Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

QIRA’AH DI KALANGAN SYI’AH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu


Qira’at Dosen Pengampu : Layyinatus Syifa, M.Ag

Disusun Oleh :
Fauzan Sidik (1904026028)
Azka Ihclasul Amal (1904026043)
Nur Tsaniyah Nst (1904026029)
Rendy Priyambudi (1904026140)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada periode pertama, Al-Qur’an belum dibukukan, sehingga dasar pembacaan
dan pelajarannya masih secara lisan. Hal ini berlangsung terus sampai pada masa
sahabat, masa pemerintah Khalifah Abu Bakar dan Umar r.a. Pada masa mereka, Kitab
Al-Qur‟an sudah dibukukan dalam satu mushaf. Pembukuan Al-Qur‟an tersebut
merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar r.a. atas inisiatif Umar bin Khattab r.a. Pada
masa Khalifah Utsman bin Affan r.a. mushaf Al-Qur’an itu disalin dan dibuat banyak,
serta dikirim ke daerah-daerah Islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas guna
menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan Al- Qur‟an.
Hal itu diupayakan Khalifah Utsman, karena pada waktu ada perselisihan sesama
muslim di daerah Azzerbeijan mengenai bacaan Al-Qur’an. Perselisihan tersebut
hampir saja menimbulkan perang saudara sesama umat Islam. Sebab, mereka
berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an karena oleh Nabi Muhammad
SAW diajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing.
Tetapi karena tidak memahami maksud tujuan Nabi Muhammad SAW, lalu tiap
golongan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang
lain salah, sehingga mengakibatkan perselisihan. Itulah pangkal perbedaan qira‟at dan
tonggak sejarah tumbuhnya ilmu qira’at.1
Seiring berjalannya waktu serta terdapat pula kemajuan- kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan serta teknologi maka semakin berkembang pula pembahasan-
pembahasan mengenai ilmu pengetahuan yang membahas mengenai kitab Suci Al-
Qur’an, Salah satunya yakni Ilmu Qira’at dimana Ilmu Qira’at ini merupakan salah
satu Ilmu yang membahas mengenai dialek pembacaan Al-Qur’an. Didalam Ilmu
Qira’at ini juga tidak jarang kita jumpai berbagai macam perbedaan- perbedaan yang
ada namun hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar, diantara perbedaan imam
Qira’at maupun perbedaan Qira’at yang terdapat diberbagai macam kalangan serta
madzhab – madzhab tertentu, Maka dari itu penting bagi kita untuk senantiasa turut
serta mempelajari berbagai macam ilmu Qira’at yang ada.

1
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 242-243.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang Dimaksud dengan Ilmu Qiraat?

2. Bagaimana Konsep Qira’at di kalangan Syiah?

3. Bagaimana Pandangan Mufassir Syiah terhadap Qira’at?

4. Bagaimana Perbedaan Qiraat di Kalangan Syi’ah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Definisi Ilmu Qiraat

2. Untuk mengetahui Pandangan Mufassir Syiah terhadap Qira’at

3. Untuk mengetahui Konsep Qira’at di kalangan Syiah

4. Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan Qiraat di Kalangan Syi‟ah

