Anda di halaman 1dari 36

QIRA'AT DAN TARANNUM

QIRAAT DAN TARANNUM


SEBAGAI MEDIA DAKWAH ISLAM

Oleh : Ahsin Sakho Muhammad

s
aat ini manusia memasuki dan di tengah era globalisasi, dimana hubungan antar
manusia tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Informasipun mengalir
dengan sangat deras ke seluruh pelosok dunia dalam hitungan detik. Hubungan
antar bangsa berjalan dengan intensnya. Hal itu menyebabkan terjadinya benturan
budaya, adat istiadat, keyakinan agama dan lain-lainnya. Dari benturan-benturan
ini terjadilah apa yang dinamakan dengan kondisi saling mempengaruhi. Di era
globalisasi dan komunikasi ini, mereka yang bisa mengemas sesuatu menjadi
menarik, merekalah yang bisa mempengaruhi yang lain. Ini di satu sisi
Di sisi lain, kondisi demikian juga berdampak pada menguatnya
kecenderungan terkikisnya dan menipisnya nilai-nilai keagamaan, serta nilai nilai
lokal (lokal wisdom). Dalam hal budaya, kita melihat kecenderungan masyarakat
muslim yang meniru perilaku bangsa-bangsa yang maju, dalam berbagai hal, mulai
dari seni musik, mode, makanan dan gaya hidup lainnya. Kehidupan modern
mengakibatkan perobahan gaya hidup menjadi materialis, hedonis, egois, rasionalis
dan lain sebagainya. Umat Islam terlihat gagap dan gamang di tengah kemajuan
yang demikian pesat.
Menghadapi hal-hal demikian maka masyarakat muslim masa kini
memerlukan sebuah strategi dawah Islam yang bisa membawa umat agar mereka
tetap istiqamah dengan keislamannya. Umat Islam juga perlu mengemas agar
dakwah Islamiyah tetap diminati diminati oleh masyarakat kontemporer. Sehingga
Islam tetap eksis di manapun dan sampai kapan pun, shalih likulli zaman wa
makan.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam dan menjadi rujukan utama dalam
memahami Islam, perlu di sosialisasikan kepada masyarakat dengan baik dan
dengan metode pendekatan yang baik pula. Tujuan akhirnya adalah bagaimana Al-
Quran menjadi sebuah kitab hidayah dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari.Banyak hal yang perlu diungkap dalam Al-Quran agar bisa menjadi
barometer mengukur kebenaran dan kebaikan. Diantara metode yang cukup
menarik adalah melalui pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran dengan tarannum
atau melagukan bacaan Al-Quran. Melagukan bacaan Al-Quran akan bisa
mengimbangi masyarakat modern yang gandrung akan musik dan seni
kontemporer saat ini.
Jika pada masa lalu, kaum muslimin sudah terbiasa dengan satu macam
bacaan saja yaitu bacaan Imam Ashim, riwayat Hafsh, maka pada saat ini, terlebih
setelah masa golobalisi, masyarakat mengenal adanya bacaan lain selain Hafsh
yaitu bacaan yang ada pada Qiraat Tujuh dan Qiraat Sepuluh. Kedua macam
bacaan ini akhirnya menjadi trend yang cukup menarik untu di pelajari.

ILMU QIRAAT
Ilmu Qiraat adalah salah satu cabang Ulum al-Quran yang mempunyai
posisi sangat penting dalam kajian ilmu keislaman. Bagaimana tidak? Ilmu Qiraat
adalah ilmu yang paling konsen dalam meneliti keabsahan teks Al-Quran, baik
dari segi pengucapan maupun dari segi tulisan. Jika sebuah teks Al-Quran
dianggap valid baik dari segi ucapan maupun tulisan, maka teks tersebut sudah bisa
dianalisa oleh ahli-ahli keislaman yang lain. Pakar tafsir akan meneliti dari segi
kandungan maknanya, pakar sastra akan meneliti dari segi kekuatan sastranya,
sementara para ahli hukum Islam (fuqaha) akan meneliti dari kandungan hukum
dan apa yang bisa di istinbath-kan dari ayat-ayat hukum. Pakar gramatika bahasa
Arab akan meneliti segi nahwu-sharaf (Gramatika-Morfologi) untuk dijadikan
rumusan kaidah umum dalam kedua ilmu tersebut.
Untuk meneliti keabsahan sebuah teks Al-Quran diperlukan rangkaian
penelitian yang cukup mendalam yang mencakup segi kesahihan sanadnya,
kesesuaiannya dengan kaedah-kaedah bahasa arab dan kesesuaianya
dengan Rasm Usmani. Tiga hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang
yang betul-betul ahli dalam bidangnya.
Pada saat ini Ilmu Qiraat kembali dikaji oleh banyak kalangan. Bisa
dikatakan bahwa Ilmu Qiraat telah hidup kembali, setelah demikian lama tertidur.
Banyak institusi pendidikan agama Islam yang mengkhususkan diri mengajarkan
Ilmu Qiraat, seperti diKulliyyatul Quran di Islamic University Madinah Saudi
Arabia, Kulliyyatul Quran di Jamiah al-Azhar cabangThantha, Mesir.
Lalu Jamiah Ulum al-Quran di Sudan, belum lagi Program Studi Ilmu Qiraat
yang ada pada konsentrasi ilmu-ilmu kequranan pada sebuah perguruan tinggi,
belum lagi pada lembaga-lembaga swasta dan perorangan dan lain sebagainya.
Sementara itu banyak bacaan Al-Quran dengan berbagai macam riwayat dari
Imam Tujuh (al-Qurra as-Sabah) atau Imam sepuluh (al-Qurra al-Asyrah) telah
banyak beredar. Begitu juga kitab-kitab mengenai Ilmu Qiraat telah banyak terbit.
Kitab-kitab klasik tentang Ilmu Qiraat terutama yang dijadikan pedoman atau
landasan oleh Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya an-Nasyr fil Qiraat al-Asyr
yang tadinya masih berupa manuskrip (makhthuthat) telah banyak di tahqiq oleh
kalangan akademis dan pada akhirnya terbit dan beredar dipasaran.
Pada sisi lain, sudah banyak kaset yang beredar yang berisi rekaman para
qari/qariah yang membaca dengan ragam bacaan dari qiraat tujuh atau sepuluh,
apakah dengan bacaan mujawwad (tarannum, tilawah, dengan lagu)
atau murattal (tartil). Ternyata kemunculan Ilmu Qiraat dengan segala macam
variasinya telah membawa citra situasi keislaman yang positif di tengah-tengah
masyarakat Islam dewasa ini.
Imam Ibn al-Jazari memberikan definisi Ilmu Qiraat sebagai berikut :
" "
Artinya : Ilmu yang membahas tata cara mengucapkan lafazh-lafzah Al-Quran dan
perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada perawinya.
(Munjid al-Muqriin h. )
Syekh Abdul Fattah al-Qadli dalam kitabnya al-Budur az-Zahirah
memberikan definisi yang tidak berbeda dengan Ibn al-Jazari, namun sedikit lebih
rinci lagi. Beliau mengatakan:

.
Artinya : Ilmu Qiraat ialah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan
dan melafazhkan kalimat-kalimat Al-Quran, baik yang disepakati (oleh ahli
qiraat) atau yang diperselisihkan, dengan selalu menisbatkan semua bacaan
tersebut kepada para perawinya masing-masing. (al-Budur az-Zahirah : )
Dari definisi diatas ada beberapa hal yang bisa dikemukakan disini syaitu :
Pertama : Ilmu Qiraat adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Quran
dari segi cara pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang
menganalisa makna yang ada di balik teks-teks Al-Quran. Ilmu Qiraat sangat
mengandalkan oral (lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat Al-Quran dalam
semua seginya, seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya,
hukum-hukum tajwid sepertiidgham, iqlab, ikhfa, izhar dan lain sebagainya,
sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Hal
ini berbeda dengan membaca teks lain selain Al-Quran, seperti membaca teks
hadis nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Quran.
Dengan demikian Ilmu Qiraat sangat terkait dengan tathbiq (praktik) membaca.
Mungkin banyak orang yang mengerti teori Ilmu Qiraat, tapi pada akhirnya dia
harus juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah
apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jazari dalam Thayyibah an-Nasyr:

Artinya : hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang dengan ilmu
qiraat adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan
mulutnya (mempraktikkan bacaan).
Kedua : Ilmu Qiraat sangat terkait dengan arabisme . Hal ini tidak bisa
disangkal lagi karena Al-Quran diturunkan di Jazirah arab, kepada nabi yang
berbangsa arab, dan kaum yang juga berbangsa arab. Bahasa yang digunakan juga
berbahasa arab. Maka cara pengucapan kalimat-kalimat Al-Quran juga mengacu
kepada cara orang arab melafalkan kalimat-kalimat arab. Bagi bangsa yang non
arab, pada saat melafalkan Al-Quran harus menyesuaikan diri dengan cara yang
digunakan oleh orang arab yang fasih membaca, lalu dipadukan dengan cara yang
diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang qari/qariah yang
mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Quran secara tepat, seakan-akan
dia adalah orang arab. Tidak kelihatan lagi laknah ajamiyyahnya atau aksen
ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang arab yang mampu membaca
Al-Quran dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan
yang diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai
kepada Syuyukh al-Qurra.
Ketiga : Ilmu Qiraat adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang
sudah given (sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu
syekh( pakar Ilmu Qiraat) ke syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus
menerus sampai kepada Nabi Muhammad S.A.W. Hal ini berbeda dengan
IlmuTafsir tugasnya yang menganalisa teks-teks Al-Quran dari segi maknanya.
Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk kepada hadis nabi,
perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang mufassir. Hasil
ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-Quran
yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain,
dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa di tolelir
dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qiraat yang sama sekali tidak
mentolelir adanya perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan
bacaan bisa di toleleir jika betul-betul berasal dari nabi. Imam Syathibi berkata
dalam hirzil Amani :

