Anda di halaman 1dari 23

PENDIDIKAN HUMANISME KI HADJAR DEWANTARA

(TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG PENDIDIKAN ISLAM)

Azmi Mustaqim
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
mustaqim.azmi10@gmail.com

Abstrak
Manusia menurut pandangan Ki Hajar Dewantara ialah makhluk yang mulia,
karena memiliki akal budi yang berarti jiwa. Jiwa manusia merupakan diferensiasi
kekuatan-kekuatan yang disebut “trisakti” jiwa. Kekuatan itu adalah kekuatan pikiran,
perasaan dan kehendak. Kekuatan-kekuatan itulah yang disebut dalam Islam sebagai
potensi bawaan (fitrah) manusia. Konsep pendidikan humanisme menurut Ki Hajar
Dewantara ialah tuntunan terhadap jiwa peserta didik yang memiliki kodrat alami
sebagai manusia. Kodrat alami itulah yang menjadikan pendidikan bertujuan untuk
menjadikan peserta didik menjadi individu yang merdeka baik lahir dan batin, mandiri
dan bermanfaat bagi msyarakatnya. Dengan menggunakan sistem Among dan
memegang teguh prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut
Wuri Handayani, atau metode keteladanan diyakini akan mampu membawa peserta
didik menuju kemerdekaan lahir dan batin serta mampu mengemban misi sebagai
manusia yang dalam wujudnya bermanfaat untuk bangsa dan negara.

Kata kunci: Pendidikan Humanisme, Pendidikan Islam, Ki Hadjar Dewantara

PENDAHULUAN
Pendidikan, menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri,
memiliki kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Dalam pengertian ini, terdapat titik
penekanan yang terdapat pada pengembangan potensi secara aktif, artinya pendidikan
menumbuhkan dan mengembangkan potensi bawaan yang dimiliki manusia sebagai
subyek didik. Potensi yang dimiliki manusia diarahkan untuk diberdayakan oleh
pendidik agar memiliki spiritual keagamaan yang kuat, menjadi manusia yang mampu
1
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006). 5.

1
untuk mengendalikan diri, berkarakter, berakhlak, cerdas dan keterampilan yang
berguna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penekanan pada potensi bawaan
manusia ini bukannya tanpa alasan. Manusia adalah makhluk unik yang memiliki
berbagai macam potensi yang siap untuk dikembangkan. Membicarakan mengenai
potensi manusia, tidak lepas dari cakupan ketiga aspek yakni afektif, kognitif dan
psikomotorik. Kesemua potensi manusia, jika dikerucutkan akan menjadi tiga aspek
potensi penting yang telah disebutkan diatas.
Penekanan pada pengembangan potensi peserta didi juga dituangkan dalam bab II
pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bahwa dalam bab tersebut berbunyi fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehiduan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang berimann dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Definisi dan tujuan pendidikan nasional
secara tegas menyebutkan bahwa proses pendidikan adalah proses pengembangan
potensi yang dimiliki oleh manusia. Pengembangan aspek afektif, kognitif dan
psikomotorik perlu dilakukan secara seimbang. Jika antara ketiganya tidak
dikembangkan secera sepadan, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan proses
pendidikan tersebut.
Tolhah Hasan dalam Bashori mengatakan, secara kodrati manusia memiliki tiga
potensi utama yakni kognisi, afeksi yang mempengaruhi pada psikomotorik, dalam
pendidikan ketiganya harus dikembangkan secara selaras dan seimbang. 3 Fuad Ihsan
mengatakan bahwa pendidikan merupakan segala usaha yang dilakukan manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun
rohani yang sesuai dengan values di masyarakat dan kebudayaan.4 Pendidikan yang
hanya mengoptimalkan kognisi (IQ) saja, akan mencetak generasi manusia yang cerdas
secara akal, namun memiliki kepribadian yang tidak santun. Pendidikan yang hanya
berorientasi pada pengembangan afeksi (EQ) hanya akan menghasilkan manusia yang
berbudi luhr, bermoral namun cenderung pasif yang pasrah dan menerima kondisi apa
2
Ibid., 8-6
3
M. Bashori Muchsin, Pendidikan Islam Humanistik Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak (Bandung:
Refika Aditama, 2010), 23.
4
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 1-2.

2
adanya (fatalitik). Kemudian pendidikan yang hanya menekankan pada spiritualitas
semata (SQ) hanya akan menghasilkan hamba yang shalih namun tidak tanggap pada
realitas dan kesenjangan sosial. Sementara itu pendidikan yang hanya menekankan pada
pengembangan psikomotorik saja, hanya akan mencetak pribadi bermental kuli yang
mengandalkan otot tanpa mempunyai inisiasi dalam berfikir.5
Problem bagi pendidikan Indonesia di saat ini, kecenderungan bahwa keberhasilan
pendidikan hanya ditentukan dengan indikator angka, sesuatu yang dapat dihitung.
Padahal dimensi keberhasilan pendidikan tidak hanya cukup untuk diukur dengan
ukuran angka. Manusia adalah makhluk yang dinamis, yang terlalu rumit untuk
dipahami kapasitas intelektualnya jika hanya dilihat dari satu sisi saja. Standar ukuran
keberhasilan dalam pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif dan nyaris tidak
pernah diimbangi dengna penelaahan aspek afektif maupun psikomotorik. Pada tingakat
tertentu yang terjadi adalah pembinaan akhlak, moral budi pekerti sedikit diturunkan.
Kesenjangan-kesenjangan mencari model dan bentuk pendidikan yang ideal memang
terus-menerus dicarikan solusi secara berkesinambungan. Namun hal ini buan berarti
permasalahan diatas dapat teratasi secara tuntas. Menilai kemampuan manusia hanya
dari satu aspek saja, membawa konsekuensi pada dehumanisasi. Melihat satu aspek
kognisi yang dijadikan tolak ukur akan keberhasilan manusia adalah perbuatan yang
tidak obyektif.
Masalah selanjutnya adalah, opini yang telah terbangun dalam masyarakat adalah
kecerdasan seorang anak diukur dari kemampuannya menghitung, menghafal, menyebut
nama-nama benda, dan lain sebagainya. Hal ini nyaris tidak pernah dilihat dari aspek
sopan santun, akhlak, moral sebagai perwujudan dari ranah afeksi anak. Ini bisa kita
temui dari kekhawatiran orang tua yang takut jika anaknya tidak memiliki kecerdasan
dalam hafalan, hitungan dan mereka menomorduakan aspek kepribadian anaknya. Ironis
memang jika dalam hal ini pendidikan terus melestarikan proses sedemikian rupa.
Bahwa pendidikan menjadi hal yang menkutkan dan menjadi sesuatu yang gagal
memahami siapa manusia itu sebenarnya serta dimensi-dimensi sosialnya.
Banyak sekali permasalahan moralitas yang melanda masyarakat bangsa yang
tidak mencerminkan masyarakat terdidik. Mungkin ini menjadi sebuah problem lain
bahwa kepekaan nurai yang berlandaskan moralitas “sense of humanity” tidak lagi

