Anda di halaman 1dari 50

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, BUDAYA ORGANISASI,

DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar SDM

Dosen Pengampu: Khairul Ikhwan, S.Pt., M.Si

Dian Marlina Verawati, S.E., M.M

Oleh:

Hawa Eriani (1710103003)

MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI TIDAR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini perkembangan bisnis yang semakin pesat dan tingkat persaingan
yang semakin tajam membuat perusahaan harus meningkatkan dan
mengembangkan kinerjanya di semua bidang. Setiap perusahaan memiliki cara
agar perusahaannya dapat bertahan ditengah-tengah persaingan yang ketat, salah
satunya bidang yang harus ditingkatkan ialah sumber daya manusia. Ini dilakukan
agar perusahaan tetap bertahan dalam persaingan global. Karyawan merupakan
aset perusahaan yang diharapkan dapat bekerja secara optimal guna menunjang
kesuksesan perusahaan.

Suatu organisasi atau lembaga harus mampu mengelola sumber daya yang
dimilikinya, termasuk sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia
merupakan aset utama yang besar pengaruhnya terhadap kemajuan organisasi.
Seperti yang diketahui selama ini, organisasi lebih banyak menghadapi masalah
masalah yang berhubungan dengan sumber daya manusia apabila apabila
dibandingkan dengan sumber daya ekonomi lainnya, karena dalam mengelola
sumber daya manusia tidak bisa disamakan dengan mesin, material, dan dana
yang sifatnya hanya masalah teknis saja. Hal ini menjadi suatu masalah yang
cukup rumit, sehingga organisasi mengalami kesulitan dalam menetapkan
kebijakan terutama yang berhubungan dengan sumber daya manusia.

Perusahaan mengharapkan kinerja individu yang semaksimal mungkin untuk


dapat mencapai keunggulan perusahaan, karena pada dasarnya kinerja individual
atau kelompok kerja adalah yang akhirnya mempengaruhi kemajuan perusahaan
secara keseluruhan. Kriteria kinerja yang baik menuntut karyawan untuk
berperilaku sesuai harapan organisasi. Perilaku ini tidak hanya mencakup standar
deskripsi pekerjaan saja namun juga memberikan perusahaan lebih dari pada yang
diharapkan. Menurut Sloat (1999) dalam Novliadi (2006:42), perilaku ini
cenderung melihat karyawan sebagai mahluk sosial yang memiliki kemampuan
untuk berempati kepada orang lain dan lingkungannya serta menyelaraskan nilai
nilai yang dimiliki dengan nilai nilai lingkungan sekitarnya.

Secara umum suatu organisasi atau perusahaan selalu menginginkan setiap


karyawannya untuk memiliki kinerja yang baik. Akan tetapi dalam mencapai
tujuan ini, ada beberapa faktor yang memengaruhi pencapaian kinerja. Menurut
Simamora (1995) yang dikutip oleh Mangkunegara (2010:14), kinerja dipengaruhi
oleh tiga faktor , yaitu faktor individual, psikologis, dan organisasi. Faktor
individual yang terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan
demografi. Faktor psikologis yang terdiri dari persepsi, attitude, personality,
pembelajaran, motivasi. Faktor organisasi yang terdiri dari sumber daya,
kepemimpinan, penghargaan, struktur, desain pekerjaan. Faktor-faktor tersebut
berpengaruh terhadap karyawan dalam melaksanakan tugas tugas yang diberikan
kepadanya, sehingga hasil akhirnya adalah kinerja karyawan itu sendiri, apakah
akan semakin baik atau semakin buruk.

Sumber daya manusia yang profesional juga sangat diperlukan dalam suatu
perusahaan. Karena SDM yang pegang kendali, Visi Misi suatu perusahaan akan
dapat tercapai secara efektif, efisien dan produktif. Perusahaan tidak cukup hanya
dengan mempunyai modal besar untuk mencapai tujuannya tetapi harus dibantu
oleh karyawannya. Oleh karena itu, antara perusahaan dengan karyawan harus
mempunyai kerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang terwujud
dalam produktivitas perusahaan dan perusahaan harus mampu untuk menjaga,
memelihara dan meningkatkan kualitas sumber daya yang dimiliki.

Perusahaan yang mampu bersaing dan mampu meningkatkan kinerjanya


ditentukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kualitas kinerja yang
profesional, mempunyai pengetahuan, kemampuan(skill), kecerdasan emosional,
budaya organisasi serta kepuasan kerja yang tinggi dengan memiliki sumber daya
yang profesional, berkualitas dan unggul akan lebih mudah perusahaan untuk
bersaing. Kualitas sumber daya yang profesional erat hubungannya dengan kinerja
karyawan dalam sebuah perusahaan. Kinerja disini berarti implementasi atau
penerapan kemampuan seorang dalam bidang kerja yang dipercayakan kepadanya.
Oleh karena itu di era globalisasi ini perusahaan harus memiliki tenaga kerja yang
memiliki kualitas kerja yang baik sehingga kinerja dalam perusahaan pun akan
meningkat.

Kinerja karyawan tidak hanya dilihat dari kemampuan kerja yang sempurna,
tetapi juga kemampuan menguasai dan mengelola diri sendiri serta kemampuan
dalam membina hubungan dengan orang lain (Martin, 2000, p.22). Kemampuan
tersebut oleh Daniel Goleman disebut dengan kecerdasan emosional. Orang mulai
sadar bahwa saat ini bahwa tidak hanya keunggulan intelektual saja yang
diperlukan untuk mencapai keberhasilan tetapi diperlukan sejenis ketrampilan lain
untuk menjadi yang terdepan.

Goleman (2001, p.39) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah


kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta
menggunakan perasaan perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan,
sehingga kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk sukses dalam bekerja dan
menghasilkan kinerja yang menonjol dalam pekerjaan. Hal ini senada dengan
yang dikemukakan oleh Patton (1998, p.2) bahwa orang yang memiliki
kecerdasan emosi akan mampu menghadapi tantangan dan menjadikan seorang
manusia yang penuh tanggungjawab, produktif, dan optimis dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah, dimana hal hal tersebut sangat dibutuhkan didalam
lingkungan kerja.

Kecerdasan emosi saat ini merupakan hal yang banyak dibicarakan dan
diperdebatkan. Banyak penelitian yang membahas dan menjawab persoalan
mengenai kecerdasan emosi tersebut didalam lingkungan organisasi. Chermiss
(1998, p.1) pernah menulis dalam artikelnya berdasarkan beberapa penelitian
sebelumnya bahwa ada kemungkinan untuk dapat memperbaiki kemampuan
emosional dan sosial seorang karyawan. Selain itu dalam penelitian tersebut juga
ditemukan beberapa prinsip dalam mengaplikasikan EQ pada organisasi secara
luas.

Dari hasil analisis Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual


Pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi di Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan
bahwa tidak terdapat pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap kinerja.
Artinya, berapapun nilai kecerdasan emosional tidak akan berpengaruh pada
tinggi rendahnya kinerja. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian-
penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Sy, et al. (2006), Tischler, et
al. (2002), Goleman (1996), Wong and Law (2002), Behbahani (2011) dan Shah
and Ellahi (2012). Penelitian yang dilakukan oleh para ahli tersebut menunjukkan
bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja.

Melihat penjelasan Aghasi, et al. (2011) yang menyatakan bahwa tidak


signifikannya pengaruh kecerdasan emosional dengan variabel lainnya salah
satunya disebabkan oleh struktur organisasi yang diteliti merupakan organisasi
publik, dimana pada organisasi publik pengambilan keputusan biasanya top-down
(dari atas ke bawah). Jika dikaitkan dengan indikator kinerja karyawan yang salah
satunya adalah prakarsa dan kepemimpinan, dimana kinerja yang baik itu terlihat
dari kemampuan mengambil keputusan bisa menjadi penyebab tidak
berpengaruhnya kecerdasan emosional terhadap kinerja.

Terdapat penelitian, menurut Ari Soeti Yani dan Ayu Istiqomah dalam
penelitian yang berjudul pengaruh kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional terhadap kinerja karyawan dengan profesionalisme sebagai variabel
intervening menunjukan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh negatif tidak
signifikan terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Goleman
(1996), Wong and Law (2002), Behbahani (2011) dan Shah and Ellahi (2012).
Penelitian yang dilakukan oleh para ahli tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.

