasi mikroorganisme termasuk Trichoderma spp., Aspergillus
spp., S. cerevisiae yang ditambahkan pada awal kultur dalam media tepung tapioka
untuk meningkatkan kadar etanol sebesar 11% (b/v) dan efisiensi 40% (b/v)
dibandingkan dengan mono kultur tunggal Saccharomyces cerevisiae.
Teknik sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) dirancang dalam fermentasi
untuk mencapai hasil etanol yang lebih tinggi untuk menghentikan aerasi untuk
beralih dari kondisi aerob ke anaerob. Penggunaan konsorsium mikroba termasuk
Aspergillus niger sebagai sakarifier untuk menghasilkan gula dari pati dalam kondisi
aerob, sedangkan Saccharomyces cereciviae bersifat anaerob fakultatif.
Saccharomyces cerevisiae akan terus melakukan respirasi, sehingga mengurangi gula
dan menghasilkan etanol. Jika ada udara selama fermentasi lebih sedikit etanol yang
dihasilkan saat respirasi terjadi, menyebakan gula diubah menjadi dinding sel, karbon
dioksida, dan air.
Kerjasama antara Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae dengan
menerapkan teknik SSF yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan rendemen
bioetanol. Ketika biomasa mencapai tahap eksponensial akhir dan rendemen gula
mencapai puncaknya karena enzim hidrolitik pati yang dihasilkan oleh Aspergillus
niger, aerasi dihentikan. Menghentikan aerasi merupakan upaya perubahan dari
kondisi aerob menjadi anaerob. Ini tentang memaksimalkan kerja konsorsium
mikroba. Aspergillus niger sebagai sakarifier membentuk gula dari pati dalam kondisi
aerob, sedangkan Saccharomyces ceeviciae akan memanfaatkan lebih banyak gula
dalam etanol dalam kondisi anaerob melalui fermentasi (Chandra, 2017).
Berikut pathway Saccharomyces cerevisiae pada pembentukan glukosa
menjadi etanol

