Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU BALAGHOH

Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami fase sejarah
dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.
Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah
tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan
perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah;
(3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang
sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan
erat satu sama lain.
Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan,
perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani,
bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini.
Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.
Istilah “’Ilm Al-Balaghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‘ilm dan al-Balaghah. Kata “‘Ilm” dapat
ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata “Ilm” juga diartikan sebagai materi-materi
pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu (al-Qadhaya allati tubhatsu fihi). Kata “ilm” juga dapat
diartikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu bidang
tertentu.
Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam bidang ini dengan definisi yang
beragam, diantaranya adalah:
1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:

‫أما البالغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خالب مع مالئمة كل كالم للموطن الذي يقال فيه‬
‫واألشخاص الذين يخاطبون‬.

“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan
ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan
tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak
bicara”.

1. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :

‫الحد الصحيح للبالغة في الكالم هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع اإلقناع من العقل والوجدان‬

“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalahkeberhasilan si pembicara dalam
menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat mengena
ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya”.

1. Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin :
‫البالغة هي مطابقة الكالم لمقتضى الحال مع فصاحته‬

Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi disamping ungkapan itu sendiri
sudah fasih.

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah
penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan
kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga
kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima
pesan tersebut.

Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan
cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah itu sendiri.

Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah
tentangmateri balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan
perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah;
(3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang
sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan
erat satu sama lain.

Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini
memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin
perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan.
Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih
mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang
memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah tentang materi balaghah, tanpa banyak
menyebutkan tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan balaghah yang ada.

Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa Arab

Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya Al-Quran dalam bahasa
Arab. Al-Quran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam merupakan inspirator bagi para ahli
bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga
keasliannya, membantu memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.
Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau menetapkan makna dari satu kata
yang sulit dipahami, maka mereka mendatangkan syair jahiliy yang memuat kata tersebut beserta
makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya bagi tafsir yang banyak menggunakan pemaknaan
secara bahasa, misal Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan
syair dan produk kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis berjilid-jilid
buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan khazanah sastra lainnya. Mereka
menulisnya salah satunya demi khidmah kepada Al-Quran.

Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-kata muncul dan berkembang. Ilmu-
ilmu ini lebih dari dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl, dan
lain-lainnya.

Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi (masa penyusunan secara sistematis )

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan
berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah
daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia,
mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya
jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai
sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa,
bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka. Membedakan antara bahasa
yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa tersebut.
Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab
dan bahasa mereka.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu
bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi
dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.

Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair
satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan
berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring
kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan
keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui
keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama
karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.
Tradisi sastra arab telah berakar jauh sebelum munculnya agama Islam di semenanjung Arab. Pada
mulanya Islam dipahami melalui penggunaan bahasa arab yang literer. Namun pada masa
perkembangan selanjutnya, sastra Islam sedikit demi sedikit dipengaruhi Alqur’an dan Hadits Nabi.

Tradisi sastra Islam, khususnya Arab, bahkan jauh sebelum lahirnya Islam. Walaupun sampai abad
ketujuh hanya dikenal sastra lisan, berbentuk puisi, pribahasa dan pidato, tradisi lama ini tetap
bertahan sampai sekarang. Lirik lisan untuk dinyanyikan pada umumnya berisi kisah kepahlawanan,
kebanggaan suku dan keturunan, elegi (marasiin), cinta, dan pelampiasan balas dendam.

Dalam berbagai literature disebutkan bahwa disiplin ilmu balaghah merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang menjadi alat untuk menguak kemukjizatan Alqur’an. Sebagaimana diketahui bahwa
Alqur’an dikenal dengan susunan kalimatnya yang indah, tertib, dan rapi. Kelebihan ini disinyalir
kuat karena memang mukjizat nabi terakhir ini diturunkan di tengah-tengah komunitas pengagum
sastra. Bahkan, pasar Ukadz merupakan tempat yang menjadi ajang jual-beli sastra di masa jahiliyah,
sebelum nabi Muhammad datang membawa Islam.