Artinya : tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam
ilmu qiraat. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qiraat.
Dengan adanya silsilah sanad dalam Ilmu Qiraat, maka Al-Quran masih tetap
dalam orsinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari
Ilmu Qiraat.
Keempat : Ilmu Qiraat sangat terkait dengan Rasm Mushaf Usmani karena setiap
bacaan harus selalu mengacu kepada Mushaf Al-Quran yang telah mendapatkan
persetujuan dan ijma para sahabat nabi pada masa penulisan mushaf pada zaman
Usman bin Affan atau mushaf yang sesuai dengan rasm usmani.
Lintasan Sejarah Ilmu Qiraat
Ilmu Qiraat sebagaimana ilmu ilmu keislaman lainnya mengalami pasang
surut. Hal itu dimulai dari masa pertumbuhan kemudian masa keemasan dan masa
kejayaan lalu masa stagnasi atau kemunduran dan masa kebangkitan kembali dan
masa pencerahan. Berikut ini dikemukakan masa masa tersebut.
1.Masa Pertumbuhan.
Masa ini dimulai dari masa nabi Muhammad S.A.W yaitu ketika nabi
mengajarkan Al-Quran kepada para sahabatnya baik ketika masih berada di
Mekah maupun setelah beliau hijrah ke Madinah. Nabi mengajarkan Al-Quran
kepada para sahabatnya melalui beberapa cara :
Pertama : membaca dengan tartil. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
[4 : ( ]4)
Tentang hal ini salah seorang sahabat nabi yaitu Ibn Abbas menceritakan :
} {
(94 / 2) -) (

Artinya :nabi mengajarkan kepada kami lafazh-lafzah tasyahhud sebagaimana


beliau menajarkan kepada kami Al-Quran.
Dalam hadis ini Ibn Abbas memberikan informasi kepada kita tentang cara
nabi mengajarkan tasyahhud yaitu sebagaimana beliau mengajarkan Al-Quran.
Pemahaman kita pada riwayat ini bahwa nabi mengucapkan beberapa kalimat lalu
ditirukan oleh para sahabatnya. Jika sudah bisa ditirukan dengan baik dan benar
maka nabi melanjutkan bacaannya, dan begitu seterusnya.
Pada riwayat lain sebagaimana diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik
dijelaskan bagaimana nabi memerhatikan aspek tartil dalam membaca Al-Quran.
: :
.
(524 / 10) -

Artinya : berkata Qatadah: aku bertanay kepada Anas tentang cara nabi membaca
Al-Quran. Maka sahabat Anas menjawab : beliau (nabi) memanjangkan
suaranya dengan jelas.
Ummi Salamah, isteri nabi juga mengemukakan hal yang sama. Beliau
berkata :
. } { : :
(524 / 10) -
Artinya : nabi membaca alhamdulillahi rabbil alamin secara jelas, huruf demi
huruf.
Apa yang dilakukan nabi sejalan dengan perintah Allah kepada nabiNya agar
membaca Al-Quran dengan tartil yaitu pelan, sehingga jelas huruf-hurufnya.
Dengan bacaan tartil akan bisa melakukan tadabbur (menghayati) terhadap ayat
ayat Al-Quran
Kedua : nabi mengajarkan Al-Quran sedikit demi sedikit. Hal itu bisa dipahami
dari perkataan Abu Abdurrahman as-Sulami :
:
. (3)
(8 / 1) -
Artinya : Abu Abdirrahman berkata : guru-guru kami meminta nabi membacakan
Al-Quran kepada mereka. Jika mereka telah belajar 10 ayat, mereka tidak
beranjak ke ayat berikutnya sampai mereka bisa mengamalkan isinya. Dengan
demikian kami bisa mempelajari Al-Quran dan mengamalkannya sekaligus.
Ketiga : mengajarkan berbagai macam bacaan.
Nabi mempunyai pandangan yang jauh kedepan dalam hal berdawah dan
mensosialisasikan Al-Quran kepada para sahabatnya. Nabi melihat bahwa orang
arab terdiri dari berbagai macam puak (kabilah) yang mempunyai berbagai macam
dialek. Disamping itu nabi menginginkan agar Al-Quran bisa dibaca oleh semua
kalangan, mulai dari anak kecil, yang buta huruf sampai orang tua. Dalam sebuah
hadis disebutkan :
:
: :
. (3)"
Artinya : nabi bertemu Jibril, lalu beliau berkata : hai Jibril, aku diutus kepada
umat yang ummi (buta huruf), diantara mereka ada yang sudah tua, anak-anak,
dan orang yang tidak bisa membaca sama sekali. Jibril berkata : hai Muhammad,
sesungguhnya Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf.
Banyak sahabat yang meriwayatkan hadis yang semisal dengan hadis diatas.
Abdushabur Syahin dalam kitanya Tarikh al-Quran menyebutkan bahwa ada 25
sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang
meriwayatkan hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai
kwalitas Dlaif berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad
berkwalitas sahih. Dilihat dari sisi ini Syahin menggolongkan hadis ini kedalam
hadis yang mutawatir.(Lihat tarikh al-Quran, h.56) .
Banyak ulama yang berbeda pendapat dalam memahami hadis diatas. Secara
garis besar bisa terbagi menjadi dua pendapat. Pertama : yang mengatakan bahwa
hadis tersebut termasuk mutasyabihat atau yang sukar dipahami
maknanya. Kedua : yang mengatakan bahwa hadis tersebut bisa dipahami
maknanya.
Mereka yang bisa memahami maksud hadis tersebut berbeda dalam
memahami kata tujuh pada hadis tersebut. Ada yang memaknai sebagai bilangan
yang pasti yaitu antara bilangan delapan dan enam. Dan adapula yang
memaknai angka tersebut sebagai kiasan dari sesuatu yang banyak, sebagaimana
bilangan tujuh puluh untuk bilangan banyak pada hitungan puluhan sebagaimana
firman Allah :
[80 : ]
Atau bilangan tujuh ratus untuk bilangan ratusan sebagaimana firman Allah :