Gambar 1.5. Pathway bakteri Saccharomyces cerevisiae


1.4.2.2. Proses Sintesa Etilen
Pembuatan ethanol dengan cara ini menggunakan gas etilen yang terkandung
di dalam gas alam sebagai bahan bakunya. Jenis – jenis proses yang ada yaitu:
a) Hidrasi katalitik langsung dari gas etilen
Dalam proses ini etanol diperoleh dalam beberapa tahap yaitu, penyerapan
dengan etil hidrogen sulfat untuk membentuk dietil sulfat dan hidrolisis etil
hidrogen sulfat dengan menyemprotkan campuran air dan gas stripping di
bagian bawah reaktor untuk membentuk produk etanol. Etanol yang
terbentuk kemudian dipisahkan dari gas stripping di separator dan
diperoleh etanol yang dihasilkan (Clent, 2018).
b) Hidrasi katalitik tak langsung dari gas etilen
Proses ini disebut proses Shall. Reaktor menggunakan katalis asam fosfat
dengan dukungan relite diatomite. Reaksi hidrasi etilen adalah eksotermik
dengan tekanan P = 1000 psi dan suhu T = 300 - 400 °C dalam fase gas.
Karena konversi etilen yang rendah, etilen daur ulang dikirim ke reaktor
(Will, 2020).
CH2=CH2 + H2SO4 → CH2CH2OSO3H
CH2CH2OSO3H + H2O → CH3CH2OH + H2SO4
CH2=CH2 + H2O → CH2CH2O
1.4.2 Biji Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman serealia dari
Afrika. Sorgum yang tumbuh di Indonesia memiliki nama ilmiah Sorghum bicolor L
Moench (Alamsyah 2007). Secara taksonomi sorgum merupakan spesies tumbuhan
dalam kingdom Plantae, famili Poales, ordo Poaceae, divisi Magnoliophyta, kelas
Liliopsida, genus Sorghum, spesies Sorghum bicolor L (Farabi., 2011).
Kulit biji dan daging biji sorgum ditutupi dengan lapisan testa dan aleuron.
Lapisan testa adalah bagian dari kulit biji dan lapisan aleuron adalah bagian dari
endosperm. Jaringan kulit biji diikat oleh daging biji melalui suatu lapisan tipis yang
disebut lapisan semen. Komposisi biji sorgum terdiri dari 8% kulit terluar, lembaga
10%, dan endosperm 82% (Aqil., 2013).
Protein biji sorgum dibagi menjadi empat fraksi berdasarkan kelarutannya:
albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam
alkohol), dan glutenin (larut dalam larutan basa) (FAO, 2010). Prolamin merupakan
fraksi terbesar dari protein (27 - 43,1%), diikuti oleh glutenin (26,1 - 39,6%),
kemudian globulin (12,9-16%), dan albumin (2-9%). Dijelaskan pula bahwa
konsentrasi fraksi albumin dan globulin tertinggi adalah lisin dan triptofan, sedangkan
prolamin mengandung prolin, glutamat, dan leusin. Lemak dalam biji sorgum kaya
akan asam lemak tak jenuh. Komposisi asam lemak pada sorgum adalah linoleat
(49%), oleat (31%), palmitat (14%), linolenat (2,7%), dan stearat (2,1%) (FAO,
2010).
1.4.3 Pengolahan Biji Sorgum Menjadi Etanol
1.4.3.1 Pembuatan Tepung Sorgum
Biji sorgum dibuat menjadi tepung sebelum difermentasi untuk menghasilkan
etanol. Tepung sorgum adalah produk yang olahan dari biji sorgum melalui proses
penggilingan industri yang menghilangkan sebagian besar kulit biji dan bagian dari
lembaga sementara endosperm digiling hingga derajat kehalusan yang diinginkan
(Codex, 1989).
Langkah-langkah dalam pembuatan tepung sorgum meliputi penggilingan
untuk menghilangkan lapisan 8 perikarp dan testa dari endosperm, pencucian untuk
menghilangkan pengotor yang ada dalam proses penggilingan, penirisan untuk
memisahkan air dan biji sorgum, pengeringan untuk mengurangi kadar air untuk
memudahkan pengolahan selanjutnya, penepungan untuk mengurangi ukuran biji,
dan pengayakan untuk menyamakan ukuran butiran tepung. (Dewi., 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi penggilingan adalah varietas,
jumlah bahan dalam proses penggilingan, waktu penggilingan, dan kadar air biji
selama proses penggilingan. Varietas sorgum memiliki bentuk dan ukuran biji yang
berbeda-beda. Jumlah biji sorgum yang optimal dalam proses penggilingan