1
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 242-243.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Qira’at
Secara etimologis, lafaz qira’at merupakan bentuk masdar dari akar kata Qara’a-
Yaqra’u- Qira’atan wa qur’anan yang berarti bacaan. Makna asalnya juga mempunyai arti
“mengumpulkan” dan “menghimpun”, artinya menghimpun huruf-huruf dan kata-kata
satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.
Secara terminologi, definisi yang mudah dipahami dan dijadikan sebagai acuan
adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Fatah al-Qadi dalam al-Budur al-Zahirah
fi Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah, juga dikutip oleh Ahmad Fathoni dalam bukunya
Kaidah Qira’at Tujuh: “Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata Al-
Qur‟an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkan
dengan cara menyandarkan setiap bacaannya kepada salah seorang imam qira’at”.
Definisi yang disampaikan oleh Abdul Fatah al-Qhadi tersebut ringkas dan jelas,
alasannya mencakup dua hal pokok ilmu qira’at yaitu cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur‟an
baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkan oleh para Imam qira’at, dan mencakup
pentingnya sanad yang mutawatir sampai kepada Nabi SAW sebagai syarat diterimanya
qira’at. Namun, tidak hanya itu, terdapat banyak redaksi lain yang dikemukakan oleh
para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Imam al-Zarkasy menyebutkan
dalam al-Burhan fi Ulum Al- Qur’an: “Qira’at itu adalah perbedaan lafaz-lafazAl-Qur’an,
baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti:
takhfif, tasqil dan lain-lain”.
Pengertian qira’at yang disebutkan Imam al-Zarkasy di atas mengindikasikan
bahwa hanya terbatas pada lafallafal Al-Qur‟an yang memiliki perbedaan qira’at.
Sementara itu masih banyak diantara lafaz-lafazAl-Qur‟an yang tidak terdapat perbedaan
qira’at, maka definisi ini belum mencakup maksud yang diinginkan.
Imam Ali al-Sabuni juga mengemukakan definisi tentang qira’at yaitu; Qira’at
adalah: suatu mazhab tertentu tentang cara pengucapan Al-Qur‟an, dianut seorang Imam
qira’at yang berbeda dengan mazhab lainnya, berdasarkan sanad-sanad-nya yang
bersambung sampai kepada Nabi SAW. Definisi yang dikemukakan oleh „Ali al-Sabuni
tersebut senada dengan pendapat Manna‟ al-Qattan dalam Mabahis fi Ulum Al-Qur’an.
Mereka menyebutkan bahwa qira’at tidak hanya sebatas ilmu tapi telah menjadi mazhab
tertentu pada Ulum Al-Qur’an.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ulama tersebut, meskipun antara
satu dengan yang lainnya berbeda, namun intinya pengertian-pengertian di atas bermuara
pada tujuan yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa cakupan qira’at itu adalah:
a. Yang dimaksud dengan qira’at dalam pembahasan ini yaitu, cara mengucapkan lafaz-
lafaz Al-Qur‟an sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi SAW, atau diucapkan oleh
Sahabat di hadapan Nabi kemudian beliau men-taqrir-kannya.
b. Cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik itu berupa: hazf, isbat, taskin, tahrik,
fasl, wasl, ibdal, atau lainnya sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi SAW.
c. Qira’at Al-Qur’an tersebut diperoleh berdasarkan periwayatan dari Nabi sampai kepada
imam-imam qira’at.
d. Qira’at Al-Qur‟an adakalanya hanya memiliki satu versi qira‟at saja, dan ada kalanya
memiliki beberapa versi qira’at. Di sisi lain adakalanya para ulama bersepakat terhadap
versi qira’at tertentu dan adakalanya terjadi ikhtilaf.

Disamping itu, qira’at berbeda dengan tajwid, meskipun sama-sama ilmu tentang
pengucapan dan pelafalan AlQur’an. Tajwid merupakan ilmu yang mempelajari tentang
memberikan hak huruf dan mustahaq-nya. Baik yang berkaitan dengan sifat, mad, dan
sebagainya, seperti tarqiq dan tafkhim dan selain keduanya. Misalnya huruf ‫ ع‬keluar dari
pangkal tenggorokan, huruf ‫ ث‬keluar dari ujung lidah dan lain sebagainya. Maka dapat
disimpulkan bahwa perbedaan antara qira’at dengan tajwid adalah sebagai berikut; Qira’at
berkaitan dengan pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an yang berkenaan dengan substansi lafaz,
kalimat ataupun dialek kebahasaan. Sedangkan tajwid berkaitan dengan kaidah-kaidah yang
bersifat teknis dalam upaya memperindah bacaan Al-Qur‟an, dengan cara membunyikan
huruf-huruf Al-Qur’an tersebut sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya.