[261 : ( ]261)
Jika yang dimaksud dengan bilangan tujuh adalah kiasan untuk arti banyak,
maka pengertian hadis tersebut adalah bahwa Al-Quran bisa dibaca dengan
banyak ragam bacaan dan semuanya berasal dari Allah.
Sementara mereka yang berpendapat bahwa bilangan tujuh adalah haqiqatul
adad juga berbeda pendapat didalam menentukan tujuh huruf tersebut.
Ada yang berpendapat tujuh bahasa sebagaimana yang diutarakan oleh
Abu ubaid al-Qasim bin Sallam (w 224 H) dengan arti bahwa tujuh bahasa
tersebut adalah induk dari bahasa-bahasa arab yang masyhur seperti : Quraisy,
Hudzail, Tamim, Azd, Rabiah, Hawazin, Sad bin Bakr. Satu bahasa terkadang
lebih banyak digunakan dari yang lainnya, tapi tidak sampai keluar dari tujuh
bahasa tersebut. Mereka pun berbeda pendapat dalam menentukan tujuh bahasa
tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa maksud dengan sabatu ahruf adalah sab
Qiraat( tujuh bacaan). Artinya ada beberapa kalimat al-Quran yang dibaca
dengan satu bacaan saja. Ada juga yang dibaca dengan dua, tiga, tapi maksimal
sampai tujuh aneka bacaan.
Ada yang memaknai bahwa maksud dengan sabatu ahruf adalah sabatu
Aujuh atau tujuh macam perbedaan dalam cara pengucapan. Contohnya antara
mufrad dan jama, antara mudzakkar dan muannats, antara taqdim dan takhir dan
lain sebagainya. Mereka yang mengikuti pendapat inipun, seperti analisa Ibn al-
Jazari(w 833 H) berbeda dengan analisa dan abul Fadl ar-Razi. Ar-Razi
mengatakan bahwa tujuh macam perbedaan itu seperti : 1. Perbedaan bentuk isim
seperti mufrad-tatsniyah-Jama antara Tadzkir-Tanits. 2. Perbedaan bentuk fiil
seperti Madli-mudlari-Amar. 3.Perbedaan Irab seperti : Rafa-Nashab-Jazm.
4.Naqsh-Ziyadah (penambahan dan pengurangan huruf). 5.Taqdim-Takhir.6.Ibdal
(mengganti huruf).7.Perbedaan dialek seperti : Imalah-Fath, Tarqiq-Tafkhim,
Idgham-Izhar dlsb. (al-Itqan : 1/131). Sementara Ibn al-Jazari mengatakan bahwa 7
macam perbedaan itu adalah : 1.Perbedaan harakat tanpa merobah makna dan
bentuk kalimat seperti : ( ) ( ) . 2.Perbedaan huruf yang menyebabkan
perbedaan makna bukan bentuk kalimat (shurah) seperti :(
) .3.Perbedaan huruf yang menyebabkan perbedaan makna, tapi tidak dalam
bentuk kalimatnya(shurah) seperti : ( ) ( ) .4.Perbedaan
huruf yang tidak merobah makna seperti : ( ) . 5.Perobahan huruf
dan makna seperti : ( ) ( ) 6.Taqdim-
Takhir seperti : ( ) .7.Tambahan dan pengurangan huruf seperti :. (
( ) an-Nasyr : 1/38). Ibn al-Jazari memandang bahwa perbedaan dari
segi bacaan : Imalah-Fath, Idgham-Izhar, Raum-Isymam, Tafkhim-Tarqiq, tahqiq-
tashil-Ibdal-Naql, Mad-Qashr, bukan perbedaan yang hakiki.
Masih banyak lagi ulama yang memberikan komentar terhadap hadis diatas.
Imam Sayuthi menyebutkan sampai 36 pendapat. Dari ke 36 pendapat tersebut ada
yang lebih mendekati kepada ruh an-nash ada yang sudah diluar jalur, seperti
mereka yang menganalisa tujuh macam perbedaan tersebut terkait dengan makna,
seperti halal-haram, janji-ancaman dan lain sebagainya. Adanya banyak
pendapat tersebut dikarenakan tidak adanya satu teks/nash dari nabi atau sahabat
yang menjelaskan arti Sabatu Ahruf sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Arabi
seperti dikutip oleh az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan :
) :(
(212 / 1) -
Artinya : tidak ada satu penjelasanpun yang menentukan arti dari sabatu ahruf
ini. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat.
Dalam pandangan penulis, menentukan sabatu ahruf dalam ketiadaan
nash atau atsar hanyalah ijtihadi saja, bukan merupakan kepastian. Boleh jadi
begitu, boleh juga lainnya. Yang perlu digaris bawahi dalam mengamati arti
sabatu ahruf adalah bahwa nabi mengajarkan Al-Quran kepada para
sahabatnya: 1. dengan aujuh mutaghayirah (beragam bacaan). Satu bacaan
berbeda dengan lainnya dari segi cara pelafalannya. Perbedaan tersebut adakalanya
terkait dengan bahasa, dialek, atau lainnya. Adakalanya menyebabkan perbedaan
makna dan adakalanya tidak. 2.Beragam bacaan tersebut semuanya munazzalah
atau diturunkan oleh Allah kepada nabiNya atau semuanya berasal dari Allah
melalui nabiNya. 3.Tujuan dari semuanya adalah untuk memudahkan bagi
umatnya.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang eksistensi sabatu ahruf saat ini.
Apakah masih eksis atau tinggal satu huruf yaitu Harf Quraisy. Begitu juga mereka
berbeda pendapat tentang eksistensi sabatu ahruf pada rasm usmani. Ada yang
mengatakan tinggal satu yaitu harf quraisy. Ada yang mengatakan semuanya masih
ada, karena umat islam tidak bisa menghilangkan bacaan yang pernah diajarkan
oleh nabi kepada para sahabatnya. Mereka harus mempertahankan eksistensi
Qiraat-qiraat tersebut. Ibn al-jazari berpendapat bahwatulisan pada mushaf
usmani yang ada sajalah yang masih mencakup al-Ahruf as-Sabah. Hal itu
tidak mengikut sertakan bacaan yang telah di nasakh. Menurut pendapat penulis
apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jazari cukup beralasan mengingat ragam bacaan
yang terdapat pada qiraah tujuh atau sepuluh masih bisa dibayangkan unsur
taysir atau kemudahannya seperti bacaan idgham atau imalah dan lain
sebagainya. Bisa dikatakan bahwa bacaan yang ada pada Qiraat Tujuh dan
Sepuluh adalah sebagian dari al-Ahruf as-Sabah yang dahulu pernah diajarkan
oleh nabi kepada para sahabatnya. Nabi berkata :
(28 / 1) - .
Artinya : sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah
apa yang mudah darinya.
Perkataan nabi ini menjelaskan bahwa umat islam tidak wajib membaca semua
varian bacaan, tapi mereka diperbolehkan memilih dari beberapa varian bacaan
yang ada sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka. Perkataan nabi
ini memberikanpemahaman bahwa mempertahankan keseluruhan al-Ahruf as-
Sabah adalah tidaklah wajib. Betapapun demikian, bacaan yang mutawatir perlu
dilestarikan untuk menjaga keaslian dan ke otentikan Al-Quran.
II.Masa Perkembangan.
Masa perkembangan qiraat ditengarai dengan tiga hal yaitu :
a. Berpencarnya sahabat nabi di berbagai pelosok negeri islam untuk mengajarkan
Al-Quran dan ajaran islam pada umumnya.
b. Munculnya komunitas Al-Quran pada setiap negeri.
c. Munculnya Ahli-Ahli Al-Quran pada setiap negeri.
Berikut uraiannya. Fase pertama dari masa perkembangan qiraat dimulai dari
berpencarnya para sahabat nabi ke beberapa negeri islam disusul dengan
terbentuknya komunitas ahli qiraat di negeri-negeri tersebut. Seperti Abu Musa
al-Asyari datang ke kota basrah dan menyebarkan Al-Quran di negeri tersebut.
Ibn Masud ke Kufah, Abud Darda ke kota Syam, dan lain sebagainya. Di kota
kota tersebut mereka mengajarkan Al-Quran kepada kaum muslimin setempat.
Bacaan yang mereka ajarkan adalah apa yang telah mereka terima dari nabi.
Setelah mushhaf al-Imam selesai ditulis pada masa Khalifah Usman, bacaan yang
sesuai dengan mushhaf tersebut langsung di sosialisasikan kepada publik.
Fase berikutnya adalah fase munculnya komunitas Al-Quran pada setiap
negeri. Pada fase ini muncul para Imam-Imam Qiraat pada setiap negeri-negeri
Islam. Para pakar Qiraat pada masa lalu seperti : di Madinah muncul nama Said
bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz dll. Di Mekah muncul
nama : Ubaid bin Umair, Atha, Thawus dan lain lainnya. Di Kufah muncul nama-
nama Aswad bin Yazid, Alqamah, Masruq dan lain lainnya. Di Bashrah muncul
Amir bin Abd Qais, Yahya bin Yamur, Nashr bin Ashim dan lain lainnya. Di
Syam muncul nama nama Mughirah bin Abi Syhihab, Khulaid bin Sad dan lain
lainnya.
Fase ketiga dari fase perkembangan adalah fase munculnya ahli-ahli
qiraat. Pada fase ini muncul generasi baru yang mempunyai perhatian lebih serius
lagi terhadap bacaan yang sampai kepada mereka . Maka muncullah nama- nama
ahli qiraat yang terkenal pada setiap negeri seperti : Abu Jafar Yazid bin al-
Qaqa, Nafi di madinah. Abdullah bin Katsir, Humaid bin Qais dan lain lainnya di
Mekkah. Ashim, Hamzah, Kisai dan lain lainnya di kufah. Abu Amr bin al-Ala,
Yaqub, Isa bin Umar dan lain lainnya di Basrah. Di Syam muncul Abdullah bin
Amir, Yahya bin al-harits adz-Dzimmari dan lain lainnya. Mekekalah generasi
yang akhirnya mampu menjadikan Ilmu Qirat lebih kokoh lagi.
III.Masa Penulisan (tadwin) Ilmu Qiraat.
Pada perkembangan berikutnya, dan sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu
keislaman lainnya, Ilmu Qiraat memasuki tahap pentadwinan. Sebagian peneliti
mengatakan bahwa pentadwinan Ilmu Qiraat dimulai pada akhir abad pertama
hijriyah. Disebutkan bahwa Yahya bin Yamur (w 90 h) murid dari Abul Aswad ad-
Duali adalah orang pertama yang menulis Ilmu Qiraat. Lalu berturut turut muncul
kitab kitab qiraat lainnya seperti yang di lakukan oleh Abdullah bin Amir ( w 118
h), Aban bin Taghlib al-Kufi (w 141 h), Muqatil bin Sulaiman (w 150 h) Abu Amr
bin al-Ala al Bashri (w 156 h), Hamzah bin habib az-Zayyat (w 156 h), harun bin
Musa al-Awar (w 170 h), al-Akhfasy al-Kabir (w 177 h), al-KisaI (w 189 h),
Yaqub al-Hadrami (w 205 h), Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w 224 h), Abu
Umar, Hafsh bin Umar ad-Duri (w 246 h), Abu Hatim as-Sijistani (w 255 h), dan
lain lainnya. Sebagian mengatakan bahwa Abu Ubaid lah sebenarnya orang yang
pertama kali menulis kitab Ilmu Qiraat. Dia telah menghimpun bacaannya 25
Imam. Termasuk didalamnya Imam Tujuh yang terkenal itu.
IV.Pembakuan Qiraat Sabah.
Penulisan Ilmu Qiraat pada abad pertama, kedua dan ketiga lebih cenderung
kepada penghimpunan riwayat dalam qiraat yang sampai kepada mereka tanpa
melihat kwalitas dari periwayatan yang ada. Terlebih pada kitab qiraat yang
menghimpun banyak Imam dan riwayat. Boleh jadi pada riwayat yang dihimpun
ada riwayat yang tidak masuk dalam kriteria riwayat yang sahih. Dari sinilah
tersebar riwayat riwayat tersebut di tengah masyarakat. Melihat gejala yang
demikian ini seorang ahli qiraat dari Baghdad yang bernama Ibn Mujahid Ahmad
bin Musa bin al-Abbas al-Baghdadi (w 324 h) berinsiatif untuk menghimpun