tergantung pada jenis mesin penggilingan. Sedangkan lama waktu penggilingan
dipengaruhi oleh varietas sorgum dan jenis penggiling. Waktu penggilingan
mempengaruhi jumlah lampisan kulit luar biji yang dibuang, warna biji sosoh,
rendeman tersosoh, dan keutuhan biji. Kadar air biji selama penggilingan dipengaruhi
oleh cara pengeringan biji setelah panen dan kondisi penyimpanan biji sebelum
penggilingan. Kadar air biji sorgum yang disosoh mempengaruhi plastisitas dan daya
tahan biji sorgum yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air pada proses penggilingan
maka akan menghasilkan sorgum sosoh yang liat dan tidak mudah patah, selain itu
juga menyebabkan endosperm menjadi lunak dan lengket. (Aqil, 2013)
1.5. Uraian Proses
1.5.1 Penyiapan Bahan Baku
Bahan baku berupa biji sorgum sebanyak 21.252,762 kg/jam dimasukan ke
dalam hammer mill (H-01) untuk memperkecil ukuran biji sorgum sampai dengan
ukuran kurang dari 1 mm. Hal ini bertujuan untuk memperluas permukaan
penyerapan dari bahan. Lalu tepung biji sorgum dimasukkan ke dalam mixing tank
(MT-01). Air dar tangki penyimpanan (T-01) diumpankan ke dalam heater (HE -01)
sampai suhu 60 °C, yang selanjutnya bersama dengan asam posfat dari tangki
penyimpanan (T-02) diumpankan ke dalam mixing tank (MT-01). Hal ini bertujuan
guna mengatur kadar keasaman larutan pada slurry tepung sorgum, dan
mencampurkan atau menghomogenkan tepung sorgum dan air panas. Lalu slurry
tepung sorgum tersebut dimasukan ke dalam jet cooker (JC-01) guna mengubah
slurry tepung sorgum menjadi bubur sorgum dengan bantuan heater (H-02) sampai
suhu 111 °C. Kemudian masih didinginkan dengan cooler (CO-01) sampai suhu
menjadi 30 °C dan di masukkan ke dalam tangki penyimpanan (T-03)
1.5.2 Pembentukan Produk
Bubur sorgum selanjutnya dimasukkan kedalam reaktor Sakarifikasi dan
Fermentasi Simultan (SFS-01) pada kondiri operasi 30 °C dan pH 5 disertai dengan
penambahan Jamur Aspergillus niger yang berasal dari screw conveyer (SC-01) dan
Saccharomyces cerevisiae dari screw conveyer (SC-02). Selama 48 jam di dalam
reaktor SFS masukan oksigen yang berasal dari kompresor di sertai dengan
pengadukan. Hal itu dilakukan untuk memaksimalkan proses hidrolisis yaitu
perubahan mesh sorgum menjadi glukosa. Reaksi yang terjadi selam proses hidrolisis
sebagai berikut:
C6H10O5 + H2O → C6H12O6
Setelah 48 jam, pengadukan dan pemberian oksigen di hentikan agar proses
fermentasi yaoyu mengubah glukosa menjadi etanol dengan bantuan ragi
Saccharomyces cerevisiae dapat berlangsung optimal. Selama fermentasi suhu dijaga
30 °C. Reaksi fermentasi sebagai berikut:
(Saccharomyces cerevisiae)
C6H12O6 → 2(C2H5) + 2 CO6
Proses fermentasi berlangsung sampai jam ke 72, sehingga keseluruhan
proses di reaktor SFS adalah tiga hari.
1.5.3 Pemurnian Produk
Etanol yang terbentuk hasil dari fermentasi kemudian dipisahkan dari
impurities dan inert dengan menggunakan filter press (FP-01) dan centrifuge (CF-
01). Bioetanol dan air yang tertinggal kemudian diproses kolom distilasi (KD-01)
pada kondisi operasi 111 °C dengan bantuan heater (H-02) dan tekanan 1,6 atm.
Bioetanol diambil dari top (KD-01) pada suhu 82 °C dan 1 atm. Kemudian panasnya
dimanfaatkan pada reboiler (RB-101) sebagai media pemanas untuk menguapkan
cairan hasil bawah (MD-101) Selanjutnya gas campuran dikondensasi di kondensor
(CD-101) sebelum masuk ke menara distilasi DME (MD-101) hingga suhunya
menjadi 30 °C. Campuran produk yang telah dicairkan diumpankan ke (MD-101)
DME untuk memisahkan etanol sebagai produk utama dari air. Hasil atas menara
distilasi (MD-101) ini berupa etanol dengan kemurnian 95% kemudian disimpan di
tangki penyimpanan DME (T-05) pada suhu 30 °C dan tekanan 1 atm.