Secara terminologi, balaghah adalah suatu disiplin ilmu yang berfungsi untuk mengetahui aturan-
aturan dalam merangkai kata-kata ataupun kalimat yang indah dan fasih, tepat, dan sesuai dengan
kondisi yang ada (muqtadla al-hal).

Pasca Turunnya Al-Qur’an

Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pasca turunnya al-Qur’an sudah
demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa
merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan
yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang
merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.

Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an
bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balagah dan
merupakan model utama dalam rujukan penggubahan syai’r.

Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola
tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah
keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan
dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam kesusastraan dan kebahasaan, namun
hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran
ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun
sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak
seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an.
Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan seksama untuk menyamai bahkan
melampaui keindahan al-Qur’an. Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-
Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka,
meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian
mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat
kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.

Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh
seperti saat inibelum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit.
Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan
dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah
Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.

Perkembangan Balaghah dari Masa ke Masa

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab
Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170
H).Sedangkan ilmu ma’ani, maka tidak diketahui pasti orang pertama kali yangmenyusun tentang
ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w.
255 H) dalam I’jazul Quran-nya.Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang
dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far .[8]Dan
Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah
secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang lain berjudul al-Bayan wa al-
Tabyin

Ilmu Balaghah terusmengalami perkembangan sehingga mencapai banyak kemajuan ditandai dengan
semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam
Abdul Qahir al-Jurjani. Kedua kitab tersebut adalah : Pertama,kitab Asrarul Balaghah yang berisi
Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah.Kedua, kitab I’jazul Qur’an, yang berisi tentang
keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan
uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.

Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki yang semakin mematangkan keberadaan
Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu
tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama
Miftahul ‘Ulum.

Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, danBadi’) seperti
yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam
karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya
As-Sakaki.
Disipilin ilmu balaghah mulai dikenal pada masa dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, terjadi perdebatan
yang sengit di kalangan para sastrawan dan para ahli bahasa dalam mengungkap mukjizat Alqur’an.
Seperti disinggung dalam kitab al-Maqasid karya as-Syaikh Sa’duddin al-Taftazani, ketegangan ini
menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam. Sehingga mereka berinisiatif untuk
mendirikan aliran sesuai dengan keinginannya sendiri.

Sebenarnya ketegangan ini ditimbulkan oleh salah satu pendapat Ibrahim al-Nidzam yang dianggap
paling menyesatkan. Al-Nidzam mengatakan bahwa Alqur’an tidak memiliki kekuatan mukjizat
berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, semua orang Arab pasti bisa membuat kalimat yang
nilainya sama dengan bahasa yang digunakan Alqur’an.
Pendapat ini mengundang reaksi keras para pakar sastra dan ulama waktu itu. Di antaranya adalah al-
Baqilany, Imam Haramain, dan Imam al-Fakhrurrazi. Mereka kemudian menulis sebuah risalah yang
isinya menolak semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut
olehnya.

Sebagaimana yang tertera di dalam kitab ‘Ulum al-Balaghah’ karya Ahmad Mushthofa al-Maraghi,
bahwa yang pertama kali memperkenalkan metode balaghah adalah Ubaidah Mu’ammar bin
Mutsanna al-Rowiyah (w. 211 H.), salah satu murid Imam Kholil yang notabene pakar bahasa arab.
Ubaidah menulis sebuah kitab tentang Ilmu Bayan (salah satu topic utama disiplin ilmu balaghah,
selain Ma’aniy dan Badi’) yang bernama Majaz Alqur’an.
Akan tetapi, sebenarnya yang lebih tersohor dalam menyusun kaidah-kaidah balaghah adalah
Khalifah Abdullah bin Mu’taz bin Mutawakkil al-Abbasiy (w. 296 H). Dalam usahanya menyusun
kaidah balaghah tersebut, beliau betul-betul mendalami dan menekuni dunia sastra (sya’ir), kemudian
menyusun kitab bernama Al-Badi’.

