Makalah ini disampaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Quran
Oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak Adib Riyadi, M.Pd.I pada mata kuliah Studi Al-
Quran.Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Adib Riyadi, M.Pd.I selaku dosen
mata kuliah Studi Al-Quran. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu qira’at adalah termasuk bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ân atau ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang
membahas tentang kaedah membaca al-Qur-an. Ilmu ini disandarkan kepada masing-masing imam
periwayat dan pengembangnya yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Cara
pengambilan ilmu ini adalah secara talaqqi yakni berhadapan langsung antara guru dan murid dengan
memperhatikan bentuk mulut, lidah, dan bibir guru dalam melafazkan ayat-ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu, Khalifah Utsmân ketika mengirimkan mushaf ke beberapa wilayah, disertakan
pula seorang qâri’ yang qira’atnya sesuai dengan mushaf yang dikirimkannya itu. Mereka terdiri dari
sahabat-sahabat yang tahu bagaimana Rasulullah saw. membaca al-Qur’an. Di antara para sahabat itu ada
yang menerima dari Nabi hanya satu bacaan saja, ada pula yang menerima dua bacaan, tiga bacaan, dan
bahkan ada yang menerima lebih dari itu dan kemudian mereka mengajarkannya kepada orang-orang
yang belajar. Maka wajarlah jika timbul perbedaan qira’at pada generasi tabi’in dan generasi penerusnya.
Dari masa ke masa, ilmu qira’at semakin maju sejajar dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang
dalam dunia Islam pada saat itu. Ilmu yang asalnya hanya dipelajari dan diterima dari mulut ke mulut
mulai dibukukan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang apa yang di maksud dengan Ilmu Qiraat dan bagai mana perkembangan ilmu Qiraat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang pembahasan mengenai Qiraat di atas dapat di ambil suatu rumusan masalah
sebagai berikut :
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat
Qiraat secara etimologi merupakan isim mashdar dari kata ً قِ َرآ َءة- يَ ْق َرأ- قَ َرَأyang artinya baca,
membaca. Sedangkan secara terminologi telah dikemukakan oleh para pakar Al-Qur’an, diantaranya:
Menurut az-Zarqani dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an sebagaimana yang dikutip
oleh Hasanuddin AF, qiraat adalah perbedaan lafal-lafal Al-Quran baik menyangkut penyebutan huruf
maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut.
Menurut Imam Syihabbuddin al-Qatalani dalam kitab Lataif al-Isyarat fi Funun al-Qiraat
sebagaimana yang dikutip oleh Nur Faizah, menjelaskan bahwa qiraat adalah suatu ilmu untuk
mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qiraat (cara pengucapan lafad Al-Quran) yang
menyangkut aspek lughat, irab, hadzf, isbat, fasl, wasl yang diperoleh dengan cara periwayatan.
Menurut Ali as-Sabuni dalam kitab at-Tibyan fi Ulum Al-Quran qiraat adalah salah satu aliran dalam
mengucapkan Al-Quran yang dipakai oleh salah satu imam qura ang berbeda dengan lainnya dalam hal
ucapan berdasarkan sanad-sand sampai kepada Rasul.
Jadi penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa qiraat adalah ilmu yang
membahas tentang perbedaan cara pengucapan lafadz-lafadz, metode dan riwayat Al-Quran yang
disandarkan oleh tujuh imam qurra’ sebagai suatu madzab yang berbeda-beda dengan yang lainnya.
turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan
dengan turunya al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah
sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling
berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar
yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa Qiraat memang mulai di
turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at
belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah
yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak
orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti
membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase,
yaitu:
Fase Pertama: masa pertumbuhan Fase pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana Nabi
mengajarkan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai dengan apa yang mudah
bagi mereka. Dengan demikian, para sahabat mendapatkan bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan bacaan
yang beragam. Seringkali dengan ragam bacaan yang mereka terima, menimbulkan perselisihan diantara
para sahabat, lalu Nabi menyelesaikan perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan
Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at Fase kedua ini terjadi setelah Nabi wafat, yaitu pada
masa sahabat dan tabi’in. Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan bermukim di Mekah atau
Madinah. Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan dinamika da’wah para sahabat terpanggil untuk
menyebarkan islam ke berbagai pelosok negeri. Ada sahabat yang pergi ke negeri Basrah seperti Abu
Mûsâ Al Asy’ary. Ada yang ke Kufah seperti Ibnu Mas’ûd. Ada yang pergi ke Syam seperti Abû Darda’,
dan lain sebagainya. Para sahabat tersebut mengajarkan al-Qur’an kepada para tabi’in sesuai dengan
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli Qira’at Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar akhir abad
pertama sampai awal abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at berlangsung sedemikian lama,
maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul
ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90 H) yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis
qira’at.
