1. Gas alam di Indonesia (data jumlah hasil dan yang dibutuhkan gas alam di Indonesia)
2. Pemanfaatan gas alam dan energy terbarukan
3. Kasus gas alam di Indonesia
4. Dampak pengaruh penggunaan gas alam
Potensi Sumber Daya Energi Fosil Energi fosil yang terdiri atas batubara, minyak, dan gas
merupakan sumber daya energi yang utama di Indonesia. Sebagian besar dari sumber daya maupun
cadangan batubara yang dapat ditambang berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan, terutama
Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.
Gas alam sering juga disebut sebagai gas Bumi atau gas rawa, adalah bahan bakar
fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari metana CH4). Ia dapat ditemukan di ladang
minyak, ladang gas Bumi dan juga tambang batu bara. Ketika gas yang kaya dengan metana
diproduksi melalui pembusukan oleh bakteri anaerobik dari bahan-bahan organik selain dari fosil,
maka ia disebut biogas. Sumber biogas dapat ditemukan di rawa-rawa, tempat pembuangan
akhir sampah, serta penampungan kotoran manusia dan hewan.
Komponen utama dalam gas alam adalah metana (CH4) dengan kadar komponen sebesar
80-95%, yang merupakan molekul hidrikarbon rantai terpendek dan teringan. Gas alam juga
mengandung molekul-molekul hidrokarbon yang lebih berat seperti etana (C2H6) dengan kadar
komponen sebesar 06-15%, propana (C3H8) dan butana (C4H10) dengan kadar komponen sebesar
<6%, selain juga gas-gas yang mengandung sulfur (belerang). Gas alam juga merupakan sumber
utama untuk sumber gas helium. Pembakaran satu meter kubik gas alam komersial menghasilkan
38 MJ (10.6 kWh).
Komponen BM %
Metana (CH4) 16 81,65
Etana (C2H6) 30 8,763
Propana (C3H8) 44 5,097
Butana (C4H10) 58 3,79
n-Pentana (C5H12) 72 0,100
i-Pentana (C5H12) 72 0,057
Heksana (C5H12) 86 0,043
Hidrogen Sulfida (H2S) 34 0,3350
Karbon Dioksida (CO2) 44 0,00105
Hidrogen (H2) 2 0,0400
Indonesia memiki cadangan gas alam yang besar. Saat ini, negara ini memiliki cadangan
gas terbesar ketiga di wilayah Asia Pasifik (setelah Australia dan Republik Rakyat Tiongkok),
berkontribusi untuk 1,5% dari total cadangan gas dunia. Kebanyakan pusat-pusat produksi gas
Indonesia berlokasi di lepas pantai. Yang paling besar di antaranya adalah Arun, Aceh (Sumatra),
Bontang (Kalimantan Timur), Tangguh (Papua), dan Pulau Natuna.
Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an di mana produksi gas alam
dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatra Selatan dikirim melalui pipa gas
ke pabrik pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja di Palembang. Perkembangan pemanfaatan gas
alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 1974, di mana PERTAMINA mulai memasok gas
alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatra Selatan ke pabrik pupuk Pusri
II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien, pada tahun 1993
Pusri IA ditutup,dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun oleh putera-puteri bangsa Indonesia
sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan pabrik pupuk paling modern di kawasan Asia, karena
menggunakan teknologi tinggi. Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan, 1974, PERTAMINA
juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (off shore) laut Jawa
dan kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk dan industri menengah dan berat di kawasan Jawa Barat
dan Cilegon Banten. Pipa gas alam yang membentang dari kawasan Cirebon menuju Cilegon,
Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja
dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap.
Pemerintah Indonesia membatasi ekspor gas negara ini dalam rangka mengamankan suplai
domestik sambil mendorong penggunaan gas alam sebagai sumber bahan bakar untuk konsumsi
industri dan personal. Sebagian besar hasil produksi gas diekspor karena produksi gas negara ini
didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang hanya bersedia untuk berinvestasi bila
diizinkan mengekspor komoditi ini. Saat ini, perusahaan-perusahaan asing, seperti CNOOC
Limited, Total E&P Indonesia, Conoco Philips, BP Tangguh, dan Exxon Mobil Oil Indonesia,
berkontribusi untuk sekitar 87% dari produksi gas alam Indonesia. Sisa 13% diproduksi oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina. Sekitar setengah dari total hasil produksi gas
dijual secara domestik. Meskipun sejumlah perusahaan-perusahaan kecil aktif di sektor gas
Indonesia, sebagian besar dari produksi dan eksplorasi domestik berada di tangan enam perusahaan
yang telah disebutkan, yang hanya satu yang dimiliki Indonesia (Pertamina). Bila dikombinasikan,
CNOOC Ltd. dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Pertamina berkontribusi untuk lebih dari
setengah produksi gas Indonesia.
Produksi dan konsumsi gas Indonesia menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun.
Menurut data British Petroleum (BP), pada 1970 produksi gas domestik hanya 1,1 Million Tonnes
oil equivalent/MToe (juta ton setara minyak) sementara konsumsi 1,08 MToe. Sejak 1977,
produksi gas alam menunjukkan tren kenaikan seiring meningkatnya eksplorasi ladang migas.
Pada 2018, produksi gas alam nasional naik 0,4% menjadi 62,9 MToe atau setara 73,2 Billion
cubic metres (Bcm) dari tahun sebelumnya. Sementara konsumsi gas meningkat 1,1% menjadi
33,5 MToe atau setara 39 Bcm.