5
Ibid, 24.

3
menjadi identitas bangsa. Padahal substansi pendidikan adalah mampu untuk
menghormati dan menghargai manusia yang memiliki muara pada menempatkan
manusia pada derajat tertinggi dengan memaksimalkan karya dan karsa. 6 Pendidikan
harus mampu menciptakan manusia yang siap dan memiliki eksistensi untuk hidup
ditengah-tengah geolmbang perubahan yang cepat. Sehingga manusia tidak ikut lebur
dalam arus perubahan dunia yang menerpanya, melainkan mampu menjadi pengendali
perubahan dan mengarahkan kehidupan pada perubahan yang positif. Bagaimanapun
juga, pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehiduan
manusia. Baik dan buruknya sumberdaya manusia tergantung dari pendidikan yang
diperolehnya. Menurut Freire dalam Syafii mAarif, pendidikan harus mampu
merangsang manusia untuk berfikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan-
gagasan yang otentik dan original.7
Patut dibanggakan bahwa bangsa ini memiliki seorang tokoh pendidikan yang
memiliki gagasan-gagasan dalam meletakkan dasar pembangunan manusia melalui
pendidikan. Ialah Ki Hadjar Dewantara, ia memandang bahwa mendidik sama halnya
dengan proses memanusiakan manusia, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani.
Menurutnya pendidikan diartikan sebagai tuntunan dalam hidup dan pertumbuhan anak,
dimana pendidik tidak memiliki kuasa dan kehendak terhadap pertumbuhan itu
melainkan anak tumbuh sesuai kodrat dan fitrahnya sendiri.8 Pemikirannya meletakkan
manusia sebagai dasar dalam pendidikan, menghargai keberadaan manusia yang setara
dalam proses pendidikan. Pemikirannya memang dilatarbelakangi oleh konteks
Indonesia yang berusaha untuk keluar dari cengkeraman penjajahan. Dimana kondisi
masyarakat saat itu terdikotomi oleh sistem pendidikan kolonial. Tidak semua
masyarakat mampu mengenyam pendidikan yang layak, dan pendidikan yang diajarkan
oleh pemerintahan kolonial hanya sebatas kecapakan secara kognisi, yang jauh
melenceng dari budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi moralitas dan
sikap.
Tulisan ini menghendaki untuk melihat pemikiran Ki Hadjar Dewantara dari sudut
pandang pendidikan Islam. Latar belakang penelaahan dari sudut pandang Islam adalah
6
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan Yang Terserak, Menyambung Yang
Terputus, dan Menyatukan Yang Tercerai (Bandung: Alfabeta, 2009), 9.
7
A. Syafi’i Maarif, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991), 23.
8
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman siswa, cet. III, 2004),
20-21.

4
bahwa pendidikan islam mnghendaki manusia lepas dar beleggu kebodohan, sifat jahil.
Hal ini terletak dar makna wahyu al quran “iqra” yang memiliki arti secara harfiah
“bacalah”. Islam menghendaki kaumnya untuk membaca, belajar, melakukan proses
pendidikan. Senada dengan hal itu, pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam konteks
perjuangan kemerdekaan bangsa adalah menghendaki masyarakat untuk belajar, keluar
dari ketertindasan, dan dididik untuk keluar dari masa kegelapan penjajah. Masa dimana
kehidupan manusia ditentukan oleh penguasa dengan tidak diberi kesempatan
membebaskan diri sebagaimana kebebasan mutlak yang dimiliki manusia. Keduanya
memiliki spirit yang sama, yakni semangat pembebasan, pembebasan dari kebodohan,
kejahilan dan kebebasan dari tekanan penindasan. Penindasan merupakan sebuah alat
untuk mreduksi kemanusiaan. keberlangsungan penjajahan, kebodohan adalah sarana
yang membuat manusia tampak tidak berakal melawan kebodohan, kejahilan serta
penindasan mutlah dilakukan melaluwi proses pendidikan yang manusiawi. Oleh karena
itu memahami kedudukan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, adalah terlebih dahulu untuk
mengetahui latar belakang pemahaman tentang manusia. Hal ini penting lantaran
pemahaman terhadap manusia adalah sebagai pelaku dan penerima pendidikan. Maka ia
sangat memiliki kecenderungan dalam mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-
cara yang manusiawa, cara-cara mengangkat kedudukan sebagai manusia.

Pendidikan Humanis dan Pendidikan Islam: Mencari Titik Kesamaan


Humanisme secara etimologi, dalam Ensiklopedia agama dan filsafat yang
ditulis oleh Mokhtar Effendi berasal dari kata humanus yang artinya kemanusiaan,
nama suatu aliran kebudayaan dikalangan pelajar yang mencapai puncaknya pada
abad ke-15 di Italia, bertujuan mencari pengembangan segi rohaniah pada manusia
secara mandiri. Humanisme (modern) diartikan sebagai pandangan hidup yang ingin
memahami manusia dan kemanusiaan sebagai dasar dan tujuan dari segala dasar ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan agama.9 Dalam kamus Ilmiah Popular yang ditulis
oleh Pius A Partanto, humanisme diartikan sebagai suatu doktrin yang menekankan
pada kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang ideal (berkaitan dengan rasa
kemanusiaan),10 sedangkan dalam bahasa Yunani disebut “paideia” yang berarti

9
Mokhtar Effendi, Ensiklopedia Agama dan Filsafat (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), 353.
10
Pius A.Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Popular (Surabaya: Penerbit ARKOLA, tt) 667.