Dalam kitab tersebut beliau menguraikan tentang tujuh belas macam kaidah balaghah seperti Kinayah,
Bayan, Isti’arah, dan Tauriyah. Dalam salah satu tulisannya beliau berkata, “Tak seorang pun sebelum
aku yang pernah mengarang ilmu Badi’, dan tidak seorang pun yang pernah menyusunnya selain aku.
Bagi siapa saja yang ingin mempelajari karanganku, maka lakukanlah. Jika ada (di antara kalian) yang
melihat kebaikan dalam karangan tersebut, maka itu perlu dicoba (dibuktikan).”

Sepeninggal beliau, pada periode selanjutnya perkembangan balaghah kian pesat dan signifikan. Hal
ini dengan tersusunnya sebuah risalah bernama Naqdu Qudamah yang disusun oleh Qudamah bin
Ja’far al-Baghdady (w. 310 H.). Kitab ini merupakan kelanjutan dari karangan Khalifah Abdullah al-
Mu’taz al-Abbasiy, sekaligus menyempurnakan istilah-istilah yang dipakai di dalamnya. Kalau dalam
kitab Al-Badi’ Khalifah bin al-Mu’taz hanya mengenalkan tujuh belas istilah saja, maka imam
Qudamah memperkenalkan beberapa kaidah-kaidah baru sehingga jumlah keseluruhan menjadi tiga
puluh kaidah.

Tidak hanya sampai di situ saja, kedua kitab tersebut kemudian dipelajari lagi oleh imam Abu Hilal
bin Abdillah al-‘Askary (w. 395 H.). Dari pendalaman itu beliau akhirnya menyusun sebuah kitab
bernama Al-Shina’ataini, yang disampaikan dengan dua kalimat, prosa dan sastra. Di dalamnya
terdapat sebanyak 35 macam badi’, serta membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan
balaghah seperti Fashahah, Balaghah, Ijaz, dan beberapa bab Naqdu al-Syi’ry (kritik sastra). Kitab
inilah yang kemudian dianggap sebagai karangan pertama yang mengarah langsung pada tiga materi
pokok ilmu balaghah berupa Ma’ani, Bayan, dan Badi’ secara lengkap dan sempurna.

Abad kelima Hijriyah (atau abad kesepuluh dan kesebelas masehi) merupakan puncak dari
kebangkitan ilmu balaghah. Hal itu bersamaan dengan maraknya diskusi filsafat, sastra juga kian
subur lagi. Pendorongnya ialah kegairahan mengkaji sastra di kalangan ilmuwan dan filosof, dan
munculnya berbagai teori sastra yang inspiratif bagi penciptaan. Di antara filosof dan ahli teori sastra
terkemuka yang telah memberikan sumbangsih besar dalam teori dan kajian sastra adalah Abdul
Qahir al-Jurjani, al-Baqillani, al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), Qudamah, dan lainnya. Dalam teori
mereka disampaikan pentingnya imajinasi (takhyil) dalam penciptaan karya seni. Mereka juga
menemukan bahwa kekuatan bahasa Alqur’an disebabkan banyaknya ayat-ayat yang menggunakan
bahasa figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil), pengucapan simbolik (mitsal), dan metafora
(isti’arah).

Sebagai kitab suci yang mengandung nilai sastra tinggi, tidak diragukan lagi bahwa Alqur’an
memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kesusastraan. Lebih daripada itu, kitab ini mampu
membangkitkan perkembangan ilmu bahasa. Di samping itu, Alqur’an mengandung rujukan yang
melimpah untuk berbagai cabang ilmu, dan di dalam Alqur’an pula terdapat banyak kisah dengan cara
penyajian yang khas dan menarik. Pola ini pula yang turut mempengaruhi corak naratif sastra Islam.
Yang perlu diketahui adalah bahwa perkembangan sastra yang demikian pesat ini sepenuhnya disulut
oleh pengaruh kitab suci Alqur’an. Walaupun bukan merupakan kitab sastra, tapi Ia memiliki nilai
sastra yang sangat tinggi.