Konsumsi gas domestik pada tahun 2016 melonjak 54,7% menjadi 2.341 Billion British
Thermal Unit per Day (BBTUD) dari tahun sebelumnya hanya 1.513 BBTUD. Kebutuhan gas
domestik yang terus meningkat membuat pasokan gas domestik pada 2012 mencapai 3.631
BBTUD, lebih besar dari alokasi ekspor untuk pasar ekspor sebesar 3.550 BBTUD. Setelah itu
alokasi gas untuk domestik selalu lebih besar dibanding pasar ekspor. Pada 2018, pemenuhan gas
untuk domestik mencapai 3.995 BBTUD sementara pasar ekspor 2.669 BBTUD. Pada 2005,
alokasi gas untuk pasar domestik hanya mencapai 27% dari total produksi gas nasional. Namun,
pada 2018 telah mencapai sekitar 60% dari total produksi seiring meningkatnya kebutuhan energi
masyarakat, terutama dari gas alam.
Ada tiga skenario yang dikembangkan, yaitu: skenario BaU (mengasumsikan pertumbuhan
ekonomi dan penduduk tumbuh sesuai dengan perkembangan historis); skenario RUEN (sesuai
dengan asumsi RUEN); dan skenario Investasi Murah (menggunakan asumsi sama dengan
skenario RUEN, ditambah dengan adanya penurunan biaya investasi untuk PLTS dan PLTB). Pada
Skenario 1 perkiraan neraca gas bumi nasional pada 2018-2027 akan selalu mengalami surplus.
Dengan asumsi kebutuhan gas dihitung berdasarkan pemanfaatan gas bumi dan tidak
diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor jangka panjang. Sementara dengan skenario 2, Indonesia
mengalami surplus gas pada 2018-2024. Namun, mengalami defisit sejak 2025-2027 dampak
dari asumsi kebutuhan gas sektor listrik sesuai Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2018-
2027. Penyebab defisit lainnya adalah penambahan industri retail sebesar 5,5%. Kemudian
pelaksanaan proyek kilang, pembangunan pabrik baru petrokimia dan pupuk sesuai jadwal. Defisit
gas pada 2025 diperkirakan mencapai 206,5 mmscfd. Dengan menggunakan skenario 3, neraca
gas bumi Indonesia juga akan mengalami defisit sejak 2025-2027. Pada 2025, defisit neraca gas
sebesar 1.072 mmscfd dan akan meningkat menjadi 1.572,43 mmscfd pada 2026, tapi turun
menjadi 1.374,95 mmscfd pada 2027. Dalam skenario 2 dan 3 belum memperhitungkan produksi
gas dari Blok Masela dan East Natuna. Karena kedua blok tersebut baru diperkirakan baru
berproduksi pada 2027.
Studi willingness to pay masyarakat terhadap jaringan gas bumi diambil dari jurnal ilmiah
Lia Lestari dan Aliasuddin pada studi kasus di Kota Lhokwemawe. Lokasi Penelitian dilakukan di
empat kecamatan kota Lhokseumawe yaitu Kecamatan Blang Mangat, Kecamatan Muara dua,
Kecamatan Muara Satu, dan Kecamatan Banda Sakti. Agar penelitian ini lebih terarah, variabel
yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebaai berikut: (1) Willingness to Pay (WTP)
adalah keinginan membayar masyarakat untuk mendapatkan jaringan gas bumi di Kota
Lhokseumawe yang dinyatakan dalam rupiah; (2) Pendidikan adalah tingkat pendidikan tertinggi
yang dimiliki responden yang akan mempengaruhi pemahaman dan ketersedian untuk membayar
yang dinyatakan dalam tahun; (3) Pendapatan adalah jumlah penghasilan rata-rata perbulan dari
pekerjaan utama responden di lokasi penelitian yang dinyatakan dalam rupiah; (4) Jumlah anggota
keluarga adalah total dari anggota yang terdiri dari suami, istri, anak, orang tua, mertua dan lainnya
yang tinggal satu rumah dalam satuan jiwa. Berdasarkan hasil survei dari 100 orang responden,
total willingness to pay terhadap pembangunan jaringan gas bumi adalah sebesar Rp26.1408.880
dengan nilai rata-rata Rp2.614,088. Artinya, rata-rata kesediaan membayar responden terhadap
pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga adalah Rp 2.614/m 3. Faktor-faktor yang
signifikan mempengaruhi willingness to pay terhadap pembangunan jaringan gas bumi adalah
pendapatan dan pendidikan.
Dirjen Migas Kementrian ESDM. (2019). Laporan Tahunan Capaian Pembangunan 2018-
Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Energi Berkeadilan. Diperoleh melalui
https://migas.esdm.go.id/uploads/uploads/files/laporan-tahunan/Laptah-Migas-2018---
FINAL.pdf pada tanggal 02 Desember 2019.
Dirjen Migas Kementrian ESDM. (2017). Kajian Penyediaan dan Pemanfaatan Migas, Batubara,
EBT dan Listrik. Diperoleh melalui https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-
kajian-penyediaan-dan-pemanfaatan-energi-2017.pdf pada tanggal 02 Desember 2019.
Kusnandar, Viva Budy (4 September 2019). Berapa Produksi dan Konsumsi Gas Alam
Indonesia?. Diperoleh melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish
/2019/09/04/berapa-produksi-dan-konsumsi-gas-alam-indonesia pada tanggal 02
Desember 2019
Lestari, Lia dan Aliasuddin (2016). Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Pembangunan
Jaringan Gas Bumi Untuk Rumah Tangga di Kota Lhokseumawe. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
(JIM) Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsyiah. Vol.1 No.2 409-419.