1.6 Spesifikasi Bahan dan Produk


1.6.1 Spesifikasi Produk
1. Etanol
Rumus Molekul : C2H5OH
Berat Molekul : 46,07 gr/mol
Wujud (25 oC) : cair tidak berwarna
Densitas : 0,789 gr/cm3
Cp (25 oC) : 0,69 kkal/gr °C
ΔHfo (25 oC) : -66,2 kkal/mol
ΔGfo (25 oC) : -41,63 kkal/mol
Titik Beku : -117,3 °C
Titik Didih : 78,3 °C
Titik Leleh : 112 °C
P Kritis : 63 atm
T Kritis : 243,3 °C
Sifat Lain : - Mudah menguap (volatile), dapat bercampur dengan
air dengan segala perbandingan
Spesifikasi etanol yang dijual di pasaran:
1) Etanol industri (96,5 vol %), digunakan sebagai bahan pelarut, bahan bakar dan
juga untuk membuat berbagai macam produk.
2) Denatured spirit (88 vol %), digunakan sebagai bahan pemanas dan untuk
penerangan.
3) Fine alcohol (96,0 - 96,5 vol %), digunakan oleh industri obat-obatan,
kosmetik, dan minuman beralkohol.
4) Absolute or anhydrous etanol (99,7 - 99,8 vol %), digunakan oleh industri obat-
obatan, industri makanan, dan juga untuk membuat aerosol dan digunakan
untuk menaikkan bilangan oktan pada bahan bakar.

2. Karbondioksida
Rumus molekul : CO2
Berat molekul : 44 gr/mol
Wujud (25 oC) : gas tidak berwarna
SPGR (-78 oC) : 1,56
Cp (25 oC) : 0,251 kal/gr °C
∆Hfo (25 oC) : - 94,052 kkal/mol
∆Gfo (25 oC) : -56,9 kkal/mol
Titik Didih : -78,3 °C
Titik leleh : -56,3 °C
P Kritis : 72,8 atm
T kritis : 304,20 °C.

1.6.2 Spesifikasi Bahan


1. Pati
Rumus molekul : (C6H10O5)n
Berat molekul : 162 gr/mol
Wujud (25 oC) : amorf
Densitas : 1500 gr/cm3
Cp (25 oC) : 0,234 kkal/gr °C
∆Hfo (25 oC) : - 229,24 kkal/mol
2. Selulosa
Rumus kimia : C6H6O5
Berat molekul : 162,14 g/mol
Wujud : Solid, amorphorus
Titik leleh : 146 °C
Densitas : 1,544 kg/m3
Kapasitas panas : 62,6658 Kal/mol. °C
Sifat lain :
 Tidak mudah larut dalam air
 Tidak larut dalam pelarut organik
 Tidak larut dalam larutan alkali encer
 Larut dalam asam mineral pekat
 Terhidrolisis relatif lebih cepat pada temperatur tinggi.
3. Glukosa
Rumus molekul : C6H6O6
Berat molekul : 180 gr/mol
Wujud (25 oC) : kristal
Densitas : 1,544 gr/cm3
Cp (25 oC) : 0,298 kal/gr°C
∆Hfo (25 oC) : -340,26 kkal
∆Gfo (25 oC) : -217,6 kkal
4. Air
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18 gr/mol
Wujud (25 oC) : cair tidak berwarna
Densitas : 1,000 gr/cm3
SPGR : 1,0
Cp (25 oC) : 1 kal/gr °C
∆Hfo (25 oC) : - 68,317 kkal/mol
∆Gfo (25 oC) : -56,9 kkal/mol
Titik Didih :100 °C
Titik leleh : 0 °C
P Kritis : 218,307 atm
T kritis : 374,30 oC
Viskositas : 0,95 Cp
Konduktifitas Termal : 0,3517 Btu/hr.ft oC.
5. Aspergillus niger
Bentuk : Padat (Powder)
pH Optimum : 6,5
Suhu Optimum : 30-35 °C
6. Ragi
Bentuk : Cair
Nama Dagang : Khamir (Yeast)
Suhu Optimum : 32 °C
pH Optimum :4–5
Sumber : Saccharomyces cerevisae
7. Asam Fospat
Rumus kimia : H3PO4
Berat molekul : 98 g/mol
Wujud (25oC) : liqiud
Titik didih : 158 °C
Titik leleh : 42,35 °C
Spesific gravity : 1,685
Tekanan uap : 3,95 x 10-4 atm
Vapor density : 3,4
Densitas : 1,88 g/cm³

Anda mungkin juga menyukai