Qiraat yang mewakili setiap negeri islam yang betul- betul merepresentasikan
qiraat yang mutawatir. Sehingga masyarakat bisa lega dan tenang. Karena apa
yang ada pada kitab ini betul-betul qiraat yang disepakati keasahihannya oleh para
ulama qiraat pada masa itu. Sebagai contoh, bacaan Ibn Katsir adalah bacaan yang
disepakati oleh penduduk Mekah pada saat itu. Di Syam bacaan yang paling
masyhur adalah bacaan Ibn Amir, dan seterusnya. Ibnu Mujahid menulis kitab
as-Sabah yang menghimpun bacaannya tujuh Imam Qiraat yang terkenal.
Mereka adalah : 1.Nafi bin Abi an-najud dari Madinah. 2. Abdullah bin Katsir (w
120 h) dari Mekah. 3. Abu Amr bin al-Ala al-Bashri (w 154 h) dari
Basrah. 4. Abdullah bin Amir (w 118 h) dari Syam. 5. Ashim bin Abi an-Najud
(w 127 h). 6. Hamzah bin Habib az-Zayyat (w 156 h) dan 7. Ali bin Hamzah al-
Kisai (w 189 h), ketiganya dari Kufah.
Setelah kemunculan Kitab as-Sabah, para ulama menyikapinya berbeda.
Ada yang pro dan ada yang tidak setuju. yang pro menindak lanjuti dengan
mengadakan penelitian tentang segala aspek riwayat dan bacaan yang bermuara
kepada Imam Tujuh tersebut. Lalu muncul kitab kitab yang membicarakan bacaan
Imam Tujuh tersebut. Sementara itu penulisan Ilmu Qiraat masih terus
berlangsung. Ada yang menghimpun bacaannya Imam Tujuh dan adapula yang
menghimpun bacaan Imam Lima.Imam Delapan Imam Sembilan dan lebih dari
itu.
V.Dari Imam Ibn Mujahid (w 324 h) sampai Ibn al-Jazari (w 833 h).
Apa yang dilakukan oleh Imam Ibn Mujahid ternyata mendapatkan respons
yang sangat positif dari komunitas qiraat pada masanya dan masa setelahnya.
Salah satu yang meresopons prakarsa Ibn Mujahid adalah Imam Abu Amr ad-Dani
(w 444 h). ad-Dani mempunyai ambisi yang sangat tinggi untuk menghimpun
riwayat yang bermuara pada Imam Tujuh. Kitabnya Jamiul Bayan Fil Qiraat as-
Sab merupakan kitab tentang Qiraah Sabah yang paling luas cakupannya
dalam periwayatan. Ada lebih dari 500 riwayat dan Thariq yang bermuara pada
Imam Tujuh. Melihat cakupannya yang demikian banyak, ad-Dani meringkas
periwayatan dari Imam Tujuh menjadi dua perawi saja dari setiap Imam. Hal itu
bisa dilihat dalam kitabnya at-Taysir . Dalam kitab at-Taysir Imam Nafi
mempunyai dua perawi yaitu : Qalun dan Warsy. Imam Ibn Katsir dengan
perawinya : al-Bazzi dan Qunbul. Imam Abu Amr al-bashri dengan perawinya :
ad-Duri dan as-Susi. Imam Ibn Amir dengan perawinya : Hisyam dan Ibn
Dzakwan. Imam Ashim dengan perawinya : Syubah dan Hafsh. Imam Hamzah
dengan perawinya : Khalaf dan Khallad. Imam KisaI denganperawinya : Abu al-
harits dan ad-Duri al-Kisai. Boleh dikata bahwa abad ke lima hijriyah adalah masa
penyederhanaan rawi-rawi qiraat.
Apa yang ditulis oleh ad-Dani ditindak lanjuti oleh Imam Syathibi (w 591 h)
dengan menazhamkan materi kitab at-taysir kedalam satu karya master Piecenya
yaitu Hirzul Amani wa wajhuttahani . Nazham yang sangat memukau banyak
kalangan ini berisi 1171 bait. Nazham ini cepat mendapat sambutan yang sangat
antusias dari para pakar Ilmu Qiraat. Tidak kurang 50 kitab yang mensyarahi kitab
ini. Ilmu Qiraat sabah bisa menyebar ke pelosok negeri karena kitab ini.
Perkembanagn Ilmu Qiraat tidak terhenti sampai disini. Karena ternyata
Imam Ibn al-jazari (w 833 h) yang telah mendapatkan banyak pengalaman dalam
menimba Ilmu Qiraat mampu meyakinkan banyak kalangan untuk menerima
kehadiran qiraat sepuluh yaitu qiraat tujuh ditambah dengan qiraat tiga Imam
lainnya yaitu Imam Abu Jafar Yazid bin al-Qaqa (w 130 h), Yaqub al-Hadlrami
(w 205 h) dan Khalaf bin Hisyam al-Bazzar (w 229 h). Ibn al-Jazari menulis
beberapa kitab tentang qiraat antara lain :
1.Kitab Nazham yang bertajuk ad-Durrah al-Mudliah fil Qiraat al-Mutammimah
lilAsyrah. Kitab ini terdiri dari 241 bait yang berisi tentang bacaan Imam Tiga
yaitu :Abu Jafar, Yaqub bin Ishaq al-Hadlrami dan Khalaf bin Hisyam al-
Bazzar atau disebut juga dengan Khalaf al-asyir. Jalur periwayatan yang dianut
Ibn al-Jazari dalam kitab ad-Durrah mengikuti jalur periwayatan Imam Syathibi
yaitu hanya mengikut sertakan dua perawi dari setiap Imam dan satu Thariq dari
setiap perawi. Kecuali riwayat Idris dari Khalaf al-Asyir yang mempunyai dua
(2) thariq. (Lihat Muqaddimah Thayybah an-Nasyr oleh Tamim az-Zubi). Perawi
yang disertakan adalah perawi Magharibah . jumlah Thariq yang ada pada kitab
ad-Durrah adalah 21 Thariq.
2.Kitab Tahbir at-Taysir yang menghimpun sepuluh bacaan Imam sepuluh
dengan mengikuti perawi dan thariq yang ada pada nazham Syathibiyyah yaitu
setiap Imam diikuti oleh dua perawi dan setiap perawi diiukti oleh satu thariq saja
yaitu thariq para perawi magharibah (Mesir). Para ulama menyebut qiraat sepuluh
yang ada pada kitab ini sebagai al-Qiraat al-Asyr ash-Shughra
3.Kitab an-Nasyr fil Qiraat al-Asyr. Kitab ini mendapatkan apresisasi yang
demikian tinggi dari banyak kalangan karena kepiawaian Ibn al-Jazari dalam
mentahqiq bacaan yang ada pada sekitar 40 kitab yang menjadi rujukannya,
melalui jalur-jalur periwayatan yang demikian rumit. Jumlah thariq yang dipakai
dalam kitab ini adalah 80 thariq, karena setiap Imam dari Imam Sepuluh
mempunyai dua perawi, setiap perawi mempunyai dua thariq dan setiap thariq
mempunyai dua thariq lagi yaitu thariq Masyriqiyyah (Iraq) dan Maghribiyyah
(Mesir). Dari jumlah 80 thariq diatas masih mempunyai akar thariq dibawahnya
yang jumlahnya sekitar 980 thariq (Lihat Muqaddimah Thayyibah an-Nasyr oleh
amim az-Zubi hal.2).
4.Kitab bernazham yaitu Thayyibah an-Nasyr yang terdiri dari 1015 bait. Kitab
ini merupakan ringkasan dari kitab an-Nasyr mendapatkan pujian dari banyak
kalangan. Dalam kitab Thayyibah an-nasyr Imam Ibn al-jazari menghimpun
banyak riwayat melebihi dari riwayat yang ada pada Syathibiyyah. Semuanya
mutawatir. Karena banyaknya riwayat yang terhimpun dalam kitab ini, ulama
menyebutnya dengan al-Qiraat al-Asyr al-Kubra. Masyarakat Qiraat
menunggu sampai empat abad lamanya semenjak masa Imam Syathibi (w 591 h)
sampai masa Imam Ibn al-Jazari untuk bisa menerima kehadiran qiraat sepuluh
sebagai bacaan yang mutawatir.
Perkembangan Ilmu Qiraat Pada Masa Kini.
Setelah lama Ilmu Qiraat tidak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan, pada
saat ini Ilmu Qiraat kembali bangkit. Hal itu bisa dilihat dari beberapa hal : yaitu :
Pertama : banyaknya institusi pendidikan yang memfokuskan pada bidang ini
seperti:
1.Kulliyyatul Quran di madinah Saudi Arabia.
2.Jamiatu Ulum al-Quran dan Studi Islam di al-Khurthum Sudan
3.Di situs Multaqa Ahl al-Hadis disebutkan bahwa di Mesir ada sekitar 24
Mahad al-Qiraat antara lain Kulliyyatul Quran di Thantha Kairo Mesir. Mahad
al-Qiraat di Dasuq Mesir. Mahad al-Qiraat di Khazandarah (Ibtisamah) Syubra
Kairo Mesir dan lain lainnya.
4.Kulliyyatul Quran di Yaman.
5.Program Studi Ulum al-Quran di Jamiah Ummil Qura.
6.Institul Ilmu al-Quran (IIQ) di Jakarta yang berdiri pada tahun 1977. Institut
PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran) di jakarta yang berdiri pada tahun 1971.
UNSIQ (Universitas Sains Ilmu Al-Quran) di Wonosobo Jawa Tengah. STAIPIQ
di Padang Sumatra Barat. PIQ (Pesantren Ilmu Al-Quran) di Malang Jawa Timur,
Dan lain lainnya.
Disamping itu banyak kalangan yang mengajarkan Ilmu Qiraat secara privat di
masjid-masjid, seperti di Syria, Turki dan lain lainnya.
Kedua : banyaknya Makhthuthat tentang Ilmu Qiraat yang ditahqiq oleh
mahasiswa program Magister maupun Doktor di Institusi pendidikan tinggi di
Saudi atau di Mesir dan lain lainnya. Hampir semua kitab yang dijadikan rujukan
oleh Imam Ibn al-jazari yang masih berupa makhththat kini telah di cetak. Begitu
juga kitab-kitab yang berkaitan dengan qiraat, seperti kitab kitab al-Hujjah fil
qiraat karya Ibn Khalawaih, Ibn Zanjalah, Abu Ali al-Farisi dan lain lainnya.
Ketiga : banyaknya kitab kitab yang ditulis untuk mengkaji Ilmu Qiraat dalam
berbagai aspeknya, seperti yang di tulis oleh Abdushabur Syahin dalam kitabnya :
Ilmul Qiraat fi Dlau Ilm al-Lughah al-Hadits. Abduh ar-Rajhi menyusun kitab
al-Qiraat wa al-Lahajat. Dan lain lainnya.
Keempat : banyaknya rekaman kaset yang merekam bacaan qiraat sabah dan
asyrah seperti yang di lakukan oleh mujamma malik Fahd di madinah Saudi yang
merekan riwayat Hafsh, Qalun, Warsy dan ad-Duri. Syekh Muashrawi ketua
Lajnah Muraah al-Mashahif di Al-Azhar Mesir, Syekh Rasyid dan lain
sebagainya.
Dari pemaparan diatas bisa kita katakan bahwa generasi masa kini terutama
komunitas ahli qiraat merasa perlu mempelajari Ilmu Qiraat sebagai rasa
tanggung jawab mereka untuk terus menjaga kemurnian al-Quran baik dari segi
bacaannya dengan ragam bacaan yang mutawatir, atau tulisannya atau isinya.
Kaum muslimin perlu merasa bangga bahwa mereka masih mempunyai satu kitab
suci yang menjadi pegangan hidup mereka. Barometer kebaikan, keadilan,
kebenaran dari tindakan manusia ada di dalam al-Quran. Masalahnya sekarang
bukan pada al-Qurannya tapi pada mereka yang menawarkan dan
mensosialisasikan al-Quran kepada masyarakat. Jika pembawa al-Quran bisa
mencerminkan nilai yang ada di dalam al-Quran, bisa mengemas isi kandungan
al-Quran dengan baik dan sesuai dengan dinamika masyarakat modern, dengan
tanpa mengorbankan nilai-nilainya yang abadi, maka diharapkan bahwa al-Quran
kembali bersinar dan memancarkan cahayanya di tengah tengah masyarakat.
BAGIAN KEDUA : TARANNUM.
Pengertian : Tarannum sebagaimana dikatakan oleh Ibn Faris ialah : melagukan
suaranya.
( . . )(
(445 / 2) )
Artinya : akar kata yang terdiri dari huruf (Ra-Nun-Mim) merupakan akar kata
yang asli, digunakan untuk melagukan suara.
Istilah lain yang disamping istilah Tarannum yang digunakan untuk melagukan
adalah :
1.at-Taghanni dari al-Ghinayaitu lagu yang bisa menyenangkan hati atau
membikin hati riang gembira. Abul Abbas sebagaimana yang dikutip oleh Labib
Said dalam kitabnya at-Taghanni bil Quran mengatakan bahwa lagu (ghina)
dikatan demikian, karena orang yang mendengarkannya merasa cukup (yastaghni)
dengannya dari banyak perkataan.
:
(6 / 1) -) (