Kelebihan di bidang sastra inilah yang juga menjadi nilai lebih dari Alqur’an sekaligus menjadi
mukjizat Alqur’an sepanjang masa. Konon, tak satupun orang-orang arab Jahiliyah yang mampu
menandingi bahasa Alqur’an yang begitu indah dan menawan. Sayyidina Umar r.a. pun sampai
menangis dan akhirnya masuk Islam setelah mendengar bacaan ayat suci Alqur’an. Tak heran jika
kemudian Alqur’an menjadi rujukan dan bahan utama yang dibidik oleh ilmu balaghah.
Salah satu hal penting dan signifikan yang menandakan pembaharuan dalam sastra ialah dikaitkannya
sastra dengan adab, terutama dalam pemerintahan Abbasiyah (750-1258 M.). Bahkan di masa
kemudian sastra lebih identik dengan bahasa arab, dan seorang penulis karya sastra disebut al-Adib.

Masa Keemasan Balaghah dan Lahirnya Ulama Balaghah Terkemuka

Era keemasan ilmu Balaghag diawali dengan lahirnya seorang sastrawan terkemuka bernama Abu
Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani (w. 471 H.) yang dikenal dengan nama Abdul Qahir
al-Jurjani. Beliau termasuk figur yang sangat perhatian terhadap ilmu balaghah. Dalam sejarah,
beliaulah yang dikenal menguraikan semua kaidah balaghah satu persatu, mengajukan contoh yang
mudah dimengerti dan menggunakan bahasa yang mudah dicerna. Hal itu tercermin dalam kitabnya
yang bernama Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I’jaz. Dalam penyampaiannya beliau memandang
bahwa ilmu dan tindakan harus sama-sama berjalan.
Oleh karena itu, contoh-contoh yang beliau kemukakan selalu berkaitan erat dengan hal-hal yang
banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar pembaca lebih mudah mencerna kaidah-
kaidah balaghah yang beliau sampaikan. Masalahnya, semua tema yang terdapat di dalam balaghah
tidak akan mudah dicerna kecuali dengan memperbanyak contoh-contoh dan latihan. Maka contoh
global itulah yang kemudian diolah dan dijelaskan sejelas mungkin, selain juga diperkuat dengan
gambaran-gambaran particular yang makin memperjelas kandungan balaghah dalam satu redaksi atau
ungkapan.

Walaupun pada masa sebelum itu ada beberapa cendekiawan yang telah memperkenalkan kaidah
balaghah, seperti Imam al-Jahidz, Qudamah al-Katib, akan tetapi justru Abdul Qahir yang dianggap
sebagai salah satu pelopor ilmu balaghah. Klaim tersebut bukanlah omong kosong belaka dan tanpa
alasan. Penilaian ini berdasarkan kontribusi Abdul Qahir yang betul-betul membangkitkan ilmu
balaghah. Apa yang beliau berikan, tidak pernah sekalipun berhasil disamai oleh periode-periode
sebelum dan sesudah beliau. Beliau berhasil membangun ilmu balaghah menjadi disiplin ilmu
pengetahuan yang dikenal masyarakat luas.

Setelah masa keemasan Abdul Qahir berlalu, muncullah al-Imam Jar al-Allah al-Zamakhsyari, yang
dikenal dengan nama Imam Zamakhsyari (w. 538 H.). Beliau banyak menguak unsur-unsur balaghah
yang terdapat dalam Alqur’an, mukjizatnya, maksud ayat, serta keistimewaan yang dimiliki ayat-ayat
tertentu.

