Prospek perkembangan industri kelapa sawit saat ini sangat pesat dimana
terjadi peningkatan baik luas areal maupun produksi kelapa sawit seiring dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2018, luas areal perkebunan
kelapa sawit tercatat mencapai 14.326.350 hektar. Dari luasan tersebut, sebagaian
besar diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS) yaitu sebesar 55,09% atau
seluas 7.892.706 hektar. Perkebunan Rakyat (PR) menempati posisi kedua yaitu
seluas 5.818.888 hektar atau 40,62% sedangkan sebagian kecil diusahakan oleh
Perkebunan Besar Negara (PBN) yaitu 614.756 hektar atau 4,29%.
Selama rentang tahun 2014-2018, luas areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia terus mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan
sebesar 7,89% kecuali tahun 2016 luas areal kelapa sawit sedikit mengalami
penurunan sebesar 0,5% atau berkurang seluas 58,811 hektar. Dari tahun 2014
hingga tahun 2018, total luas areal kelapa sawit bertambah 3.571.549 hektar.
Tahun 2019 dan 2020 luas areal PR dan PBS kelapa sawit diperkirakan kembali
meningkat dari tahun 2018 dengan laju pertumbuhan sekitar 2,3%. Luas areal
perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan terus meningkat dikarenakan semakin
pesatnya perkembangan industri minyak kelapa sawit saat ini dan kebutuhan
minyak nabati dunia yang cukup besar dan semakin bertambah.
Gambar 1.1 Peta Sebaran Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2018
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia Direktorat Jenderal Perkebunan,2019)
Produksi CPO di Indonesia meningkat dari 31 juta ton pada tahun 2015
menjadi 42,9 juta ton pada Tahun 2018 atau meningkat sebesar 11,8 juta dalam
kurun waktu 4 tahun terakhir.
Sumber : Darnoko et. Al. (1993) cit Darmosarkoro dan Rahutomo (2007)
Abu tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah pertanian yang berasal
dari pembakaran tandan kosong dengan incenarator di pabrik pengolahan minyak
kelapa sawit. Abu tandan ini mengandung kalium yang tinggi (30-40% K2O)
bersifat higroskopis dan alkalis sebagai bahan pengapuran sehingga dapat
meningkatkan pH tanah (PT. Kresna Duta Agroindo, 2002). Soepardi (1983)
menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan unsur hara P, K, Ca, dan Mg
serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman. Abu TKS diketahui memiliki
kadar kalium yang tinggi dan hal ini merupakan sumber basa yang potensial. Abu
TKS sering digunakan sebagai pengganti pupuk (Saletes et al., 2004). Larutan
alkalis abu ini juga dimanfaatkan dalam proses pulping pada pembuatan kertas
(Darnoko et al, 1995), dan proses pembuatan sabun (Onyegbado et al, 2002). Abu
TKS mempunyai kadar kalium tinggi (45-50%) (Kittikun et al, 2000).
Dalam pemrosesan buah kelapa sawit menjadi ekstrak minyak sawit
menghasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat, cangkang dan
tandan buah kosong, dimana untuk setiap seratus ton tandan buah segar yang
diproses akan didapat lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat, dan 25 ton
tandan kosong. Untuk membantu pembuangan limbah dan pemulihan energi,
cangkang dan serat ini digunakan lagi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan
uap pada penggilingan minyak sawit. Setelah pembakaran dalam ketel uap, akan
dihasilkan 5% abu dengan ukuran butiran yang halus. Abu hasil pembakaran ini
biasanya dibuang dekat pabrik sebagai limbah padat dan tidak dimanfaatkan.
Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu cangkang kelapa sawit yang telah
dilakukan oleh Hutahaean (2007) dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Unsur Kimia Abu Cangkang Kelapa Sawit
Abu boiler kelapa sawit merupakan limbah dari sisa pembakaran cangkang
dan serabut buah kelapa sawit di dalam dapur atau tungku pembakaran (boiler)
dengn suhu 700 sampai 800 C (Elhusna dkk., 2013). Abu cangkang sawit tersebut
merupakan salah satu material sisa dari proses pengolahan yang selama ini
dianggap sebagai limbah. Limbah tersebut masih belum dimanfaatkan secara
maksimal penggunaannya (Rosalia dkk., 2013). Menurut Grailler (1985) abu
cangkang sawit hasil pembakaran banyak mengandung silika. Abu sawit juga
mengandung kation anorganik seperti kalium dan natrium.
