Anda di halaman 1dari 7

Kelapa Sawit sebagai Komoditas Perkebunan Potensial di Indonesia yang Sukses Menduduki Peringkat Kedua Dunia

Oleh Desti Afeeka B. F0309010 (Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta)

LATAR BELAKANG
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas potensial yang dimiliki Indonesia. Dalam perkembangannya ekspor kelapa sawit Indonesia ternyata memiliki nilai yang sangat besar dan memjadi salah satu ekspor andalan Indonesia. Dari tahun ke tahun hasil kelapa sawit Indonesia semakin meningkat dan memiliki pangsa pasar yang sangat luas. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan akan kelapa sawit dunia juga mengalami peningkatan. Luas tanaman kelapa sawit telah meningkat dengan pesat. Sejak tahun 1967 luas kebun sawit telah meningkat 35 kali lipat menjadi sekitar 4,5 juta ha tahun 2009 (BPS). Perluasan tersebut banyak terjadi di enam propinsi di Indonesia yaitu Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Jambi, dan Kalimantan tengah. Sekitar 2 juta dari luas tanaman kelapa sawit tersebut dikuasai oleh petani dan sisanya dikelola oleh perusahaan induk. Pada masa sekarang kelapa sawit selain sebagai bahan dasar energi alternatif, juga dipergunakan sebagai pembuat CPO(Crude Palm Oil). Energi alternatif sudah mulai digalakan menyusul berkurangnya energi yang berasal dari sumber daya tidak dapat diperbarui atau biasa disebut sumber daya nonhayati. Adanya perubahan struktur konsumsi minyak sawit dunia, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi penawaran ekspor minyak sawit Indonesia. Oleh karena itu, struktur produksi dan penawaran minyak sawit Indonesia tidak saja akan tergantung pada faktor ekonomi internal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi eksternal. Dengan demikian maka penelitian kelapa sawit Indonesia perlu dilakukan, baik menyangkut produksi minyak sawit domestik maupun penawaran minyak sawit Indonesia di pasar internasional. (Jan Horas, h.1) Di dunia terdapat beberapa produsen kelapa sawit. Produsen tersebut ditempati oleh Negaranegara beriklim tropis dan memiliki hutan yang luas. Saat ini pengekspor kelapa sawit di dunia
1

adalah Indonesia dan Malaysia. Negara-negara penghasil minyak kelapa sawit dunia diduduki oleh Malaysia, menyusul Indonesia diperingkat dua, dan Nigeria diurutan ketiga (oil world, 2002).

PEMBAHASAN
Kedudukan ekspor kelapa sawit Indonesia dengan Malaysia Sebuah penelitian oleh Syamsulbahri tahun 1996 (dikutip dalam Zainal 2008 h.139) mengemukakan bahwa Indonesia sebagai Negara Produsen pertama yang mengekspor minyak sawit (CPO). Penelitian oleh Hardianto tahun 2003 (dikutip dalam Zainal 2008 h.139) juga mengemukakan bahwasannya walaupun kedudukannya telah digeser oleh Malaysia, tetapi Indonesia masih mampu menyuplai minyak sawit (CPO) sekitar 5 ton per tahun hingga saat ini karena dukungan yang optimal pengusaha kelapa sawit sejak tahun 1911 di Sumatra utara. Tingkat produktifitas kelapa sawit di Indonesia dikatakan kalah dibandingkan Malaysia. Hal tersebut lebih disebabkan oleh pemilihan bibit yang kurang baik, system pemupukan yang kurang optimal dan kondisi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah tua. Usia perkebunan kelapa sawit di Indonesia banyak yang sudah melewati usia produktif akibat dari keterlambatan dalam melakukan regenerasi pohon kelapa sawit, tidak terpenuhinya baku kultur bibit, serta pencurian buah. Perbandingan produksi pada tahun 2003 disini, Malaysia menempati peringkat teratas dengan volume produksi mencapai 13,35 juta ton. Sementara Indonesia masih 9,75 juta ton. Sampai saat ini volume produksi kelapa sawit Indonesia juga masih kalah dengan Malaysia. Walaupun peringkat ekspor kelapa sawit Indonesia saat ini digeser oleh Malaysia, Pemerintah sudah banyak mengupayakan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. 14 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta ha, yaitu dari 606.780 ha pada tahun 1986 menjadi hampir 3 juta ha pada tahun 1999 (Togu manurung 2001 h.1). Selain itu biaya produksi kelapa sawit Indonesia yang relatif lebih murah dibanding Malaysia merupakan suatu potensi tersendiri untuk menggeser kedudukan Malaysia. Menurut catatan GAPKI, pada 1998 biaya produksi CPO Indonesia berkisar antara US$ 135,5 hingga US$ 203 per ton, jauh dibawah Malaysia yang berkisar antara US$ 206,5 hingga US$ 243,5 per ton.

Angka pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia Produksi kelapa sawit sendiri, di Indonesia dihasilkan dari perkebunan milik Negara, perkebunan milik swasta, dan perkebunan rakyat. Ketiganya menyumbang peranan penting dalam produksi kelapa sawit (CPO). Dilihat dari tahun 1994-2000 terjadi peningkatan yaitu, pada tahun 1994 perkebunan rakyat sebesar 839.334 ton hingga tahun 2000 mencapai 1.597.539 ton, perkebunan Negara pada tahun 1994 sebesar 1.571.501 ton hingga pada tahun 2000 meningkat menjadi 1.923.916 ton, sedangkan pada perkebunan swasta dari tahun 1994 sebesar 1.597.227 menjadi 2.749.456 ton pada tahun 1994. Jika ditilik dari grafik Direktorat Jendral Perkebunan dibawah ini menunjukan komposisi kepemilikan areal perkebunan kelapa sawit dari Negara. Rakyat, dan juga swasta. Komposisi tersebut menunjukan sebagian besar areal perkebunan kelapa sawit di kuasai oleh pihak swasta. Pada tahun 1985 sampai tahun 1991 luas kepemilikan perkebunan rakyat masih sangat dibatasi. Diatas tahun 1991, kepemilikan perkebunan kelapa sawit oleh rakyat mulai meluas sebanding dengan kepemilikan Negara.

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia memicu jumlah produktifitas yang besar dari tahun ke tahun. Ditilik dari data yang didapatkan di BPS pertumbuhan kelapa sawit meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan jumlah produksi diperkirakan sebesar 20,6 juta ton minyak sawit, kemudian diikuti dengan Malaysia dengan jumlah produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton. Data tersebut dikutip dari Oil world, 2010 (dikutip dalam BAPPENAS 2010).
3

Data statistik Ditjen Perkebunan menunjukan produksi kelapa sawit pada tahun 2010 sebanyak 19,76 ton CPO. Nilai ekspor produk kelapa sawit seperti ditunjukan pada data Kementerian Pertanian mencapai US$ 11,61 milyar, naik 17.75% dari tahun sebelumnya. Meningkat.

Data Badan Pusat Statistik Berkembangnya sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR-Bun dan dalam perijinan pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. Pada tahun 1996, pemerintahan Suharto merencanakan untuk mengalahkan Malaysia sebagai eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua kali lipat, yaitu menjadi 5,5 juta hektar pada tahun 2000. Separuh dari luasan perkebunan kelapa sawit ini dialokasikan untuk perusahaan perkebunan swasta asing. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terutama akan dibangun di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian Jaya. Dengan pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit ini, pada awalnya (sebelum krisis ekonomi) diharapkan produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat menjadi 7,2 juta ton pada tahun 2000 dan 10,6 juta ton pada tahun 2005 seperti yang dikatakan Casson, 2000 (dikutip dalam Togu Manurung 2001 h.2) Sementara itu kenaikan konsumsi akan kelapa sawit juga disebabkan harga yang relatif rendah dibandingkan dengan kompetitornya seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kapas dan minyak lobak. Melihat keadaan
4

tersebut, diperkirakan permintaan perdagangan dunia terhadap kelapa sawit akan terus

meningkat. Selain disebabkan oleh hal tersebut, hal lain karena adanya kesepakatan putaran Uruguay (GATT). Pasar ekspor kelapa sawit Indonesia Atas berkembangnya Crude Palm Oil sebagai bahan dasar energi alternatif, menyebabkan permintaan yang tinggi akan kelapa sawit. Pertumbuhan akan CPO dari tahun ke tahun semakin meningkat sebesar 9,92% pada 5 tahun terakhir. Pengkonsumsi terbesar dalam pasar kelapa sawit ini adalah Negara-negara Uni Eropa. Negara Belanda merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia dengan prosentase 17%. Peningkatan GDP Belanda sebesar 10 % akan meningkatkan ekspor CPO Indonesia sebesar 0.46 % dalam jangka pendek dan 0.62 % dalam jangka panjang (Jon Horas). Selain Belanda, terdapat beberapa Negara lain tujuan ekspor CPO Indonesia yaitu India sebesar 28%, Cina 8%, Singapura 6%, dan Malaysia sebesar 6%. Harga CPO di pasar internasional sangat berfluktuasi. Pada 1999 misalnya, harga CPO melonjak hingga US$ 700 per ton, namun kembali merosot tajam pada 2001 menjadi US$ 276 per ton. Sementara pada 2004, harga CPO cenderung meningkat dengan harga yang cukup menggairahkan, berkisar pada US$ 400 hingga US$ 550 per ton. Ini disebabkan menurunnya produksi minyak kedelai, tingginya tingkat permintaan dari Cina dan India, serta produksi minyak sawit Malaysia yang cenderung flat (Martha & Ermina, h. 7). Tuntutan masyarakat/konsumen terhadap produk yang ramah lingkungan baik dalam proses produksi maupun pemanfaatannya semakin tinggi, juga menimbulkan persaingan produsen untuk memanfaatkan bahan baku yang juga ramah lingkungan, sehingga industri kelapa sawit menjadi pilihan. Perkembangan masa depan minyak kelapa sawit juga menjanjikan. Minyak sawit diperkirakan akan mampu memenuhi tuntutan pemenuhan kebutuhan global dan domestik, yaitu minyak sawit untuk pangan (food), makanan ternak (feed), bahan bakar nabati atau biodiesel (bio-fuel), dan serat (bio-fibre) atau 4-F. Tuntutan kebutuhan di atas muncul sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kenaikan konsumsi per kapita, pergeseran dari konsumsi minyak jenuh hewan, pergeseran penggunaan bahan bakar dari minyak fosil berlatar belakang tuntutan lingkungan, subtitusi pakan ternak dan serat (BAPPENAS 2010).

Potensi dan Prospek Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia Melihat sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia saat ini secara kuantitatif sangat jauh lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia. Ditilik dari kedua hal tersebut, Indonesia pada dasarnya berpeluang besar untuk menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Luas lahan untuk pengembangan kelapa sawit relative sangat luas yang mencapai 9 juta hektar lebih. Selain itu, sumber daya manusia yang dimiliki Indonesi sangat cukup untuk memenuhi tenaga kerja yang sangat besar bagi perkembangan perkebunan kelapa sawit. Dengan biaya tenaga kerja 50-60% lebih rendah dibanding Malaysia. Indonesia masih berpeluang besar apabila mampu meningkatkan produktifitas kelapa sawit dengan penggunaan bibit unggul yang dikelola dengan professional. Terdapat keunggulan lain yang ditilik dari sisi biaya produkis kelapa sawit. Dengan tingkat produktivitas yang tinggi, kelapa sawit mampu menekan biaya produksi yang relative rendah apabila dibandingkan dengan minyak nabati seperti minyak kedele dan biji matahari. Menurut Oil World (dikutip dalam Martha & Ermina, h.8) biaya produksi rata-rata minyak kedele mencapai US$ 300 per ton, sedangkan minyak sawit hanya mencapai US$ 160 per ton. Angka yang jauh berbeda jika ditilik dari hasil yang diperoleh dengan biaya tersebut, tingkat produksi pada biji kedele hanya mencapai 0.4 ton per hektar, sedangkan minyak kelapa sawit bisa mencapai 3.5 ton per hektar.

PENUTUP
Dengan kedudukan Indonesia dalam peringkat kedua setelah Malaysia dalam Negara pengekspor CPO terbesar di dunia, Indonesia dinilai sangat kaya akan sumber daya alam dan berpotensi untuk menjadi produsen utama di dunia. Permintaan pasar akan kelapa sawit merupakan lahan potensial tersendiri bagi Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit hendaknya dibarengi dengan industri hilir. Sehingga dengan kemajuan kelapa sawit akan diiringi kemajuan industri hilir yang akan menyokong angka ekspor Indonesia. Permasalahan disini adalah dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang tinggi tidak dibarengi dengan kualitas dan pengelolaan yang memadai. Perlunya kebijakan dari pemerintah yang mengatur pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia seperti perluasan lahan pada area lahan yang tidak produktif, bukan pada areal hutan produktif guna menghindari biaya lingkungan yang tinggi.
6

Pengembangan lembaga riset dan pengembangan di bidang kelapa sawit perlu digalakan untuk mendukung pengembangan produksi kelapa sawit maupun industri hilirnya. Mengingat adanya perubahan penggunaaan energi dunia yang kini membutuhkan CPO sebagai bahan dasar energi alternatif. Dalam hal ini Indonesia sangat diuntungkan dengan luas lahan dan sumber daya manusia yang mendukung.

Daftar Pustaka
Abidin, Z 2008. Analisis Ekspor Minyak Kelapa sawit (CPO) Indonesia, Jurnal Aplikasi Manajemen Vol. 6 No. 1, hh.139-144. bps.go.id, Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman, Indonesia (000 Ha), 1995 2009,<www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=54&notab=2> Haryana, A 2010, Naskah Kebijakan dan Strategi Dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia, Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan, (Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup), Direktorat Pangan dan Pertanian, BAPPENAS, Jakarta. Manurung, E.G.T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Yayasan WWF Indonesia. 2001. Jakarta Purba, V, Model Ekonometrika Kelapa Sawit Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan Eksternal, jurnal-kopertis4, dilihat 26 Oktober 2011, http://jurnal-kopertis4.tripod.com/1-02/html. Suryani, A 2005, Kontribusi SRDC (surfactant research And Development Center) LPPM-IPB untuk Pengembangan Industri Olekimia Di Indonesia dokumen dipresentasikan di Nasional Pemanfaatan Olekimia Berbasis Minyak Sawit pada Industri, Bogor, November Wibowo, A, Konversi Hutan Menjadi Tanaman Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut: Implikasi Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 No. 4 Edisi Khusus, Hh. 251 260. Seminar

Anda mungkin juga menyukai