Dalam melagukan sesuatu, seorang harus mengetahui situasi dan kondisinya.


Dalam situasi perang, lagu yang cocok adalah lagu yang menggelorakan semangat
juang. Pada saat adanya kematian seseorang, atau ingat kepada kampung halaman
lagu yang cocok adalah yang sendu. Pada saat riang gembira, lagu yang cocok
adalah yang lagu yang mempunyai nada riang dan seterusnya.
2.at-Talhin atau al-Lahn. Labib Said dalam kitabnya diatas mengutip pendapat
Sajaqli Zadah mengatakan:
)( )( : :
(7 / 1) - (

bahwa ungkapan al-Lahn digunakan untuk dua pengertian : pertama : kesalahan


dalam membaca (al-Khatha fi al-Qiraat). Kedua : suara yang bagus, merdu yang
menyenangkan, menghibur (ash-Shaut al-Hasan al-Muthrib ) (Lihat. At-Taghanni
bil Quran, dalam al-Maktabah asy-Syamilah).
3.at-Tarji atau melagukan sesuatu. Dikatakan demikian karena seorang yang
sedang melagu dia akan mebolak balikkan dan melenggak lenggokkan suaranya.
Ibn faris berkata : dia bersenandung ketika melenggang
lenggokkan suaranya. (Lih. Mujam Maqayis, pada kosa kata : R-N-M) .
4.at-Tathrib dari ath-Tharb yaitu bersenandung. Kegembiraan. Senang. Ibn Faris
dalam Mujam Maqayis mengatakan bahwa akar kata yang terdiri dari : Tha-
Ra-Ba mempunyai arti : perasaan riang
gembira pada seseorang . akar kata tersebut juga berarti
memanjangkan suara. Alat musik disebut juga dengan Alat ath-Tharb karena
bisa menggembirakan dan menyenangkan.
Melagukan Bacaan al-Quran.
Al-Quran adalah kitab suci yang bahasanya sangat Indah. Tidak ada seorangpun
yang mampu mendatangkan semisal Al-Quran. Jika keindahan bahasa dibacakan
oleh seseorang yang mempunyai suara yang indah dengan selalu memerhatikan
hukum-hukum ilmu Tajwid akan memberikan pengaruh yang demikian mendalam
bagi para pendengarnya. Namun dalam menanggapi persoalan ini yaitu melagukan
bacaan al-Quran, para ulama sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Ali as-
Shabuni dalam kitabnya Rawai al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, terbagi
menjadi dua pendapat.
Pertama: mereka yang menolak dan tidak setuju melagukan bacaan Al-Quran.
Inilah pendapat ulama dari Madzhab Maliki dan Hambali. Pendapat ini dipegangi
oleh Sahabat Anas bin Malik, Said bin al-Mausayyab, Said bin Jubair, al-asim bin
Muhammad, al-Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakhi dan lain lainnya.
Kedua : mereka yang setuju melagukan bacaan Al-Quran yaitu ulama dari madhab
Syafii dan Hanafi. Pendapat ini dipegangi oleh Umar bin al-Khaththab, Ibn
Masud, Ibn Abbas, Abdurrahman bin al-Aswad bin Zaid, Abu Jafar ath-Thabari,
Abu bakar bin al-Arabi dan lain lainnya.
Berikut ini alasan masing-masing.
Mereka yang tidak setuju memberikan beberapa alasan antara lain:
Pertama : hadis nabi :
:


Artinya : bacalah al-Quran dengan lahn (bacaan, langgam) orang arab dan suara
mereka. Jauhilah olehmu (melagukan al-Quran) dengan lagunya ahli kitab dan
orang fasik. Akan datang setelahku orang-orang yang akan melagukan al-Quran
sebagaimana penyanyi berlagu, berdendang dan berteriak teriak. Bacaan mereka
hanya terhenti di tenggorokan mereka. Hati mereka terkena fitnah begitu juga hati
orang yang memuji mereka.
Dari hadis ini disebutkan bagaimana nabi memberikan peringatan terhadap mereka
yang melagukan bacaan al-Quran seperti penyanyi.
Kedua : nabi pernah berkata mengomentari mereka yang membaca al-Quran
dengan berlagu :
. :
Artinya : mereka (pembaca al-Quran) menjadikan al-Quran seperti seruling.
Mereka mengajukan (sebagai Imam salat) orang yang bukan ahli membaca al-
Quran dan bukan orang yang terpilih, dia melagukan al-Quran seperti bernyanyi.
Ketiga : diriwayatkan ada seorang sahabat yang melakukan azan (bang) dengan
berlagu, lalu nabi menegurnya dengan mengatakan :
:

Artinya : azan itu mudah, gampang. Jika azanmu itu mudah dan gampang,
lakukanlah, jika tidak, jangan kau lakukan.
Keempat : Ketika orang berlagu ketika membaca al-Quran, bisa jadi dia akan
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaedah ilmu tajwid seperti
memanjangkan bacaan yang semestinya pendek, melunakkan hamzah yang
semestinya dibaca keras, membaca satu huruf dengan beberapa huruf. Hal ini jelas
tidak boleh terjadi.
Kelima : dengan melagukan bacaan bisa jadi unsur tadabbur atau menghayati arti
kandungan al-Quran menjadi hilang karena pembaca akan banyak konsentrasi
pada lagu.
Keenam : Imam Malik pernah ditanya tentang hukumnya orang yang melagukan
bacaan al-Quran diwaktu salat, beliau menjawab : aku tidak menyukainya dan
berkata :

Artinya : itulah nyanyian, mereka bernyanyi yang tujuannya mencari uang.
Ketujuh : Imam Ahmad ditanya tentang melagukan bacaan al-Quran. Beliau
menjawab : itu adalah bidah, tidak boleh didengarkan.
Kedelapan: Ibn Khaldun salah satu penganut madzhab maliki berkata :
(243 / 1) -
.


.
. .
.

. .

.
.
Secara jelas Ibn Khaldun mengatakan bahwa Imam Malik tidak setuju membaca
al-Quran dengan Talhin atau tarannum. Sementara Imam Syafii
membolehkannya. Karena alasan Ibn Khaldun- antara tilawah dan talhin
mempunyai karakter yang berbeda. Tilawah mengharuskan seseorang membacakan
huruf-huruf dan kalimat kalimat al-Quran sesuai dengan alur periwayatan,
sementara dalam talhinseorang juga harus menjaga notasi musiknya, sehingga
jika di praktikkan pada tilawah akan mengakibatkan distorsi pada tilawah. Inilah
yang membahayakan. Tilawah mengharuskan seseorang untuk membaca dengan
khusyu, sementara talhin lebih mengutamakan nada dan not lagu. Betapapun
demikian Ibn Khaldun masih membolehkan membaca al-Quran dengan at-
Talhin al-Basith atau talhin yang sederhana yang tidak merobah hukum tajwid.
(Ibid).
Dalil Madzhab Kedua :
Pertama : hadis nabi :
)) ( )
Artinya : barang siapa yang tidak melagukan al-Quran, dia bukan dari golonganku
(tidak mengikuti perilakuku).
Para ulama banyak mengartikan kata yataghanna dengan membaguskan
bacaan. Ibn Jarir ath-Thabari berkata :
(23 / 1) -
.
Artinya : yang masyhur pada perkataan orang arab, ungkapan Taghanni ialah
melagukan, dengan membaguskan bacaan dengan berlagu.
Imam al-Khaththabi memberikan latar belakang akan munculnya hadis tersebut.
Dia berkata :
(460 / 2) - -
)) :
.(4) (( :
Artinya : orang arab sangat gandrung dengan nyanyian pada banyak
kesempatan. Pada saat al-Quran turun, nabi menginginkan agar kebiasaan itu
digantikan dengan melagukan bacaan al-Quran. Nabi berkata : barangsiapa yang
tidak melagukan bacaan al-Quran, maka dia bukan termasuk dalam kelompokku.
Kedua : nabi pernah berkata :
(466 / 1) -


Artinya : Allah tidak antusias mendengarkan sesuatu sebagaimana antusiasNya
mendengarkan seorang nabi yang mempunyai suara yang bagus, melagukan al-
Quran, memperdengarkan bacaannya.
Ketiga : hadis nabi :
(69 / 9) - -
( )

Artinya : Allah sangat senang mendengarkan bacaan seorang yang mempunyai
suara yang bagus dalam membaca al-Quran dari pada kesenangan seorang yang
mempunyai budak mendengarkan budaknya bernyanyi.
Keempat : ketika nabi pulang dari perjanjian Hudaibiyah nabi pernah membaca
surah al-Fath dengan melagukannya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
: : ( 1)
: -
/ 7) - (( 2)
(325
Artinya : nabi membaca surah al-Fath diatas untanya dalam perjalanan, nabi
membacanya dengan melagukannya. Muawiyah berkata : jika saja aku tidak
senang melihat orang menegerumuniku, aku akan menirukan bacaannya .
Kelima : nabi berkata :

Artinya : indahkanlah al-Quran dengan suaramu, karena suara yang bagus
menjadikan al-Quran lebih indah.
Keenam : hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan lainnya :

(322 / 6) - .
Artinya : setiap sesuatu ada hiasannya, hiasan al-Quran adalah suara yang bagus
(indah). Sahabat bertanya : jika suaranya tidak bagus ? nabi menjawab :
diusahakan bagus semampunya.
Ketujuh : Ibn Jarir meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab :
:


(466 / 1) -
Artinya : Umar berkata kepada Abu Musa al-Asyari : ingatkanlah diriku akan
Allah. Abu Musa lalu membaca al-Quran dan melagukannya. Umar berkata :
barangsiapa ingin membaca al-Quran dengan berlagu sebagaimana Abu Musa
lakukan , maka lakukanlah.
Kedelapan: diriwayatkan bahwa sahabat Uqbah bin Amir terkenal sebagai
sahabat yang mempunyai suara yang bagus dalam membaca al-Quran. Umar bin
al-Khaththab pernah menyuruhnya membaca satu surah dari al-Quran. Lalu
Uqbah membaca al-Quran. Umar kemudian menangis dan berkata :
(466 / 1) - (
Artinya : aku tidak menyangka bahwa surah ini turun.
Kesembilan : Ibn Qayyim berkata dalam memberikan argumentasi terhadap
mereka yang mendukung :
(470 / 1) -





: .