Berikut merupakan beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan abu
dari biomassa, khususnya tandan kosong kelapa sawit dan cangkang sawit dalam
proses ekstraksi untuk menghasilkan K2CO3 sebagai katalis dalam proses
produksi biodiesel.
Imaduddin dkk. (2008) melakukan penelitian ekstraksi kalium dari abu
tandan kosong sawit sebagai katalis pada reaksi Transesterifikasi minyak sawit.
Abu TKS (dari pabrik minyak sawit-Jambi) dipanaskan menggunakan oven pada
temperatur 110 C selama 2 jam untuk menghilangkan air kemudian disaring
dengan ayakan 100 mesh. Selanjutnya abu diabukan kembali (reashing) sampai
temperatur 700 C untuk menghilangkan sisa-sisa karbon. Penentuan kadar kalium
dalam abu TKS dilakukan dengan spektrometer serapan atom serta untuk
mengetahui keberadaan ion karbonat dilakukan uji alkalinitas. Berdasarkan hasil
analisis AAS diperoleh bahwa kandungan kalium pada abu TKS yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebesar 25,92% (b/b). Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa peningkatan jumlah abu TKS yang digunakan dalam reaksi
transesterifikasi akan meningkatkan konversi biodiesel yang diperoleh. (abu TKS
2%, 4%, 6%, 8%, dan 10%).
Pambudi dkk. (2019) melakukan penelitian ekstraksi kalium karbonat dari
abu boiler pabrik kelapa sawit. Abu boiler pabrik kelapa sawit yang digunakan
berasal dari 85% serabut dan 15% cangkang kelapa sawit. Ekstraksi padat cair
menggunakan metode ekstraksi butt dengan waktu ekstraksi selama kurang lebih
4 jam atau hingga densitas ekstrak mencapai konstan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan diketahui bahwa kadar K2CO3 dalam abu pada perbandingan pelarut
1:5 lebih besar daripada varian perbandingan pelarut lainnya, yaitu sebanyak
15,55%. Hal ini dapat terjadi karena Kalium Karbonat tergolong ke dalam
golongan alkali yang mudah larut dalam air dengan kelarutan dalam air pada suhu
100 C adalah 154 mol/L (Etiegni dan Campbell, 1991; Fatra et al., 2016).
Sanjaya dkk. (2018) melakukan penelitian penentuan kadar kalium dalam
abu tandan kosong kelapa sawit daerah Tepian Langsat Kutai Timur dengan
metode ekstraksi. Abu sawit diekstrak dengan merebus abu sawit dengan air dan
disaring dengan penyaringan vakum. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis sampel
abu, yaitu abu halus dan abu kasar tandan kosong kelapa sawit. Berdasarkan hasil
percobaan diperoleh kadar K2CO3 paling tinggi dalam abu halus sebesar
24,499% dan pada abu kasar sebesar 17,8508%.
Husin dkk. (2011) melakukan penelitian penggunaan katalis abu sabut
kelapa, abu tandan sawit, dan K2CO3 untuk konversi minyak jarak menjadi
biodiesel. Katalis abu diperoleh dengan cara membakar sabut kelapa dan tandan
sawit kosong hingga menjadi abu. Kemudian dilakukan pemijaran dalam furnace
(T= 500,600, 800, dan 900 C selama 10 jam) untuk mengevaluasi pengaruh
temperatur pemijaran terhadap aktivitas katalis abu tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan katalis abu sabut kelapa tanpa pemijaran dan
dengan pemijaran pada 800 C memberikan perolehan biodiesel tertinggi (87,05
dan 87,97%) dengan kadar sabun rendah (0,23-0,26%).
Sharikh dkk. (2018) melakukan penelitian produksi biodiesel dengan
katalis K2CO3 dari kulit buah jeruk dan nanas. Kulit buah dikeringkan di dalam
oven pada suhu 60 C diikuti dengan grinding menggunakan Panasonic electrical
blender. Kulit buah tersebut lalu dikalsinasi pada suhu 700 sampai 1000 C selama
2 hingga 4 jam. Abu yang didapat dari kalsinasi lalu di-leaching dengan 200 ml
air distilat. Pada suhu 60 C, campuran abu-air secara kontinyu diaduk selama 25
menit dan disaring dengan kertas saring untuk mendapatkan K2CO3 terlarut.
Hasil ekstrak tersebut dikeringkan semalaman pada suhu 105 C untuk
menghasilkan kristal halus putih. Kandungan K2CO3 meningkat ketika suhu dan
waktu kalsinasi meningkat. Pada suhu kalsinasi terendah yaitu 700 C, kulit jeruk
menghasilkan 79,06% kandungan K2CO3 sementara pada kulit nanas adalah
47,77%. Pada suhu tertinggi kalsinasi yaitu 1000 C, kandungan K2CO3 pada kulit
jeruk adalah 89,35% dan pada kulit nanas adalah 69,16%. Biodiesel dengan yield
tertinggi yaitu 95,6% dilakukan pada suhu 60 C, katalis 2,75 wt%, dan rasio molar
metanol:minyak adalah 12:1.
Rachmat dkk. (2017) melakukan penelitian produksi biodiesel dari minyak
jelantah dengan menggunakan kulit buah kakao sebagai katalis dan karbon aktif.
Kulit buah kakao diketahui mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang
tinggi dan bisa didekomposisi menjadi karbon melalui proses kalsinasi. Terdapat
juga kandungan potassium yang dapat diekstraksi sebagai elemen K2CO3. Tujuan
memanfaatkan kulit buah kakao sebagai karbon aktif adalah untuk menurunkan
kadar FFA dalam minyak jelantah dan digunakan juga sebagai katalis dalam
proses biodiesel. Kulit buah kokoa dikalsinasi pada suhu 650 C selama 4 jam
hingga menjadi abu. Kemudian, ekstraksi dilakukan dengan mencampurkan 250
gr abu dengan 1 liter aquadest sambil diaduk selama 1 jam. Lalu dilanjutkan
dengan proses penyaringan menggunakan kertas saring no. 93 ukuran 10 um.
Larutan filtrat yang dihasilkan dipanaskan pada suhu 140 C selama 3 jam untuk
mendapakan kristal coklat K2CO3 (crude potash). Akhirnya, kristal coklat
K2CO3 dicuci dalam aquadest hingga warna berubah menjadi putih. Dari volume
awal minyak jelantah sebanyak 150 ml dapat diproduksi biodiesel dengan
menggunakan katalis K2CO3 dari kulit buah kakao sebanyak 110-128 ml.
Berdasarkan volume biodiesel yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa kinerja
K2CO3 dari kulit buah kakao lebih efektif karena dapat memproduksi metil ester
fatty acid (biodiesel) yang lebih tinggi dibandingkan dua katalis komersial
lainnya, yaitu K2CO3 dan KOH. Hal ini berkaitan dengan adanya unsur basa aktif
dari K2O dan Al-O-K. Keduanya adalah komponen aktif yang dapat memperluas
permukaan aktif untuk mendapatkan lebih banyak metil ester.
Liu dkk. (2011) melakukan penelitian menggunakan cinder (abu)
mendukung K2CO3 sebagai katalis untuk produksi biodiesel dari minyak Tung.
Katalis berbasis abu disiapkan dengan metode Impregnasi Basah. Abu dengan
diameter 2-5 mm didapat setelah drying dan sieving. Larutan impregnasi K2CO3
disiapkan dengan berbagai konsentrasi. Secara khusus 40 gr cinder kering dengan
diameter tertentu ditambahkan dan diimpregnasi ke dalam 100 mL larutan K2CO3
dengan konsentrasi tertentu selama 12 jam pada suhu ruang. Abu yang telah
menyerap K2CO3 disaring dan dikeringkan dalam oven pada 378 K selama 1 jam
dan dikalsinasi di dalam muffle furnace pada 773-873 K selama 5 jam. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa katalis cinder yang mendukung K2CO3
menghasilkan aktivitas yang baik dalam reaksi transesterifikasi dengan mencapai
konversi TG yang tinggi (>95%) pada reaksi selama 40 menit.