Anda di halaman 1dari 5

UAS Ilmu Qiraat IAT B

Muhammad Naufal Amin-19240047

1. Sebelum mengenal lebih jauh perkembangan Qira’at yang ada di Nusantara, mula-
mula harus diketahui masuknya Islam dan penyebaran Islam di Nusantara seperti
yang tertuang dalam buku Sejarah Al-Qur’an karya Abu bakar Aceh yang mana telah
ia tuturkan bahwa Islam masuk melalui para pedagang Arab, Persia dan India yang
kemudian menikah dengan orang Nusantara berjangka waktu selama abad ke-7 M
sampai dengan abad ke 15. Setelah Islam masuk ke dalam Nusantara melewati
perdagangan dan mereka mulai mengajarkan sedikit demi sedikit mengenai
pelajaran terkait dengan al-Qur’an. Wawan Djunaedi juga menuturkan bahwa pada
masa itu baik pedagang Arab dan India, musafir dari Persia sangat mempengaruhi
penyebaran Islam beserta pengajaran al-Qur’an (keragaman qira’at) yang mereka
ajarkan kepada masyarakat Nusantara.
Dalam hal ini Abu Bakar Aceh membagi metode pengajaran al-Qur’an di Nusantara
atas dua macam: pertama, diberikan di rumah atau langgar. Proses pengajaran
dilakukan dengan Guru membaca dan murid menuruti bacaan gurunya itu sambil
melihat dan menunjuk kepada huruf-huruf hijaiyah yang dibacanya itu. Sesudah
beberapa kali dan beberapa lama murid-murid membaca pelajarannya, masing-
masing membaca pelajarannya sendiri-sendiri, sehingga suaranya kadang-kadang
menggemparkan langgar itu, maka kemudian datanglah seorang kepada gurunya
atau pembantu gurunya, untuk didengarkan bacaannya. Demikianlah berturut-
turut sampai murid-murid pandai membaca al-Qur’an. Kedua, di berikan
dipesantren atau madrasah. Dapat juga disebutkan disini, beberapa guru al-Qur‟an
yang besar jasanya dibeberapa wilayah yang ada di Nusantara, seperti: Hasannudin,
Pangeran Jambu Karang, Sunan Geseng, Sunan Tembayat, Sunan Ngunjung, Sunan
Panggung, Syekh Abdul Muhji dll. Beberapa ulama ini merupakan pembuka sistem
pengajaran al-Qur’an pada masa awal sebelum qira’at dipelajari secara mendalam.
Demikian dua metode ini menjadi salah satu bukti bahwa Islam masuk ke
Nusantara berhubungan erat dengan penyebaran al-Qur’an (keragaman qira’at) di
Nusantara.
2. Untuk melacak akar perkembangan qiraat Ashim di Nusantara maka dapat
melalui pendekatan secara de facto dan de yure.
De facto, Bukti sejarah hadirnya qiraat Ashim riwayat Hafsh di Nusantara, dilihat dari
beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut:
- Ulama Pembawa Madzhab Qiraat Ashim di Nusantara.
Seorang agamawan dan pengembara dari Cina bernama I-Tsing memberi
informasi bahwa masa awal kedatangan Islam ke Nusantara terjadi pada
tahun 51/671. Ia telah menumpang kapal milik pedagang muslim Timur
Tengah yang kebanyakan berasal dari Arab dan Persia. Selanjutnya ia
menginformasikan bahwa hubungan Timur Tengah dan Timur jauh sudah
berlangsung sejak lama. Menurut penulis kronik asal Cina, Chou Ch‟u-fei,
kawasan yang menjadi penghubung antara kedua kawasan tersebut adalah
Sriwijaya. Pelabuhan Sriwijaya menjadi export terpenting antara kawasan
Timur Tengahdan Timur Jauh.Orang-orang muslim Arab, Persia dan India
telah mengadakan kontak dagang dengan komunitas Nusantara pada abad 7-8
M hingga abad-abad berikutnya.