Pada masa berikutnya, muncullah seorang ulama balaghah terkenal yang kontribusinya juga tidak
kalah penting, yaitu Abu Ya’kub Yusuf al-Sakaky atau dikenal dengan nama Imam Sakaky (w. 626
H.). Beliau menulis kitab berjudul Miftahul Ulum yang isinya menyempurnakan dan melengkapi
karangan-karangan terdahulu, serta menjelaskan kekurangan yang terdapat sebelumnya, dan banyak
meneliti (mengkritik) kaidah-kaidah balaghah yang dianggap tidak diperlukan. Hasil penelitian
tersebut kemudian dituangkan dalam kitab tersebut dengan penyampaian yang sistematis, dan
dikelompokkan dalam bab-bab tertentu dengan rapi, dan mengklasifikan beberapa kaidah yang
terpisah satu sama lain.

Semua itu beliau lakukan karena beliau banyak mempelajari kitab-kitab mantiq dan filsafat. Tentu
saja kitab ini memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan kitab-kitab sama yang ditulis pada masa-
masa sebelumnya.

Keberadaan Imam Sakaky ini juga ditenggarai menjadi salah satu pendorong berkembangnya ilmu
balaghah. Bahkan, sejarawan dan sosiolog terkemuka sekelas Ibnu Khaldun menyebutkan kalau Imam
al-Sakaky yang menjadi pioner balaghah, bukan Abdul Qahir. Apalagi Imam al-Sakaky merupakan
tokoh yang menjembatani antara Abdul Qahir, yang menggabungkan ilmu dan amal, dengan orang-
orang kontemporer, yang memaksakan diri untuk mengkaji balaghah. Mereka menyamakan balaghah
dengan ilmu-ilmu nazariyah (rasional), serta menafsiri kalimat-kalimatnya seperti mengkaji ilmu
bahasa arab.

Keadaan ini hampir membuat balaghah lebih mirip dengan teka-teki dan tebak-tebakan. Sehingga
batasan dan kriteria ilmu balaghah hampir musnah dan hilang. Lebih parah lagi, kitab-kitab karangan
Abdul Qahir mulai ditelantarkan, dan tidak lagi dipelajari. Barangkali inilah nasib sebuah ilmu
pengetahuan jika dipelajari oleh orang-orang yang berada dalam masa kehancuran (penurunan)
kelemahan. Dalam kasus ini, kitab Asror al-Balaghah-nya Abdul Qahir bisa disamakan dengan kitab
Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, atau Sultan Sulaiman dengan kitab Qawanin-nya.

Walaupun demikian, dalam pandangan Ahmad Mushthofa al-Maraghi, dibandingkan dengan Abdul
Qahir, Imam al-Sakaky tak ubahnya hanya mem’bebek’ pada Abdul Qahir. “ma kana al-sakaky illa
‘iyalan ‘ala abdil qahir,” komentar beliau dalam kitab ‘Ulum al-Balaghah-nya. Apalagi penggunaan
redaksi dan penjelasan materi balaghah yang disampaikan oleh Imam al-Sakaky justru kurang
tersusun rapi dan terkesan kacau. Mungkin kelebihan Imam al-Sakaky adalah karena beliau hidup
setelah era Abdul Qahir, serta penyajian materi yang menggunakan sub bab yang lebih banyak
dikenal.

Tapi, lanjut al-Maraghi, seseorang yang hidup lebih dulu (Abdul Qahir) mempunyai kelebihn
daripada orang yang hidup belakangan, karena dia dianggap sebagai pelopornya. Terlepas dari
perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu, Abdul Qahir atau Imam al-Sakaky, ilmu balaghah
telah mencapai tingkatan tertinggi pada masa itu. Hanya saja, beberapa sejarawan ada juga yang
menganggap bahwa yang pantas menjadi ‘Bapak’ ilmu balaghah adalah Imam al-Sakaky. Tentu saja,
perbedaan pendapat dan kaidah balaghah yang seringkali berbenturan satu sama lain, selalu mewarnai
pembahasan kaidah dan tema ilmu balaghah secara merata.