5
kebudayaan.11 Dengan demikian, seperti apa yang disampaikan Mas’ud bahwa secara
etimologis humanism is a devotion to the humanities or literary cultur. Humanisme
dapat diartikan sebagai kesetiaan kepada manusia atau kebudayaan.12
Filsafat humanisme mempunyai pandangan yang berpusat pada kebutuhan
manusia. Humanisme modern dalam hal ini mempunyai dua sumber, yaitu sekuler
dan agama. Humanisme sekuler merupakan pengembangan dari abad ke-18,
pencerahan, rasionalisme, dan kebebasan pemikiran pada abad ke-19. Sementara
humanisme religius muncul dari etika kebudayaan, unitarianisme dan
universalisme.13 Humanisme religius menggunakan definisi agama secara fungsional.
Dan fungsi agama adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, baik personal
maupun kelompok. Humanisme agama (religius) merupakan keyakinan aksi. 14
Humanisme dalam kerangka inipun lebih ditekankan pada pemaknaan atas kekuatan
atau potensi individu manusia untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan
penyelesain-penyelesain masalah sosial. Konsep ini memandang bahwa individu
selalu dalam proses menyempurnakan diri (becoming, istikmal).
Humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih
memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius.
Sementara itu humanisme dalam pandangan Islam tidak mengenal sekulerisme.
Islam adalah humanisme religius yang tidak bisa lepas dari konsep hablun minannas,
manusia sebagai agen Tuhan di bumi atau khalifatullah yang memiliki seperangkat
tanggung jawab baik sosial atau lingkungan.15 Humanisme dalam hal ini dianggap
sebagai ranah yang dapat mengembangkan manusia sebagai individu yang dapat
mengukur ranah ketuhanan dan penyelesaian problem sosial. Dalam hal ini individu
selalu berada dalam upaya penyempurnaan diri.16 Prinsip-prinsip pendidikan
humanisme mencakup keterpusatan pada anak, peran guru yang tidak otoritatif,
pemfokusan pada subyek didik yang terlibat aktif, dan sisi-sisi pendidikan yang
kooperatif dan demokratif. Di samping itu pendidikan humanisme lebih menekankan

11
Zainal Abidin, Filsafat Manusia:Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), 27.
12
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media. 2002. 17.
13
Ibid., 129.
14
Ibid., 131.
15
Ibid., 139
16
Ibid.,

6
secara signifikan pada keunikan anak didik secara perorangan, dengan kata lain
membawa ke arah penekanan pencarian makna secra personal dalam eksistensi
manusia, membantu subyek didik secara perorangan (individu) dalam menemukan,
menjadi dan mengembangkan kedirian sejatinya dan keutuhan potensinya.17
Pendidikan dalam Islam dikenal dengan beberapa istilah, yakni tarbiyah,18
ta’lim,19 ta’dib.20 Memahami pendidikan Islam berarti harus menganalisis secara
paedagogis suatu aspek utama dari misi agama yang diturunkan kepada umat
manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung
implikasi kependidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia
menjadi seorang mukmin, muslim, muhsin, dan muttakin melalui proses tahap demi
tahap. Islam sebagai ajaran mengandung sistem nilai dimana proses pendidikan Islam
berlangsung dan dikembangkan secara konsisten untuk mencapai tujuan.21 Hal ini
senada dengan apa yang diungkapkan oleh al-Ghazali dalam memaknai dan
memahami pendidikan Islam, ia memandang bahwa pendidikan Islam merupakan
serangkaian hasil proses pengajaran yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan ilmu sebagai sarana mencapai tujuan tersebut.22
Dapat dipahami juga, bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalan
untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, serta
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan, kemakmuran dan
kejayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung sejauhmana keberhasilan
dalam pendidikan dan pengajaran. Al-Ghazali mendefinisikan pendidikan ialah
17
George R. Knight, Filsafat Pendidikan: Isu-Isu Kontemporer dan Solusi Alternatif, terj. Mahmud Arif
(Yogyakarta: Idea-I Press, 2004) 110-111.
18
Tarbiyah berarti zaad (bertambah), naama (berkembang), nasya’a (tumbuh). Memiliki maksud usaha
untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didi, baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual.
Dan juga tarbiyah dari kata rabba, yarbu yang artinya memlihara, merawat, memperindah, mengasuh.
Yang kemudian berimplikasi pada makna usaha untuk memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki
dan mengatur kehidupan peserta didi agar dapat survive dengan lebih baik dalam kehidupannya. Lihat
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 10-11.
19
Ta’lim yang berarti pengajaran, ta’lim dipandang merupakan proses pendidikan yang lebih cenderung
pada pengauatan aspek kognisi saja, namun pengertian ini dibantah oleh Rasyid Ridha yang
meyatakanta’lim merupakan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu. Lihat Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam., 19.
20
Ta’dib dari kata adaba, lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi
pekerti, akhlak, moral dan etika. Menurut al Attas, ta’dib berarati pengenalan dan pengakuan yang
berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu d
dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan
keagungan Tuhan. Lihat Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam., 20.
21
H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdispiner (Jakarta: Bhumi Aksara, 2008), 21.
22
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 54.

7
proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiananya sampai akhir hayatnya
melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran
secara bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia
sempurna.23
Dalam paradigma humanis, manusia dipandang sebagai makhluk Tuhan
yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Dan
fitrah manusia ini hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan yang benar-benar
memanusiakan manusia (pendidikan humanis). Pendidikan humanis berorientasi
pada pengembangan manusia (human people), menekankan nilai-nilai manusiawi,
dan nilai-nilai kultural dalam pendidikan. tujuan utama ini adalah kemanusiaan yang
bersifat normatif dan berkepribadian.24 Dengan demikian pendidikan humanis ialah
sebuah proses yang dilakukan dalam pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam
untuk menumbuhkembangkan rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia) dengan
mengedepankan rasa persaudaraan antar sesama manusia sebagai makhluk Tuhan
yang sama-sama mengembangkan amanat sebagai khalifah dimuka bumi, yang
berlandaskan wahyu, akal dan hati nurani. Sehingga tercipta suatu kehidupan yang
aman dan damai tanpa adanya kekerasan sebagaimana misi utama Islam, sebagai
rahmat bagi seluruh alam semesta.

Pandangan Manusia Menurut Ki Hadjar Dewantara


Dalam setiap pembahasan tentang pendidikan, aspek manusia sangat
berpengaruh di dalamnya, hal ini berkaitan dengan subyek pendidikan itu sendiri.
Begitu juga Ki Hajar Dewantara, yang tak pernah melupakan yang namanya aspek
kemanusiaan dalam setiap segi pemikirannya tentang pendidikan. Menurutnya bahwa
manusia merupakan unsur yang paling utama yang menjadi pijakannya dalam
melakukan perubahan, khususnya dalam dunia pendidikan. Kita mengetahui,
bahwasannya derajat manusia di dunia ini adalah sebagai makhluk yang paling mulia
dan paling istimewa dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia dianugerahi
kemampuan berupa pikiran, perasaan, dan kehendak. Sehingga manusia dapat

23
Ibid., 56.
24
Oemar Hamalik, Administrasi dan Supervisi Pengembangan Kurikulum (Bandung: Mandar Maju,
1992), 44.

8
memelihara dan mengolah alam ini dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran
manusia. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara memandang manusia itu sebagai
makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia
tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Kehidupan manusia
membutuhkan bantuan orang lain adalah ciri makhluk sosial. Dalam kehidupannya,
mereka tidak dapat hidup sendiri akan tetapi selalu bermasyarakat.25
Lebih jauh lagi, Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa manusia adalah
makhluk yang berbudi. Sedangkan menurutnya budi sendiri berarti jiwa yang telah
melalui kecerdasan tertentu, hingga mempunyai perbedaan yang tegas dengan jiwa
yang dimiliki hewan. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa manusia merupakan
diferensiasi dari kekuatan-kekuatan, yang tekenal dengan sebutan “Tri-Sakti”. Ketiga
kekuatan yang dimaksu ialah, kekuatan pikiran, rasa dan kemauan, atau “cipta, rasa
dan karsa”. Kemudian “Tri-Sakti” inilah yang dikatan sebagai budi. 26 Artinya budi
manusia tidak saja berkuasa untuk memasukkan segala isi alam yang ada di luar
dirinya ke dalam jiwa dengan perantaraan panca indra. Namun, budi manusia juga
berkuasa untuk “mengelola” segala isi alam yang memasuki jiwanya sehingga
menjadi buah. Sementara buah budi manusia itu disebut dengan kebudayaan.
Berangkat dari pemikiran diatas, Ki hajar Dewantara dalam berbagai
gagasannya tentang pendidikan lebih menekankan pada sisi psikologisnya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa, yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembagan semua daya jiwa ini
secara seimbang. Sifat jiwa manusia itu berisikan beberapa corak warna yang
menurut filsafat dapat digolongkan menjadi dua pokok, yaitu sifat etika dan sifat
estetika. Yang arti dari kedua sifat masing-masing adalah sifat baik dan sifat indah.
Dalam bahasa kita biasanya menggunakan istilah “luhur” dan “halus” dengan
maksud sama, yaitu menjelaskan bahwa manusia itu menginginkan dan menghendaki
segala sesuatu yang baik atau luhur dan indah atau halus.27
Dapat kita pahami bagaimana seorang Ki Hajar Dewantara memandang
tentang hakikat manusia sebenarnya, bahwa pandangan inti dan pokok dari manusia
tidak lain adalah berasal dari dua dasar sifat tadi, yaitu keluhuran dan kehalusan. Dan

25
Ki Hajar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta: Leutika, 2009), 53.
26
Ibid., 53.
27
Ibid., 54.

9
inilah yang disebut perikemanusiaan seperti halnya yang menjadi satu dasar ideologi
Negara, yakni Pancasila. Itulah beberapa hal pandangan Ki Hajar Dewantara yang
hingga saat ini masih sangat relevan untuk kita renungkan dan kita aplikasikan dalam
kehidupan berpendidikan hingga hari ini.

Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara


Ki Hajar Dewantara memberikan pengertian mendidik ialah sebagai
“berdaya upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi pekerti
(rasa, fikiran, ruh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan
pembiasaan.” Artinya mengerahkan segala daya dan upaya baik itu moril dan materil
secara sengaja untuk mengembangkan atau menumbuhkan budi pekerti (ruhani) dan
badan (jasmani) melalui pengajaran, keteladanan serta pembiasaan. Ia tidak sepakat
dengan perintah, paksaan bahkan hukuman dalam pendidikan. Pendidik adalah orang
yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi
manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika
pun ada ganjaran dan hukuman, maka, ganjaran atau hukuman itu harus datang
sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan dalam arti sebagai
konsekuensi yang telah menjadi kesepakatan dan disadari oleh subyek didik.
Menurut pandangannya, arti, maksud dan tujuan dari pendidikan ialah tuntunan di
dalam kehidupan anak-anak. Adapun yang dituntun ialah segala kekuatan yang ada
dalam kehidupan anak-anak dengan maksud agar anak-anak itu menjadi bahagia
untuk dirinya sendiri maupun sebagai anggota masyarakat, mendapat kepuasan atau
ketentraman batin yang mungkin didapat oleh masing-masing.28
Adapun berdasarkan pandangannya tentang pendidikan, maka pengertian
tuntunan mengandung arti:
1. “Kepuasan” atau “ketentraman” batin, atau lebih jelasnya diterjemahkan ke
dalam ungkapan bahagia atau dalam bahasa Jawa adalah rahayu. Sebab,
pengertian bahagia adalah keadaan dimana seseorang merasakan kesenangan di
dalam batin sehingga hanya ia memiliki rasa puas dan ketentraman dalam hati.
2. Kata “bahagia untuk diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat”. Di sini
tampak kepentingan pendidikan yang ditujukan tidak hanya kepada seseorang

28
Ibid., 32.

10
dalam arti diri sendiri melainkan berkembang untuk kebahagiaan masyarakat
yang lebih luas.
3. Sebutan “kepuasan yang mungkin didapat oleh masing-masing berbeda”, yang
berarti bahwa tingkatan bahagia, tinggi rendahnya kebahagiaan itu berbeda,
bertingkat-tingkat dan tidak sama antar manusia satu dan lainnya. Kebahagiaan
yang dirasakan diri belum tentu akan sama dirasakan oleh orang lain.
4. Pendidikan disebut “tuntunan” di dalam kehidupan anak-anak, yang berarti
bahwa pendidikan itu hanya dapat, tetapi tidak berkuasa untuk membuat atau
mencetak hidup. Ini disebabkan karena di dalam kehidupan manusia itu sudah
terdapat kekuatan dari kodrat hidup sendiri, yang sebagian dapat dipengaruhi,
yakni diubah oleh pendidikan, tetapi sebagian lagi tidak akan mungkin
dihilangkan oleh pendidikan.29

Tujuan Pendidikan
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara meletakkan
dasar bahwa pendidikan merupakan tonggak berdirinya sebuah bangsa yang besar,
berdaulat, berharkat dan bermartabat. Dalam konteks demikian, pendidikan bertujuan
menanamkan nilai-nilai kehidupan yang rukun dan damai diantara semua elemen
bangsa, tanpa memandang kelas sosial apapun, baik ras, suku, agama, adat dan lain
sebagainya. Pendidikan merupakan alat yang bisa mempersatukan anak bangsa
dalam satu wadah bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah
bendera merah putih dengan ideologi pancasila dan UUD 1945.30 Dalam urusan
pendidikan untuk rakyat Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa dengan
beridirinya Taman Siswa yang merupakan satu badan perguruan, sudah diselaraskan
dengan kepentingan dan keperluan rakyat. Sementara para pendidiknya merupakan
guru-guru yang berasal dari rakyat golongan anak-anak bangsa yang dengan rela hati
dan penuh keikhlasan bersedia menyerahkan diri untuk keperluan rakyat dalam
perkara pendidikan dan pengajaran. Perkara kehidupan dan penghidupan rakyat
itulah yang menjadi pokok tujuan pendidikan yang di gagas oleh Ki Hajar
Dewantara.31
29
Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, 438-439.
30
Moh Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara.
(Yogyakarta: Ar Ruzz Media. 2009), 172.
31
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan,10.

11
Pendidikan yang ingin dijalankan oleh Ki Hajar Dewantara itu berorientasi
pada pendidikan kerakyatan. Ia mau mendidik rakyatnya, membina kehidupan
bangsa dan kebudayaan nasional. Dan pendidikan sendiri harus benar-benar bisa
merakyat, mencakup seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya pembedaan tingkat
dan golongan, dan mampu mengangkat derajat rakyat untuk membebaskan diri kari
penindasan dan kemiskinan. Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan
diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan
mandiri, serta mampu memberi kontribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia
merdeka berarti tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatannya sendiri,
cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang
mudah diatur tetapi tidak bisa disetir. Ki Hajar menekankan pentingnya siswa
menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang
hanya menghasilkan orang yang sekedar menurut dan melakukan perintah.
Tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar dewantara memiliki latar
belakang historis yang sangat kental. Memang ketika itu pendidikan adalah salah
satu cara untuk melakukan perlawanan kepada penjajah dengan tanpa kekerasan.
Dengan pendidikan masyarakat Indonesia belajar memahami kondisi dan kenyataan
bahwa bangsa mereka ketika itu berada dalam cengkeraman bangsa asing.
Kemerdekaan menjadi tujuan utama dalam proses pendidikan, baik dalam ruang
lingkup mikro yakni kebebasan manusia dari belenggu kebodohan dan penindasan
serta dalam skala makro yaitu kemerdekaan dari tangan penjajah. Menjadi bangsa
yang mandiri, tanpa intervensi Negara lain, berhak menentukan nasib sendiri menjadi
prioritas utama perjuanagan Ki Hadjar Dewantara melalui pendidikan.

Pendidik
Meskipun pendidikan itu hanya sebuah “tuntunan” dalam tumbuh
berkembangnya anak-anak, tetapi perlu juga pendidikan itu berhubungan dengan
kodrat dan keadaan setiap anak.32 Di sinilah peran yang sangat penting yang harus
ditunjukan oleh seorang pendidik. Dalam bahasa Jawa seringkali kita dengar
pendidik (guru) adalah digugu lan ditiru (dituruti ucapannya dan di contoh
perbuatannya). Akan tetapi hal ini perlu dicermati secara seksama dan juga harus

32
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, 20.

12
selalu disadari bahwa pengajaran diharapkan tidak lain dapat mendukung
perkembangan anak-anak, baik secara lahir maupun batin dari sifat kodratinya
menuju ke arah peradaban dalam sifat yang umum.
Ki Hajar Dewantara mengibaratkan pendidik sebagai petani, seorang petani
(yang dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan pendidik) yang menanam padi
misalnya, petani hanya dapat “menuntun tumbuhnya padi”. Ia dapat memperbaiki
tanahnya, memelihara tanamannya, mengairinya dan sebagainya, namun begitu
seorang petani mustahil untuk mengganti kodratnya padi, misalnya ia tidak mungkin
bisa menjadikan tanamannya itu sebagai jagung atau berbuah dalam waktu 1 bulan,
ia pun tidak bisa memeliharanya sebagaimana memlihara tanaman kedelai. Petani
harus takhluk pada hakikat bawaan tanaman padi, memang benar ia dapat
memperbaiki keadaannya bahkan ia akan dapat juga menghasilkan tanamannya itu
lebih besar dari tanaman yang tidak dipelihara, akan tetapi mengganti kodrat padi itu
mustahil bagi petani. Demikianlah pendidikan itu dimaksud, dalam artian pendidik
walaupun hanya dapat “menuntun”, namun besarlah manfaat dan faedahnya bagi
hidup tumbuhnya anak-anak.33
Berlatar belakang dari pendapatnya diatas yang menyatakan bahwa pendidik
berkewajiban “menuntun” anak didik. Ia mempunyai pandangan bahwa seorang guru
itu adalah Pamong, dalam bahasa Jawa berarti pembimbing. Pamong sendiri lahir
dari metode yang diterapkan Ki Hajar pada Tamansiswa yaitu metode Among.
Among sendiri berasal dari kata dasar “mong” yang mencakup “momong, among,
ngemong. Pamong sendiri berarti adalah pelaksana Among (momong) yang
mempunyai kepandaian dan pengalaman melebihi dari yang diamong.34 Tugas dari
Pamong ini tidak hanya memberi pengetahuan yang baik dan buruk “menurut
silabus” saja, akan tetapi harus mendidik siswa mencari sendiri pengetahuan itu dan
memakianya guna beramal untuk keperluan umum. Dalam proses tuntunannya
(pendidikan), pamong melakukannya dengan pendekatan secara kekeluargaan,
artinya menyatukan kehangatan keluarga dengan sekolah dalam sistem wiyatagriya.35
Langkah-langkah seorang pendidik yang paling penting dalam pendidikan
ialah mengikuti perkembangan anak, murid atau bawahan dengan penuh perhatian
33
Ibid., 21.
34
Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-195 (Yogyakarta: Ar Ruzz Media., cet.
II. 2010), 79
35
Ibid, 80.

13
dan cinta kasih tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksanya. Pendidik
juga harus memberikan kesempatan sebanyak-banyak kepada yang muda untuk
membina disiplin pribadi secara wajar, melalui pengalamannya sendiri,
pemahamannya sendiri dan usahanya sendiri.36 Seorang pendidik diwajibkan harus
berperilaku sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, maka konsekuensinya adalah di
depan dapat memberi contoh keteladanan, di tengah dapat membangkitkan motivasi
dan dibelakang mampu memberikan pengawasan serta dorongan untuk terus maju.
Prinsip pengajaran ini dikenal dengan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Proses pelaksanaan pembelajaran akan
terlaksana dengan baik dan kondusif ketika pamong atau pendidik dapat menjalankan
tugasnya dengan baik berdasarkan prinsip tersebut.
Ia menambahkan dalam pendidikan yang terpenting bukan masalah
kecerdasan, namun humaniora atau budi pekertinya. Serta hal yang tidak bisa
dilupakan dalam ranah pendidikan nasional ialah tanggung jawab seorang pendidik
dalam perannya menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap kehidupan berbangsa
Indonesia. Para pendidik memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik siswa agar
mampu menjiwai kehidupan bangsa ini dengan sedemikian mendalam dan masif,
sehingga anak didik tidak menjadi anak-anak muda bangsa yang kehilangan dan
bersedia menghilangkan kepribadian bengsanya sendiri ditengah pergaulan
kehidupan dunia yang semakin mengglobal. Pendidik menurutnya harus mewarisi
karakter bangsa sebagai manusia yang berbudaya, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang telah lama dilestarikan.
Tugas seorang pendidik bukan hanya menyampaikan seperangkat
pengetahuan atau sejumlah informasi yang sudah jadi kepada peserta didik,
melainkan membimbing peserta didik untuk menjalani sendiri proses mencari dan
menemukan pengetahuan. Ilmu pengetahuan lebih dimengerti sebagai proses
daripada sebagai produk, maka dari itu, seorang pendidik harus mampu memberikan
tuntunan kepada peserta didik agar ia mampu mengembangkan potensi yang
dimilikinya secara maksimal tanpa harus adanya sebuah pengekangan yang nantinya
akan menghambat tumbuh kembangnya anak tersebut, sehingga anak dengan