B. Qira’at di Kalangan Syiah


Pandangan umat islam secara umum menerima adanya riwayat al Ahruf al-Sab’ah
terutama dari pihak ahlus sunnah wal-jama’ah, walaupun mereka sendiri berbeda-beda
dalam menginterpretasikannya. Syi’ah sebagai salah satu madzhab islam ternyata
mempunyai pandangan tersendiri tentang al-Ahruf al-Sab’ah. Untuk lebih jelasnya, kita
angkat salah satu tokoh Syi’ah imamiyyah yaitu as-sayyid Abu al- Qosim al-Khu’i yang
tidak menerima validitas hadits al-Ahruf al-Sab’ah seperti tertuang dalam karyanya yang
berjudul al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, walaupun tidak di pungkiri ada sebagian orang Syiah
yang mau menerima tentang hadits al-Ahruf al-Sab’ah. Imam al-Khu’i dalam pembahasan
al-Ahruf al-Sab’ah memulai dengan menghadirkan beberapa riwayat yang pada umumnya.
Menurut Imam al-Khu’i hadits-hadits tersebut tidak valid, walaupun dari kacamata
ahlussunnah benar bahkan sampai mutawatir. Karena hadits-hadits tersebut dalam
pandangannya bertentangan dengan riwayat-riwayat imam Syi’ah yang ma’shum menurut
versi mereka. Diantara riwayat tersebut adalah:
a) Dari Abi Ja’far, sesungguhnya beliau berkata al-Quran itu satu, turun dari Tuhan yang Esa.
adapun adanya perbedaan itu datang dari para rawi.
b) Jawaban Abi Ja’far ketika ditanya al-Fudlail bin Yassaar tentang riwayat al-Ahruf al-Sab’ah,
beliau berkata “mereka (musuh-musuh Allah) telah berdusta, karena al-Qur’an itu
diturunkan Allah yang maha Esa dengan satu huruf2

Di samping pertentangan tersebut, al-Khu’i menolak riwayat al-Ahruf al-Sab’ah karena


menurut tinjauannya dalam riwayat tersebut terdapat tanakudl (baca: kontradiksi) antara satu
riwayat dengan lainnya. Dengan demikian riwayat-riwayat tersebut tidak mungkin dijadikan
suatu landasan.
Tanaqudl yang di maksud oleh al-Khu’i diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Jibril mengajarkan al Qur’an kepada Rasul, dengan
satu huruf kemudian rosul minta tambahan kemudian di tambah sampai tujuh huruf ini
menunjukkan bahwa penambahan tujuh huruf itu terjadi secara bertahap. Namun riwayat
lain mengatakan bahwa penambahan terjadi secara langsung pada tahapan ketiga. Bahkan
satu riwayat menyebutkan bahwa Allah menyuruh membaca al-Quran dengan tiga huruf
kemudian datang perintah tujuh huruf pada tahapan keempat.
2. Disebut dalam satu riwayat bahwa proses penambahan huruf terjadi dalam satu tempat
dengan perantaraan Mikail kemudian Nabi meminta tambahan dari Jibril. Namun pada
riwayat lain disebutkan bahwa Jibrillah yang mengulang-ulang sampai tujuh huruf.
3. Dikatakan pada satu riwayat bahwa Ubay sedang masuk masjid ketika melihat perselisihan
bacaan kedua orang laki-laki. Padahal riwayat lain mengatakan bahwa Ubay berada di dalam
masjid ketika terjadi perselisihan tersebut.
4. Tidak adanya kekompakan antara soal dan jawaban. Seperti dalam riwayat Ibnu Mas’ud
dikatakan bahwa Rosulullah menyuruh kalian untuk membaca seperti apa yang kalian
ketahui. Jawaban ini tidak sesuai dengan pertanyaan dikarenakan pertanyaan berkaitan
dengan bilangan ayat.3

Menurut hemat penulis, penolakan al-Khu’i terhadap eksistensi riwayat al-Ahruf al-