Artinya (terjemahan bebas) : melagukan bacaan al-Quran akan lebih membekas di
dalam hati pendengarnya. Hal tersebut bisa mengantarkan pada maksud tujuan dari
al-Quran. Melagukan bacaan al-Quran bisa disamakan dengan halawah
(pemanis) pada jamu agar bisa sampai ke tempat penyakit, atau penyedap satu
makanan agar bisa digandrungi. Perempuan juga perlu dihiasi agar bisa lebih
disenangi oleh suaminya. Jiwa manusia juga menyenangi keindahan. Kesenangan
mendengarkan nyanyian bisa tergantikan dengan bacaan al-Quran yang merdu.
Begitu juga dengan hal-hal yang haram, islam menggantikannya dengan hal-hal
yang halal, seperti mengundi nasib digantikan dengan salat istikharah dan
tawakkal, perjudian dengan musabaqah, perzinahan dengan nikah dan lain
sebagainya.
Tarjih :
Dari dua pedapat yang dikemukakan diatas dan dalil dalil yang
dikemukakannya, maka pendapat kedua kelihatannya lebih rajih dari pada yang
pertama, mengingat kuatnya dalilnya dengan catatan bahwa membaca al-Quran
dengan lagu (tarannum) tidak sampai mengorbankan unsur tajwid. Unsur tajwid
harus dikedepankan karena itu merupakan suatu kewajiban (dlaruriyyat),
sementara melagukan bacaan adalah bersifat kamaliyatatau kesempurnaan
bacaan saja.
SENI MEMBACA AL-QURAN.
Apa yang dikemukakan diatas tentang kebolehan membaca al-Quran
dengan tarannum pada masa nabi, sahabat dan tabiin adalah tarannum dalam
konteks masa tersebut yaitu melagukan bacaan sesuai dengan karakter suara
pembaca. Pada saat ini lagu-lagu dalam hal pembacaan al-Quran telah mengalami
perkembangan yang demikian pesat. Pada saat ini para qari/qariah ketika
membaca al-Quran memilih beberapa lagu seperti : Bayyati, Husaini, Shaba,
Hijaz, Rast, Sikah, Jiharkah, Nahawand. Maqamat tersebut kemudian terbagi lagi
menjadi beberapa tangga (salalim) ada salalil an-Nuzul (rendah) dan Salalim
Shuud (naik) , seperti : awal maqam, jawab dan jawab al jawab. Pada lagu Shaba
terdapat beberapa tangga seperti : Asyiran, Ajam dan Istiarah. Pada maqam
Hijaz ada Hijaz Kaar dan Hijaz Kaar-Kuurd.
Berikut ini tabel untuk mengetahui maqam-maqam tarannum dengan merujuk
kepada qashidah :

: 2009

1 : :
:

/
:

3 : :

:

:

/ /
) /(

4 / :

5 / : :

...........




-----

Pertanyaannya adalah apakah pada masa nabi para pembaca Al-Quran


sudah menggunakan kaedah-kaedah dalam maqamat tersebut ? jawabannya :
tidak. Mereka hanya mengandalkan kepada intuisi dan perasaan masing-masing
saja. Walaupun demikian jika bacaan mereka di timbang dengan maqamat yang
ada maka bisa diketahui maqam apa yang mereka praktekkan.
Perbedaan yang paling mendasar antara masa nabi dan masa sekarang dalam
seni membaca al-Quran adalah bahwa membaca al-Quran dengan lagu-lagu pada
masa lalu dilakukan tanpa menggunakan urutan maqamat dengan berbagai tangga
lagu. Tapi meluncur begitu saja tanpa ada unsur tashannu atau dibuat buat. Jadi
kelihatan bersahaja dan orsinil. Tidak demikian dengan masa sekarang, dimana
seorang qari akan menggunakan berbagai maqamat dengan salalimnya.
Seorang qari/qariah yang mahir adalah seorang yang mempunyai kapasitas
berikut ini :
Pertama : mampu membaca al-Quran sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu tajwid
dengan peringkat fashahah yang tinggi. Jangan sampai mengorbankan tajwid untuk
lagu dan tarannum. Seperti tidak boleh memanjangkan mad thabiI melebihi dari
semestinya, begitu juga dengan bacaan ghunnah,hanya untuk kepentingan
qari/qariah dalam melagukan satu bacaan. Kaedah bacaan Al-Quran harus
diikuti, bukan sebaliknya, Al-Quran mengikuti tarannum, seperti kata pepatah :
( )
Artinya : Al-Quran itu harus di khidmah oleh pembacanya, bukan mengkhidmah
kepada pembacanya.
Kedua : meramu berbagai macam maqamat beserta salalimnya dengan serasi,
jangan sampai terjadi apa yang disebut fals atau nasyaz .
Ketiga : menggunakan maqamat yang sesuai dengan isi kandungan ayat suci al-
Quran. Jika isinya tentang neraka dan jenis siksaannya, maka maqam yang
digunakan adalah maqam yang sendu dan sedih. Jika tentang sorga dan kenikmatan
yang ada di dalamnya, maqam yang digunakan adalah maqam yang riang gembira,
bukan sebaliknya. Dengan demikian, pendengar akan terhanyut oleh pembaca Al-
Quran. Apa yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Rifat (1882-1950) yang
dijuluki sebagai Shahib ash-Shaut adz-Dzahabi(suara emas) atau Shaut al-
Malaikah(suara malaikat) atau The Greatest Reciter betul-betul mencerminkan
seorang qari yang profesional, yang mampu menggugah pendengarnya dengan
alunan suaranya. Kita bisa mendengarkan Syekh Rifat membaca surah Yusuf,
bagaimana dramatika kehidupan nabi Yusuf, dari mulai kecil, pada saat
dimasukkan ke dalam perigi, kisah cintanya isteri pembesar Mesir (Zulaikha)
kepadanya, sampai menjadi pembesar Mesir, sampai pertemuannya kembali
dengan ayahnya dan saudara-saudaranya. Semuanya dikemas dwengan sangat
indah dan mengharukan. Begitu juga pada saat membaca surah Thaha yang
bercerita tentang pertarungan antara nabi Musa dan Firaun yang berlangsung
secara menegangkan. Begitu juga saat membaca surah Maryam yang bercerita
tentang kisah kehidupan siti Maryam dan nabi Isa yang memilukan. Hal serupa
dilakukan juga oleh Syekh Abul Ainain Syuaisya, Mushthafa Ismail, Ahmad
Nuaina dan Qari-qari besar lainnya. Jika mereka membaca al-Quran seakan
mereka sedang menyuguhkan sebuah drama kehidupan yang sangat indah dan
menawan. Inilah unsur dawah yang sangat efektif yang perlu diperhatikan.
Keempat : seorang qari/qariah yang mahir adalah mereka yang membaca dengan
ikhlas, khusyu, menghayati arti ayat yang dia baca, mampu menghadirkan nilai-
nilai samawi dalam bacaannya.

Kelima : seorang qari/qariah yang mahir juga adalah seorang yang mampu
mengkolaborasikan satu kelompok ayat dengan kelompok ayat lainnya yang
sesuai dengan situasi dan kondisi dimana dia membaca. Antara satu surah atau satu
kelompok ayat dan surah atau kelompok ayat yang dibaca berikutnya mempunyai
hubungan yang erat. Sebagai contoh : dalam situasi tahadduts bin nimah karena
keberhasilan terhadap sesuatu yang dicita-citakan seperti lulus sekolah dan
sebagainya, bacaan alam nasyrah, al-Kautsar, an-Nashr, surah Ibrahim ayat 6 dan
seterusnya, Ibrahim ayat 31-34 dirasa tepat.
Keenam : dia juga di tuntut untuk pandai memilih waqaf dan
ibtidanya. Menghentikan bacaan bukan pada tempat waqaf, atau memulai
(ibtida) setelah waqaf yang tidak pas akan membuyarkan keindahan satu bacaan.
Ketujuh : pembaca al-Quran yang baik adalah mereka yang tahu kaedah bacaan
pada riwayat yang dia gunakan, apakah riwayat Hafsh dari Ashim, atau Qalun dari
Nafi, riwayat Duri Abi Amr dari Abu Amr al-Bashri dan lain sebagainya.
Ketidak tahuan terhadap kaedah umum setiap rawi akan
menyebabkan talfiq atau percampuran dalam qiraah. Hal ini bagi ahli qiraat
adalah sesuatu yang terlarang.
Pada saat sekarang lagu-lagu sudah menjadi bagian dari satu disiplin ilmu
yang bisa di pelajari melalui satu metode. Metode tersebut seperti dengan
mengingat ingat satu qashidah syiriyyah. Sebuah maqam tertentu seperti maqam
Bayyati dikaitkan dengan satu qashidah, sehingga bagi seorang yang akan
memabaca ayat dengan maqam bayyati, dia tinggal mengingat qashidah tersebut.
Begitu juga dengan maqam ghina lainnya.
Harus diakui bahwa maqamat al-ghina al-arabi adalah bagian dari ilmu
musik. Sedangkan ilmu musik sendiri adalah bagian dari filsafat. Dan filsafat
adalah hasil dari kerja otak manusia. Walaupun demikian jika sebuah olah pikir
manusia manakala tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah dasar agama bisa
ditoleransi.
Dalam kaitannya dengan masuknya tarannum dalam pembacaan ayat suci al-
Quran, Musthafa Shadiq ar-Rafii mengemukakan hal ini dalam bukunya : Ijaz
al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah. Demikian ringkasannya:
Pada masa awal islam pembacaan al-Quran dilakukan dengan bersahaja
melalui beberapa cara baca : baik dengan nada pelan (tahqiq) atau sedang (tadwir)
atau sedikit cepat (hadr) semuanya dilakukan dengan bersahaja, mengalir begitu
saja dari seorang pembaca al-Quran. Lalu pada abad ke dua hijriyah seorang yang
bernama Ubaidullah bin Bakrah mulai menggunakan Lahn (lagu) dengan nada
sedih. Kemudian cucunya Abdullah bin Umar bin Ubaidillah melanjutkan tradisi
kakeknya, diteruskan oleh al-Ibadli, lalu Said bin al-Allaf dan saudaranya. Said
inilah yang dikagumi oleh Khalifah Harun ar-Rasyid karena seni bacanya. Setelah
itu datang sedorang bernama al-Haytsam. Aban. Ibn Ayan dan lainnya
melanjutkan tradisi membaca Al-Quran dengan tarannum di masjid-masjid atau di
beberapa majlis. Tradisi inilah yang akhirnya terus berlangsung di beberapa negara
islam hingga kini.
Sementara Ibn Khaldun dalam Mukadimahnya menjelaskan persoalan
masuknya seni musik kepada kehidupan orang arab. Dia menjelaskan bahwa pada
awalnya orang arab masih tetap dalam badawahnya (keasliannya sebagai bangsa
nomaden). Pada saat permulaan islam seni musik lebih menonjol pada orang non
arab (ajam) terutama orang Parsi dan Romawi. Kemudian pada saat kaum
muslimin menguasai negeri-negeri yang di kuasai Persia dan Romawi, terjadilah
akulturasi budaya. Seni musik yang sudah banyak digandrungi oleh orang Parsi
dan Romawi, sedikit demi sedikit mulai memasuki arena kehidupan orang arab.
Seni musik-demikian kata Ibn Khaldun- adalah termasuk arena
kamaliyyat(kesempurnaan gaya hidup). Yaitu setelah satu masyarakat sudah
melampaui batas-batas kebutuhan primer dan sekunder. Seni musik-kata Ibn
Khaldun lagi- memasuki wilayah kehidupan orang arab melalui mawali (budak
atau kelompok masyarakat yang berjanji setia dengan salah satu kabilah arab).
Orang arab yang pada saat itu merasakan hasil perjuanagn para pendahulu, mulai
bersahabat dengan seni musik dari kaum ajam. Tentang hal tersebut Ibn
Khaldun berkata :
(244 / 1) -