36
Ibid, 81-82.

14
sendirinya aktif untuk mengerti apa yang telah diajarkan oleh guru dan yang
diberikan oleh sumber informasi yang lain.37

Peserta didik
Ki Hajar Dewantara memandang siswa atau peserta didik adalah manusia
yang mempunyai kodratnya sendiri dan juga kebebasan dalam menentukan hidup.
Sedangkan dalam menentukan arah, ia dituntun oleh orang-orang dewasa yang ada di
sekitarnya, baik orang tua, guru atau masyarakat lainnya. Karenanya, ia berpendapat
bahwa anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka
hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.38 Seyogyanya anak didik mencari jalan
sendiri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu, karena ini merupakan bagian
dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun. Kemajuan anak didik
dengan membiarkan hal seperti itu, akan menjadi kemajuan yang sejati dan hakiki.
Namun kendatipun begitu, membiarkan mereka berjalan sendiri, bukan berarti tidak
diperhatikan atau tidak diperdulikan, pendidik harus mengawasi kemanakah mereka
akan menempuh jalan. Pendidik hanya mngamati, memberikan teguran, maupun
arahan ketika mengambil jalan yang salah dan keliru. Dengan kata lain, masih
menggunakan gagasan inti Ki Hajar Dewantara, untuk memperlancar prosesnya
seorang pendidik harus mencerminkan sosok yang bisa disenangi dan menjadi
contoh terbaik bagi anak-anak didiknya.39 Seorang pendidik harus memiliki sikap
dan tindakan yang bisa dilakukan oleh anak didiknya dengan sedemikian rupa
dikemudian hari kelak, baik dilingkungan dalam sekolah, keluarga maupun
masyarakat.
Harus diketahui juga, bahwasannya baik dan buruknya perilaku seorang
anak didik bergantung pada bagaimana seorang pendidik memberikan pelajaran dan
pengajaran dalam melakukan interaksi sosial, baik di dalam kelas ataupun di tempat
lainnya. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan ketika metode Ing Ngarsa
Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani harus benar-benar
diimplementasikan dalam pendidikan. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan terutama mengenai anak didik, banyak dipengaruhi oleh pemikir Barat
37
Ismail Toib, Wacana Baru Pendidikan: Meretas Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Genta Press,
2008), 133.
38
Ibid, 20.
39
Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, 195.

15
yaitu Rabindranat Tagore, Maria Montessori, dan Forbel yang sukses
menyelenggarakan metode baru dalam pendidikan ketika itu. Ketiga tokoh tersebut
sangat dihormati oleh Ki Hajar Dewantara, serta pandangan mereka dikatakan
sebagai petunjuk jalan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan dalam merawat
kebudayaan yang baik dan luhur. Tagore mendirikan dan menciptakan suatu sistem
pendidikan Santi Niketan (tempat yang damai), Montessori ialah seorang yang
terkenal dengan ahli anak-anak dan mampu menciptakan pendidikan kecerdasan dan
kebebasan yang ditumbuhkan sejak anak-anak. Forbel yang merupakan tokoh yang
terkenal dengan pendidikannya yang berorientasi pada anak-anak. Ketiga tokoh
tersebutlah yang sangat banyak mempengaruhi pemikiran Ki Hajar dalam
mewujudkan pendidikan Indonesia menjadi lebih berbudi luhur dengan
mengedepankan kebudayaan bangsa.

Metode Pendidikan
Dalam melaksanakan proses pendidikan, Ki Hadjar Dewantara melalui
Tamansiswa memiliki metode tersendiri, yakni metode among atau sistem among.
Among memiliki pengertian menjaga, membina dan mendidikan anak dengan kasih
sayang.40 Tujuan sistem among ini adalah membangun anak didik menjadi manusia
beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, berbudi oekerti luhur, cerdas dan
berketerampilan serta sehat ruhani maupun jasmani. Sistem among menolak paksaan,
pemberian hukuman, atau hukuman fisik yang dipandang mereduksi nilai
kemanusiaan.41 Dalam pelaksanaannya, sistem among memiliki dua prinsip utama,
yakni kemerdekaan merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan
kekuatan lahir dan batin yang melepaskan dari belenggu kekuasaan apapun. Kedua,
kodrat alam harus benar-benar dijaga untuk mencapai kemajuan, alam adalah modal
bagi pendidikan anak supaya memiliki tanggung jawab untuk melestarikannya dan
mengembangkannya.42
Sistem among ini membawa konsekuensi pada pendidik untuk mampu
menjadi teladan, semangat dan motivator bagi peserta didik. Hal ini tercermin pada
prinsip:

40
Rahardjo, Ki Hadjar Dewantara, 78.
41
Ibid.,
42
Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, 174.

16
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberikan keteladanan)
Sebagai orang tua, guru atau sebagai pemimpin sebuah organisasi macam
apapun, anak-anak, para murid dan para bawahan akan memperhatikan tingkah
laku orang tua, guru atau pimpinannya.
2. Ing Madya Mangun Karsa (di pertengahan memberi semangat)
Dalam pergaulan sehari-hari ketika melihat nak-anak, murid atau bawahan mulai
mandiri, menjalankan hal-hal yang benar, mereka wajib memberi dorongan,
diberi semangat. Kepedulian terhadap perkembangan anak, murid dan bawahan
diwujudkan dengan memberi dorongan kepada mereka untuk menjalankan hal-
hal yang benar. Seorang anak, murid atau bawahan perlu diberi semangat dalam
menjalankan kewajibannya.
3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dukungan)
Anak-anak, murid, atau bawahan yang mulai percaya diri perlu didorong untuk
berada di depan. Orang tua, guru atau pimpinan perlu memberi memberi
dukungan dari belakang. Sudah seharusnya generasi yang lebih muda untuk
berkiprah. Para sesepuh yang masih bercokol dan tidak mau meninggalkan
jabatannya menunjukkan kelalaian dan ketidak berhasilan diri mereka dalam
membina generasi penerusnya.43