2
Abu al-Qoshim al-Khuo’i al-Imam, Al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur’an, daar al-Zahro’, Beirut, Lebanon, cet. IV, 1395
H/1975 M. Hal. 177.
3
Ibid, hal 178
Sab’ah tidaklah berdasarkan obyektifitas dan independensi pemikiran, melainkan lebih
dipengaruhi oleh fanatisme madzhab. Ini terbukti dalam interaksi beliau terhadap riwayat al-
Ahruf al-Sab’ah berdasarkan pada metodologi Syi’ah yang mengatakan bahwa sumber
agama setelah Rosulullah adalah ahl al-Bait yang telah di sucikan dari berbagai keburukan.
Walaupun pada hakikatnya perkataan ini tidak lepas dari kritikan dari dalam. Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa hukum agama secara tertib adalah sebagai berikut: al-Quran
kemudian as-Sunnah. Adapun menurut kelompok Syi’ah adalah: Sunnah dahulu kemudian
al-Quran baru ahl al-Bait.4 Oleh karena itu al-Khu’I secara tegas mengatakan bahwa setiap
riwayat yang berseberangan dengan riwayat ahl al-bait tidak ada gunanya.
Adapun pernyataan al-Khu’i tentang adanya tanaqudl antara riwayat al-Ahruf al-
Sab’ah adalah tidak tepat, karena kalau kita mau jujur, perbedaan itu adalah hanya bersifat
formalitas saja, namun substansial riwayat-riwayat tersebut baik itu berbentuk perintah,
berita ataupun rukhsoh tentang adanya al-Ahruf al-Sab’ah tidaklah menunjukkan adanya
pertentangan. Karena semuanya menuju pada titik temu yang sama, dimana jumhur ulama’
sepakat atas kemutawatiran riwayat-riwayat tersebut. Begitu juga tentang tuduhan adanya
ketidakselarasan antara jawaban dengan pertanyaan. Karena sesungguhnya perbedaan
jumlah suatu ayat dalam surah itu tidak muncul disebabkan karena adanya dua ayat menjadi
satu ayat atau tidak. Karena hal seperti itu tergantung ketika talaqqi (baca:menerima bacaan)
al-Quran. Oleh karena itu perintah Rasulullah untuk membaca sesuai pengetahuan masing-
masing adalah merupakan jawaban yang paling tepat untuk menyelesaikan perselisihan ini.
Tidak ditemukan interpretasi al-Ahruf al-Sab’ah dalam pandangan Syi’ah. Karena
seperti disebutkan diatas mereka mengingkari adanya riwayat al-Ahruf al-Sab’ah.
Sebagaimana dikatakan oleh imam al-Khu’i bahwa riwayat-riwayat al-Ahruf al-Sab’ah tidak
mempunyai landasan yang benar. Oleh karena itu riwayat tersebut harus ditinggalkan jauh-
jauh apalagi sudah terbukti bertentangan dengan riwayat Asshaadiqiin yang mengatakan
bahwa al-Quran di turunkan dengan satu huruf.5

Sebelum kita beralih dari pembahasan masalah pandangan Syi’ah ini, ada satu hal yang
perlu kita catat yaitu bahwa riwayat Syi’ah yang mengatakan tentang perbedaan ahruf
muncul dari ide para rawi. Pandangan seperti ini sangatlah berbahaya karena mempunyai
pengertian bahwa perbedaan qira’at yang ada sekarang ini adalah hasil ciptaaan para rawi
bukan bersifat tauqifiyah. Ala kully hal, kita tidak bisa menerima ide al-Khu’i yang hanya
berdasarkan satu atau dua riwayat saja, itupun tanpa menyebutkan sanad yang jelas.

4
Abd shobur syahin Dr., Tarikh al-Quran, ma’had al-Dirosah al-Islamiyyah, Zamalik, 1417 H/1997 M. Hal. 68
5
Op, cit. Abu qoshim al-Kho’I al-Imam, hal.193.
Bagaimana kita bisa menerima satu atau dua riwayat dan meninggalkan puluhan riwayat
lainnya yang jelas-jelas mutawatir, tentu yang demikianlah tidaklah masuk akal.