.
.
Artinya : setelah orang arab merasakan kemakmuran dan kesejahteraan, karena
mereka mendapatkan keberuntungan melalui pampasan perang dari negeri yang
mereka taklukkan, keadaan kehidupan mereka mejadi berobah. Mereka hidup
dalam kemewahan. Penyanyi dan seniman dari Parsi dan Romawi mulai bertebaran
sampai masuk ke tanah Hijaz (Mekah dan Madinah). Mereka menjadi sekutu
beberapa Kabilah Arab. Mereka menyanyikan dengan alat-alat musik seperti biola,
tambur, seruling, terompet dan lain sebagainya. Orang-orang arab mendengarkan
alunan suara mereka dan bagaimana mereka mendendangkan syair-syair.
Ibn Khaldun lalu melanjutkan bahwa seni musik memasuki wilayah
madinah. Disinilah muncul ahli musik di Madinah semacam : Nasyith al-Farisi,
Thuwais, Saib, Hair, maula dari Abdullah bin Jafar. Mereka mendengarkan
syair-syair orang arab dan mendendangkannya sehingga mereka dikenal luas
dikalangan masyarakat. Lalu muncul generasi ahli musik dari orang arab sendiri
semacam Mabad, Ibn Suraij, dan koleganya. Seni bernyanyi terus berlnjut sampai
mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah. Dari sini muncul nama Ibrahim
al-mahdi, Ibrahim al-maushili, Ishak al-maushili dan anaknya Hammad. (ibid.).
Sementara itu Abul faraj al-Ashbihani dalam kitabnya al-Aghani
menjelaskan tentang masuknya unsur Ghina al-Farisi ke dalam masyarakat arab
sebagai berikut :
(273 / 3) -







Artinya : Said bin Musajjih seorang Maula Bani Naufal bin al-harits bin Abdul
Muththalib, penduduk Mekah, kulitnya hitam, seorang penyanyi kenamaan, orang
pertama penggubah lagu dan orang pertama yang mentransfer lagu-lagu Parsi
kedalam syair-syair arab. Dia melanglang buana ke Syam, mempelajarai lagu-lagu
bangsa Romawi, Barbathi, Asthukhusi, kemudian balik lagi ke Parsi, mempelajari
banyak lagu orang parsi. Dia mempelajari juga bermain alat musik, lalu kembali ke
tanah Hijaz (Mekah-Madinah). Dia ambil notasi lagu-lagu Parsi dan Romawi yang
baik dan indah dan membuang notasi yang tidak pas. Lalu dia cangkokkan
kedalam Ghina Arabi. Dialah orang pertama yang melakukan hal ini, lalu diikuti
oleh yang lain.
Pada bagian lain dalam judul kepindahan lagu-lagu Persia ke Arab al-
Ashbihani mengatakan bahwa Ibn Musajjih pernah mendengarkan nyanyian orang
parsi pada saat mereka membangun Kabah pada masa Abdullah bin Zubair, lalu
dia tertarik . Dia berkata :
(274 / 3) -
:

Artinya : Said bin Musajjih adalah seorang yang berkulit hitam, dijuluki Abu Isa.
Seorang Maula Bani Jumah. Dia melihat orang Persia yang sedang membangun
Kabah pada masa Ibn Zubair melagukan lagu-lagu Persia. Dia sangat tertarik akan
lagu-lagu tersebut.
Pada bagian lain al-Ashbihani mengatakan :




Artinya : dari Hisyam bin al-Murriyyah : orang pertama yang mendendangkan
lagu arab ini di Mekah adalah Ibn Musajjih, seorang maula dari Bani Makhzum.
Hal itu terjadi karena pada satu saat dia melihat orang Parsi sedang membangun
Masjid al-haram, dia mendengarkan mereka bernyanyi dengan bahsa Persia, lalu
dia praktekkan legu-lagu tersebut kedalam syair arab. Dialah orang yang
mengajarkan Ibn Suraij, al-Ghuraidl.

Apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun memang benar adanya. Indikasinya
adalah bahwa nama nama maqamat dalam lagu bernuansa Parsi seperti : Sikah,
Jiharkah, Rast, Nahawand, dan lain sebagainya. Indikator lainnya adalah bahwa
tanah Romawi dan Parsi pada saat islam datang telah mempunyai peradaban yang
lebih maju dari tanah Hijaz. Salah satu bentuk peradaban adalah majunya tingkat
kehidupan pada hal yang bersifat Primer (dlaruriyyat), Sekunder (hajiyyat)
dan Kamaliyyat. Musik adalah masuk dalam persoalan Kamaliyyat. Di tanah arab,
masalah seni lagu sebenarnya sudah ada tapi masih dalam koridor yang sedrhana
yaitu sebatas nyanyian lokal untuk bersenandung ketika naik unta dalam
perjalanan, tapi pengetahuan mereka belum sampai kepada satu disiplin ilmu
musik.

BAGIAN KETIGA : PERANAN QIRAAT DAN TRANNUM DALAM


PEMBAHARUAN DAWAH
Tidak bisa di pungkiri lagi bahwa islam adalah satu-satunya agama yang di
ridlai Allah. Islam memuat ajaran-ajaran yang bisa memberikan pencerahan
kepada umat manusia, karena al-Quran di turunkan oleh Allah untuk menjadi
hudan kepada seluruh umat manusia, walaupun hanya mereka yang bertaqwa
saja yang mampu menemukan nilia-nilai hidayah tersebut. Keberadaan nabi
Muhammad sebagai nabi akhir zaman dan keberadaan al-Quran sebagai hudan
linnas selaras dengan kandungan ajaran islam yang mencakup segala aspek
kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun berbangsa dan
bernegara. Ajaran islam juga meliputi hal dunyawi dan ukhrawi. Islam juga
menyangkut hal yang berkait dengan akidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Kaum
muslimin dituntut untuk terus giat menyebarkan agama islam ke seluruh penjuru
dunia sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing dengan metode dan
cara yang bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk mengikuti petunjuk al-
Quran.
Ada berbagai macam cara berdawah kepada orang lain. ada dawah yang
billisan atau dengan ucapan seperti ceramah atau tabligh, mengaji, dan lain
sebagainya. Ada dawah dengan akhlak yang mulia. Ada dawah dengan tindakan
yang positif seperti membagikan santunan untuk fakir miskin, santunan sosial,
berderma, melakukan aktifitas sosial seperti perbaikan sarana umum dan lain
sebagainya. Ada juga dawah melalui syair/satera sebagaimana yang dilakukan
oleh shabat Hassan bin Tsbait penyair rasulullah. Semua itu telah dilakukan oleh
nabi dan para sahabatnya. Dawah yang diharapkan adalah dawah dengan penuh
hikmah sebagaimana sabda Allah :

[125 : ( ]125)
Artinya : serulah (manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baikdan bantalah mereka dengan jalan yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu
dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan
Dialah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
Pada saat ini dawah melalui al-Quran begitu efektif melalui beberapa hal
yaitu :
Pertama : penyebaran al-Quran/mushaf, atau mushaf yang disertai terjemah.
Kedua : penyebaran tafsir-tafsir al-Quran.
Ketiga : membaca al-Quran dengan seni bacanya. Baik dengan tartil seperti
kebanyakan para murattil yang masyhur dari Mesir, Saudi Arabia atau Syria,
seperti Syekh : Abdul Bari Muhammad, Mahmud Abdul Hakam, Khalil al-Hushari,
al-Minsyawi, Sudais, Syurayyim, Ayyub, al-Akhdlar, Jabir, al-Ghamidi atau
dengan mujawwad seperti kebanyakan para qari Mesir, Indonesia, malaysia, Iran
dan lain sebagainya.
Untuk hal terakhir ini kaum muslimin sepakat bahwa membaca al-Quran
dengan bacaan yang benar, suara yang bagus, lagu yang tepat adalah metode yang
cukup efektif dalam berdawah. Suara yang bagus dan merdu adalah sebuah
keindahan dalam hidup. Allah sendiri adalah Zat yang menyenangi
keindahan. Nabi bersabda :
(17 / 2) -
) :
(
Artinya : Allah adalah Zat Indah, menyenangi keindahan.
Allah adalah Zat yang Indah baik ZatNya, SifatNya maupun perilakunya
(afalnya). Alam yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia semuanya
indah. Langit yang membiru, air laut yang membiru, hijau daun yang menyegarkan
pandangan mata, buah-buahan yang beraneka warna, kiau burung yang merdu,
gemerisik tangkai tangkai pohon yang beradu yang mengeluarkan suara yang
menarik dan lain sebagainya. Dalam al-Quran, Allah menggambarkan keindahan
sorga dan seisinya, semuanya serba indah dan menawan. Permainan warna dalam
sorga yang dilukiskan dalam al-Quran juga cukup membuat kita penasaran. Pada
saat menggambarkan pakaian ahli sorga Allah menjelaskan bahwa pakaian mereka
dari sutera yang hijau, sebagaimana pada ayat :
[21 : ]
Warna air yang ada pada gelas-gelas ahli sorga adalah putih yang melezatkan,
sebagaimana firman Allah.
[46 45 : ( ]46) ( 45)
Kemudian warna kulit bidadari sorga adalah putih semi kuningyang demikian
menawan, sebagaimana firman Allah :
[49 48 : ( ]49) ( 48)
Kemudian ketika bercerita tentang warna lembu yang diminta nabi Musa kepada
bani Israil adalah kuning langsat yang menawan bagi para pelihatnya,
sebagaimana firman Allah :
: ( ]69)
[69
Begitu juga ketika Allah bercerita tentang berbagai macam warna gunung-gunung.
Ada yang hitam pekat dan ada gunung yang bergaris putih dan merah yang
beraneka macam warnanya sebagaimana firman Allah :