Pendidikan Islam Memandang Konsep Pendidikan Humanis Ki Hadjar


Dewantara
Dalam dunia pendidikan, manusia ditempatkan pada posisi yang paling
sentral, ini berkaitan karena manusia adalah pelaku penerima pendidikan. Pendidikan
dari manusia, untuk manusia dan oleh manusia. Hal ini sejalan dengan pandangan Ki
Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa manusia merupaka unsur yang utama
yang menjadi pijaknnya dalam setiap gagasan di dunia pendidikan. Ia memandang
bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia, karena manusia memiliki akal serta
budi pekerti yang berarti mempunyai jiwa. Jiwa manusia itulah yang mendapatkan
tuntunan dan bimbingan. Karena menurutnya jiwa manusia itu berarti kekuatan yang
menyebabkan manusia hidup sehingga menyebabkan manusia berfikir, berperasaan
dan berkehendak.44 Hal senada diungkapkan oleh pendidikan Islam yang
43
Rahardjo, Ki Hajar Dewantara, 80-81.
44
Ki Hajar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, 82.

17
berpandangan bahwa melihat manusia secara esensinya dan secara hakikatnya ialah
memandang manusia dari jiwanya.
Jiwa manusia merupakan diferensiasi kekuatan-kekuatan yang disebut
dengan “trisakti”. Ketiga kekuatan itu adalah pikiran, perarasaan dan kehendak atau
kemauan, atau meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara adalah “cipta, rasa dan karsa”.
Dalam pandangan Islam ini berarti manusia merupakan makhluk yang dibekali
kemamapuan dasar “fitrah”, pikiran, perasaan dan kemauan itulah yang dinamakan
fitrah dasar jiwa manusia. Artinya menjadi manusia yang terdidik haruslah manusia
yang berkembang kemampuan dasarnya (fitrahnya). Baik itu pikirannya,
perasaannya serta tindakannya. Itu semua adalah kodrat alamiah yang sudah tidak
bisa terbantahkan, dan tidak bisa dirubah. Dengan fitrah ini, manusia dapat dididik
atau dikembangkan oleh pendidik untuk mencapai kesempurnaan hidup meliputi,
kecerdasan, berfikir, kehalusan perasaan, dan kekuatan kehendak.
Dalam konsep pemikirannya Ki Hajar Dewantara memandang manusia
meliputi dua unsur, yaitu unsur Jasmani dan Rohani yang keduanya harus selalu
dipenuhi dalam kebutuhannya. Manusia harus sehat jasmani “tubuhnya” serta rohani
“ruhnya”. Ini merupakan syarat untuk menjadikan manusia itu sesuai dengan
perintah agama, yakni khalifah di dunia. Menjadi seorang khalifah berarti menjadi
manusia yang sehat jasmaniah dan ruhaninya. Seorang pemimpin tidak akan mampu
mengemban misi khalifah ketika rapuh jasamninya dan juga dia tak akan mampu
memimpin ketika rapuh ruhaninya. Inilah artinya pendidikan manusia harus mampu
memenuhi semua aspek potensi yang dimiliki manusia.
Mengingat misi khalifah itu merupakan misi untuk menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan yang dibingkai dengan nilai-nilai ke-Islaman, maka sudah seharusnya
manusia mampu memaksimalkan potensi yang dikaruniakan Allah kepadanya. Agar
nantinya potensi tersebut dapat menghasilkan peradaban yang maju bagi umat Islam
serta tidak bertentangan dengan aqidah, syariah dan juga nilai-nilai luhur yang
diajarkan Rasulullah kepada umatnya.
Kemudian dalam memandang tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara
menekankan untuk membantu mengantarkan anak menjadi manusia yang merdeka,
mandiri serta bermanfaat untuk bangsa dan negaranya. Secara umum diketahui,
tujuan pendidikan ini ialah menjadikan manusia yang baik, sempurna (insan kamil).

18
Ketika manusia itu baik, maka komunitas manusia itu (masyarakat) juga menjadi
baik.45 Eksistensi dirinya akan mempengaruhi keberadaan di lingkuknaggna. Artinya
ketika manusia menjadi baik maka akan dijunjung tinggi nilai kemanusiaan yakni
keadilan, keadaan merdeka, bebas menjalankan keyakinan dan toleransi agamanya,
maka manusia itu akan mampu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Sehingga seseorang yang merdeka akan mampu menjalankan misi syariat agama dan
tuntunan Rasulullah. Sehingga pada akhirnya manusia itu menjadi merdeka, mandiri
serta bermanfaat untuk bangsa dan negaranya, sesuai dengan tujuan agama yaitu
rahmatan lil‘alamin.
Namun Ki Hajar Dewantara tidak menyebutkan secara mendalam tentang
tujuan pendidikan untuk jangka panjang sebagaimana yang pendidikan Islam yang
dikemukakan al-Ghazali yaitu mendekatkan kepada Sang Pencipta. Ki Hajar
Dewantara lebih menekankan tujuan pendidikan adalah diraihnya manfaat
pendidikan secara praktis, yakni menjadikan manusia yang merdeka dari
ketertindasan penjajahan. Hal ini tidak lepas dari konteks saat ia mencurahkan
pemikirannya, yakni dalam keadaan bangsa yang terjajah. Oleh karena itu ketika
mendirikan Tamansiswa ia mempunyai misi untuk mempersiapkan rakyat memiliki
jiwa merdeka, pikiran dan intelektual maju serta jiwa yang sehat. Tujuan utamanya
adalah menciptakan pendidikan yang sesuai dengan semangat bangsa Indonesia.
Mengenai pendidik, idealnya adalah sosok yang mampu menjadi penuntun
anak didik untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Jiwa
seorang pendidik haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan, ia memiliki tanggung
jawab untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak didi, baik potensi kognitif,
afektif dan psikmotorik. Metode Among yang dikenalkan oleh Ki hadjar Dewantara
berasal dari nilai kebudayaan Jawa yang begitu kental ia pegang. Among memiliki
arti ngemong, membimbing. Artinya pendidik harus memiliki kompetensi untuk
memimbing peserta didik ke arah yang lebih baik. Senada dengan Islam yang
memiliki istilah pendidik yakni murabbi. Pendidikan harus memiliki sifat
keteladanan yang baik sebagaimana Islam mengajarkan untuk mencontoh panutan
yakni Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik bagi manusia. Dan pendidik

45
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. III, 2008), 92.