C. Pandangan Mufassir Syiah terhadap Qira’at

Terdapat beberapa para Mufassir di kalangan Syiah yang memiliki pandangan yang
berbeda – beda dalam menanggapi Qira’at hal ini berkaitan pula dengan adanya perbedaan –
perbedaan Imam Qira’at, namun hal tersebut dirasa wajar dan tidak banyak mengganggu
menurut para Mufassir Syiah. Sebagian Para Mufassir Qira’at ada yang mengatakan
bahwasannya Qira’at yang ada saat ini tidak Mutawattir sampai kepada Rasulullah saw,
Mereka yang memiliki pandangan seperti ini berpendapat bahwasannya Qira’at yang paling
meyakinkan atau dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya adalah Qira’at yang
diajarkan Oleh imam Hafs saja tidak dengan Imam Qira’at yang lainnya. Hal ini dianggap
sangat bertolak belakang dengan pandangan sunni yang mengatakan bahwasannya Qira’ah
sab’ah atau yang kita kenal dengan Riwayat imam tujuh merupakan Qira’at yang sudah
Mutawattir. Kemudian terdapat Pula Ulama Syiah yang mengatakan bahwasannya Al-
Qur’an saat ini bukanlah versi asli Al-Qur’an yang sebenarnya melainkan Al-Qur’an sudah
mengalami perombakan hingga pemalsuan yang hal tersebut dilakukan Oleh para Sahabat
sehingga Qira’at diragukan oleh beberapa kalangan syiah, lagi – lagi hal tersebut sangat
berbanding terbalik dengan keumuman yang ada dalam tradisi islam bahwasannya segala
hal yang tawattur dianggap akurat dan dapat diyakini."6
Namun dalam perjalannya terdapat pula beberapa para tokoh mufassir Qira’at yang
mempercayai serta menerima keberadaan serta eksistensi Qira’at dalam karya – karya yang
ditulisnya, bahkan ia juga tak jarang menggunakan Qira’at sebagai salah satu alat bantu
dalam penafsirannya, dan mengatakan dalam salah satu karyanya bahwasannya imam Syiah
memperbolehkan untuk turut serta membaca bacaan yang masyhur dari para Qurra’.
Perbedaan – perbedaan ini timbul dari adanya berbagai macam pemikiran serta pandangan –
pandangan para Mufassir syiah dan hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar adanya.

Di tempat lainnya dalam kitab yang sama Zahabi mencatat bahwa qir’ahnya dari jalur

6
Zahabi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad, Ma’rifat al-Qurra al-Kibar, jilid 1, Hal: 88, cet: Muassasah al-Risalah
al- Sulami bersumber dari Imam Ali r.a: “Dan diriwayatkan dari Hafsh bin Sulaiman:
Ashim berkata padaku: qiraah yang aku ajarkan kepada mu adalah qiraah yang aku peroleh
dari Abi Abdurrahman al-Sulami, dari Ali r.a".3
Atas dasar ini tidak salah jika kemudian di dalam kitab tasis al-Syiah Li Ulum al-Islam
disebutkan bahwa Ashim adalah seorang Syiah. “Ashim al-Kufi bin Abi al-Najud
Bahdalah adalah Syiah dan salah seorang Qari yang tujuh. Ia belajar dari Abi
Abdurrahman al-Sulami sahabat Ali bin Abi Thalib, yang sebelumnya telah disebutkan ke-
Syiahannya."4
Dan atas dasar ini dapat dipahami bahwa Ashim merupakan tokoh Syiah yang
memperoleh qira'ahnya dari imam Ali r.a yang merupakan imam Syiah melalui Abi
Abdurrahman al-Sulami yang juga Syiah. Sumbangsih Ashim terhadap dunia Islam tentu
saja tidak kecil mengingat bahwa qiraah yang tersebar di dunia Islam saat ini didominasi
oleh qiraah Hafsh dari Ashim.