Tokoh-tokoh Ilmu Balaghah dan Ilmu Ma’ani

Ilmu ma’ani membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide fikiran atau perasaan ke dalam
bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu
bayân adalah Abû Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran. Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam
bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan kitab pertama yang
membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu badî’ adalah karangan Ibn al-Mu’taz
dan Qudâmah bin Ja’far. Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang termashur,beliau
adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang kitab Dalâil al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-
Balâghah dalam ilmu bayân. Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab Miftah al-Ulûm
yang mencakup segala masalah dalam ilmu balâghah. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas,
masih banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan ilmu balâghah, yaitu:

1. Hasan bin Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang Arab sepakat bahwa ia adalah
seorang tokoh penyair dari kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia hidup selama 120 tahun;
60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia meninggal pada tahun 54 H.
2. Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang penyair kondang. Ia mendalami
kata-kata bahasa Arab yang aneh. Syi’irnya sangat indah dan memiliki keistimewaan, bercorak
filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu menguraikan rahasia jiwa. Ia dilahirkan di
Kufah, tepatnya di sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun 354 H.
3. Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis pembagian bab-bab dan macam-macam
syi’ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan
bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum Hijriyah. Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung
di Ka’bah sangat masyhur.
4. Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair yang masyhur, satu-satunya orang
yang mendalam pengetahuannya tentang maâni, fashahah al-syâir, dan banyak hafalannya. Ia wafat di
Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5. Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan
Bani Umayah. Mereka adalah al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq. Dalam beberapa segi ia melebihi
kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6. Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional. Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri
ditanya tentang al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini, Abu
Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam dan al-Mutanabbi
keduanya adalah para pilosof; sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan
wafat di sana pada tahun 284 H.”
7. Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta
syi’ir. Lahir tahun 303, wafat tahun 356.
8. Ibnu Waki’, ia seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir dan wafat di sana pada tahun
393 H.
9. Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah menjelajahi beberapa negara dan banyak
mendapatkan pujian dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-karyanya
khususnya pada buku-buku syi’ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517 H.
10. Al-Ma’arri, ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair
masyhur, lahir di Ma’arrah (kota kecil di Syam). Matanya buta karena sakit cacar ketika berusia
empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11. Ibn Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada
tahun 584 H, dan sebelumnya buta selama lima tahun.
12. Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup
lama menetap di Mesir dan berhasil mengharumkan negeri itu. Dia wafat pada tahun 330 H.
13. Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak mengharapkan kemurahan para raja
sekalipun mereka menyukai sastra dan para sastrawan. Ia wafat pada tahun 533 H.
14. Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari
dinasti Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali menggantungkan syi’irnya kepada Badî’. Dia
wafat pada tahun 208 H.
15. Abu al-‘Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H.
Syi’irnya mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan syi’irnya tentang
zuhud dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16. 1Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia memuji Ayyubiyyin dan menangani
sebuah karya sastra berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat di
sana pada tahun 619 H.
17. Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat menilainya sebagai seorang
penyair yang modern lagi indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Dia wafat
pada tahun 167 H.
18. Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena
kejeniusannya dalam bidang syi’ir. Ia dinilai oleh Abd al- Malik bin Marwan sebagai seorang Arab
yang paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn al-Mundzir. Di zaman
Jahiliyah, ia mempunyai kemah merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain
berdatangan kepadanya, lalu mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk ia nilai. Ia wafat sebelum
kerasulan Muhammad saw.
19. Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun
328 H. Ia terkenal dengan ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah, ketika ia
dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya (ratapannya) itu merupakan maratsi yang paling
jarangmengenai orang yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri memerintahkan
agar dia disalib. Dan seandainya ia sendiri yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut untuknya.
20. Syarif Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang nasabnya sampaikepada Husain bin Ali
as. Ia seorang yang berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut sebagai tokoh syi’ir Quraisy
karena orang yang pintar di antara mereka tidak banyak karyanya, dan orang yang banyak karyanya
tidak pintar, sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 406
H.
21. Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya
sangat mengagumkan. Ia banyak menulis buku-buku sastra dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22. Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal
berani dan menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan Muhammad. Ibnu Syuhaid al-Andalusi,
ia dari keturunan Syahid al-Asyja’i. Ia seorang pemuka Andalus dalam ilmu sastra. Ia dapat bersyi’ir
dengan indah dan karya tulisnya bagus. Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya pada tahun 426 H.
Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair yang fasîh, ahli riwayat, dan ahli nasab. Karya-karyanya
dalam bidang bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558 H. Abiyuwardi adalah nama
kota kecil di Khurasan.
23. Ibnu Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian syi’ah. Ia
diangkat menjadi wali pada salah satu benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia
memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun 466 H.
24. Ibnu Nubatah Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz, seorang penyair ulung yang sangat lihai
dalam merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun 405 H.