( 27)

[28 27 : ( ]28)
Tentang suara yang bagus, Ibn Katsir meriwayatkan dari az-Zuhri dalam
menafsirkan ayat :( fathir : ) yang artinya :
Disamping itu, pada saat Allah menggambarkan pertamanan sorga, Allah
memberikan gambaran yang sangat imajinatif tentang pertamana sorga. Semuanya
indah dan semaunya menawan.
Al-Quran sendiri adalah kitab yang kemukjizatan tersebsarnya adalah
terletak pada sasteranya yang sangat menawan dan penuh keindahan. Tidak ada
sorangpun yang sn ggup mengalahkan bahasa Al-Quran.
Ibn Khaldun sendiri berkata bahwa lagu yang bagus akan bisa memikat
mereka yang mendengarkannya, perkara yang sulit akan menjadi mudah : berkata
Ibn Khaldun :
(138 / 1) -

.
. .
Artinya : hati pasti akan merasa riang dan gembira ketika mendengarkan alunan
lagu dan suara yang merdu. Jiwa akan kembali merasa semarak dan tergugah, yang
menyebabkan sesuatu yang sukar menjadi terasa mudah. Seorang akan terdorong
untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan dengan kemauan yang keras. Hal ini
bisa kita lihat juga pada hewan-hewan. Seekor unta akan tergugah ketika
mendengarkan alunan tembang, begitu juga kuda akan mengembik karena
kegirangan ketika mendengarkan alunan musik yang padu.
Ibn Hajar al-Asqallani dalam Fath al-bari juga mengatakan hal serupa. Ibn hajar
berkata :
(278 / 2) - -
)) :
.
.
Artinya : Ibn hajar berkata: tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perasaan
manusia akan lebih tertarik mendengarkan bacaan Al-Quran yang disertai dengan
tarannum jika dibandingkan dengan bacaan tanpa tarannum, karena berlagu akan
lebih membekas di dalam hati, bahkan bisa meneteskan air mata. Dan tidak
diperselisihkan diantara ulama salaf bahwa membaca Al-Quran dengan suara
bagus adalah sesuatu yang disunnahkan dan mengedepankan orang yang
mempunyai suara yang bagus dari pada yang tidak demikian.

Bisa kita lihat dari bacaan imam di masjid al-haram Mekah baik pada saat
salat fardlu atau salat tarawih yang ditayangkan secara Live di TV Cable.
Demikian juga bacaan qari/qariah yang melantunkan suara merdunya pada radio
suara al-Quran baik di Mesir, Kuwait, Saudi Arabia dan lain lainnya. Bahkan
radio suara inggris yang dipancarkan ke dunia arab, merasa perlu memutar kaset
bacaan qari-qari mesir pada awal siarannya. Mereka yakin bahwa bacaan al-
Quran.
Untuk itu langkah-langkah untuk menjadikan Ilmu Qiraat dan Tarannum
bisa digunakan untuk menjadi media dawah adalah sebagai berikut :
Pertama : menjadikan bacaan tarannum sebagai metode cara membaca pada tingkat
anak-anak, dimulai pada tingkat Taman Kanak-Kanak. Tarannum yang diajarkan
berupa bacaan tartil dengan satu sampai dua maqam saja secara simultan, sehingga
anak-anak mampu membaca al-Quran dengan maqam-maqam tersebut. Bacaan
yang diajarkan adalah bacaan yang sudah mempraktikkan Ilmu Tajwid.
Kedua : Pada tingkat remaja dan dewasa diajarkan materi tarannum dengan
berbagai macam maqam (Bayyati, Husaini, Hijaz, nahawand, Sikah, Jiharkah, dan
Rast) melalui metode pembelajaran tarannum yang sudah banyak beredar luas di
masyarakat, baik melalui kaset, video, atau praktik langsung dari seorang
qari/qariah. Disamping itu diajarkan ilmu tajwid praktis yang menyangkut
keseluruhan persoalan yang ada pada Ilmu Tajwid dimulai dari : Makharijul Huruf,
Shifatul Huruf, al-Ahkam, Mad-Qashr, al-Maqthu wal maushul, waqaf dan Ibtida,
bacaan-bacaan yang gharibah dan lain sebagainya.
Ketiga : diperlukan juga pembelajaran tingkat lanjut yaitu mengajarkan Ilmu
Qiraat baik Qiraat Sabah atau al-Asyrah ash-Shugra atau al-Kubra, jika ada
guru yang mumpuni tentang masalah tersebut.
Keempat: diperlukan adanya apresiasi masyarakat dan negara dalam membina
qari/qariah melalui berbagai macam cara, seperti memnberikan kesempatan
kepada para qari/qariah untuk tampil pada acara-acara resmi atau
kemasyarakatan, pemberian reward berupa bea siswa, dan lain sebagainya.
Penutup.
Setelah kita berbicara panjang lebar te ntang QIRAAT dan TARANNUM,
tibalah saatnya kita mengkahiri tulisan ini dengan menegaskan bahwa islam yang
merupakan misi Allah untuk manusia di bumi ini perlu di sebarkan melalui
berbagai macam cara dan metode. Kitab suci Al-Quran adalah sebuah kitab suci
yang menjadi sumber utama ajaran islam. Al-Quran adalah sebuah kitab suci yang
indah dari semua sisi. Baik dari sisi redaksi maupun dari sisi maknanya. Oleh
karena itu Al-Quran perlu di sosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai
macam metode. Salah satu cara yang efektif adalah melalu sosialisasi pembacaan
Al-Quran dengan menggalakkan Ilmu Tarannum . Dengan tarannum seseorang
bisa menghantarkan bacaan yang indah kepada masyarakat. Pada saat masyarakat
modern gandrung dengan lagu-lagu dari negeri barat dengan berbagai macam
model dan coraknya, dan mereka mempunyai selera yang tinggi terhadap seni
bernyanyi, menjadikan kita merasa perlu mengimbangi hal tersebut dengan
mengetengahkan cara tarannum dalam membaca Al-Quran. Keberadaan
institusi yang mengajarkan ilmu tarannum, akan menciptakan generasi yang bisa
mengharumkan Al-Quran. Untuk selanjutnya masyarakat akan cinta kepada Al-
Quran. Kecintaan masyarakat kepada Al-Quran akan menjadikan mereka gemar
mempelajari Al-Quran, dan mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Untuk selanjutnya bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, untuk
pribadi, masyarakat, bernegara dan berbangsa. Inilah yang kita inginkan bersama.

Pesantren Dar al-Quran Arjawinangun Cirebon


Jawa barat Indonesia.
Syawwal 1431/ September 2010.
Refferensi :
1.Thayyibatun Nasyr : Ibn al-Jazari
2.Hirzul Amani wa wajhuttahani : Syathibi
3.an-Nasyr fil Qiraat al-Asyr : Ibn al-jazari
4.al-Aghani : Abul Faraj al-Ashbihani
5.Tafsir Ayat al-Ahkam : Ali ash-Shabuni
6.Syarh Shahih al-Bukhari : ghunaiman.
7.Muqaddimah : Ibn Khaldun

Dalam membaca Al-Quran nabi menyuruh para sahabatnya untuk membaca Al-
Quran dengan sebaik baiknya. Yaitu bacaan yang sesuai dengan kaidah kaidah
ilmu Tajwid yaitu memerhatikan makhraj setiap huruf, sifatnya dan hukum-
hukumnya. sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Nabi
juga pernah berkata :
(322 / 6) -
( ) :)
( :

.
(640 / 2) -
(
) ( )
( ( )
Artinya : barangsiapa yang tidak melagukan Al-Quran, dia bukan dari golongan
kami.
Para ulama memberikan penafsiran terhadap arti hadis tersebut. Sebagian ulama
membarikan pengertian bahwa yang dimaksuda dengan kata Yataghanna adalah
membaguskan bacaan, menyenandungkan dan melagukannya, karena naluri
manusia adalah senang mendengarkan suara yang merdu yang bersenandung. Jika
satu bacaan dilagukan dengan suara yang bagus, lagu yang merdu, pendengar akan
lebih tertarik lagi.
- (460 / 2) -
)) :
: (( ).(4
(291 / 1) -
1
2

3
4


5

(484 / 186) -
:
: ) : (
) : ( :
. : .
) : ( ) ( ) :
( ) : (
} : { ] [ 2 : .
(609 / 1) -

:
:
: ) ( : ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( .
: ) ( : ) : ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( .
:
- :

.
.
- : .
: - :

.
- :

.
) ( : :
.
) ( : .
: : : : :

:
) ( :
- : (610 / 1) -
.
- : .
- ) : ( ) :
( .
- : .
- :
.
: :
: .
: ) ( - -
: .
) (
) (

. . . ) (
.
) (


:
.
Hadis diatas mengindikasikan bahwa melagukan bacaan Al-Quran adalah sesuatu
yang dihimbau, karena

(16 / 1) -
) ( / 1) -
(17

)(
)(

) .(

)(
.

) (
) ( ) (
) (
) (

. (18 / 1) -


.


:
:
(243 / 1) -
.


.
. .
.

. .

.
.
(244 / 1) -

" :
.

.
.
.
.
.


.
.
.
. .
.
. .
.
.
.
.
.
.
.

. .
.
.

.

. .
.

.


.
(245 / 1) -
.
.
.
.
.
.
.
. .

(273 / 3) -










- (278 / 2) -
)) :
.
.
.

.
:
.

.


. (().(2
__________
) (1 (( ) .(9/72
) (2 (( ).(9/72

Anda mungkin juga menyukai