Al-Ṭusi mengakui adanya keragaman bacaan (qira`at) al-Qur`an. Begitu juga al-
Ṭabars’ dalam kitabnya Majma‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.5 Al-Ṭusi menambahkan
bolehnya memilih bacaan (qira`at) yang mashur di kalangan qurra’, tanpa melalui tarjiḥ
dan kritik. Misalnya tentang bacaan ‫ ملك‬. Imam Aṣim dan al-Kisa’i membaca panjang lafaz
‫ ملك‬. Sedangkan selain kedua imam tersebut membacanya pendek.

Dari dua Qira`at tersebut, al-Ṭusi memilih Qira`at Aṣim dan al-Kisa`i, karena dari
segi makna lebih kuat daripada Qira`at yang membaca pendek (‫) ملك‬. Dari kedua tokoh
Syi‟ah tersebut, menggambarkan bahwa Syi’ah tidak menolak dan menafikan keragaman
Qira`at al-Qur`an. Meski al-Ṭusi berbeda dari al-Ṭabarisi dalam memilih bacaan tertentu,
tetapi pada dasarnya hal tersebut bersifat ikhtilafiyyah, dan bukan karena faktor ideologi.7

D. Perbedaan Qiro’at di Kalangan syi’ah

Pandangan al-Kasyani dan al-Tabrisi tentang perbedaan Qira’at

Al-Tabrisi sepakat akan kebolehan membaca dengan qira’at yang digunakan atau
yang masyhur diriwayatkan oleh para qari’. Al-Tabrisi cenderung tidak membatasi
qira’at dalam kitab tafsirnya sebatas qira’at asyrah, akan tetapi ia juga memasukkan tiga
qura’ setelah asyrah seperti Hasan al-Basri maupun imam lain yang tercakup selainnya.
Seperti Abu Hatim al-Sijistani. Sisi kecenderungan ideologinya adalah dalam
pembahasan mengenai jumlah ayat al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa riwayat yang paling

7
Hadi Ma’rifat, al-Tamhid fi Ulum al-Qur’an, (Qum: Intisharat Luqman, 1413 H), hal 107
tinggi dan kredibel adalah ahl al-Kufah karena sanadnya yang langsung tersambung
kepada sayyidina Ali.8
Kemudian ada juga al-Kasyani yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan
dengan “satu huruf”. Namun ia tidak melakukan kritik yang begitu tajam terhadap hadis
yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan “tujuh huruf”. Walaupun al-
Kasyani tidak sepakat dengan wacana keragaman bacaan al-Qur’an ia tidak menegaskan
bacaan mana yang seharusnya dibaca.
Adapun faktor yang melatar belakangi adanya perbedaan pendapat antara satu
tokoh dengan lainnya salah satunya adalah perbedaan asumsi dasar mengenai keotentikan
al-Qur’an. Al-Kasyani secara terbuka menyatakan bahwa al-Qur’an telah mengalami
perubahan dan terdapat perbedaan antara al-Qur’an yang ada sekarang ini dengan yang
diturunkan oleh Allah. Dan tidak mungkin untuk bersandar kepada al-Qur’an seutuhnya
jika al-Qur’an mengalami perubahan. Al-Kasyani menyatakan bahwa pernyataan kalangan
Syi’ah Imamiyah mengenai adanya tambahan, pengurangan dan perubahan dalam al-
Qur’an itu tidak benar.
Adapun faktor yang melatar belakangi adanya perbedaan pendapat antara satu
tokoh dengan lainnya salah satunya adalah perbedaan asumsi dasar mengenai keotentikan
al-Qur’an. Al-Kasyani secara terbuka menyatakan bahwa al-Qur’an telah mengalami
perubahan dan terdapat perbedaan antara al-Qur’an yang ada sekarang ini dengan yang
diturunkan oleh Allah. Dan tidak mungkin untuk bersandar kepada al-Qur’an seutuhnya
jika al-Qur’an mengalami perubahan. Al-Kasyani menyatakan bahwa pernyataan kalangan
Syi’ah Imamiyah mengenai adanya tambahan, pengurangan dan perubahan dalam al-
Qur’an itu tidak benar. Hal ini berpengaruh terhadap pandangan keabsahan qira’at. Ini
dikarenakan Syi’ah tidak mempunyai standar qira’at yang mapan seperti kalangan sunni.