19
merupakan pewaris para ulama dan para Rasul. Oleh karena itu akhlak pendidik
menempati posisi sentral yang harus dimiliki oleh kaum pendidik.
Selanjutnya ialah peserta didik yang merupakan individu yang berada dalam
fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, dimana
perkembangan tersebut akan selalau memerlukan bimbingan dari seorang pendidik
dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.46 Pada setiap praktik
kependidikan, peserta didik merupakan komponen yang harus dilibatkan secara aktif
dan total. Aktif dalam arti peserta didik tidak hanya menjadi tempat menabung ilmu
pengetahuan guru-gurunya. Dilibatkan secara total berarti peserta didik harus
dianggap sebagai manusia dengan segala dimensi humanistiknya.
Dan terakhir yakni metode pendidikan, Ki Hadjar dewantara memiliki
prinsip ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa tut wuri handayani.
Memegang teguh prinsip tersebut dalam proses pendidikan akan menjadikan peserta
didik memiliki kekuatan dalam mengarungi proses pendidikan. Prinsip keteladanan
yang utama harus diajarkan kepada peserta didik, menjadi khalifah yang menjadi
simbol eksistensi manusia, harus memiliki dimensi keteladanan, baik sifat, akhlak
dan perbuatannya. Pendidik menjadi cermin utama peserta didik dalam kehidupan.
Pemberian semangat dan motivasi juga tidak kalah penting dalam proses pendidikan.
Tuhan memberikan pahala sebagai balasan kepada manusia yang melakukan
kebaikan. Pahal yang Tuhan berikan ialah sebagai motivasi seorang hamba untuk
senantiasa berbuat baik.
Metode pendidikan artinya mebicarakan bagaimana proses penyampaian
materi hingga tercapainya tujuan pendidikan. Dalam hal ini kita ketahui, metode
among merupakan sebuah metode yang digunakan seseorang (Jawa) dalam merawat,
menjaga, mendidik anak kecil. Ini kemudian diaplikasikan oleh Ki Hajar Dewantara
dalam pendidikannya yang menganggap peserta didik tak ubahnya sebagai anak kecil
yang membutuhkan bimbingan. Maka dari itu ia menggunakan istilah Among, yang
mempunyai maksud mendidik dengan memberi contoh yang baik tanpa mengambil
hak-hak anak untuk memahami dunianya sendiri. Terkait hal ini dalam pendidikan
Islam juga mempunyai pandangan, bahwa memang perlu mendidik anak dengan
tidak melupakan nilai humanistinya, artinya memberikan kebebasan-kebebasan

46
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 2003), 95.

20
kepada anak dalam belajar namun dengan kebebasan itu tidak keluar dari koridor-
koridor nilai ke-Islaman.
Lebih lanjut lagi, Ki Hajar Dewantara mempunyai pendapat tentang
bagaimana pendidikan itu dapat tersampaikan kepada peserta didik, yakni dengan
sikap memberi contoh, pembiasaan melakukan hal-hal yang baik, mengajarkan nilai-
nilai yang positif terhadap anak didik. Ini merupakan salah satu nilai-nilai yang
terkandung dalam pendidikan Islam. Seorang pendidik harus mampu mengajarkan
kepada anak didiknya dengan memberi contoh, pembiasaan sikap yang berbudi dan
ini merupakan sebuah metode pendidikan keteladanan yang dalam Islam sangat
dianjurkan menggunakannya. Sebagaimana Rasulullah menjadi sosok tauladan dan
panutan bagi seluruh umat manusia dengan misinya menyempurnakan akhlak
umatnya. Segala perkataan dan perbuatan Rasulullah menjadi contoh figur yang baik
serta ideal bagi manusia khususnya mereka pendidik dan juga ‘ulama.

Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang mulia, karena manusia memiliki akal
budi yang berarti jiwa. Jiwa manusia merupakan diferensiasi kekuatan kekuatan yang
disebut “trisakti” jiwa. Kekuatan itu adalah kekuatan pikiran, perasaan dan kehendak.
Kekuatan kekuatan itulah yang disebut dalam Islam sebagai potensi bawaan (fitrah)
manusia.
Konsep pendidikan humanisme menurut Ki Hajar Dewantara ialah bahwa
pendidikan itu merupakan tuntunan terhadap jiwa peserta didik yang memiliki kodrat
alami sebagai manusia. Kodrat alami itulah yang menjadikan pendidikan bertujuan
untuk menjadikan peserta didik menjadi individu yang merdeka baik lahir dan batin,
mandiri dan bermanfaat bagi msyarakatnya. Dengan menggunakan sistem Among
dan memegang teguh prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani, atau metode keteladanan diyakini akan mampu membawa
peserta didik menuju kemerdekaan lahir dan batin serta mampu mengemban misi
manusia yang dalam wujudnya bermanfaat untuk bangsa dan negara.

21
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia:Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2000.
Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdispiner. Jakarta: Bhumi Aksara. 2008.
Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman
siswa. cet. III. 2004.
Dewantara, Ki Hajar. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika. 2009.
Effendi, Mokhtar. Ensiklopedia Agama dan Filsafat. Palembang: Universitas
Sriwijaya. 2001.
Elmubarok, Zaim. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan Yang Terserak,
Menyambung Yang Terputus, dan Menyatukan Yang Tercerai. Bandung:
Alfabeta. 2009.
Hamalik, Oemar. Administrasi dan Supervisi Pengembangan Kurikulum. Bandung:
Mandar Maju. 1992.
Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2008.
Knight, George R.. Filsafat Pendidikan: Isu-Isu Kontemporer dan Solusi Alternatif,
terj. Mahmud Arif. Yogyakarta: Idea-I Press. 2004.
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna. 2003.
M. Bashori Muchsin, Pendidikan Islam Humanistik Alternatif Pendidikan
Pembebasan Anak. Bandung: Refika Aditama. 2010.
Maarif, A. Syafi’i. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991.
Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media.
2002.
Mujib, Abdul., & Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.
Partanto, Pius A.& Al Barry, M. Dahlan. Kamus Popular. Surabaya: Penerbit
ARKOLA. Tt.
Rahardjo, Suparto. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta: Ar
Ruzz Media. cet. II. 2010.

22
Rusn, Abidin Ibnu. Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1954.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. III.
2008.
Toib, Ismail. Wacana Baru Pendidikan: Meretas Filsafat Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Genta Press. 2008.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006.
Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki
Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. 2009.

23

Anda mungkin juga menyukai