Selain kecerdasan emosional, pada dasarnya tinggi atau rendahnya tingkat


kinerja karyawan juga dipengaruhi oleh budaya organisasi. Budaya organisasi
juga memiliki peran yang cukup penting dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Budaya organisasi berfungsi sebagai pengikat seluruh komponen organisasi,
menentukan identitas, suntikan energi, motivator, dan dapat dijadikan pedoman
bagi anggota organisasi. Budaya organisasi merupakan alat perekat yang mampu
membuat kelompok organisasi menjadi lebih dekat, yang dapat menjadi sebuah
energi positif yang mampu membawa organisasi ke arah yang lebih baik.
Kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki hubungan yang sangat erat,
karena setiap pimpinan memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda yang
pada akhirnya dari situlah akan terbentuk budaya organisasi.

Budaya organisasi sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-


keyakinan (believes) atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan
diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan
pemecahan masalah-masalah organisasi. (Sutrisno, 2010). Budaya organisasi
merupakan cara hidup dan gaya hidup dari suatu organisasi yang merupakan
pencerminan dari nilai-nilai atau kepercayaan yang selama ini dianut oleh anggota
organisasi. (Ermawan, 2011). Budaya organisasi adalah Pola asumsi dasar
diciptakan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan
diri dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi internal yang telah bekerja
cukup baik serta dianggap berharga, dan karena itu diajarkan pada anggota baru
sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir dan merasakan hubungan
dengan masalah tersebut. (Fred Luthans, 2006).

Unsur-unsur ini menjadi dasar untuk mengawasi perilaku pegawai, cara


mereka berfikir, kerja sama dan berinteraksi dengan lingkungannya. Jika budaya
organisasi baik, maka akan dapat meningkatkan kinerja pegawai dan akan dapat
menyumbangkan keberhasilan kepada perusahaan. Masalah-masalah yang
berkaitan dengan budaya organisasi perusahaan diantaranya kurang teladan dari
pimpinan dalam hal datang dan pulang kerja tepat pada waktunya sehingga hal
tersebut membudaya atau menjadi tradisi di kalangan pegawai sehingga banyak
pegawai yang datang dan pulang juga tidak tepat waktunya.

Terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian Maabuat (2016) yang


menyatakan variabel budaya organisasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap kinerja pegawai. Penelitian Lina (2014) juga menyatakan yang
menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai arah negatif, berpengaruh
secara tidak signifikan terhadap kinerja pegawai. Sementara yang tidak sesuai
dengan penelitian ini adalah penelitian Wahyuningsih (2015) yang menyatakan
bahwa budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
karyawan. Penelitian Sumual (2015), menyatakan budaya organisasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian Hakim dan Hadipopo (2015)
menyatakan budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja SDM pada SD
Negeri di Wawotobi. Dan penelitian Musriha (2013), juga menyatakan bahwa
budaya organisasi berpengaruh secara parsial terhadap kinerja pegawai.

Selain factor-faktor tersebut, ada juga faktor kepuasan kerja. Dalam hal
kepuasan kerja, Gilmer (1966) dalam As’ad (2003) menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah kesempatan untuk maju, keamanan
kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, faktor intrinsik dan pekerjaan, kondisi
kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, dan fasilitas. Sementara itu,
menurut Ranupandojo dan Husnan (2002) mengemukakan beberapa faktor
mengenai kebutuhan dan keingianan karyawan, yakni gaji yang baik, pekerjaan
yang aman, rekan sekerja yang kompak, penghargaan terhadap pekerjaan,
pekerjaan yang berarti, kesempatan untuk maju, pimpinan yang adil dan
bijaksana, pengarahan dan perintah yang wajar, dan organisasi atau tempat kerja
yang dihargai oleh masyarakat. Kepuasan kerja atau ketidakpuasan karyawan
tergantung pada perbedaan antara apa yang diharapkan. Sebaliknya, apabila yang
didapat karyawan lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan
karyawan tidak puas. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan atau
ketidakpuasan kerja yaitu: jenis pekerjaan, rekan kerja, tunjangan, perilaku yang
adil, keamanan kerja, peluang menyumbang gagasan, gaji/upah, pengakuan
kinerja, dan kesempatan bertumbuh.

Menurut Robbins kepuasan kerja merupakan sikap secara umum yang lebih
diwarnai oleh perasaan terhadap situasi dan lingkungan kerja serta merupakan
pencerminan dari kepuasan seorang karyawan terhadap kondisi yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan. Handoko (1996) berpendapat bahwa kepuasan
kerja mempunyai hubungan dengan umur. Ia menyebutkan bahwa semakin tua
umur karyawan, mereka cenderung lebih terpuaskan dengan pekerjaan-pekerjaan
mereka. Pengharapan-pengharapan yang lebih rendah dan penyesuaian yang lebih
baik terhadap situasi kerja karena mereka lebih berpengalaman, menjadi alasan
yang melatarbelakangi kepuasan kerja mereka.

Kepuasan dan ketidakpuasan yang dirasakan oleh karyawan dapat dilihat dari
banyaknya jumlah absensi dan jumlah karyawan yang keluar dan masuk yang
terjadi di perusahaan tersebut. Semakin tinggi jumlah karyawan yang keluar
diperusahaan, maka tingkat kepuasan karyawan dalam bekerja rendah, karena
karyawan merasa tidak cocok bekerja di perusahaan. Tingginya jumlah karyawan
yang keluar yang diperusahaan juga dapat disebabkan oleh kebijakan perusahaan
untuk mengurangi jumlah karyawan sehingga dapat terjadi efisiensi dalam proses
produksi.

Kinerja dipengaruhi oleh kepuasan kerja yang terdiri faktor pekerjaan itu
sendiri, karakteristik pekerjaan dan kompleksitas pekerjaan menghubungkan
dengan kepuasan. Menurut penelitian Erline Kristine, menyatakan bahwa
kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai di
PT. Mitra Karya Jaya Sentosa. Sedangkan menurut penelitian I Wayan Juniantara,
dkk menyatakan bahwa kepuasan kerja yang diukur melalui empat indikator yaitu
kepuasan intrinsik, kepuasan ekstrinsik, pengakuan dan otoritas/utilitas sosial
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hal ini mengandung arti
bahwa semakin meningkat kepusan kerja seorang karyawan maka semakin
meningkat pula kinerja seorang karyawan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya : Martin dan
Proenca (2012), Almigo (2004), Engko(2006) Anthony et al. (2006), Grant (2001)
dalam Martin (2012) Bull (2005), Tadisina et al. ( 2001), Tang et al. (2014),
Pushpakumari (2008) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif
dan signifikant terhadap kinerja karyawan.

1.2 Rumusan Maasalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan pada


kinerja karyawan?

2. Apakah budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja


karyawan?

3. Apakah kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja


karyawan?

1.3 Pertanyaan Penelitian


Penelitian akan menjawab pertanyaan:

1. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan pada


kinerja karyawan?

2. Apakah budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja


karyawan?

3. Apakah kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja


karyawan?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja karyawan

2. Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi pada kinerja karyawan

3. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja pada kinerja karyawan

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. yaitu:
1. Bagi perusahaan

Dapat menjadi bahan informasi atau referensi mengenai kinerja


karyawan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, budaya
organisasi, dan kepuasan kerja pada kinerja karyawan demi perbaikan dan
perkembangan perusahaan yang diteliti.

2. Bagi karyawan

Dapat menjadi masukan untuk meningkatkan kinerja karyawan


melalui kecerdasan emosional, budaya organisasi, kepuasan kerja. Dan
diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta wawasan yang lebih
banyak kepada karyawan dalam bekerja diperusahaan agar kinerja
karyawan semakin baik.

3. Bagi akademisi

Dapat menjadi bahan referensi dan pengaplikasian ilmu


pengetahuan di bidang manajemen, khsusunya yang berhubungan dengan
manajemen sumber daya manusia.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kinerja Karyawan


Kinerja apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda, maka
pengertian kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan
secara ilegal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral
dan etika (Rivai & Basri, 2004). Dilihat dari sudut pandang ahli yang lain,
kinerja adalah banyaknya upaya yang dikeluarkan individu pada
pekerjaannya(Robbins, 2001).