- Para Qari Terkenal di Nusantara
Salah satu tokoh qari pada masa awal sejarah Islam Nusantara hidup pada abad
ke-14 yaitu ulama Jawa Tengah bernama Maulana Husain yang datang ke
Maluku yang dikabarkan mendemostrasikan kemahirannya dalam menulis
huruf Arab dan membaca al-Qur’an dengan irama yang sangat indah hingga
penduduk setempat tergerak untuk mempelajari al-Qur‟an. Menurut Arnold,
Husain merupakan salah satu pedagang pendakwahagama Islam yang
mendemostrasikan tilawah al-Qur’an kepada masyarakat setempat.
- Kitab Tajwid pada Kurikulum Pendidikan Awal di Nusantara
Salah satu bentuk materi yang dituju untuk menunjang penelusuran qira’at
madzhab Ashim riwayat Hafsh adalah kitab-kitab tajwid yang berkembang
di Nusantara. Di antaranya adalah Hidayah al Mustafidl fi Ilm al Tajwid,
Fathurrahman fii Tajwid al Qur’an, Matn al Jazariyyah dan lain-lain.
De Yure, Dalam analisis ini, terdapat dua sanad milik ulama Nusantara yang
tergolong paling tua usiannya dimulai abad ke-20, yakni milik KH. Muhammad
Moenawir (Yogyakarta) dan KH. Muhammad Munawwar (Gresik).
3. Dalam ilmu qira’at, para imam qira’at, seperti Imam Ashim, berposisi sebagai peramu
manhaj atau pemilik qira’at yang dihasilkan dari penyeleksian dan dilestarikan
sebagai qira’at bacaanya. Sementara perawi dari imam qira’at berposisi sebagai
pelanjut manhaj bacaan sang imam dan memperkenalkannya kepada khalayak
masyarakat. Sedangkan perawi berikutnya dari perawi pertama berposisi sebagai yang
mengembangkan dan melestarikan bacaan sang imam. Perawi dari perawi pertama ini
disebut thariq atau jalur perawi. Dalam ilmu qira’at, setiap imam memiliki dua perawi
dan setiap perawi memiliki dua thariq atau jalur bacaan. Dalam qira’at Imam Ashim,
beliau memiliki dua perawi yaitu: Syu’bah dan Hafs. Qira’at Imam Ashim riwayat
Hafsh menjadi madzhab qira’at yang dibaca oleh mayoritas umat muslim di dunia,
lebih khususnya lagi penduduk di Nusantara.
4. Qira’at syadzdzah adalah qira’at yang tidak memenuhi semua kriteria keabsahan yang
ditetapkan oleh ulama. Qira’at ini mungkin sesuai dengan rasm mushaf Utsmani atau
ejaan yang dipakai oleh kebanyakan umat islam dan memenuhi tata bahasa Arab
tetapi tidak mempunyai sanad (riwayat) yang shahih, atau mempunyai sanad yang
shahih dan sesuai tata bahasa Arab tapi tidak sesuai rasm mushaf Utsmani. Qira’at
syadzdzah juga bisa berarti qiraat yang mempunyai sanad yang shahih dan sesuai tata
bahasa Arab, namun tidak diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak ulama) tapi
hanya oleh ulama tertentu saja.
Seorang ahli qiraat dari Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta Romlah Widayati dalam
buku yang ditulisnya yang berjudul Implikasi Qira’at Syadzdzah terhadap Istinbat
Hukum (Analisis terhadap Penafsiran Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-
Muhith)membuktikan bahwa qira’at syadzdzah yang dinilai asing itu tidak saja dapat
dijadikan sebagai hujjah (pedoman) dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an,
tetapi juga dapat dijadikan hujjah untuk istinbat hukum atau menggali hukum Islam.
Qira’at syadzdzah adalah qira’at yang tidak memenuhi semua kriteria keabsahan yang
ditetapkan oleh ulama. Qira’at ini mungkin sesuai dengan rasm mushaf Utsmani atau
ejaan yang dipakai oleh kebanyakan umat islam dan memenuhi tata bahasa Arab
tetapi tidak mempunyai sanad (riwayat) yang shahih, atau mempunyai sanad yang
shahih dan sesuai tata bahasa Arab tapi tidak sesuai rasm mushaf Utsmani. Qira’at
syadzdzah juga bisa berarti qiraat yang mempunyai sanad yang shahih dan sesuai tata
bahasa Arab, namun tidak diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak ulama) tapi
hanya oleh ulama tertentu saja.