Mukjizat Alqur’an Menurut Balaghah

Alqur’an merupakan satu-satunya kitab samawi yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa tidak
seorang pun yang mampu menandinginya, meskipun seluruh manusia dan jin berkumpul untuk
melakukan hal itu. Bahkan, mereka tidak akan mampu sekalipun untuk menyusun, misalnya, sepuluh
surat saja, atau malah satu surat pendek sekalipun yang hanya mencakup satu baris saja.
Oleh karena itu, Alqur’an menantang seluruh umat manusia untuk melakukan hal itu. Dan banyak
sekali ayat-ayat Alqur’an yang menekankan tantangan tersebut. Sesungguhnya ketidakmampuan
mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan memenuhi tantangan tersebut merupakan bukti atas
kebenaran kitab suci itu dan risalah Nabi Muhammad saw. dari Allah swt.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Alqur’an telah membuktikan pengakuannya sebagai
mukjizat. Sebagaimana Rasul saw., pembawa kitab ini, tersebut telah menyampaikannya kepada umat
manusia sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat atas kenabiannya hingga akhir masa.
Hari ini – setelah 14 abad berlalu – bahana suara Ilahi itu masih terus menggema di tengah umat
manusia melalui media-media informasi dan sarana-sarana komunikasi, baik dari kawan maupun
lawan. Itu semua merupakan hujjah (argumentasi) atas mereka.

Dari sisi lain, nabi Islam, Muhammmad saw. – sejak hari pertama dakwahnya – senantiasa
menghadapi musuh-musuh Islam dan para pendengki yang sangat keras. Mereka telah mengerahkan
seluruh tenaga dan kekuatan untuk memerangi agama Islam. Setelah putus asa lantaran ancaman dan
tipu dayanya tidak berpengaruh sama sekali, mereka berusaha melakukan pembunuhan dan
pengkhianatan. Akan tetapi, usaha jahat itu pun mengalami kegagalan berkat inayah (pertolongan)
Allah swt. dengan cara menghijrahkan Nabi saw. ke Madinah secara rahasia pada malam hari.