Kinerja karyawan sangatlah perlu, sebab dengan kinerja ini akan diketahui
seberapa jauh kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya. Untuk itu duperlukan penentuan kriteria yang jelas
dan terukur serta ditetapkan secara bersama sama yang dijadikan sebagai
acuan. Menurut Simamora (1995), kinerja karyawan adalah tingkat terhadap
mana para karyawan mencapai persyaratan persyaratan pekerjaan. Jadi,
kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan
kegiatan atau menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan
hasil seperti yang diharapkan. Menurut As'ad (1998) kinerja adalah hasil yang
dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang
bersangkutan. Menurut withmore (1997) dalam Mahesa (2010)
mengemukakan kinerja merupakan ekspresi potensi seseorang dalam
memenuhi tanggung jawabnya dengan menetapkan standar tertentu. Kinerja
merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja.
Menurut Harsuko (2011), kinerja adalah sejauh mana seseorang telah
memainkan baginya dalam melaksanakan strategi organisasi, baik dalam
mencapai sasaran khusus yang berhubungan dengan peran perorangan dan
atau dengan memperlihatkan kompetensi yang dinyatakan relevan bagi
organisasi. Kinerja adalah suatu konsep yang multi dimensional mencakup
tiga aspek yaitu sikap (attitude), kemampuan (ability), dan prestasi
(accomplishment)

Berdasarkan uraian tersebut diatas dengan pencatatan hasil kerja (proses)


yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan
dapat dievaluasi tingkat kinerja karyawannya, maka kinerja karyawan harus
dapat ditentukan dengan pencapaian target selama periode waktu yang dicapai
organisasi. Mutu kerja karyawan secara langsung mempengaruhi kinerja
perusahaan. Guna mendapatkan kontribusi karyawan yang optimal,
manajemen harus memahami secara mendalam strategi untuk mengelola,
mengukur dan meningkatkan kinerja, yang dimulai terlebih dahulu dengan
menentukan tolak ukur kinerja. Ada beberapa syarat tolak ukur kinerja yang
baik, yaitu:

1. Mampu diukur dengan cara yang dapat dipercaya

2. Mampu membedakan inidvidu-individu sesuai dengan kinerja mereka

3. Sensitif terhadap masukan dan tindakan tindakan dari pemegang jabatan

4. Dapat diterima oleh individu yang mengetahui kinerjanya sedang dinilai

Kriteria-kriteria Kinerja

Kriteria kinerja adalah dimensi-dimensi pengevaluasian kinerja seseorang


pemegang jabatan, suatu tim, suatu unit kerja. Secara bersama sama dimensi
itu merupakan harapan kinerja yang berusaha dipenuhi individu dan tim guna
mencapai strategi organisasi. Menurut Schuler dan Jackson (2004) dalam
Harsuko (2011) bahwa ada 3 jenis dasar kriteria kinerja yaitu:

1. Kriteria berdasarkan sifat memusatkan diri pada karakteristik pribadi


seseorang karyawan. Loyalitas, keandalan, kemampuan berkomunikasi,
dan keterampilan memimpin merupakan sifat-sifat yang sering dinilai
selama proses penilaian. Jenis kriteria ini memusatkan diri pada
bagaimana seseorang, bukan apa yang dicapai atau tidak dicapai seseorang
dalam pekerjaanya.

2. Kriteria berdasarkan perilaku terfokus pada bgaimana pekerjaan


dilaksanakan. Kriteria semacam ini penting sekali bagi pekerjaan yang
membutuhkan hubungan antar personal. Sebagai contoh apakah SDM-nya
ramah atau menyenangkan.

3. Kriteria berdasarkan hasil, kriteria ini semakin populer dengan makin


ditekanya produktivitas dan daya saing internasional. Kreteria ini berfokus
pada apa yang telah dicapai atau dihasilkan ketimbang bagaimana sesuatu
dicapai atau dihasilkan.

Menurut Bernandin & Russell (2001 dalam Riani 2011) kriteria yang
digunakan untuk menilai kinerja karyawan adalah sebagai berikut:

1. Quantity of Work (kuantitas kerja), jumlah kerja yang dilakukan dalam


suatu periode yang ditentukan.

2. Quality of Work (kualitas kerja), kualitas kerja yang dicapai berdasarkan


syarat-syarat kesesuaian dan ditentukan.

3. Job Knowledge (pengetahuan pekerjaan), luasnya pengetahuan mengenai


pekerjaan dan keterampilannya.

4. Creativeness (kreativitas), keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan


dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul.

5. Cooperation (kerja sama), kesedian untuk bekerjasama dengan orang lain


atau sesama anggota organisasi.

6. Dependability (ketergantungan), kesadaran untuk mendapatkan


kepercayaan dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7. Initiative (inisiatif), semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan
dalam memperbesar tanggung jawabnya.

8. Personal Qualities (kualitas personal), menyangkut kepribadian,


kepemimpinan, keramah-tamahan dan integritas pribadi.

Faktor- Faktor yang Memengaruhi Kinerja

Menurut Steers (dalam Suharto & Cahyono 2005) faktor-faktor yang


mempengaruhi kinerja adalah:

1. Kemampuan, kepribadian dan minat kerja.

2. Kejelasan dan penerimaan atau kejelasan peran seseorang pekerja yang


merupakan taraf pengertian dan penerimaan seseprang atas tugas yang
diberikan kepadanya.

3. Tingkat motivasi pekerja yaitu daya energi yang mendorong, mengarahkan


dan mempertahankan perilaku.

Menurut McCormick dan Tiffin (dalam Suharto & Chyono, 2005) menjelakan
bahwa terdapat dua variabel yang mempengaruhi kinerja yaitu:

1. Variabel individu

Variabel inidividu terdiri dari pengalaman, pendidikan, jenisb kelamin, umur,


motivasi, keadaan fisik, kepribadian.

2. Variabel situasional

Variabel situasional menyangkut dua faktor yaitu:

1) Faktor sosial dan organisasi, meliputi: kebijakan, jenis latihan dan


pengalaman, sistem upah serta lingkungan sosial.

2) Faktor fisik dan pekerjaan, meliputi: metode kerja, pengaturan dan


kondisi, perlengkapan kerja, pengaturan ruang kerja, kebisingan,
penyinaran dan temperatur.
Penilaian Kinerja

Pada prinsipnya penilaian kinerja adalah merupakan cara


pengukuran kontribusi-kontribusi dari individu dalam instansi yang
dilakukan terhadap organisasi. Nilai penting dari penilaian kinerja adalah
menyangkut penentuan tingkat kontribusi individu atau kinerja yang
diekspresikan dalam penyelesaian tugas-tugas yang menjadi tanggung
jawabnya. Penilaian kinerja intinya adalah untuk mengetauhi seberapa
produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih
efektif pada masa yang akan datang, sehingga karyawan, organisasi dan
masyarakat memperoleh manfaat.

Tujuan dan pentingnya penilaian kinerja berdasarkan sebuah studi


yang dilakukan akhir-akhir ini mengidentifikasikan dua puluh macam
tujuan informasi kinerja yang berbeda-beda, yang dikelompokkan dalam 4
kategori yaitu:(1) Evaluasi yang menekankan perbandingan antar orang,(2)
Pengembangan yang menekankan perubahan-perubahan dalam diri
seseorang dengan berjalannya waktu,(3) Pemeliharan sistem, dan(4)
Dokumentasi keputusan-keputusan sumber daya manusia.

Menurut George dan Jones (2002 dalam Harsuko 2011) bahwa


kinerja dapat dinilai dari kuantitas, kuantitas kerja yang dihasilkan dari
sumber daya manusia dan level dari pelayanan pelanggan. Kuantitas kerja
yang dimaksud adalah jumlah pekerjaan yang terselesaikan, sedangkan
kualitas kerja yang dimaksud adalah mutu dari pekerjaan. Robbins (1994
dalam Harsuko 2011) menyatakan bahwa ada tiga kriteria dalam
melakukan penilaian kinerja individu yaitu:(1) Tugas individu, (2)
Perilaku individu, dan (3) Ciri individu.

Tujuan Penilaian Kinerja

Tujuan penilaian kinerja menurut Riani (2013) terdapat pendekatan


ganda terhadap tujuan penilaian prestasi kerja sebagai berikut:
1. Tujuan Evaluasi

Hasil-hasil penilaian prestasi kerja digunakan sebagai dasar bagi evaluasi


reguler terhadap prestasi anggota-anggota organisasi, yang meliputi:

a) Telaah Gaji

Keputusan-keputusan kompensasi yang mencakup kenaikan merit-pay,


bonus dan kenaikan gaji lainnya merupakan salah satu tujuan utama
penilaian prestasi kerja.

b) Kesempatan Promosi

Keputusan-keputusan penyusunan pegawai (staffing) yang berkenaan


dengan promosi, demosi, transfer dan pemberhentian karyawan
merupakan tujuan kedua dari penilaian prestasi kerja.

2. Tujuan Pengembangan

a) Informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian prestasi kerja dapat


digunakan untuk mengembangkan pribadi anggota-anggota organisasi

b) Mengukuhkan dan Menopang Prestasi Kerja

Umpan balik prestasi kerja (performance feedback) merupakan kebutuhan


pengembangan yang utama karena hampir semua karyawan ingin
mengetahui hasil penilaian yang dilakukan.

c) Meningkatkan Prestasi Kerja.

Tujuan penilaian prestasi kerja juga untuk memberikan pedoman kepada


karyawan bagi peningkatan prestasi kerja di masa yang akan datang.

d) Menentukan Tujuan-Tujuan Progresi Karir.