BAB III
PENUTUP

8
Putri Adelia, “Konsep Perbedaan Qira’at di Kalangan mufassir Syi’ah” (http:digilib.uin-suka.ac.id diakses pada 19
November 2021 12:31 WIB), hal. 110
A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa Ilmu Qira’at Al Qur’an adalah ilmu yang mempelajari
tentang cara membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang berupa wahyu Allah SWT, dipilih oleh
salah seorang imam ahli qira’at. Perbedaan qira’at terkadang berpengaruh dalam
menetapkan ketentuan hukum, antara lain ada pada Qs. Al-Baqarah ayat 222 dan Qs. An-
Nisa’ ayat 43.
Dan atas dasar ini dapat dipahami bahwa ‘Ashim merupakan tokoh Syiah yang
memperoleh qira'ahnya dari imam Ali r.a yang merupakan imam Syiah melalui Abi
Abdurrahman al-Sulami yang juga Syiah. Sumbangsih Ashim terhadap dunia Islam tentu
saja tidak kecil mengingat bahwa qiraah yang tersebar di dunia Islam saat ini didominasi
oleh qiraah Hafsh dari Ashim.

Al-Ṭusi mengakui adanya keragaman bacaan (qira`at) al-Qur`an. Begitu juga al-
Ṭabars’ dalam kitabnya Majma‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.5 Al-Ṭusi menambahkan
bolehnya memilih bacaan (qira`at) yang mashur di kalangan qurra’, tanpa melalui tarjiḥ dan
kritik. Misalnya tentang bacaan ‫ ملك‬. Imam Aṣim dan al-Kisa’i membaca panjang lafaz ‫ملك‬
. Sedangkan selain kedua imam tersebut membacanya pendek.
Dari dua Qira`at tersebut, al-Ṭusi memilih Qira`at Aṣim dan al-Kisa`i, karena dari segi
makna lebih kuat daripada Qira`at yang membaca pendek (‫) ملك‬. Dari kedua tokoh Syi‟ah
tersebut, menggambarkan bahwa Syi’ah tidak menolak dan menafikan keragaman Qira`at
al-Qur`an. Meski al-Ṭusi berbeda dari al-Ṭabarisi dalam memilih bacaan tertentu, tetapi pada
dasarnya hal tersebut bersifat ikhtilafiyyah, dan bukan karena faktor ideologi.
DAFTAR PUSTAKA

Putri Adelia, “Konsep Perbedaan Qira’at di Kalangan mufassir Syi’ah” (http:digilib.uin-


suka.ac.id diakses pada 17 November 2021 12:31 WIB)

Miftahul Jannah, “Qira’at Syazzah Perspektif Ibn Khalawaih (Kritik Atas Qira’ah Sab’ah Ibn
Mujahid)” (Vol. 5, No. 1, Juni 2020)

Aḥmad Ibn Faris Ibn Zakariya` al-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1989)
Abd al-‟Ali al-Mas‟ul, al-Qirā’at al-Shadhahdhah: Dawabituha wa al-Ihtijaju Biha fi al-Fiqh wa
al-‘Arabiyyah, (Kairo: Dar Ibn ‟Affan, 2008)

Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013)

Zahabi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad, Ma‟rifat al-Qurra al-Kibar, jilid 1 cet:
Muassasah al-Risalah.
Abu Ali al-Fadl Ibn Ḥasan al-Ṭabarsi, Majma‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an, (Bairut: Dar al-
Ulum, 2005)
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur‟an al-Azim, (Dar Tayyibah li al-Nashr wa al-Tawzi, 1999)
Hadi Ma‟rifat, al-Tamhid fi Ulum al-Qur‟an, (Qum: Intisharat Luqman, 1413 H)
Hasan Shadr, Tasis al-Syiah Li Ulum al-Islam

Anda mungkin juga menyukai