Setelah hijrah, Rasul saw. menghabiskan sisa-sisa umurnya yang mulia dengan melakukan berbagai
peperangan melawan kaum musyrikin dan antek-antek mereka dari kaum Yahudi. Semenjak beliau
wafat hingga hari ini, orang-orang munafik dari dalam dan musuh-musuh Islam dari luar senantiasa
berusaha memadamkan cahaya Ilahi ini. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan dalam rangka
ini. Seandainya mereka mampu menciptakan sebuah kitab sepadan Alqur’an, pasti mereka akan
melakukannya, tanpa ragu sedikitpun.
Di zaman modern sekarang ini, kekuatan adidaya dunia (Amerika dan sekutunya) melihat bahwa
Islam adalah musuh terbesar yang sanggup mengancam kekuasaan arogan mereka. Maka itu, mereka
senantiasa berusaha memerangi Islam dengan segala kekuatan dan sarana yang mereka miliki berupa
materi, strategi, politik, dan informasi. Seandainya mereka mampu menjawab tantangan Alqur’an, dan
sanggup menulis satu baris saja yang menandingi satu surat pendek darinya, pasti mereka sudah
melakukannya dan menyebarkannya melalui media informasi dunia. Karena memang cara semacam
itu (menyebarkan informasi ke seluruh dunia) merupakan usaha yang paling mudah dan paling efektif
dalam menghadapi Islam dan menahan perluasannya.

Atas dasar uraian di atas, setiap manusia berakal yang mempunyai kesadaran yang cukup merasa
yakin – setelah memperhatikan hal-hal tersebut – bahwa Alqur’an merupakan kitab samawi yang
istimewa, yang tidak mungkin ditiru atau dipalsukan, dan tidak mungkin pula bagi setiap individu
atau kelompok manapun untuk menciptakan kitab yang sepadan dengannya, sekalipun mereka
mengerahkan seluruh kekuatan dan telah menjalani pendidikan dan pelatihan khsusus.

Artinya, kitab suci itu memiliki ciri-ciri kemukjizatan yang luar biasa, tidak bisa ditiru dan
dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas kebenaran kenabian seseorang. Tampak jelas bahwa
Alqur’an merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim Muhammad saw sebagai
nabi Allah. Sedangkan agama Islam yang suci adalah hak dan karunia Ilahi yang paling besar bagi
umat Islam. Alqur’an diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga akhir masa, yang kandungannya
merupakan bukti atas kebenarannya. Begitu sederhananya argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh
setiap orang dan dapat diterima tanpa mempelajarinya secara khusus.

Manfaat mempelajari Ilmu Balaghah


Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad.
Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas
tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan seseorang kepada
pengetahuan tentang ke-I’jaz-an al-Qur’an;
2. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu seorang yang bergelut
dengan diskursus al-Qur’an terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-
pesan yang tertuang didalamnya.

Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf yang artinya:
“Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah rahasia yang rumit di tempuh, paling
padat dengan kandungan rahasia yang pelik, yang membuat watak dan otak manusia kewalahan untuk
memahaminya adalah ilmu tafsir, yakni ilmu yang sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki oleh
orang yang berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk menyelam kekedalaman hakekat
pemahaman tersebut kecuali seseorang yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik
ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan.

Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah tersendiri, mulai
dari benihnya, munculnya, hingga perkembangannya.
Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah mendarah daging dalam penggunaan
bahasa Arab baik dalam puisi maupun prosa. Dalam masa ini kemudian Al-Quran turun dengan
kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.

Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan dikenal pada masa abbasiy kedua,
yaitu abad ketiga dan keempat hijriyah. Pada masa ini, balaghah masih belum jelas bentuknya.
Kemunculan ini disertai dengan disusunnya kitab dengan tema tersebut.

Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima dengan cirri khasnya yang mulai bersinggungan
dengan I’jazul Quran sehingga memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam.
Keduanya berbeda dalam perspektif terhadap balaghah. Aliran balaghah kalam lebih banyak
berpegang kepada analogi dan logika filsafat dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran
sastra lebih mengedepankan daya seni dan daya tangkap keindahan.

Ilmu balaghah yang terus berkembang dan sampai kepada kita saat adalah yang lebih bercorak
kalamiyyah, memiliki banyak batasan kata dan definisi-definisi.
Demikianlah, dan ilmu ini tidak menutup kemungkinan untuk terus berubah menuju lebih baik atau
bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tergantung kepada para pemegang ilmu ini, apakah akan
membiarkannya terdiam ataukah akan membawanya menuju kemajuan.

Anda mungkin juga menyukai