Penilaian prestasi kerja juga akan memberikan informasi kepada


karyawan yang dapat digunakan sebagai dasar pembahasan tujuan dan
rencana karir jangka panjang.
e) Menentukan Kebutuhan-Kebutuhan Pelatihan.

Penilaian prestasi kerja individu dapat memaparkan kumpulan data untuk


digunakan sebagai sumber analisis dan identifikasi kebutuhan pelatihan.

Teori Kinerja

Toeri tentang kinerja (job performance) dalam hal ini adalah teori
psikologi tentang proses tingkah laku kerja seseorang sehingga mengahasilkan
sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya. As’ad (2005 dalam Harsuko
2011) mengatakan bahwa perbedaan kinerja antara orang yang satu denga
lainnya dalam situasi kerja adalah karena perbedaan karakteristik dari individu.
Disamping itu, orang yang sama dapat menghasilkan kinerja yang berbeda di
dalam situasi yang berbeda pula. Semuanya ini menerangkan bahwa kinerja itu
pada garis besarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor-faktor individu dan
faktor-faktor situasi. Namun pendapat ini masih belum menerangkan tentang
prosesnya. Khusus yang menyangkut proses ada dua teori yaitu:

1. Path Goal Theory

Teori ini dikemukakan oleh Locke dari dasar teori Lewin’s. Ott (2003
dalam Harsuko 2011) berpendapat bahwa tingkah laku manusia banyak
didasarkan untuk mencapai suatu tujuan. Teori yang lain dikemukakan oleh
Georgepoulos yang disebut Path Goal Theory yang menyebutkan bahwa
kinerja adalah fungsi dari facilitating Process dan Inhibiting process. Prinsip
dasarnya adalah kalau seseorang melihat bahwa kinerja yang tinggi itu
merupakan jalur (Path) untuk memuaskan needs (Goal) tertentu, maka ia akan
berbuat mengikuti jalur tersebut sebagai fungsi dari level of needs yang
bersangkutan (facilitating process)

2. Teori Attribusi atau Expectancy

TheoryAs’ad (2000) mengatakan bahwa teori ini pertama kali


dikemukakan oleh Heider. Pendekatan teori atribusi mengenai kinerja
dirumuskan P = MXA, dimana P = performance, M = motivation, A = ability
menjadi konsep sangat populer oleh ahli lainya seperti Maiter, Lawler, Porter
dan Vroom. Berpedoman pada formula diatas, menurut teori ini kinerja adalah
hasil interaksi anatra motivasi dengan ability (kemampuan dasar).Dengan
demikian, orang yang tinggi motivasinya tetapi memilki ability yang yang
rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah. Begitu pula halnya dengan
orang yang mempunyai ability tinggi tetapi rendah motivasinya.

2.1.2 Kecerdasan Emosional


Pengertian Kecerdasan

Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan dan


mengambil keputusan yang terbaik dalam suatu permasalahan dengan melihat
dari kondisi ideal suatu kebenaran atas dasar pembelajaran pengalaman dan
penyesuaian lingkungan. Menurut Gardner dalam Rose (2002:58)
mengemukakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan
masalah atau menciptakan suatu produk yang memiliki nilai dalam satu latar
belakang budaya atau lebih. Sedangkan Super dan Cites dalam Dalyono
(2009:183) mengemukakan definisi kecerdasan sebagai kemampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan disekitar atau belajar dari sebuah
pengalaman.Hal ini menunjukkan bahwa manusia hidup dan berinteraksi di
dalam lingkungannya yang komplek.

Pengertian Emosi

Emosi yaitu suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atas
rangsangan yang muncul dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya,
sehingga individu dapat merasakan suatu perubahan sistem terhadap fisologis
dan psikologisnya dalam waktu yang cepat. Crow dalam Hartati (2004:90)
menyebutkan bahwa emosi merupakan keadaan pada diri individu yang
bergejolak dimana berfungsi sebagai inner adjustment terhadap suatu
lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu.
Menurut Ibda dalam Yusuf (2009:114), emosi merupakan suatu perasaan
dengan pikiran-pikiran khasnya, keadaan biologis dan psikologis, serta
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi berperan dalam
pengambilan sebuah keputusan yang menentukan kesejahteraan dan
keselamatan individu atau sekelompok orang.

Hakikat Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah dua buah produk dan dua keterampilan


utama, yaitu keterampilan kesadaran diri dan keterampilan manajemen diri
yang termasuk dalam kompetensi personal dan yang kedua adalah keterampilan
kesadaran sosial dan keterampilan manajemen hubungan sosial yang termasuk
dalam kompetensi sosial. Kompetensi personal lebih terfokus pada diri sendiri
sebagai seorang individu, sedangkan kompetensi sosial lebih terfokus pada
suatu hubungan kepada orang lain (Bradberry dan Greaver, 2007:63).

Menurut Patton (2001:3), kecerdasan emosional memiliki arti yang


sederhana yaitu keterampilan menggunakan emosi secara efektif untuk
mencapai sebuah tujuan dan mampu membangun hubungan yang baik serta
mampu meraih kesuksesan ditempat kerja. Sedangkan menurut Agustian
(2006:42), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan
kejujuran dalam hati yang menjadi pusat prinsip untuk mampu memberikan
rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.

Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2005:45) ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi


kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan ketika menghadapi
sebuah masalah yang membuat frustasi, mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan perasaan ketika sedang bergembira, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban pikiran ketika menumpuk tidak melumpuhkan
kemampuan dalam berpikir, berempati, dan berdoa.

Komponen-Komponen Dasar Kecerdasan Emosional


Goleman (2005:513) membagi kecerdasan emosional ke dalam lima
dasar kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi,
empati, dan ketrampilan sosial.

1. Kesadaran diri

Kesadaran diri yaitu kemampuan individu dalam mengenali perasaan diri


sendiri dan perasaan orang lain, serta mampu mengenali kekuatan dan
kelemahan diri sendiri.

2. Pengaturan diri

Pengaturan diri adalah suatu kemampuan untuk mengelola emosi pada diri
sendiri. Semakin baik pengaturan diri dalam emosi maka semakin
terkontrol pula tindakan yang akan dilakukan, sehingga tetap memiliki
hubungan yang baik dengan orang lain.

3. Motivasi

Motivasi adalah suatu dorongan yang menggerakkan karyawan agar


mampu mencapai tujuan yaitu kinerja yang maksimal.

4. Empati

Empati adalah sebuah kemampuan untuk mengetahui dan memahami


perasaan orang lain yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan baik
kepada banyak orang.

5. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan menciptakan hubungan yang


harmonis antar individu, yaitu dengan memberikan respon baik terhadap
lawan bicara dan menjaga perilaku serta ucapan ketika berhadapan dengan
orang.
2.1.3 Budaya Organisasi
Pengertian Budaya Organisasi

Konsep budaya organisasi masih tergolong baru. Konsep ini diadopsi oleh
pada teoritis dari disiplin antropologi, oleh karena itu keragaman pengertian
budaya pada disiplin antropologi juga akan berpengaruh terhadap keragaman
pengertian budaya pada disiplin organisasi. Konsep budaya organisasi
mendapat perhatian luar biasa pada tahun 1980-1990 ketika para sarjana
mengeksplorasi bagaimana dan mengapa perusahaan Amerika gagal bersaing
dengan perusahaan Jepang. Robbins dalam bukunya Perilaku Organisasi
(1996, h.289) mendefinisikan budaya organisasi adalah sebuah sistem makna
bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu
dari organisasi-organisasi lainnya. Definisi lain menurut Kreitner dan Kinicki
(2005, h.79) budaya organisasi adalah suatu wujud anggapan yang dimiliki,
diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok
tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang
beraneka ragam.

Schein mendefinisikan budaya organisasi adalah (2010, h.18) “the culture


of a group can now be defined as a pattern of shared basic assumptions
learned by a group as it solved its problems of external adaptation and
internal integration, which has worked well enough to be considered valid and
therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think,
and feel in relation to those problem” Budaya organisasi adalah pola asumsi
bersama sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah eksternal dan
integrasi internal, diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memahami, berpikir, dan merasa masalah tersebut.

Creemers dan Reynolds (dalam Soetopo, 2010, h.122) menyatakan bahwa


“organizational culture is a pattern of beliefs and expectation shared by the
organization’s members” (budaya organisasi adalah pola keyakinan dan
harapan bersama oleh anggota organisasi). Sedangkan Greenberg dan Baron
(dalam Soetopo, 2010, h.122) menekankan budaya organisasi sebagai
kerangka kognitif yang berisi sikap, nilai, norma perilaku, dan ekspektasi yang
dimiliki oleh anggota organisasi.