Adapun hukum qiraah syadzdzah adalah:
a. Haram dipakai dan tidak sah shalat yang menggunakan qira’at ini, karena ia bukan
termasuk bagian dari bacaan al-Quran.
b. Sebagian besar fuqaha, termasuk Imam Syafi’I, berpendapat tidak boleh berhujjah
dengan qira’at syadzdzah, karena ia tidak termasuk model bacaan al-Quran. Tapi
menurut mazhab Hanafi dibolehkan berhujjah dengan qira’at ini dalam masalah
hukum, karena qira’at syadzdzah termasuk bagian dari tafsir.
5. Proses kodifikasi Al-Qur'an pada masa khalifah Utsman berada pada titik kritis
kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira'at
yang satu dengan aliran qira'at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling
mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Utsman telah meluas, orang-
orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang
lancarnya komunikasi intelektual di antara mereka. Menurut Ash-Shobuni bahwa
Penduduk Syam membaca Al-Qur'an mengikuti qira'at Ubay bin Ka'ab, penduduk
Kufah mengikuti qira'at Abdullah bin Mas'ud dan sebagian yang lain mengikuti qira'at
Abu Musa al-Asy'ari. Di antara mereka terdapat perbedaan bunyi huruf dan bacaan.
Karena kurang lancarnya komunikasi di antara para ahli qira’at, yang semula tujuan
bervariasinya qira’at Al-Qur'an sebagai bentuk rahmat (kemudahan dan kelonggaran)
bagi umat Islam, tapi justru menjadi semacam bencana kemanusiaan. Karena terjadi
kerenggangan hubungan di antara mereka. Berkenaan dengan keadaan di atas, maka
pada pertengahan kedua di abad I H, dan pertengahan awal di abad II H, para ahli
qira'at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem qira'at Al-Qur'an
yang berkembang pada saat itu. Misalnya, tujuh sistem qira'at Al-Qur'an yang berhasil
dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong mutawatir yang
bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan qira'at sab'ah(qira'at
tujuh). Qira’at tujuh adalah qira’at yang dihukum mutawatir karena periwayatannya
sampai kepada Nabi saw. Akan tetapi tidak semua qira’at itu bersambung periwayatan
dengan Nabi Saw dan tidak semua qira’at dapat diterima untuk dijadikan hujjah dalam
hukum ataupun digunakan di kehidupan sehari-hari. Diterimanya suatu qira’at itu
mempunyai kriteria-kriteria yang harus terpenuhi. Oleh karena itu Para ulama
mengklasifikasikan qira’at menjadi enam macam, yaitu sebagai berikut:
- Qira’ah Mutawatirah, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang
tidak mungkin melakukan dusta hingga sampai rawi paling atas (Rasulullah
SAW).
- Qira’ah mashurah, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tapi tidak mencapai derajat
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan rasm utsmani.
Seperti qira’at yang dinisbahkan kepada tiga imam qira’at setelah tujuh imam
diatas, walaupunjumhur ulama memasukkan ketiga imam tersebut kepada qira’ah
mutawatirah.
- Qira’ah ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tapi menyalahi salah satu rasm
utsmani atau menyalahi kaidah bahasa arab.
- Qira’ah syadzdzah, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, walaupun sesuai
dengan kaidah bahasa arab dan rasm Utsmani.
6. Banyak yang belum saya ketahui tentang periodeisasi proses dinamika al-Qur’an baik
secara internal maupun eksternal al-Qur’an, salah satunya ilmu Qiraat. Setelah saya
belajar tentang ilmu qiraat saya semakin tahu bahwasanya al-Qur’an yang kita terima
sekarang merupakan al-Qur’an yang telah melalui proses yang sangat panjang serta
kompleks. Terlepas dari itu, ketika kita melihat ilmu qiraat saja, ada banyak
komponen yang harus difilterisasi agar al-Qur’an tetap otentik seperti yang telah kita
lihat sekarang. Dalam proses dinamika tersebut melibatkan banyak ulama, beberapa
pemikiran, perdebatan yang a lot, bertukar pendapat dan lain-lain. Al fatihah untuk
ulama-ulama yang telah berdedikasi terhadap proses menjaga ke otentikan al-Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai