Anda di halaman 1dari 7

IMPLEMENTASI AGAMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Dosen Mata Kuliah

Pendidikan Agama Islam:

Miftahul Ulum, S.Th.I, M.Pd

Disusun Oleh:

Shizuka Maharani Azura

1032111026

TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


IMPLEMENTASI AGAMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keanekaragaman corak penafsiran Al-Quran ?
2. Bagaimana dialektika Al-Qur’an dan budaya merumuskan paradigma Al-Qur’an
tentang moderastis ?
B. Tujuan
1. Agar dapat mengidentifikasi keanekaragaman corak penafisran Al-Quran.
2. Agar dapat menelusuri adanya dialetika Al-Quran dan budaya merumuskan paradigma
Al-Quran tentang moderastis.
C. Pembahasan
a) Pengertian Corak Tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak memiliki beberapa makna. Di

antaranya corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna - warna) pada
kain(tenunan, anyaman), juga bermakna jenis-jenis warna pada warna dasar,
yang berarti juga sifat (faham, macam, bentuk) tertentu. Sedangkan, dalam literature
sejarah tafsir, biasanya kata corak digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun yang
berarti warna. Kata tafsir merupakan masdar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang
dalam kamus al-Munawwir bermakna tafsiran, interpretsi, penjelasan, komentar, dan
keterangan.3 Arti tafsir itu sendiri menurut bahasa (lughah) Arab adalah ِٞٞ‫رث‬11‫ اى‬dan
ٝ
‫)عاذاإل‬ menjelaskan, menerangkan). Sedangkan tafsir menurut istilah adalah ilmu yang
memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk
menjelaskan makna, mengumpulkan hukum dan hikmah-hikmahnya.
Dari penjelasan dua kata di atas, corak dan tafsir, maka dapat disimpulkan bahwa
corak tafsir adalah bentuk kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an yang dilatari
oleh kapasitas yang dimiliki mufasir.
b) Keanekaragaman Corak Tafsir
Pada abad pertengahan berbagai corak ideologi penafsiran lahir, lahirnya berbagai
ideologi ini menjadi cikal bakal adanya keberagaman corak dalam penafsiran Al-
Quran.
Adapun corak-corak tafsir yang berkembang dan populer hingga masa
modern ini adalah sebagai berikut:
1. Corak Lughawi
Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
kecenderungan atau pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model
seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per kata.
Terkadang, para mufasir juga mencantumkan bait-bait syair Arab sebagai
landasan dan acuan. Oleh karena itu, seseorang yang ingin
menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui
bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa Arab dengan segala seluk-
beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya.
Dengan mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufasir akan mudah
untuk mencari dan mengetahui makna, arti dan susunan kalimat-kalimat
al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat
tersebut. Bahkan Ahmad Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang
terkait (nahwu, sarf, etimologi, balaghahdan qira’at) sebagai syarat utama
bagi seorang mufasir. Maka di sini, akan terlihat suatu urgensi bahasa dalam
penafsirkan al-Qur’an. Contoh kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa
atau lughah adalah Tafsir al-Jalalain karya bersama antara al-Suyuti dan
al-Mahalli, Mafatih} al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain.
2. Corak Filsafat
Beberapa pemicu munculnya keragaman penafsiran di antaranya
adalah perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam.
Bersamaan dengan itu pada masa Khilafah‘Abbasiyah banyak
digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.
Beberapa buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku
filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat Islam.
3. Corak Ilmiah (‘ilmi)
Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur’an yang sejalan dengan
perkembangan ilmu yang terjadi. Selain itu, Al-Quran mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan dan membebaskan pemikiran-pemikiran
yang mendorong agar dapat mengamati fenomena alam agar diteliti. Allah
SWT. juga mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping
ayat- ayat qur’aniah.
4. Corak Fiqhi
Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan
kemajuan dengan berbagai macam kritik dan pro kontranya, corak fiqhi
menjadi salah satu corak yang berkembang dan juga memiliki pro dan
kontra. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir ayat al-Ahkamatau tafsir
ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an.
Contoh tafsir fiqhibantara lain adalah: kalimat ‫مكلجرأو‬dalam masalah wudhu’
yang terdapat dalam surah al-Ma>idah ayat 6. Jika dibaca mans}ub(fathah)
maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh
bukan mengusap. Akan tetapi jika majrur (kasrah) maka yang wajib hanya
mengusap.
c) Dialetika Al-Quran dan Budaya
1) Konteks Sosio-Kultural Arabia Pra-Islam
Secara garis besar Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian
tengah dan bagian pesisir. Daerah bagian tengah berupa padang pasir (shahra‘)
yang sebagian besar penduduknya adalah suku Badui yang mempunyai gaya
hidup pedesaan (nomadik), yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain. Sedangkan bagian pesisir penduduknya hidup menetap dengan mata
pencaharian bertani dan berniaga (penduduk kota). Karena itu mereka sempat
membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.geografis yang berbeda ini
pada akhirnya mengakibatkan terjadinya dualisme karakter penduduk, yakni
antara kaum Badui dan penduduk kota, Kerasnya situasi gurun pasir membuat
masyarakat Arab sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk
meneguhkan hatinya, mereka mempercayai takhayyul yang dianggap dapat
memberikan keteguhan, kekuatan, dan kemakmuran.Selain itu, ada juga
kepercayaan yang bersumber dari cerita rekaan berupa legenda yang tertuang
dalam syair-syair atau cerita mengenai kepercayaan dan peribadatan yang
mereka percayai sebagai suatu agama.

2) Paradigma Bahasa Metaforik-Simbolik: Analisis Historis


Dalam literatur bahasa Arab, bahasa metaforik-simbolik ini identik dengan
ilmu bayan yang membahas tiga topik utama, yaitu majaz, tashbih dan kinayah.
Konsep majaz lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari
istilah haqiqah .Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya
ada tiga kelompok berbeda pandangan yang memposisikan majaz sebagai
lawan dari haqiqah .Pertama, Mu‘tazilah yang secara dogmatis ajarannya
banyak bersinggungan dengan majaz.Mereka menjadikan majaz sebagai
senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan
dengan pemikiran mereka.Kedua, Zahiriyah, kelompok yang menolak
keberadaan majaz baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur‘an, dan sebagai
konsekuensi mereka juga menolak adanya ta‘wil (interpretasi).Pada intinya
mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui
bahasa.Dan ketiga, Ash‘ariyah yang mengakui adanya majaz dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara
moderat di antara dua kelompok di atas.

3) Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’an dan Konteks Budaya Arab


Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’an dan Konteks Budaya Arab Menurut
Abd al-Qahir al-Jurjani (W.471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah
kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang
kemungkinan makna lain disebut dengan h}aqiqah. Sedangkan maja>z adalah
sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran
medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik,
majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari
yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 19;
“Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya”
Kata “asabi`” di atas secara leksikal maknanya adalah jari-jari. Kiranya
mustahil bagi orang- orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan
semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud
“asabi`” dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jarijari, bukan semuanya.
Pemahaman semacam ini berdasarkan konsep teori di atas disebut dengan
majaz, salah satu alasannya adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk
plural (jama`) namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.Andaikata itu
pun bisa terjadi, yaitu menutup telinga dengan semua jarinya pasti dilakukan
karena mereka benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa.Situasi ini
digambarkan olehal-Qur’an karena pada awal misi kenabian Muhammad di
Mekkah banyak orang yang menyatakan“beriman” kepada Nabi, tetapi mereka
masih menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya (munafik). Kondisi
keyakinan mereka dipaparkan begitu panjang lebar dalam al-Qur’an, khususnya
dalam surat al-Baqarah.
d) Paradigma Al-Quran Tentang Moderatisme
1) Pengertian Moderasi
Islam raḥmah dan wasaṭiyyah menarik bahkan cukup penting untuk
diperbincangkan dan disebarluaskan kepada umat beragama, khususnya umat Islam,
dan lebih khusus lagi di Indonesia.Jika dilihat dari sudut pandang geologis, historis
dan kultural, Indonesia adalah negara yang sangat kompleks dengan keragaman ras,
suku bangsa, bahasa bahkan agama. Oleh karena itu, cukup beralasan, jika the
founding fathers kita mencanangkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda
tetapi tetap satu) untuk merekatkan persatuan bangsa

Islam sebagai agama raḥmatan li al-ʻālamīn dan wasaṭiyyah (moderat)


sesungguhnya sangat kaya dengan spiritualitas ilāhiyyah yang berimplikasi pada sikap
hidup yang humanis, inklusif, toleran dan damai (menebar kedamaian) pada tataran
sosial umat atau dikenal dengan doktrin ḥablun min an-nās.
Istilah moderasi diserap dari bahasa latin yaitu moderatio yang mempunyai arti
kesedangan (tidak lebih dan tidak kurang). Kata itu juga bisa bermakna pengendalian
diri dari sikap berlebih-lebihan dan kekurangan
Moderasi yang dialihbahasakan dari kata al-wasaṭiyyah dalam bahasa Arab
merupakan istilah serapan yang diambil dari kata wasaṭa kemudian memunculkan kata
al-wasaṭu, yang berarti yang seimbang, yang juga memiliki arti di antara dua ujung
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang
antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik
beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap
ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi
beragama sesungguhnya adalah kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global.Pilihan pada moderasi dengan menolak
ekstremisme dan liberalisme adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya
peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat
beragama dapat memperlakukan orang lain dengan terhormat, menerima perbedaan,
serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural
seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Moderasi memiliki cakupan yang sangat luas dan meliputi berbagai macam hal.
Berikut di antara cakupan moderasi:
a. Moderasi menjamin hak kebebasan yang diimbangi dengan kewajiban.
Maksudnya adalah bahwa setiap manusia secara umum, dan khususnya
umat muslim harus mampu menyeimbangkan antara hak dankewajiban, yaitu
adanya kesadaran untuk mendapatkan hak dengan berlandaskan kewajiban
secara seimbang untuk terwujudnya moderasi
b. Moderasi menjamin keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, juga
material dan spiritual
Kehidupan manusia di dunia memiliki dua kecenderungan.Pertama,
kecenderungan materialistik atau terlalu cinta dunia dalam artian adanya
sebagian manusia yang apabila telah mencapai kemajuan material sehingga
yang terjadi adalah kerusakan akhlak, keserakahan dan kegelisahan
nurani.Akibatnya sesuatu yang telah dicapai tersebut hanya sebatas
pencapaian dan bukan kebahagiaan yang nyata.Kedua, kecenderungan
spiritualistik kemudian melupakan fitrahnya sebagai khalīfah Allah di atas
muka bumi. Dan yang terjadi adalah keterbelakangan dan menjadi sarana
permainan kelompok lain
Oleh sebab itu, umat Islam hendaknya betul-betul menguasai dan
memahami hal-hal yang baru, seperti teknologi yang diperlukan untuk
membangun dunia, sehingga umat Islam memiliki andil dan pengaruh yang
besar dalam pembangunan peradaban manusia, khususnya umat Islam. Oleh
sebab itu, maka keseimbangan antara materi dan spiritual menjadi syarat
terciptanya umat yang berprinsip modera
c. Moderasi menjamin keseimbangan antara kemampuan akal dan
kebaikan moral.
Manusia memiliki kemampuan akal yang diwujudkan dalam kemajuan
ilmu pengetahun dan teknologi, serta mampu menyelesaikan sebagian
persoalan manusia. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan
produk dari kecerdasan akal berada di tangan orang-orang yang tidak
memiliki moral yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan baru
bahkan kerusakan

Anda mungkin juga menyukai