Definisi lain oleh Peterson (dalam Soetopo, 2010, h.122) menyatakan


bahwa budaya organisasi mencakup keyakinan, ideologi, bahasa, ritual, dan
mitos. Budaya organisasi menurut Brown (dalam Willcoxson & Millett, 2000,
h.93) adalah seperangkat norma, keyakinan, prinsip, dan cara berperilaku yang
bersama-sama memberikan karakteristik yang khas pada masing-masing
organisasi.

Gibson, Ivanichevich, dan Donelly (dalam Soetopo, 2010, h.123)


menyatakan bahwa budaya organisasi adalah kepribadian organisasi yang
mempengaruhi cara bertindak individu dalam organisasi. Pengertian lain
menurut Kast dan Rosenzweig (dalam Hakim, 2011, h.151) mendefinisikan
budaya organisasi sebagai suatu sistem nilai dan kepercayaan yang dianut
bersama yang berinteraksi dengan orang-orang suatu perusahaan, struktur
organisasi dan sistem pengawasan untuk menghasilkan norma-norma perilaku.

Ogbonna dan Harris (dalam Sobirin, 2007, h.132) mengartikan budaya


organisasi adalah keyakinan, tata nilai, makna, dan asumsi-asumsi yang secara
kolektif di-shared oleh sebuah kelompok sosial guna membantu mempertegas
cara mereka saling berinteraksi dan mempertegas mereka dalam merespon
lingkungan. Lain halnya dengan Ogbonna dan Harris, menurut Tosi, Rizzo,
Carroll (dalam Munandar: 2008, h.263) budaya organisasi adalah cara berfikir,
berperasaan, dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam
organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa budaya


organisasi adalah suatu pola/sistem yang berupa sikap, nilai, norma perilaku,
bahasa, keyakinan, ritual yang dibentuk, dikembangkan dan diwariskan
kepada anggota organisasi sebagai kepribadian organisasi tersebut yang
membedakan dengan organisasi lain serta menentukan bagaimana kelompok
dalam merasakan, berfikir dan bereaksi terhadap lingkungan yang beragam
serta berfungsi untuk mengatasi masalah adaptasi internal dan eksternal.

Dasar Budaya Organisasi

Nilai-nilai dan keyakinan organisasi merupakan dasar budaya organisasi.


keduanya memainkan peran penting dalam mempengaruhi etika berperilaku.
Nilai nilai oleh Kreitner (2005) disebutkan memiliki lima komponen kunci
yaitu:

a. Nilai adalah konsep kepercayaan

b. Mengenai perilaku yang dikehendaki

c. Keadaan yang amat penting

d. Pedoman menyeleksi atau mengevaluasi kejadian dan perilaku

e. Urut dari yang relatif penting

Nilai pendukung (espoused values) menunjukkan nilai-nilai yang


dinyatakan secara eksplisit yang dipilih oleh organisasi. Umumnya
dibentuk oleh pendiri perusahaan baru atau kecil oleh tim top management
dalam sebuah perusahaan yang lebih besar. Nilai-nilai yang diperantarakan
(anacted values) merupakan nilai dan norma yang sebenarnya ditunjukkan
atau dimasukkan ke dalam perilaku karyawan. Espoused values dan
anacted values bersifat penting karena dapat mempengaruhi sikap
karyawan dan budaya organisasi.

Ciri-ciri Budaya Organisasi

Budaya organisasi yang dapat diamati ialah pola-pola perilaku yang


merupakan manifestasi atau ungkapan-ungkapan dari asumsi-asumsi dasar
dan nilai-nilai.O‟Reilly, Chatman, dan Caldwell menemukan ciri-ciri
budaya organisasi sebagai berikut (dalam Munandar, 2008, h.267-268):
a. Inovasi dan pengambilan resiko (innovation and risk taking): Mencari
peluang baru, mengambil resiko, bereksperimen, dan tidak merasa terhambat
oleh kebijakan dan praktik-praktik formal.

b. Stabilitas dan keamanan (stability and security): Menghargai hal-hal yang


dapat diduga sebelumnya (predictability), keamanan, dan penggunaan dari
aturan-aturan yang mengarahkan perilaku

c. Penghargaan kepada orang (respect for people): Memperlihatkan


toleransi, keadilan, dan penghargaan terhadap orang lain.

d. Orientasi hasil (outcome orientation): Memiliki perhatian dan harapan


tinggi terhadap hasil, capaian, dan tindakan.

e. Orientasi tim dan kolaborasi (team orientation and collaboration): bekerja


bersama secara terkoordinasi dan berkolaborasi.

f. Keagresifan dan persaingan (aggressiveness and competition): mengambil


tindakan-tindakan tegas di pasar-pasar dalam menghadapi persaingan.

Hodgetts dan Luthans (dalam Ojo, 2010, h.3) menyebutkan karakteristik


penting yang terkait dengan budaya organisasi, yaitu:

a. Keteraturan perilaku yang bisa diamati yang ditandai oleh bahasa,


terminologi, dan ritual.

b. Norma yang tercermin dalam hal jumlah pekerjaan yang harus dilakukan
dan tingkat kerja sama antara manajemen dan karyawan

c. Nilai-nilai dominan pendukung organisasi dan mengharapkan untuk


saling berbagi, untuk menghasilkan produk yang tinggi atau kualitas
layanan, tingkat absensi yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.

d. Filsafat yang ditetapkan dalam perusahaan, keyakinan tentang bagaimana


karyawan dan bagiamana pelanggan harus diperlakukan.
e. Aturan yang mendikte tidak boleh dilakukan pada perilaku karyawan yang
berkaitan dengan bidang-bidang seperti produktivitas, hubungan pelanggan,
dan kerjasama antargolongan.

f. Iklim organisasi tercermin dari cara karyawan berinteraksi satu sama lain,
melayani pelanggan, dan apa yang mereka rasakan tentang atasan.

Schein (1992) menunjukkan bahwa budaya organisasi lebih penting pada


saat ini daripada waktu lalu. Meningkatnya kompetisi, globalisasi, mergers,
akuisis, takeovers, buyouts, aliansi, dan berbagai perkembangan tenaga kerja
telah menciptakan kebutuhan besar dalam hal sebagai berikut (dalam Ojo,
2010, h.3):

a. Koordinasi dan integrasi seluruh unit organisasi dalam rangka


meningkatkan efisiensi, kualitas, dan kecepatan desain, manufaktur, dan
memberikan produk serta layanan.

b. Produk, strategi, inovasi proses dan kemampuan untuk berhasil


memperkenalkan teknologi baru seperti teknologi informasi.

c. Manajemen yang efektif dari unit kerja dan meningkatkan keragaman di


tempat kerja.

d. Manajemen lintas budaya perusahaan global dan/atau kemitraan


multinasional.

e. Pembangunan budaya yang menggabungkan aspek budaya dari organisasi


yang berbeda.

f. Pengelolaan keragaman di tempat kerja.

g. Fasilitasi dan dukungan dari tim kerja.

Robbins (1996, h.289) menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian yang


mutakhir menemukan bahwa ada tujuh ciri-ciri utama yang secara
keseluruan mencakup esensi budaya organisasi, ketujuh ciri tersebut adalah:
a. Inovasi dan pengambilan resiko: Sejauh mana karyawan didukung untuk
menjadi inovatif dan berani mengambil resiko.

b. Perhatian terhadap detail: Sejauh mana karyawan diharapkan


menunjukkan kecermatan, analisis, dan perhatian terhadap detail/rincian.

c. Orientasi hasil: Sejauh mana manajemen lebih berfokus pada hasil-hasil


dan keluaran daripada kepada teknik-teknik dan proses yang digunakan
untuk mencapai keluaran tersebut.

d. Orientasi ke orang: Sejauh mana keputusan-keputusan yang diambil


manajemen ikut memperhitungkan dampak dari keluarannya terhadap para
karyawannya.

e. Orientasi tim: Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja lebih diorganisasi


seputar kelompok-kelompok daripada seputar perorangan

f. Keagresifan: sejauh mana orang-orang lebih agresif dan kompetitif


daripada santai.

g. Kemantapan: sejauh mana kegiatan-kegiatan keorganisasian lebih


menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

Kinicki (2005, h.79) menyebutkan tiga karakteristik budaya organisasi


yang penting yaitu:

a. Budaya organisasi diberikan kepada karyawan baru melalui proses


sosialisasi.

b. Budaya organisasi mempengaruhi perilaku kita di tempat kerja.

c. Budaya organisasi berlaku pada dua tingkat yang berbeda (pandangan ke


luar dan kemampuan bertahan terhadap perubahan).

Luthans dalam bukunya Perilaku Organisasi (2006, h.125) menyebutkan


beberapa karakteristik penting budaya organisasi yaitu:
a. Aturan perilaku yang diamati: ketika anggota organisasi berinteraksi satu
sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang
berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.

b. Norma: ada standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa


banyak pekerjaan yang dilakukan.

c. Nilai dominan: organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan


nilai-nilai utama.

d. Filosofi: terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi


mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan.

e. Aturan: terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan.


Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar
diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang.

f. Iklim organisasi: merupakan keseluruhan perasaan yang disampaikan


dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara berinteraksi, dan cara anggota
organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar.

Jenis-jenis Budaya Organisasi

Jenis-jenis budaya organisasi dapat ditentukan berdasarkan proses


informasi dan tujuannya (Tika, 2010, h.7).

a. Berdasarkan Proses Informasi

Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath membagi budaya organisasi


berdasarkan proses informasi sebagai berikut.

1. Budaya rasional, proses informasi individual (klarifikasi sasaran


pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana
bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan (efisiensi, produktivitas, dan
keuntungan atau dampak).
2. Budaya ideologis, dalam budaya ini pemrosesan informasi intuitif (dari
pengetahuan yang dalam, pendapat, dan inovasi) diasumsikan sebagai
sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya
dan pertumbuhan).

3. Budaya konsensus, dalam budaya ini pemrosesan informasi kolektif


(diskusi, partisipasi, dan konsesus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi
tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok).

4. Budaya hierarkis, dalam budaya ini pemrosesan informasi formal


(dokumentasi, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi
tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol, dan koordinasi).

b. Berdasarkan Tujuannya

Ndraha (1997) membagi budaya organisasi berdasarkan tujuannya yaitu


budaya organisasi perusahaan, budaya organisasi publik, dan budaya
organisasi sosial.

Tipe Budaya Organisasi

Manajemen harus menyadari tipe umum budaya organisasi kalau


perusahaan berkeinginan mengubah budayanya agar lebih sempurna, dan
menyadari kenyataan bahwa budaya tertentu terbukti lebih superior dari tipe
budaya lain. Sebagian besar ahli perilaku mengadvokasikan budaya organisasi
yang terbuka dan partisipatif adalah yang terbaik untuk semua situasi. Berikut
ini karakteristik tipe budaya terbuka (Muchlas, 2008, h.547-548):

a. Kepercayaan kepada para bawahan

b. Komunikasi terbuka

c. Kepemimpinan yang penuh pertimbangan dan suportif

d. Pemecahan masalah secara kelompok

e. Otonomi pekerja
f. Tukar menukar informasi

g. Tujuan-tujuan dengan keluaran yang berkualitas

Budaya yang terbuka dan partisipatif sering kali digunakan untuk


memperbaiki moral dan kepuasan karyawan. Keuntungan-keuntungan
khususnya adalah sebagai berikut (Muchlas, 2008, h.549):

a. Meningkatkan penerimaan ide-ide manajemen

b. Meningkatkan kerja sama antara manajemen dan staf

c. Menurunkan angka pindah kerja dan angka absen kerja

d. Menurunkan keluhan-keluhan dan kekesalan

e. Lebih besar penerimaan untuk perubahan-perubahan

f. Memperbaiki sikap terhadap pekerjaan dan organisasi

Lawan dari budaya terbuka dan partisipatif adalah budaya tertutup dan
otokratik. Budaya ini bisa jadi dikarakterisasi oleh tujuan-tujuan dengan keluaran
yang berkualitas tetapi tujuan-tujuan tersebut lebih sering dideklarasikan dan
diterapkan pada organisasi oleh pemimpin otokritik dan suka mengancam. Makin
besar rigiditas dalam organisasi ini, makin ketat pula keterikatan pada sebuah
rantai komando formal, makin sempit ruang gerak manajemen, dan makin keras
tanggung jawab individualnya.

Kreitner dan Kinicki (2005, h.88-89) menunjukkan bahwa terdapat tiga


tipe umum budaya organisasi yaitu:

a. Budaya konstruktif adalah budaya dimana para karyawan didorong


untuk berinteraksi dengan orang lain dan mengerjakan tugas dan proyek.

b. Budaya pasif-depensif bercirikan keyakinan yang memungkinkan


bahwa karyawan berinteraksi dengan karyawan lain dengan cara yang
tidak mengancam keamanan kerjanya sendiri.
c. Budaya agresif-depensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan
tugasnya dengan keras untuk melindungi keamanan kerja dan status
mereka.

Dari uraian di atas terdapat dua tipe budaya organisasi, yaitu budaya
terbuka (partisipatif) dan budaya tertutup (otokratik). Budaya partisipatif sering
kali untuk memperbaiki moral dan kepuasan karyawan, sedangan budaya
otokratik lebih ketat keterikatan karyawan pada komando formal, makin sempit
ruang gerak manajemen, dan makin keras tanggung jawab individualnya
sehingga karyawan kurang leluasa dalam bekerja dan lebih fokus pada kerja
individu daripada kerja tim.

Dimensi Budaya Organisasi

Beberapa dimensi budaya organisasi menurut Reynolds (dalam Sobirin,


2007, h.190) yaitu sebagai berikut:

a. Beorientasi eksternal vs. berorientasi internal

b. Berorientasi pada tugas vs. berorientasi pada aspek sosial

c. Menekankan pada pentingnya safety vs. berani menanggung resiko

d. Menekankan pada pentingnya conformity vs. individuality

e. Pemberian reward berdasarkan kinerja individu vs. kinerja kelompok

f. Pengambilan keputusan secara individual vs. keputusan kelompok

g. Pengambilan keputusan secara terpusat (centralized) vs. decentralized

h. Menekankan pada pentingnya perencanaan vs. ad hoc

i. Menekankan pada pentingnya stabilitas organisasi vs. inovasi organisasi

j. Mengarahkan karyawan untuk berkooperatif vs. berkompetisi


k. Menekankan pada pentingnya organisasi yang sederhana vs. organisasi
yang kompleks

l. Prosedur organisasi bersifat formal vs. informal

m. Menuntut karyawan sangat loyal kepada organisasi vs. tidak


mementingkan loyalitas karyawan.

n. Ignorance (ketidaktahuan) vs. knowledge (pengetahuan)

Denison (dalam Sobirin, 2007, h.195) mengelompokkan budaya


organisasi ke dalam 4 dimensi, yaitu sebagai berikut:

a. Involvement: dimensi budaya yang menunjukkan tingkat pastisipasi


karyawan dalam proses pengambilan keputusan.

b. Consistency: menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi


terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi.

c. Adaptability: kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-


perubahan lingkungan eksternal dan melakukan perubahan internal
organaisasi.

d. Mission: dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang


menjadikan anggota organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang
dianggap penting oleh organisasi.

Fungsi Budaya Organisasi

Ada beberapa pendapat mengenai fungsi budaya organisasi, menurut


Robbins (1996, h.294) membagi lima fungsi budaya organisasi sebagai
berikut:

a. Berperan menetapkan batasan.

b. Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi.


c. Memudahkan timbulnya komitmen yang lebih luas daripada
kepentingan individual seseorang.

d. Meningkatkan stabilitas sistem sosial karena merupakan perekat sosial


yang membantu mempersatukan organisasi.

e. Sebagai mekanisme kontrol dan menjadi rasional yang memandu dan


membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

Menurut Schein (dalam Tika, 2010, h.13) membagi fungsi budaya


organsiasi berdasarkan tahap perkembangannya, yaitu sebagai berikut ini:

a. Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi: pada tahap


ini fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kelompok atau organsiasi lain.

b. Fase pertengahan hidup organisasi: pada fase ini budaya berfungsi


sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru sebagai
penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan
perubahan budaya organisasi.

c. Fase dewasa: pada fase ini budaya organisasi dapat sebagai penghambat
dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan
menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005, h.83-84) membagi empat fungsi


budaya organsiasi sebagai berikut ini:

a. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya.

b. Memudahkan komitmen kolektif.

c. Mempromosikan stabilitas sistem sosial.

d. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan


keberadaannya.
Parsons dan Marton (dalam Tika, 2010, h.13) mengemukakan bahwa
fungsi budaya organisasi adalah memecahkan masalah-masalah pokok
dalam proses survival suatu kelompok dan adaptasinya terhadap lingkungan
eksternal serta proses integrasi internal.Susanto (dalam Tika, 2010, h.14)
menyatakan bahwa fungsi budaya organisasi sebagai berikut:

a. Berperan dalam pelaksanaan tugas bidang sumber daya manusia.

b. Merupakan acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan meliputi


pemasaran, segmentasi pasar, penentuan positioning perusahaan yang akan
dikuasai.