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu Qira’at Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan
berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar
permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat
adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’,
diantaranya yaitu :
1. ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa
al-‘Irâq.
2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
11. Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.
Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at
dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama
ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah). Agaknya penulisan
qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at Sab’ah Pada peringkat awal pembukuan ilmu qira’ at yang
dirintis oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di atas, istilah qira’at tujuh belum
dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qira’at yang banyak ke dalam karangan-
karangannya. Barulah pada permulaan abad kedua Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan
beberapa imam yang mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154
H) dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156 H) dan ‘Âsim (w. 127
H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di Mekah mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w.
120 H), dan di Madinah memilih qira’at Nâfi’ (w. 199 H).
Di penghujung abad ketiga Hijrah, barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at
Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at tersebut
di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H), salah seorang ahli qira’at dari Kufah, dan
membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’ tersebut. Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qira’at saja yang masyhur padahal masih banyak imam-
imam qira’at lain yang kedudukannya setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah
karena sangat banyaknya periwayat qira’at mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya
menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qira’at yang sesuai dengan khat mushaf
yang mudah dihafal dan mudah menurut bacaan al-Qur’an. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini
ialah memperhatikan siapa di antara ahli qira’at itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya,
lamanya waktu dalam menekuni qira’at dan adanya kesepakatan untuk diambil serta dikembangkan
qira’atnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam, tanpa mengabaikan periwayat selain
tujuh imam qira’at tersebut, seperti qira’at Ya’qûb, Abû Ja’far, Syaibah dan lain-lain.
Kehadiran istilah Qira’at Sab’ah telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama. Para ulama
yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa qira’at sab’ah adalah sab’atu ahruf
yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah
baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para
ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibn Khawalaih, Ibn Zanjalah, Makki Ibn Abi Tâlib al-Qaisyi
Fase keenam: Fase Pengukuhan Qira’at Sab’ah Fase ini berlangsung setelah kemunculan kitab Al-
Sab’ah karya Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting dalam sejarah penulisan ilmu qira’at.
Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan ilmu qira’at pada masa sebelum Ibn Mujahid bisa
dikatakan tidak selektif tapi lebih kepada penulisan qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru
mereka. Karena itu ulama yang pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya
imam tujuh tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu tercantum dalam
kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah Qira’at Sab’ah menjadi semakin kokoh dan
masyhur dengan munculnya kitab At Taisir karya Abû ‘Amr al-Dâni (w. 444 H). Yang menonjol dari
kitab ini adalah penyederhanaan rawi dari setiap imam dengan hanya dua perawi, padahal sebagaimana di
ketahui bahwa perawi setiap imam biasanya berjumlah puluhan bahkan ratusan.
1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2. Qumbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn Katsîr
3. Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn ‘Âmir
5. Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim
6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Penyederhanaan rawi ini sangat bermanfaat untuk memudahkan mempelajari ilmu qira’at , apalagi
para perawi yang terpilih telah di akui kredibilitasnya dalam bidang qira’at oleh para ulama sezamannya.
Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah kemunculan imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil
menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat
indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-
Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâtibiyyah”. Syair-syair
Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi
syair Syâtibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazam al-Syâtibiyyah ini merupakan karya terbesar
imam al-Syâtibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazam ini dijadikan sebagai rujukan utama
Menurut Manna al-Qattan, syarat diterimanya qiraat adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan
kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani.
Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh dalam
surah al-Fatihah, ()ا ْه ِدنَا الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم, pada kata (َ )الصِّ َراطdiganti dengan huruf sin ()س. Contoh lainnya
adalah ayat (ِّين
ِ ) َمالِ ِك يَوْ ِم الدdengan membuang huruf alif pada kata ( ) َمالِ ِكsehingga menjadi ()ملك. Ketiga:
Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad. Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni:
memiliki kesahihan sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.
Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak adalah bahwa
ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang mutawatir. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk menolaknya. Jika terdapat qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak
diterima. Penulis mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis
oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:
C). Kata-kata ( )وصح إسناداdi atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.
Menurut Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang
dapat diterima atau tidak, yaitu:
Pertama, qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh orang
yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.
Kedua, periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm
mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat dipergunakan dalam bacaan meskipun
periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-
Qur’an. Karena didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan
mengundang kesalahpahaman.
Ketiga, qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat tersebut telah sesuai dengan
rasm mushaf.
Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu. Mereka
beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai dengan kaidah nahwu,
maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang
mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut
tidak bisa ditolak.