Fungsi budaya organisasi menurut Ndraha (1997, h.45) menyebutkan


sebagai berikut ini:

a. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat/kelompok

b. Sebagai pengikat suatu masyarakat/kelompok

c. Sebagai sumber inspirasi, kebanggaan

d. Sebagai kekuatan penggerak, melalui belajar maka budaya akan dinamis

e. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah

f. Sebagai pola perilaku

g. Sebagai warisan

h. Sebagai subtitusi/pengganti formalisasi

i. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan

j. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan Negara


sehingga terbentuk nation-state

Ouchi (dalam Tika, 2010, h.13) menyatakan bahwa fungsi budaya


organisasi (perusahaan) adalah mempersatukan kegiatan para anggota
perusahaan yang terdiri dari sekumpulan individu dengan latar belakang
kebudayaan yang khas (berbeda). Sedangkan Pascale dan Athos (dalam Tika,
2010, h.13) menyatakan bahwa budaya perusahaan berfungsi untuk
mengajarkan kepada anggotanya bagaimana mereka harus berkomunikasi dan
berhubungan dalam menyelesaikan masalah.

Dari beberapa fungsi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan


budaya organisasi memiliki fungsi yang positif untuk pengelolaan
organisasiterhadap masalah eksternal dan masalah internal suatu organisasi.
Budaya organisasi juga berfungsi sebagai identitas, menetapkan batasan dalam
berperilaku, serta memunculkan komitmen karyawan.

2.1.4 Kepuasan Kerja


Pengertian Kepuasan Kerja

Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari


tempatnya bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang
bersifat individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan
yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap
individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan
keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2001;271) kepuasan kerja adalah “suatu


efektifitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan”.
Davis dan Newstrom (1985;105) mendeskripsikan “kepuasan kerja adalah
seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya
pekerjaan mereka”. Menurut Robbins (2003;78) kepuasan kerja adalah
“sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan
antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka
yakini seharusnya mereka terima”.

Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap


berbagai segi atau aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja bukan
merupakan konsep tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu
aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya.
Kepuasan Kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap
pekerjaannya, yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja.
Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap salah satu pekerjaannya,
penilaian dilakukan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu
nilai-nilai penting dalam pekerjaan. Karyawan yang puas lebih menyukai
situasi kerjanya daripada tidak menyukainya.

Perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan


kerja cenderung mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang
pengalaman-pengalaman kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada
harapan-harapan untuk masa depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat dua unsur penting dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan
dan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam


melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan
yang dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-
nilai pekerjaan harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dasar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja
merupakan hasil dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja.

Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah


dari kepuasan kerja (dari setiap aspek pekerjaan) dikalikan dengan derajat
pentingnya aspek pekerjaan bagi individu. Seorang individu akan merasa
puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat
pribadi, yaitu tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian
atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dengan hasil keluarannya
(yang didapatnya).

Sehingga dapat disimpulkan pengertian kepuasan kerja adalah sikap yang


positif dari tenaga kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap
pekerjaannya melalui penilaian salah satu pekerjaan sebagai rasa
menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting pekerjaan.

Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat


sebagian orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa
lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang
terhadap kepuasan kerja. Ada beberapa teori tentang kepuasan kerja yaitu :

1) Two Factor Theory

Teori ini menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan


bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene
factors. Ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi disekitar pekerjaan
(seperti kondisi kerja, upah, keamanan, kualitas pengawasan dan
hubungan dengan orang lain) dan bukan dengan pekerjaan itu sendiri.
Karena faktor mencegah reaksi negatif dinamakan sebagai hygiene atau
maintainance factors.Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait
dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat
pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan
untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan
dengan tingkat kepuasan kerja tinggi dinamakan motivators.

2) Value Theory

Menurut teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil
pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang
menerima hasil, akan semakin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan
pada teori ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dengan
yang diinginkan seseorang. Semakiin besar perbedaan, semakin rendah
kepuasan orang.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja menurut
Kreitner dan Kinicki (2001; 225) yaitu sebagai berikut :

1) Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)

Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan


kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

2) Perbedaan (Discrepancies)

Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan


mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang
diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa
yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila
menerima manfaat diatas harapan.

3) Pencapaian nilai (Value attainment)Kepuasan merupakan hasil dari


persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang
penting.

4) Keadilan (Equity)

Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di


tempat kerja.

5) Komponen genetik (Genetic components)

Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini
menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk
menjelaskan kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.

Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja.
Diantaranya adalah sebagi berikut :

1) Pekerjaan itu sendiri (work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu


keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar
tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya
dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau
mengurangi kepuasan.

2) Hubungan dengan atasan (supervision)

Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah


tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional mencerminkan
sejauhmana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai
pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan
didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar
dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya mempunyai pandangan
hidup yang sama. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan
adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki ciri
pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat
motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

3) Teman sekerja (workers)

Teman kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara


pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama
maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.

4) Promosi (promotion)

Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya


kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.

5) Gaji atau upah (pay)

Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap


layak atau tidak.

Korelasi Kepuasan Kerja

Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif
atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah dampai
kuat. Menurut Kreitner dan Kinicki (2001;226) Hubungan yang kuat
menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan signifikan variabel
lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja. Beberapa korelasi kepuasan
kerja sebagai berikut :

1) Motivasi

Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan
signifikan. Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga
mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi, atasan/manajer
disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka
mempengaruhi kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat
meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk
meningkatkan kepuasan kerja.

2) Pelibatan Kerja

Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan


dengan peran kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan
dengan kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer perlu didorong
memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan untuk meningkatkan
keterlibatan kerja pekerja.

3) Organizational citizenship behavior

Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.

4) Organizational commitment

Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan


organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara
komitmen organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan yang siknifikan
dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat
komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat
meningkatkan produktivitas kerja.
5) Ketidakhadiran (Absenteisme)

Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat.


Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.

6) Perputaran (Turnover)

Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana


perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga
diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan
mengurangi perputaran.

7) Perasaan stres

Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan


negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi
dampak negatif stres.

8) Prestasi kerja/kinerja

Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja.


Dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga
pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja
disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang
lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.

Pengaruh Kepuasan Kerja

1) Terhadap Produktivitas

Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan


meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat
dari produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas yang tinggi menyebabkan
peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan
bahwa apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka
terima (gaji/upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan
performa kerja yang unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja
menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja, karena perusahaan
dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang
diharapkan.

2) Ketidakhadiran (Absenteisme)

Menurut Porter dan Steers, ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan


kurang mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara
kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam
perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk
hadir.Sementara itu menurut Wibowo (2007:312) “antara kepuasan dan
ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif”. Sebagai
contoh perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas
tanpa sanksi atau denda termasuk kepada pekerja yang sangat puas.

3) Keluarnya Pekerja (Turnover)

Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat


ekonomis yang besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan
ketidakpuasan kerja. Menurut Robbins (1998), ketidakpuasan kerja pada
pekerja dapat diungkapkan dalam berbagai cara misalnya selain dengan
meninggalkan pekerjaan, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik
perusahaan/organisasi, menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan
mereka dan lainnya.

4) Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbins (2003) ada


empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidak puasan yaitu:

a) Keluar (Exit)

yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.

b) Menyuarakan (Voice)
yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah
dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.

c) Mengabaikan (Neglect)

yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk


seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.

d) Kesetiaan (loyality)

yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih baik


termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.

Meningkatkan Kepuasan Kerja

Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan


dengan cara sebagai berikut:

1) Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan


perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan
pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang
disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan
adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan
sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktik untuk
para pekerja yang menerima tugas-tugas tambahan dan bervariasi dalam
usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari
sekedar anggota dari organisasi.

2) Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem


pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-
based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan
pengetahuan dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan.
Pembayaran kedua dilakukan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem
pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performancenya,
pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh
individu itu sendiri. Pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau
pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi
kepada seluruh anggota kelompok).

3) Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol


pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat
penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak
bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung
jawab pada anak-anak. Compressed work week (pekerjaan mingguan yang
dipadatkan), dimana jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedang
jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Para pekerja dapat
memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari hari Senin hingga
Jum’at, sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan.
Cara yang kedua adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang
pekerja menjalankan sejumlah jam khusus per minggu (Flextime), tetapi
tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan mengakhiri pekerjaannya.

4) Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan


program-program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para
karyawan, seperti; health center, profit sharing, dan employee sponsored
child care.

2.2 Tinjauan Pustaka dan Hipotesis


2.2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang kecerdasan emosional, budaya organisasi dan
kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu yang disajikan dalam jurnal yang dijadikan sebagai referensi
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Chermiss (1998, p.1) pernah menulis dalam artikelnya berdasarkan
beberapa penelitian sebelumnya bahwa ada kemungkinan untuk dapat
memperbaiki kemampuan emosional dan sosial seorang karyawan. Selain
itu dalam penelitian tersebut juga ditemukan beberapa prinsip dalam
mengaplikasikan EQ pada organisasi secara luas.

2. Menurut Ari Soeti Yani dan Ayu Istiqomah dalam penelitian yang
berjudul pengaruh kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
terhadap kinerja karyawan dengan profesionalisme sebagai variabel
intervening menunjukan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh negatif
tidak signifikan terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian ini tidak
sesuai dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang
dilakukan oleh Goleman (1996), Wong and Law (2002), Behbahani (2011)
dan Shah and Ellahi (2012). Penelitian yang dilakukan oleh para ahli
tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja.

3. Terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian Maabuat (2016)


yang menyatakan variabel budaya organisasi berpengaruh negatif dan
tidak signifikan terhadap kinerja pegawai. Penelitian Lina (2014) juga
menyatakan yang menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai arah
negatif, berpengaruh secara tidak signifikan terhadap kinerja pegawai.
Sementara yang tidak sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian
Wahyuningsih (2015) yang menyatakan bahwa budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian
Sumual (2015), menyatakan budaya organisasi berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan. Penelitian Hakim dan Hadipopo (2015)
menyatakan budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja SDM pada
SD Negeri di Wawotobi. Dan penelitian Musriha (2013), juga menyatakan
bahwa budaya organisasi berpengaruh secara parsial terhadap kinerja
pegawai.

4. Menurut penelitian Erline Kristine, menyatakan bahwa kepuasan kerja


berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai di PT. Mitra
Karya Jaya Sentosa. Sedangkan menurut penelitian I Wayan Juniantara,
dkk menyatakan bahwa kepuasan kerja yang diukur melalui empat
indikator yaitu kepuasan intrinsik, kepuasan ekstrinsik, pengakuan dan
otoritas/utilitas sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.
Hal ini mengandung arti bahwa semakin meningkat kepusan kerja seorang
karyawan maka semakin meningkat pula kinerja seorang karyawan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya diantaranya : Martin dan Proenca (2012), Almigo
(2004), Engko(2006) Anthony et al. (2006), Grant (2001) dalam Martin
(2012) Bull (2005), Tadisina et al. ( 2001), Tang et al. (2014),
Pushpakumari (2008) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

1.2.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah telah penelitian telah dinyatakan
dalam benntuk pertanyaan. Hipotesis dikatakan sementara karena jawaban
yang diberikan baru didasarkan pada teori (Sugiyono, 2009). Berdasarkan
studi empiris yang pernah dilakukan, maka peneliti mengemukakan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1: Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja
karyawan

H2: Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja


karyawan

H3: Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja


karyawan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian

Kecerdasan Emosional

Kinerja
Budaya Organisasi Karyawan

Kepuasan Kerja

3.2 Definisi Operasional Variabel


Variabel-variabel penelitian didefinisikan secara jelas, sehingga tidak
menimbulkan pengertian yang berarti ganda. Definisi variable juga memberi
batasan sejauh mana penelitian yang akan dilakukan. Operasional variable
diperlukan untuk mengubah masalah yang diteliti ke dalam bentuk variable,
kemudian menentukan jenis dan indicator dari variable-variabel yang terkait.
Berdasarkan uraian diatas, mengenai pengertian yang digunakan dalam
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

3.2.1 Kinerja Karyawan(Y)


Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk
melakukan kegiatan atau menyempurnakannya sesuai dengan tanggung
jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.

3.2.2 Kecerdasan Emosional (X1)


Kecerdasan emosional adalah dua buah produk dan dua keterampilan
utama, yaitu keterampilan kesadaran diri dan keterampilan manajemen diri
yang termasuk dalam kompetensi personal dan yang kedua adalah
keterampilan kesadaran sosial dan keterampilan manajemen hubungan sosial
yang termasuk dalam kompetensi sosial.
3.2.3 Budaya Organisasi (X2)
Budaya organisasi adalah suatu pola/sistem yang berupa sikap, nilai,
norma perilaku, bahasa, keyakinan, ritual yang dibentuk, dikembangkan dan
diwariskan kepada anggota organisasi sebagai kepribadian organisasi tersebut
yang membedakan dengan organisasi lain serta menentukan bagaimana
kelompok dalam merasakan, berfikir dan bereaksi terhadap lingkungan yang
beragam serta berfungsi untuk mengatasi masalah adaptasi internal dan
eksternal.

3.2.4 Kepuasan Kerja (X3)


Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap
berbagai segi atau aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja bukan
merupakan konsep tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu
aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya.

3.3 Populasi dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi
dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Telkom Indonesia Cabang Jakarta
Selatan yang berjumlah 53 orang. Sampel jenuh adalah teknik penentuan
sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono,
2012:68). Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Telkom Indonesia
Cabang Jakarta Selatan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan seluruh anggota populasi yang berjumlah 53 orang
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian adalah dengan menggunakan:
3.4.1 Studi Pustaka
Studi Pustaka yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara membaca buku-buku, literature, jurnal, referensi yang berkaitan dengan
penelitian ini. Dalam penelitian ini studi kepustakaan dilakukan dengan
tujuan (literature study) sebagai bentuk usaha yang dilakukan oleh peneliti
untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang
akan atau sedang diteliti. Studi kepustakaan ini dilakukan sebagai salah satu
kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Teori-teori yang
mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan
melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat memperoleh
informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya
dengan penelitiannya.
3.4.2 Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kuesioner adalah sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden. kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan yang
harus dijawab oleh responden yang telah dipilih oleh peneliti. Jenis angket
yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup (close ended).
Angket tertutup ini merupakan jenis angket yang memiliki ciri responden
diberi sejumlah pertanyaan dengan menggambarkan hal-hal yang ingin
diungkap dari ketiga variable disertai alternative jawaban dan responden tidak
diberi hak untuk menjawab diluar alternative jawaban yang telah ditetapkan.
Responden diminta untuk merespon setiap pernyataan sesuai dengan apa yang
diketahui serta dirasakan oleh dirinya dengan cara menumbuhkan tanda chek
pada alternative jawaban yang terrsedia.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik nonprobability
sampling khususnya sampling jenuh. Menurut Sugiyono (2014: 68) bahwa
Teknik sampling jenuh merupakan Teknik penentuan sampel bila semua
anggota populasi digunakan sebagai sampel. Variabel dalam penelitian ini
diukur menggunakan skala likert dengan skala 1 sampai 5.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis data sebagai berikut:
3.6.1 Analisis Deskriptif Kuantitatif
Analisis untuk mendisripsikan data dan menggambarkan data yang
terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan
untuk mengeneralisasi. Dalam penelitian ini yang di deskripsikan adalah 3
(tiga) variabel yang terdiri dari variabel bebas yaitu Kecerdasan Emosional
(X1), Budaya Organisasi (X2), Kepuasan Kerja (X3) serta variabel terikat
yaitu Kinerja Karyawan (Y). Agar setiap jawaban dapat dihitung maka
jawaban tersebut harus diberi skor. Alat ukur yang digunakan untuk menilai
jawaban responden adalah menggunakan Rating Scale.
Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
pencatatan dan penganalisaan data hasil penelitian secara eksak dengan
menggunakan perhitungan statistik.

3.6.2 Analisis Regresi


1. Uji Validitas
Sebelum data diproses terlebih dahulu dilakukan uji validitas untuk
menguji alat ukur atau kuesioner. Validitas menunjukkan sejauh mana
suatu alat pengukur itu mengukur apakah sesuai dengan standar yang
ditetapkan atau mengukur apakah sesuai dengan yang diukur. Untuk
mengukur validitas kuesioner dilakukan dengan metode korelasi
pearson product moment, yaitu hasil dari seluruh kuesioner yang berupa
skor dikorelasikan (Nazir, 2005). Valid tidaknya alat ukur tersebut
dapat diuji dari penjumlahan semua skor pertanyaan. Apabila korelasi
antara skor total masing-masing pertanyaan signifikan, maka dapat
dikatakan bahwa alat pengukur tersebut valid.

2. Uji Reliabilitas
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
tertutup. Keterandalan suatu alat ukur berarti kemampuan alat ukur
tersebut untuk mengukur gejala secara konsisten. Alat pengukur data
tetap menunjukkan hasil ukuran yang sama, walaupun digunakan oleh
orang yang sama di tempat yang berbeda, atau orang yang lain pada
tempat yang sama.

3.6.3 Uji Hipotesis


1. Uji-t
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi dari pengaruh
secara individual variabel independen terhadap variabel dependen.

Anda mungkin juga menyukai